MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) (bag.5/tamat)

Sambungan MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) bagian 4.


Dalam keterangan lontar tidak ditemukan tentang raja-raja Passokkorang lain selain I Takia Bassi yang kemudian melahirkan I Labassi Kalling. Ada dugaan jika raja ini (baca: I Takia Bassi) merupakan bangsawan dari Bone yang eksodus pasca pemberontakan La Dati Arung Katumpi dimasa pemerintahan Arumpone I Benri Gau Daeng Marowa Arung Matajang (1470 – 1489).

Ketiga: Munculnya Tau pitu di Hulu sungai Saqdang yang dalam lontaraq Baqba Binanga menerangkan tau pitu yaitu 1).Talombeng Susu pergi dan menetap di Luwu; 2). Talando Beluhe pergi dan menetap di Bone; 3). Talambeq Kuntuq pergi dan menetap di Lariang; 4). Pongka Padang pergi dan menetap di Tabulahan; 5). Paqdorang pergi dan menetap di Belawa; 6). Sawerigading pergi entah kemana; dan 7). Tanriabeng pergi entah kemana.
Tau pitu dalam keterangan beberapa lontaraq dijelaskan sebagai manusia pertama ini tidaklah kuat, karena salah satu yang bernama Pongka Padang itu
Juga diterangkan pergi dan menetap di Tabulahang. Kedatangan Pongka Padang di Tabulahang itu justru ditemukan diantara rimbunnya hutan bambu/Tallang (Buntu Bulo) oleh masyarakat Tabulahang (MT. Azis Syah) yang dalam tulisan Sarman Sahuding peristiwa ini terjadi pada tahun 1190 atau abad ke-12.

Sangat tidak masuk akal dikatakan sebagai manusia pertama sebab kedatangan Pongka Padang di Tabulahang itu sudah ada manusia. Dan menurut keterangan tokoh sejarah di Talippuki Mambi (2012) ini bahwa masyarakat Tabulahang inilah yang mengawinkan Pongka Padang (Puang Pattimboro) dengan Torijeqne salah satu keturunan Tokombong di Bura.

Tentang Pongka Padang ini masyarakat Tabulahan-Mamasa mengabadikannya dalam kitab Sengo-Sengo (salah satu karya sastra yang sering dijadikan kidung/nyanyian), bunyinya seperti ini: "Mangkutana kada adaq mettule bukunna litaq urunna titanan indo, tiosoq tappa langngang tau pitu, rokaq kulambudiraapaq tondo Gowan melluttiqna tanniabe luttuq dai ditassusung. Rabummi Sawerigading unteppoq kaju bilande nasombalan sau Jaba napopetangnga jolangan. Keqdeq neneq Pongka Padang unsariri pedalinna, unsele tambalona mentanete dao mai tanete landa banua tisarraq di Tabulahang. Tungka Seppon buntu bulo unpadidi tau pitu, dadi tosappulo mesa iyan laun taha manaq laun bisaq parandanan"

Puang Pattimboro atau Pongka Padang itu sendiri adalah sebuah gelaran, bukan nama orang. "Pong" artinya Dewa, Tuhan atau didewakan dan "Ka" adalah kata bantu yang menerangkan kepunyaan, sepadan dengan kata Puangnga/Puanna. Adapun "Padang" dalam bahasa Tabulahang dan pattaeq artinya alam, dunia atau lino. (Tuturan dari Drs. Syahrial Ka. SMK Negeri Tutar). Dan dalam beberapa sumber bahwa Pongka Padang ini juga menjadi gelaran turunan kegenerasinya, seperti Pongka Padang oleh orang Baqba Binanga disebut Tobanua Pong/Banua Posi yang menikah dengan Sanrabone (versi Saiful Sinrang) mengatakan sekitar tahun 1280 an yang mana To Banua Pong ini oleh kalangan Tomakaka Passokkorang Luyo disebut sebagai Tomanurung (MT. Azis Syah).

