Masihkah kita Mala’bi’ Pau

Penulis: Mursalin (Aktif di Komunitas Appeq Jannangang, Taekwondo Cabang Polman dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) cabang Sulbar)
===================

Banyak pengertian jika kita ingin mengartikan kata Mala’bi’ dari beberapa referensi saya mendapat pengertiannya seperti berikut, Mala’bi’ dalam bahasa mandar dapat diartikan sebagai nilai-nilai luhur, mulia, rendah hati dan keutamaan dalam sifat-sifat berharkat dan bermartabat, ada juga yang mengatakan bahwa Mala’bi’ adalah konsep memanusiakan manusia. Semuanya benar tetapi menurut saya Mala’bi’ adalah ketika tidak ada hati yang terluka.

Mala’bi pau adalah salah satu pembagian dalam konsep mala’bi’, mala’bi’ pau ini mencakup tindakan kita sebagai manusia mandar dalam keseharian sebagai bentuk tuturan yang baik. Dewasa ini sepertinya kita lupa akan nilai-nilai luhur yang diturunkan oleh leluhur kita dalam berucap, bukan hanya percakapan langsung, media sosial seperti facebook, twitter dll seringkali menjadi tempat dalam menuliskan tuturan kita yang “tidak banget” mencitrakan kata mala’bi, tanpa disadari bahwa media sosial tersebut menjadi cerminan diri kita dalam lingkaran khalayak luas (publik). 

Beberapa pepatah yang sering didengar seperti "Mulutmu Harimaumu", "Lidah tak bertulang" dll, yang intinya menafsirkan bahwa yang dipegang dari manusia adalah kata-katanya. Tidak berbeda dengan petuah-petuah di Mandar yang biasa disebut dengan "Pappasang" beberapa Pappasang mengenai pentingnya kita menjaga tutur sapa yang sering saya dengar adalah :
"Mua' olo-olo' gulangna ditu'galang, mua' tau pau-paunna ditu'galang" (Binatang tali kekangnya yang dipegang, dan manusia kata-katanya yang dipegang). Pappasang ini ditujukan agar manusia mandar memegang tiap-tiap perkataannya, janji, ikrar atau semacamnya.

"Da patoyo-toyo pau mua' mane sallame'i tuyu' purrusmu, palambi'i dolo' sandappa, mua' ganna'mi sandappa pacoaimi passindingmu" (Jangan keras berbicara jika ikat celanamu baru sejengkal, genapkan dulu satu depa , jika sudah sedepa nmaka kuatkan pula dinding keilmuannmu). Pappasang yang pertama diatas saya fikir tidak perlu dikaji lebih jauh lagi karena sudah jelas, Pappasang yang kedua mengandung artian yang bukan sebenarnya, jika dikaji maka hasil kajian kasarnya kira-kira seperti ini :
"Da patoyo-toyo pau" = Jangan keras/kasar berbicara
maksud dari keras berbicara bukan keras dalam artian berteriak sekencang kencangnya akan tetapi keras yang berarti bersifat pilih tanding, menghina atau tetap berdiri teguh pada ucapan walau itu salah ataupun benar.
"Mua' mane sallame' tuyu' purrusmu, palambi'i dolo' sandappa" = jika ikat celanamu baru sejengkal, genapkan dulu satu depa. 2 kalimat ini hampir tidak bisa dipisahkan karena merupakan 1 kesatuan yang mempunya makna. Tuyu' Purrus = Ikat celana yang dimaksud disini bukan ikat pinggang (selipit) tetapi tali yang memilit disekitaran celana yang membuatnya tidak kedodoran, dimasa lalu dizaman Pemerintahan I Manyambungi atau Todilaling raja pertama kerajaan Balanipa dimana hukum yang berlaku pada saat itu Jika dua orang laki-laki bersengketa dan detelah dimediasi tidak ada penyelesaian maka akan Situyu’purrus atau diadu bertikaman menggunakan Jambia (badik) dalam sebuah kandang yang terbuat dari pohon Nipa dalam bahasa mandar disebut balanipa juga merujuk pada asal mula penamaan kerajaan Balanipa. Pemaknaan tuyu’ purrus pada kalimat dipepasang ini mengandung arti simbolis. Berikutnya “mua’ ganna’mi sadappa pacoaimi passindingmu” = jika sudah sedepa maka kuatkan pula dinding keilmuannmu. Makna sebenarnya dari kalimat ini adalah jika sudah siap untuk bertikaman mempertahankan kata-kata maka dinding keilmuan kita yang diperkuat, dinding keilmuan disini yang dimaksud adalah siap menghadapi/ memblok hal-hal yang tidak baik sebut saja ilmu hitam yang dikirimkan oleh orang-orang yang tersinggung atas kata-kata yang terlontar dimulut kita.

Jika dicermati tiap-tiap kalimat dari Pappasang diatas selain merupakan pesan-pesan leluhur yang bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa diperhatikan kalimat tersebut menggunakan kata yang bukan pada artian yang sebenarnya, dalam ilmu kebahasaan biasa disebut menggunakan majas hiperbola. Ini menandakan bahwa mereka sangat berhati-hati dalam tiap-tiap pemilihan kata-katanya atau diperhalus kata-katanya. Ini yang coba ditanamkan kepada para generasi mandar dewasa ini.

“Bahasa menunjukkan bangsa” pepatah ini yang kemudian tersirat dalam benakku jika coba dihubungkan dengan zaman kekinian, Kata-kata yang kita lontarkan memang bisa menjadi pisau bermata dua jika tidak hati-hati memilah kata yang akan kita keluarkan, karena akan ada saja orang-orang yang akan tersinggung atas apa yang keluar dari bibir kita sebagai manusia, dan pemilahan kata-kata yang baik dan tidak menyinggung perasaan orang lain ini sudah masuk kedalam istilah Mala’bi’ pau. Tanggung jawab moral menjadi salah satu landasan dalam mempertahankan Nilai-nilai luhur yang ditanamkan oleh para leluhur kita orang mandar, seharusnya sebagai manusia yang bermukim di bumi Tipalayo mampu untuk melestarikan bukannya malah merusak tatanan nilai yang ditanamkan oleh mereka. Seharusnya kita malu karena seringnya kita berkoar-koar mengenai Mandar adalah hunian yang mala’bi’ akan tetapi sifat, sikap dan kata-kata kita tidak mencerminkan kata sakral tersebut. Jadi Siapkah kita ber-mala’bi’ pau ??

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung