PANAIQ. “Kenapa harus mahal?.”


Zulfihadi.
(Aktifis komunitas Appeq Jannangang)
================================================

Dalam pernikahan adat tradisional Mandar, salah satu yang menjadi bagian penting adalah adanya panaiq (Makassar)/pappenreq (Bugis)/ doiq balanja (Mandar). Dan sudah jadi rahasia umum jika seorang lelaki hendak mempersunting seorang gadis dari kalangan suku Bugis, Makassar atau Mandar maka ia haruslah mempersiapkan dana yang tidak sedikit bahkan relatif fantastis jumlahnya. Beberapa artikel diinternet belakangan ini sering memberitakan hal itu. 

Namun sayang karena umumnya artikel-artikel tersebut mengulas panaiq (Makassar)/pappenreq (Bugis)/doiq balanja (Mandar) hanya dari sudut pandang jumlahnya yang besar. Hingga memberikan kesan jika gadis Sulawesi itu “mahal”, seolah-olah gadis Sulawesi adalah barang dagangan yang bisa diperjual belikan. Menurut penalaran penulis, inilah yang menjadi sumber keresahan beberapa kalangan hingga muncullah elemen-elemen yang seakan tidak setuju dan menolak adanya panaiq. Dalam paradigma kekinian, di mana hampir segala aspek kehidupan selalu menjadikan nilai ekonomi sebagai standar ukuran mungkin hal ini bisa saja menggiring opini kita kearah demikian. Namun jika kembali melihat persoalan ini dengan kacamata pilosofi kearifan budaya lokal maka kita akan melihat beberapa faktor penyebab tingginya panaiq.

Sebelum membahas panaiq dari kacamata pilosofi kearifan lokal (local wisdom), ada baiknya kita mengetahui dulu apa itu panaiq. Sebab terkadang masyarakat memahami bahwa sorong sama dengan panaiq padahal keduanya sangat berbeda.

Dalam tradisi ritual pernikahan masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar dikenal dua macam pendanaan yang harus disiapkan oleh calon mempelai lelaki. Yang pertama adalah mahar atau sorong, ini hukumnya wajib berdasarkan hukum agama Islam yang telah dianut sejak lama oleh komunitas-komunitas ini yang memang mewajibkannya. 

Perihal sorong in. Sebelum sistem kerajaan benar-benar hilang (meskipun hingga kini terkadang masih ada kita dapatkan), ditetapkan berdasarkan kadar darah kebangsawanan atau strata sosial yang bersangkutan dan diukur dalam nilai kati atau real. Sebagai contoh, sorong anak bangsawan 180 dan 300 real dan sorong  anak pattola adaq bisa 120 atau 160 real. Namun setelah itu, ketika ajaran Islam sudah mengakar kuat dmasyarakat. Maka sorong menjadi semakin lebih ringan hingga dapat saja seorang calon mempelai lelaki hanya memberi mahar berupa emas beberapa gram bersama Al-Qur’an dan seperangkat alat shalat tergantung kesepakatan kedua belah pihak.

Yang kedua adalah panaiq atau pappenre alias balanja. Ini adalah permintaan pihak calon mempelai wanita kepada pihak calon mempelai pria dengan maksud agar calon mempelai pria mau membantu pelaksanaan pesta penikahan di rumah mempelai wanita dengan layak. Hal permintaan bantuan ini sebenarnya adalah sesuatu yang wajar mengingat pihak wanita yang didatangi, hingga dianggap bahwa persiapan mereka dalam hal pendanaan untuk pesta agak mendadak dan butuh waktu yang agak lama jika ingin menyiapkannya sendiri sementara pernikahan adalah sesuatu yang baik dan seyogyanya tidak ditunda-tunda setelah terjadi kesepakatan kedua belah pihak. Berbeda dengan kesiapan pihak lelaki yang tentu sudah lebih matang karena telah menyiapkannya dalam waktu yang cukup lama bahkan mungkin saja beberapa tahun. Namun kemudian, yang dianggap tidak wajar oleh banyak kalangan adalah jumlahnya yang terkadang fantastis sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

Lalu kenapa permintaan panaiq dari pihak wanita cenderung tinggi?. Berikut beberapa di antara alasan penyebab tingginya panaiq yang diminta oleh pihak wanita:

1.  Pengangkat gengsi.

Setiap orang selalu mempunyai kecenderungan untuk terlihat lebih dibandingkan dengan orang lain, demikian juga rupanya dalam hal pengadaan pesta pernikahan. Sebuah keluarga senantiasa menginginkan pernikahan anaknya lebih ramai, lebih megah dan lebih banyak mendapatkan tamu daripada tetangganya yang pernah melaksanakan pesta pernikahan sebelumnya.


