SEPAK TERJANG 710 DI TULUNG AGUNG

Andi Selle. Mungkin banyak yang tidak kenal dengan sosoknya, namun mantan komandan tentara 710 ini menjadi terkenal setelah memimpin anak bahnya melakukan pemberontakan terhadap pemerintah resmi Republik Indonesia. Sebagian orang menyebut bahwa pemberontakan 710 pimpinan Andi Selle merupakan sebuah aksi protes atas ketidak adilan pemerintah waktu itu yang bermaksud untuk merasionalisasi tentara nasional. 

Terlepas dari latar belakang yang menyebabkan terjadinya pemberontakan, namun yang pasti bahwa sisa-sisa kekejaman 710 masih terekam di dalam memori sebagian masyarakat khususnya di Polewali Mandar yang sempat mengalami masa suram itu. Hampir serupa di daerah lain di Polewali Mandar, masyarakat desa Sumberjo yang berada di kecamatan Wonomulyo kabupaten Polewali Mandar juga mengalami suasana yang mencekam. Seperti yang dialami oleh Sorok Martonadi (80 tahun), warga dusun Tulung Agung, desa Sumberjo. 

Dalam ingatannya bahwa kejadian itu terjadi sekitar tahun 1963 atau 1964 (ia tak begitu ingat lagi tahun persisnya), saat ia berumur 27 tahun. Dengan suara sengau karena tak satupun lagi gigi yang bertengger di dalam mulutnya, ia bercerita tentang bagaimana 710 masuk ke kampung melakukan perampokan dan penculikan. Jika mereka melihat ayam atau kambing, maka mereka akan menyuruh pemiliknya untuk menangkap untuk mereka bawa, jika tidak maka mereka akan menangkapnya sendiri. Tentara 710 juga menurutnya sangat suka dengan ayam trondol atau manu kalondo dalam bahasa Mandar, entah apa alasannya. 

Pernah sekali waktu seorang tentara datang ke Tulung Agung, di sana ia bertemu dengan seorang gadis yang kemudian diperkosa oleh si serdadu. Oleh keluarga si gadis, tentara itu kemudian dikejar. Ia ternyata lari ke markasnya dan memanggil beberapa kawan serdadunya. Dengan menenteng senjata, ia dan kawan-kawannya kembali ke dusun itu dan menembak orang-orang yang tadi mengejarnya. Tujuh orang penduduk desa keluarga gadis korban perkosaan itu yang terpaksa meregang nyawa ditembak oleh para serdadu 710. 

Tentara 710 pimpinan Andi Selle bukan hanya sekedar menyatroni perkampungan, tapi juga diketahui sering melakukan pengadangan. Lokasi utama mereka melakukan pengadangan adalah pertigaan Labasang (jalur Wonomulyo – Polewali – Tonro Lima). 

Perampokan, penculikan dan pemerkosaan para anggota 710 waktu itu diperparah lagi dengan adanya upeti berkedok sumbangan yang dibebankan kepada setiap kepala keluarga sebesar Rp.2500 / bulan. Sebagai perbandingan untu menilai mata uang waktu itu, tahun 1990an penulis masih bisa membeli sepiring nasi kuning dengan harga Rp.25. Sehingga bisa dibayangkan bahwa jumlah Rp.2500 yang harus dibayar sebagai upeti waktu itu sangat mencekik warga masyarakat. 

Selain 710, keadaan diperkeruh pula dengan munculnya gerombolan-gerombolan liar yang lebih dikenal dengan sebutan Gurilla. Kelompok-kelompok liar bersenjata ini juga melakukan perampokan, penculikan dan pemerkosaan. Penculikan mereka lakukan untuk dijadikan sebagai pekerja paksa atau bahkan dijual. Termasuk teman Sorok yang bernama Kabul dan Kusman yang keduanya merupakan warga Sugihwaras diculik dan hingga kini tak diketahui nasibnya. 

Satu catatan, bahwa untuk meminimalisasi gangguan para serdadu 710 maupun tentara Gurilla. Warga terpaksa menikahkan anak-anak gadisnya sedini mungkin agar tidak menjadi korban pemerkosaan. Sorok juga sempat mengisahkan bahwa dulu, tidak jauh dari rumahnya pernah tumbuh sebatang pohon kayu putih yang tinggi menjulang hingga ujung pohonnya dapat terlihat dari arah WTC (Wonomulyo Trade Centre) alias pasar induk Wonomulyo. Namun belasan tahun lalu, pohon tersebut sudah tumbang. Pohon itu menurutnya adalah saksi bisu akan sejarah dusunnya yang penuh suka dan duka. Ia hanya berharap agar sejarah kelam yang pernah ia dan kampungnya alami menjadi sebuah pembelajaran berharga oleh generasi selanjutnya agar tidak pernah terulang lagi. Ucapnya mengakhiri obrolan kami pada hari Jum’at, 1 April 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung

Masihkah kita Mala’bi’ Pau