Keempat: Sebagaimana dikisahkan, bahwa pada awalnya sekelompok orang yang membentuk diri sebagai suatu masyarakat di pinggir pantai yang dikenal sebagai "To Alau" (orang di timur). Seiring waktu, masyarakat itu semakin berkembang dan penyebutan identitas mereka sebagai "To Alau" semakin di sederhanakan menjadi "To Luu", sehingga pengertiannya bergeser menjadi "orang di laut". Sesuatu yang sesungguhnya "tentu saja" tidak dipermasalahkan, mengingat perkampungan mereka terletak dipinggir laut. Seiring waktu, perkampungan itu kian besar, sehingga sekelompok keluarga memutuskan untuk berpindah kearah barat untuk memulai kehidupan bercocok tanam. Maka mereka merambah hutan pegunungan kearah barat hingga menemukan tempat yang cocok. Mereka membangun perkampungan itu sebagai hunian baru yang akhirnya dikenal oleh masyarakat "To Luu" sebagai "To Riaja" (Orang di Barat). Waktu berlalu dan zaman berganti, penyebutan "To Riaja" tersebut kini berubah menjadi "Toraja".

Dengan fakta-fakta tentang Toriaja atau Toraja ini, apakah tidak mungkin bahwa dari mereka ini melakukan ekspansi lalu muncul di Sungai Saqdang, yang dikenal dengan tau pitu (Manusia tujuh). Manusia Tujuh inilah yang beranak pinak, kawin mawin dan berkembang menjadi sebuah peradaban Talollo di Tabulahang, Galumpang dan juga di Baras. Ini akan menjadi sebuah kajian awal untuk kemudian menelusurinya kembali lalu kita lisan tuliskan.
Tomanurung

Istilah Tomanurung mempunyai dua konsep yang harus menjadi acuan, yaitu Tomanurung sebagai sebuah penghargaan yang diberikan kepada pendatang baru yang memiliki cara berfikir lebih maju. Tomanurung menjadi gelar kehormatan bagi seseorang yang mampu memberi petunujuk dan menuntun masyarakat pada saat itu. Dan Tomanurung sebagai manusia paling awal tiba disetiap wilayah, entah itu di gunung atau di pantai, istilah Tomanurung ini
punya ruang disetiap kelompok masyarakat.

Hal ini penting, sebab Tomanurung itu sendiri bukan hanya di Mandar tapi juga dibeberapa daerah di Sulawesi bahkan daerah lain diluar Sulawesi. Tomanurung di Mandar yang kita kenal adalah Tokombong Dibura, Tobisse Ditallang, Tonisesse di Tingalor dan Tomonete Ditarrauwe. Keempat Tomanurung ini juga tidak secara merata difahami dan diyakini oleh orang Mandar, sebab dibeberapa wilayah juga punya Leluhur yang diposisikan sebagai Tomanurung.

Intinya sehingga disebut Tomanurung karena tidak diketahui secara pasti kedatangannya. Tomanurung dalam Lontar Pattappingang Pamboang dan cerita rakyat Mandar diartikan sebagai orang yang turun dari kayangang (dari langit) dan ia tidak tergolong sebagai manusia biasa, ia dianggap sebagai dewa dengan membawa ajaran keselamatan dan kemaslahatan ummat manusia, makanya dianggap sebagai manusia luar biasa.
Sesungguhnya Tomanurung itu adalah orang asing entah orang Portugis, atau dari daratan Cina, dimuliakan oleh masyarakat pribumi, karena memiliki kelebihan, keahlian dan keistimewaan berupa wawasan serta cara pandang yang lebih baik yang tidak dimiliki oleh masyarakat pribumi. Selain memiliki pola pikir yang lebih matang, To Manurung juga berparas wajah lebih tampan/cantik dibanding dengan penduduk asli. Karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki itulah, maka penduduk asli mempercayakan kepemimpinan kepada Tomanurung untuk memimpin komunitas masyarakat itu. Ia memiliki kepemimpinan kharismatik, karena berhasil menetralisir keadaan masyarakat yang sedang kacau balau.

Tomakakaq

Tomakakaq adalah suatu kepemimpinan pada komunitas masyarakat yang menempati wilayah tertentu yang salah satu tugasnya adalah membagi lahan pertanian atau membagi tanah kepada anggota kelompok komunitasnya (PETAHA MANA’ PEBISA’ PARANDANGANG).
Konsepsi kepemimpinan Tomakaka merupakan salah satu jenis kepemimpinan asli kaum yang meletakkan dasar-dasar adaq litaq Mandar pada zaman pra Tomanurung.
Tomakakaq yang berarti to makkelitaq (memiliki litaq/negeri), to kaka (orang yang dituakan), to maka (layak) yang dalam pengertiannya adalah sesepuh masyarakat atau orang yang pantas dituakan atau pribumi, penduduk asli, dan inilah cikal bakal menjadi bangsawan Hadat menempati jabatan legislatif (Pappuangang/¬Paqbicara).

