PETAKA CINTA DI BUKIT SURUANG

Berjalan dengan perasaan berkecamuk antara segan, malu, khawatir dan rasa kesetia kawanan, terpaksa kulangkahkan juga kaki ini menuju rumah I Putubunga Masagala. Yah, pemuda mana di kampung ini yang tidak mengenal I Putubunga Masagala?. Pemuda mana yang birahinya tidak terbakar dan melayang dalam fantasi liarnya melihat seorang gadis berparas cantik, bertubuh denok dengan tinggi semampai yang dari pinggulnya menggambarkan seorang wanita yang akan memberikan keturunan yang banyak seperti potongan I Putubunga Masagala. 
Setidaknya dari sisi fisik, potongan wanita demikianlah yang disarankan ayahku pada suatu malam jika aku hendak mencari pasangan hidup. 

Namun kali ini, aku menuju kerumahnya bukanlah untuk diriku namun untuk seorang sahabat yang rupanya juga memendam rasa padanya. Dan karena kedekatanku dengan kedua orang tua I Putubunga yang memang masih famili dekat denganku, membuat sahabatku itu mempercayakan padaku untuk “messisi” dengan tujuan mengetahui tanggapan keluarga sang gadis jika seumpama keluarga sahabatku itu nantinya datang melamar. 
Dan satu-satunya hal yang membuatku khawatir adalah jika ternyata keluarga I Putubunga nantinya memberikan isyarat penolakan.

Perlahan namun pasti kuketuk pintu rumah gadis itu dan kuucapkan “salam !”.

“salam, siapa itu?”, terdengar suara lelaki yang agak berat dari dalam rumah. “oh, kau Kummang. Masuklah, silahkan duduk” lelaki setengah baya yang membukakan pintu itu segera mengenali dan mempersilahkanku masuk. 

Aku pun lantas masuk dan segera duduk di lantai papan beralaskan tikar rotan yang rajutannya sangat rapi. Rumah itu cukup besar dengan arsitektur khas bangsawan Mandar. Wajar saja, pemiliknya adalah seorang bangsawan yang membawahi wilayah Suruang. Wilayah yang telah menjadi tandem kerajaan Balanipa meruntuhkan Passokkorang beberapa waktu lalu. Meskipun rumah bangsawan, namun tak nampak satupun pengawal atau dayang di rumah itu. Keluarga itu merasa cukup melayani dirinya sendiri hingga tak memerlukan bantuan pengawal atau pelayan hingga prajurit dan pelayan tetap tinggal di rumah mereka masing-masing dan hanya datang saat dibutuhkan semisal diselenggarakan acara kerajaan di rumah itu. 

“Ada apa Kummang, kenapa kau malam-malam datang ke sini?” pertanyaan Puang I Ullung Allo memecah lamunanku tentang rumah itu. 

“ah, emmm..... begini puang. Sebelumnya saya mohon maaf jika saya lancang datang ke sini. Saya ke sini datang dengan membawa sebuah maksud” jawabku mencoba mengendalikan perasaan yang tidak karuan. 

“Katakanlah, kau tidak usah ragu. Aku akan membantu jika memang aku bisa” ujar Puang I Ullung Allo. 

“Aku sebenarnya diutus oleh seseorang untuk bertanya puang, apakah adikku I Putubunga Masagala sudah mempunyai jodoh?” kalimat yang keluar dari bibirku mulai lancar. 

“Siapakah sebenarnya orang yang mengutusmu, Kummang” tanpa menjawab pertanyaanku Puang I Ullung Allo malah balik bertanya padaku. “I Capua, puang” jawabku singkat. 

“Sebenarnya aku bermaksud menjodohkan I Putubunga dengan seorang pangeran dari wilayah pesisir. Dan aku tidak melihat sebuah alasan untuk bisa menerima I Capuaq, pengembara dari Ulu Salu itu sebagai menantuku”, kalimat Puang I Ullung Allo seolah menggodam dadaku. 

Tak diragukan lagi, ini sebuah penolakan. Setelah mendengar jawaban itu, aku mengalihkan perbincangan ke arah hal lain seputar kehidupan kampung hingga akhirnya aku pamit pulang. 

Keluarga gadis manis bertubuh denok itu dengan halus menyampaikan isyarat penolakannya. Halus??. Bisa jadi halus bagi orang lain, tapi tidak bagi lelaki yang mengutusku. Dengan menahan pedih dan mata menyala, ia mendengar penuturanku dalam diam. Aku berusaha menghiburnya namun ia tetap bergeming dalam lamunannya. Pun ia tetap acuh tak acuh ketika aku pamit untuk pulang. 

Dan hal yang tidak pernah aku sangka adalah akibat dari penolakan itu, ternyata kelak berbuah duka bagi kedua keluarga. Rupanya diam-diam sahabatku itu merasa terhina dan menyimpan dendam untuk membalas penghinaan itu. Dua purnama berselang kejadian “messisi” yang gagal itu, aku mulai jarang bertemu dengan sahabatku itu. Aku hanya pernah bertemu secara kebetulan di atas puncak bukit Suruang saat aku hendak mencari kayu bakar, di mana ia hanya memandang kosong nun jauh kearah Passauang Pitu, begitulah nama yang diberikan oleh orang sekitar kampung pada mata air yang muncul secara alami di kaki bukit itu. 

Dengan perlahan dan hampir tanpa suara, kududuk di sampingnya dan mecoba mensejajarkan pandangan kami, dan kudapati obyek yang menjadi paku retina matanya. Jauh di kaki bukit Suruang, di tepi salah satu mata air Passauang Pitu nampak bayangan seseorang yang sedang mandi, sesekali terlindung oleh dedaunan yang bergoyang oleh hembusan angin. Siapa lagi orang itu kalau bukan I Putuwunga Masagala, gadis molek berpinggul subur yang menghancurkan dunia sahabat di sampingku ini. Dengan sangat perlahan kutoleh wajah sahabatku, dan aku mulai sadar jika aku telah kehilangan sesosok wajah ceria dengan sorot mata penuh semangat, yang kudapati di antara struktur kulit, daging dan tulang itu hanyalah kesan sebuah batu cadas yang keras dan dingin. 

“Maaf, aku tak berhasil menjadi dutamu dan mendapatkan I Putubunga untuk menjadi pendampingmu” bisikku perlahan, takut mengganggu lamunannya. 

“Tak apa sahabat. Setidaknya engkau telah berusaha”. Rupanya ia mendengar kalimat yang kukatakan dan menjawabnya dengan tatapan mata sendu tepat menusuk mataku. Namun binar matanya yang membuat hatiku berdegup kencang, ada pijar dendam yang begitu kuat memancar dari kedua bola lunak di dalam rongga wajahnya itu menggantikan cahaya rindu yang dulu selalu memancar saat nama sang gadis singgah di gendang telinganya. 

Akhirnya aku hanya duduk diam dan membiarkan sahabatku yang sukmanya sedang bercumbu dengan bayangan sang gadis pujaan. Hingga kemudian akhirnya aku letih sendiri menunggu ia mencapai orgasme yang aku pun tak tau kapan tibanya, letih itu pula yang membuatku lalu pergi dalam diam seperti tadi bagaimana aku datang dalam kesunyian. Kulangkahkan kakiku dengan sangat perlahan di antara padang ilalang yang menjadi permadani bukit itu, membawa setumpuk beban kayu bakar di bahuku dan seonggok tanya dalam dadaku tentang akhir dari semua ini. 

**** 

Di Passauang Pitu, seminggu sejak aku bertemu sahabatku di atas bukit Suruang yan tak jauh dari tempat kesukaan I Putu Bunga sering memanjakan tubuhnya dengan kesegaran air pegunugan itu. Sepasang muda-mudi nampak duduk berdampingan. Kemesraan yang mereka perlihatkan berpadu harmonis dengan keindahan suasana perbukitan dan hembusan angin sepoi-sepoi yang membawa wangi bunga melati yang tumbuh liar di puncak bukit. 

“Ah, jika saja suasana seperti ini benar-benar bisa kita wujudkan dalam sebuah mahligai rumah tangga. Sungguh sangat bahagia kurasakan dalam hidupku”, Capua berkata seolah ditujukan pada dirinya sendiri. 

“Aku pun demikian kiranya, kakak. Namun sayang, ayahku rupanya menolak keinginan kakak yang disampaikan oleh Kummang beberapa hari yang lalu. Dan rupanya beliau telah pula menerima lamaran seorang putra bangsawan dari daerah pesisir” timpal I Putubunga Masagala. 

“Tapi bagaimana dengan perasaanmu sendiri dinda?” tanya Capua menoleh pada I Putubunga. 

“Kakak tidak usah meragukan kesetiaanku. Aku akan selalu mencintai kakak Capua” jawab I Putu Bunga. 

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita kawin lari saja. Aku akan membawamu ke kampung halamanku di Ulu Salu sana?” tanya Capua kembali dengan menantang. 

“Apa ?, lari ?. Tidak kakak, aku tak bisa melalaikan kewajibanku sebagai seorang anak untuk selalu berbakti pada orang tuanya” balas I Putu Bunga dan melepaskan tangannya yang sejak tadi berada dalam genggaman mesra kekasihnya tersebut. 

“Berarti kamu lebih mimilih menikah dengan lelaki lain daripada aku?” kembali Capua bertanya dan kali ini suaranya mulai mengeras pertanda emosinya mulai terpancing. 

Tatap mata Capua mulai menajam dan kemesraan yang tadi mereka pertontonkan tiba-tiba berubah menjadi sebuah adu mulut yang sengit. Hingga tiba suatu ketika, Capua mengeluarkan kalimat yang sangat bertuah. 

“Jika aku tak bisa memiliki diri dan cintamu, maka tak ada siapapun yang boleh memilikimu I Putu Bunga, cam kan itu”. Kata Capua dengan wajah pitam pertanda darah sudah naik hingga ke ubun-ubunnya. 

“Lalu apa mau kakak sekarang?” tantang I Putu Bunga Masagala. 

“Aku akan mengembalikanmu kepada Sang Dewata Pencipta, tunggulah aku di sana !” seru Capua seraya mencabut sebilah badik dari pinggangnya dan langsung menusukkannya ke perut I Putu Bunga Masagala. 

Kontan I Putu Bunga Masagala mendekap perutnya yang terluka. Darah mengucur deras dari sela jemarinya hingga membasahi pakaiannya dibagian bawah. Tak berapa lama I Putu Bunga sanggup berdiri, akhirnya ia tersungkur dengan tatapan tidak percaya akan apa yang sang kekasih lakukan pada dirinya. Perlahan cahaya matanya memudar seiring kembalinya malaikat maut setelah bertugas menjemput nyawa bunga desa yang indah rupawan itu. Sementara Capua hanya bisa berdiri menyaksikan kekasih pujaan hatinya meregang nyawa. 

Badik yang digenggamnya jatuh tanpa ia sadari, sementara air mata mengalir dikedua belah pipinya. Namun tak ada isak keluar dari bibirnya, yang ada hanya senyum. Senyum penuh kepedihan. 

**** 

Hampir saja aku terjungkal dari tempat tidur saat satu teriakan murka menggelegar serta merta datang membangunkan dan merenggut paksa alam bawah sadarku yang sedang berasyik masyuk dengan bidadari alam mimpiku. 

Dengan bara api yang membakar isi dadaku, tergesa kulangkahkan kakiku keluar dan bermaksud mencari siapa yang telah mengganggu tidurku hingga membuat orgasme mimpiku tertangguh dengan menyakitkan, untuk memberinya sekedar peringatan. Namun saat tiba di halaman, aku hanya bisa berdiri mematung, kemarahanku menjadi hilang seketika saat aku tahu siapa yang berteriak. 

Nampak di tengah jalan seorang lelaki dengan “sokkoq biring” yang sekarang tanpa disadarinya telah benar-benar miring di kepalanya. 

“Di mana pemuda yang telah membunuh putriku..??. Akan kubunuh dia dan akan kupenggal kepalanya” teriakannya membelah udara kampung itu. 

