MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) (bag.3)

Sambungan MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) (bagian 2).

Bukti lain bahwa Indonesia adalah batas pemisah antara dua samudera besar, yaitu samudera Fasifik dan Samudra Hindia. Pada zaman es, seluruh wilayah muncul, membentuk sebuah benua luas yang terbentang hingga Asia Tenggara dan Semenanjung Melayu (dulu disebut Lanka atau Taprobane). Ketika permukaan laut naik sekitar 130 meter atau lebih, dataran-dataran rendah yang sangat luas di paparan Indonesia menjadi terendam dan menghilang di bawah laut secara permanen. Hanya dataran-dataran tinggi dan puncak-puncak vulkanis yang tersisa sebagai saksi bisu bencana alam itu.

Dataran-dataran tinggi dan puncak-puncak vulkanis inilah yang menjelma menjadi ribuan pulau di Indonesia. Mereka yang bertahan hidup terpaksa keluar dan pindah ke India yang sebenarnya dan ke tempat-tempat lain seperti Asia Tenggara, China, Polinesia, Amerika, Timur dekat dan sebagainya sehingga akhirnya mereka sampai ke Eropa dan wilayah-wilayah Barat Jauh lainnya. Dari sanalah mereka membangun peradaban kuno yang kita kenal saat ini. Riwayat-riwayat paling jelas tentang daratan yang tenggelam ini tersimpan dalam tradisi-tradisi suci India, yaitu ditempat-tempat seperti Lanka, Kumari Kandam, Tripura dan sebagainya. Mereka yang terpaksa pindah inilah yang menjadi ahli waris langsung dari kebudayaan agung yang usianya sangat tua itu.

Selain Prof. Arysio Santos, tercatat juga Stephen Oppenheimer, ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Oxford University, Inggris, lewat bukunya yang merupakan catatan perjalanan penelitian genetis populasi di dunia, ia mengungkapkan bahwa peradaban yang ada sesungguhnya berasal dari Timur, khususnya Asia Tenggara. Hal itu disampaikan Oppenheimer dalam diskusi bedah bukunya berjudul ‘Eden in The East’ di gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Kamis 28 Oktober 2010.

Sejarah selama ini mencatat bahwa induk peradaban manusia modern itu berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia. Tetapi, menurut dia, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu yang sering disebut dengan Sundaland atau Indonesia. Apa buktinya? “Peradaban agrikultur Indonesia lebih dulu ada dari peradaban agrikultur lain di dunia,” kata Oppenheimer dalam diskusi yang juga dihadiri Jimly Asshiddiqie.

Buku “Eden in The East” oleh Stephen Oppenheimer ini ingin mengubah paradigma yang ada selama ini, bahwa peradaban paling awal adalah berasal dari daerah Barat. Namun dalam perjalanan yang dilakukannya dimulai dengan komentar tanpa sengaja oleh seorang pria tua di sebuah desa zaman batu di Papua Nugini. Dari sana dia mendapati kisah pengusiran petani dan pelaut di pantai Asia Tenggara, yang diikuti serangkaian banjir pasca-sungai es hingga mengarah pada perkembangan budaya di seluruh Eurasia.

Oppenheimer meyakini temuan-temuannya itu, dan menyimpulkan bahwa benih dari budaya maju, ada di Indonesia. Buku ini juga, ingin mengubah secara radikal pandangan tentang prasejarah. Pada akhir Zaman Es, banjir besar yang diceritakan dalam kitab suci berbagai agama benar-benar terjadi dan menenggelamkan paparan benua Asia Tenggara untuk selamanya.
Peta migrasi manusia selama 160.000 tahun zaman es terakhir oleh Stephen Oppenheimer. Ini adalah hasil kerjanya yang didasarkan pada DNA mitokondria, bukti kromosom Y, arkeologi, klimatologi, dan studi fosil dan melacak rute dan waktu migrasi manusia keluar dari Afrika dan ke seluruh dunia.
Hal itu yang menyebabkan penyebaran populasi dan tumbuh suburnya berbagai budaya Neolitikum di Cina, India, Mesopotamia, Mesir dan Mediterania Timur. Akar permasalahan dari pemekaran besar peradaban di wilayah subur di Timur Dekat Kuno, berada di garis-garis pantai Asia Tenggara yang terbenam. “Indonesia telah melakukan aktivitas pelayaran, memancing, menanam jauh sebelum orang lain melakukannya,” ujar dia.

Oppenheimer mengungkapkan bahwa orang-orang Polinesia (penghuni Benua Amerika) tidak datang dari Cina, tapi dari pulau-pulau Asia Tenggara.
Sementara penanaman beras yang sangat pokok bagi masyarakat tidak berada di Cina atau India, tapi di Semenanjung Malaya pada 9.000 tahun lalu. Akibat iklim Bumi yang semakin panas saat zaman es secara dramatis pada 65-52 ribu tahun yang lalu, membuat air laut semakin naik di daerah khatulistiwa yaitu Indonesia. Keadaam itu memaksa nenek moyang manusia pindah dari daerah khatulistiwa ke daerah utara dan selatan Bumi. (Stephen Oppenheimer)
Buku Eden In The East juga mengungkapkan bahwa berbagai suku di Indonesia Timur adalah pemegang kunci siklus-siklus bagi agama-agama Barat yang tertua. Buku ini ‘membalikkan’ sejumlah fakta-fakta yang selama ini diketahui dan dipercaya masyarakat dunia tentang sejarah peradaban manusia.

Bukti-bukti ilmiah dan kesimpulan dari peneliti Prof. Arysio Santos ataupun Stephen Oppenheimer ini, mungkin sebagian akan menganggap sebagai bualan, peneliti yang bias, tapi terpulang kepada kita bahwa melihat struktur budaya dan peradaban yang begitu beragam di Nusantara kita ini, termasuk artefak sejarah, paling tidak memberi spirit buat kita sebagai generasi untuk bangga menjadi pewaris peradaban tua didunia, yang selain ada juga sekaligus diakui oleh peneliti-peneliti dari barat.

Sekilas tentang Nama Nusantara

Pada zaman purba, kepulauan Indonesia disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah yang kemudian menjadi Indonesia Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab luban jawi “kemenyan Jawa”, sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax Sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales).
Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, Archipel Malais).

Pada zaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama yaitu Nusantara, istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Dan sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan Indonesia.

Sekilas Tentang Indonesia

Orang yang pertama kali memperkenalkan nama Indonesia adalah orang Inggris bernama George Samuel Windsor Earl dalam tulisannya yang berjudul “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations” pada tahun 1850 di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), terbitan Singapura.

Dalam tulisan tersebut Earl mengusulkan dua alternatif nama untuk menggantikan sebutan Hindia (Indie/India), yaitu Malayunesia dan Indunesia. Earl sendiri lebih menyukai menggunakan sebutan Malayunesia mengingat bahasa pergaulan (lingua franca) di kepulauan ini adalah bahasa Melayu. Selanjutnya Richardson Logan mengambil nama Indonesia dari Earl dan untuk alasan kenyamanan pelafalan, ia mengganti huruf u menjadi o. Untuk pertama kalinya nama Indonesia muncul di dunia internasional melalui tulisan Logan di JIAEA (1850) yang berjudul “The Ethnology of the Indian Archipelago”. (bersambung....)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung

Masihkah kita Mala’bi’ Pau