2.  Sebagai alat penolakan.

Masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar dikenal sebagai komunitas yang menjunjung  tinggi nilai kesopanan dalam bertindak maupun berucap bahkan hingga pada saat menolak sesuatu yang dibawakan padanya. Setelah pihak calon pengantin pria melakukan proses messisi atau mencari informasi langsung pada keluarga pihak calon mempelai wanita tentang kondisi gadis yang akan dilamar apakah sudah siap menikah, sudah dijodohkan ataukah belum sehingga bisa dilamar. Maka keluarga pihak perempuan juga akan mencari informasi tentang calon pengantin pria meskipun dilakukan lebih bersifat diam-diam dan dengan cara tidak formal sebagaimana yang dilakukan oleh pihak lelaki apalagi jika keluarga calon pria berasal dari keluarga yang agak jauh hubungan kekerabatannya dari keluarga calon wanita. Jika kemudian didapati kondisi bahwa pihak keluarga tidak cocok dengan calon pria maka setelah dirembugkan dalam keluarga, disepakatilah keputusan untuk menolak lamaran calon mempelai pria dengan cara meminta jumlah panaiq yang diperkirakan tidak akan mampu terpenuhi oleh pihak calon mempelai pria dengan harapan lamaran itu gagal demi kebaikan keluarga sang gadis.

Dalam kacamata kearifan lokal sendiri yang mana juga bisa mengakomodir kedua alasan di atas, sesungguhnya bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa tingginya uang panaiq bersumber dari palsafah sulapaq appeq sebagai nilai kultural yang dianut oleh masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar.

Seorang mempelai pria (baca: suami) akan menjadi seorang pemimpin dalam keluarganya. Sementara  kriteria seorang pemimpin bagi masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar haruslah memenuhi kriteria sebagai manusia sulapaq appeq dengan patokan barani (berani), manarang (cerdas), malappu (jujur) dan sugiq (kaya). Sementara itu, juga ditemukan dasar pilosofi yang menganalogi kepada bentuk tubuh manusia yang diistilahkan “sulapa appeq na tau” (Mattulada) yang dapat digambarkan sebagai berikut:
A       = Kepala.
B       = Badan.
C - D = Tangan.
E       = Kaki



Jika keempat sifat di atas dipadukan dan diaplikasikan pada segi empat tubuh manusia, maka (A) kepala mewakili sifat cerdas, (B) badan berhubungan dengan kejujuran (hati), (C, D) tangan berhubungan dengan kekayaan dan (E) kaki berhubungan dengan keberanian. Sehingga siapapun orangnya jika memiliki sifat-sifat itu akan menjadi seorang pemimpin (Suami) yang bijak bagi diri maupun yang dipimpinnya (Istri dan anak-anaknya).

Kemampuan calon mempelai pria mengatasi masalah panaiq dan menikahi gadis pujaannya dianggap telah lulus ujian pertama dan berhak mendapat gadis impiannya. Toh, mengatasi tingginya panaiq bukan semata-mata harus menyiapkan sejumlah uang yang diminta. Selain dari jalan si paindongang (kawin lari) yang beresiko, ada cara yang bisa dilakukan dan tentunya lebih elegan dan menunjukkan martabat sebagai calon pemimpin rumah tangga, yaitu melalui diplomasi. Jika cara diplomasi pihak calon pengantin pria mampu menarik hati keluarga pengantin wanita, disinilah biasanya terbuka jalan atau solusi yang sama-sama tidak memberatkan. Entah itu dengan jalan keluarga calon mempelai wanita meminjamkan uang kepada calon mempelai pria (tentu dengan kesepakatan diam-diam dan tidak diumumkan) atau menyatukan tempat pesta dengan cara patungan atau biasa disebut dengan mammesa rumbu api (menyatukan asap api), dan atau dengan cara lain yang disepakati kedua belah pihak.


Setelah membaca uraian singkat ini, hendaklah panaiq tidak lagi menjadi momok yang menakutkan yang dianggap sebagai penghalang jodoh bagi pemuda dan pemudi Bugis, Makassar maupun Mandar sehingga mengharuskan kita menghilangkan bagian dari budaya lokal kita. Ini ibarat pepatah  “membasmi tikus, lumbung dibakar”. 

Ayo pemuda, tetaplah bersemangat mencari rezeki dan buktikan bahwa wanita Sulawesi adalah wanita pilihan dan lelaki yang pantas mendapatkannya juga adalah lelaki istimewa.

(Nutrisi bacaan: Eksotisme Filosofi Penggunaan Simbol Angka Dalam Budaya Makassar. Sebuah paper yang ditulis oleh Hj. Ery Iswary yang disampaikan pada acara SEMINAR ANTAR BANGSA "Dialek-Dialek Austronesia Di Nusantara III" tahun 2008)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung

Masihkah kita Mala’bi’ Pau