Dengan wajah kelam penuh amarah dan tangannya yang gemetar menghunus-hunuskan keris yang meski bilahnya hanya nampak sekilas karena tidak hentinya bergoyang, namun aku tau jika keris itu keris pusaka nan bertuah. Itulah keris pusaka yang bernama I Rete Pitu. 

Meski namanya tak setenar keris Empu Gandring di tangan Ken Arok dalam cerita yang pernah dituturkan kakekku dulu sepulangnya dari tanah Jawa. Tapi siapa orang di serata Pitu Babbana Binanga yang tidak mengenal keampuhan keris I Rete Pitu yang bisa membuat seorang manusia langsung bertemu dengan Sang Pencipta cukup hanya dengan goresan kecil dikulit korbannya, keris yang dengan setia menemani tuannya yang kini ada di depanku saat meluluh lantakkan kerajaan Passokkorang bersama Tomepayung Sang Maraqdia dari Balanipa?. 

Sebilah keris pusaka hasil karya “pande” ternama dan dibuat dengan segala rupa laku ritual mulai saat pemilihan besi hingga kemudian pertama kali diselipkan dipinggang Puang ta I Ullung Allo yang saat ini masih berdiri di tengah jalan mencari dan meneriakkan nama sahabatku keseantero kampung kami. 

Sontak ia menoleh kepadaku ketika ia melihat aku yang sedang mengintip di balik pohon kelapa yang ada di halaman rumah ku itu. 

“Hei.... kau Kummang !. Kenapa kau mengintip, ayo katakan di mana si Capua berada. Bukankah kau bersahabat dengannya?. Kau jangan coba-coba melindunginya, atau keris I Rete Pitu juga akan mengakhiri hidupmu”. Ancam Puang I Ullung Allo sambil mengacung-acungkan kerisnya ke arahku.  
“Aku......A.....Aku tidak tahu puang. Sejak dua hari yang lalu aku tidak pernah melihatnya” kengerian menghampiriku dan aku hanya bisa tergagap menjawab. 

Ketika ia melangkah mendekat kehadapanku dengan sorot mata merah seolah ada percikan api keluar dari mata itu. Ia mencoba mencari kebenaran dari jawabanku tadi tentang keberadaan lelaki sahabatku yang rupanya telah menyulut gelora murka di dadanya. Syukurlah karena kemarahannya kemudian tidak dilampiaskan kepadaku, mungkin ia menangkap kesungguhan dalam sinar mataku yang ketakutan. Padahal lututku sudah gemetar dan mataku tidak lepas dari keris dalam genggamannya seolah-olah keris itu sesaat lagi akan menancap di antara tulang dadaku atau mungkin keris itu akan bersarang mulus diperutku. 

Kuhembuskan nafas lega sekuat-kuatnya untuk menenangkan gemuruh ketakutan didadaku ketika sekonyong-konyong Puang ta I Ullung Allo berbalik dan meninggalkanku. Untung karena ia tidak semakin marah atas jawaban ketidak tahuanku, atau mungkin juga keris pusakanya tidak berminat untuk sekedar mencicipi setetes darah dari tubuhku. Sebelum ia berjalan semakin jauh, tiba-tiba terbit ingatanku akan keselamatan sahabatku. Naluriku mengatakan akan terjadi sesuatu yang mengerikan jika sekiranya sahabatku berhasil ditemukan olehnya. 

Dan kemudian diam-diam aku mengikuti langkah tergesa dari pamanku I Ullung Allo. Di sebuah tikungan jalan, aku berhenti sejenak. Orang yang aku ikuti diam-diam rupanya telah menghilangan dari pengawasanku, entah ia melalui jalan yang mana. Akhirnya aku putuskan untuk mengambil arah mendaki ke puncak bukit Surung yang ada di ujung desaku itu. Dari atas puncak bukit aku mencoba mengedarkan pandanganku kesegenap penjuru. 

Di Timur nampak teluk Mandar berair biru dengan ombaknya yang membuih putih, nampak berkejaran dan memecah di pantai. Sedang di Barat, hamparan padang dan jejeran bukit dengan lembah-lembahnya yang curam. Di sana tak jauh dikaki bukit tepat di sisi Passauang Pitu, pandanganku terpaku. 