Dan kepemimpinan Tomakaka ini berlangsung hingga akhir abad XIV Masehi, yang walaupun dibeberapa wilayah masih ada kepemimpinan Tomakakaq, misalnya Tomakaka Ulumanda dan ini berlangsung hingga terintegrasi (bergabung) kedalam Negara kesatuan Indonesia Republik Indonesia.
Kepemimpinan Tomakakaq di Pitu Baqbabana Binanga mengangkat banyak pejabat pembantu untuk berbagai urusan kesejahteraan rakyat yang semakin meningkat tuntutannya. Para pejabat pembantu itu seperti Paqbicara, Tomabubeng, dan sebagainya untuk mengurus kepentingan rakyat. Dalam sejarah Tomakakaq di Mandar tercatat sebanyak 41 Tomakakaq.

Maraqdia

Lambat laun tokoh Tomakakaq yang semakin mengurangi simpatinya dimata rakyat, kehilangan wibawa dimata rakyat dan memperlebar jaraknya dengan rakyat, maka terjadilah reformasi kepemimpinan dan merubah sistim kepemimpinan menjadi Maraqdia. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh budaya luar khususnyya dari Islam Melayu, dari Arab, dari Gowa, Bone, Luwu, Kutai, Banawa (Kaeli), Jawa dan beberapa daerah lain dalam hubungannya dengan lintas perdagangan.

Penutup

Demikian tulisan ini saya sampaikan sebagai pengantar dan acuan diskusi kita pada proses penelusuran-penelusu¬ran sejarah peradaban manusia Mandar. Semoga dalam perjalanan selanjutnya, kita sudah bisa menyajikan sebuah periodesasi sejarah peradaban manusia Mandar. Mulai dari Zaman Prasejarah, Zaman Sejarah, Tomanurung, Era Pongka Padang (Puang Patimboro) dan Torijeqneq, Periode Tomakakaq, Maraqdia, Arajang, sampai kepada Periodesasi masuknya Islam di Mandar, Periodesasi Perjuangan mappatumballeq litaq, sampai kepada pembentukan provinsi Sulawesi Barat dan tentunya kita berharap setiap penulisan nama tokoh/raja sudah harus dicantumkan tahunnya. Sebab jika hanya menyebut nama, ada kekhawatiran sejarah kita makin semrawut karna dalam perjalanan panjang peradaban kita ini sering kita temukan nama tokoh/raja memiliki nama yang sama dengan leluhur.

Saya tentu berharap tulisan ini menjadi awal untuk melingkar dalam sebuah aula membincang sejarah, budaya dan peradaban kita. Dan dalam tulisan selanjutnya saya akan lebih fokus menelusur tentang alur perjalanan saqbe ke Mandar kaitanya dengan awal mula masuknya Islam di Mandar.
Tulian ini disari dari berbagai sumber, blog dan buku-buku terkait sejarah kebudayaan, peradaban dunia dan Mandar, seperti Atlantis The Lost Continent Finally Found (Prof. Arysio Santos), Nation in Trap, Menangkal Bunuh diri negara dan Dunia Tahun 2020 (Efendi Siradjuddin), Pembebasan Budaya-Budaya Kita (Editor Agus R. Sarjono). Majene menemukan hari lahirnya (Drs. Darmansyah), Zulfihadi (Zul Elang Biru), Sarman Sahuding, Muhammad Ridwan Alimuddin, wawancara dg tokoh (Nurdin Hamma, Tammalele dan tokoh-tokoh pitu ulunna Salu seperti di Rangoan dan Katimbang-Matangnga-2010, Malatiro,Tabulahang, Talippuk, Mehalaan dan Lenggo-2011,2012) dan sumber-sumber lain yang edisinya tidak terlacak.


Akhirnya saya tutup dengan kutipan "Tulisi di tappaqdanna" (tulislah sebelum semuanya hilang)
(tammat)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung

Masihkah kita Mala’bi’ Pau