Tampak dua sosok lelaki sedang bertarung dengan sengitnya. Sekilas bisa kulihat seorang diantaranya memegang keris yang bilahnya kehitaman. Meski sokko biring tak ada lagi di atas kepalanya, tapi aku bisa memastikan jika lelaki itu adalah pamanku Puang I Ullung Allo. Sementara yang seorang menusukkan badik, pastilah I Capua sahabatku. 

Seorang veteran perang legendaris menghadapi pendekar perantau. 

Aku segera berlari menuruni bukit, langsung menuju ke arah mereka. Namun setibanya aku di dekat tempat mereka bertarung, aku hanya bisa terdiam dan tak tahu harus berbuat apa-apa. Mereka berdua juga rupanya tidak menyadari kehadiranku hingga terus saja berkelahi dengan penuh nafsu membunuh. Puang I Ullung Allo dan I Capuaq nampak sungguh-sungguh ingin saling membunuh. Tentu saja, ini adalah pertarungan berdasar siriq. 

I Capuaq malu karena telah ditolak lamarannya sementara Puang I Ullung Allo meminta balas atas darah putrinya. Lama juga duel berdarah itu berlangsung. Hingga dalam satu kesempatan, I Capua yang mengira jika Puang I Ullung Allo akan menusukkan keris ternyata dalam satu gerakan berhasil merubah gerakan menusuk menjadi sabetan. Hingga I Capua yang bermaksud menghindar ke samping terkena sabetan ujung keris dibagian dadanya. 

Meski lukanya tidak parah, namun rasa nyeri kontan menyergap seluruh bagian dadanya pertanda bisa yang dikandung keris I Rete Pitu sangat dahsyat. Rasa nyeri yang membuat I Capua hanya bisa mematung perlahan berubah menjadi rasa panas yang seolah membakar jantungnya. Perlahan pembuluh darahnya nampak mulai menghitam. 

Dan tidak menunggu lama tubuhnya ambruk dan tewas seketika. Puang I Ullung Allo hanya sejenak mengatur nafasnya, bebannya seolah terlepas seutuhnya, lalu ia berjalan ke arah jazad I Capua yang tergeletak. Tanpa ragu dijambaknya rambut lalu digoroknya leher jazad itu seolah tanpa beban. Di tentengnya kepala I Capua yang telah terlepas dari badannya untuk kemudian kembali pulang ke kampung. Namun saat ia berbalik, Puang I Ullung Allo baru sadar jika ternyata aku telah berdiri di sana dan melihat semua kejadian itu tanpa mampu berkedip laksana sebuah patung. 

“Baguslah, rupanya engkau ada di sini Kummang. Lihatlah aku telah berhasil menagih hutang darah I Putubunga. Sekarang kau urus jazad sahabatmu itu. Bawa ia pulang ke kampung dan makamkan dengan layak” kalimat-kalimat itu demikian menggelagar rasanya ditelingaku. Aku sontak tersadar dan hanya berkata,

“ I.... I....Iye puang”. Lalu dengan penuh perasaan haru dan sedih yang sangat dalam, aku beranjak mendekati jazad sahabatku I Capua yang kini tergeletak tanpa kepala. 

Kupapah tubuhnya yang telah menghitam akibat racun yang berasal dari keris I Rete Pitu dan kulangkahkan kakiku kembali ke kampung menyusul Puang I Ullung Allo yang berjalan semakin menjauh, masih dengan menenteng kepala dari jazad yang kupapah ini. 

Bukit Suruang seolah menangis menyaksikan tragedi cinta namun berakhir kematian dua insan yang saling mencinta. Bunga melati dari puncak bukitpun seolah kehilangan aroma. Tak ada lagi angin, semua membisu. Menulis kisah dalam kediaman. 

Ratusan tahun telah berlalu, kini hanya sebuah makam di bukit Suruang yang menjadi bukti jika di tempat itu pernah terjadi sebuah drama cinta yang luar biasa hebat. Tersusun oleh sutradara maha hebat sebagai sebuah pelajaran untuk manusia dimasa kini dan yang akan datang. 

Sekian.
Matakali, 21 Sept 14-30 Okt 15.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung

Masihkah kita Mala’bi’ Pau