LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKAN #3

      Melanjutkan tulisan hasil perjalanan ke Lambanan, berikut kami tuliskan keunikan lain dari desa ini. untuk mengetahui keunikan yang lain, anda dapat membaca tulisan kami sebelumnya LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKAN #1 dan LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKAN #2
      
      Artefak dan Ritual Peninggalan Tradisi.

Sebagai salah satu kampung tua, Lambanan mempunyai beberapa artefak bersejarah yang dimiliki oleh warga setempat. Beberapa yang sempat kami terangkan menurut penjelasan dari kepala desa Lambanan,  diantaranya adalah kitab tulisan tangan dari To Salamaq Annangguru Malolo. Kitab ini masih menggunakan bahan kertas dari India dan ditulis dengan tinta India pula. Tulisan dalam kitab ini menggunakan huruf arab serang berbahasa bugis serta aksara lontara. Meski secara tersamar, namun dari pennjelasan tersebut dapat kami ambil kesimpulan bahwa kitab tersebut berisi pelajaran-pelajaran tasawuf atau tarekat. Ajaran – ajaran inilah yang diturunkan oleh To Salamaq Annangguru Malolo kepada murid-muridnya.

Yang berikutnya adalah teks khutbah asli yang ditulis oleh To Salamaq Annangguru Malolo. Berbeda dari kitab yang dibahas di atas, media tulis teks khutbah ini menggunakan kertas yang masih berbahan bambu dan berbahasa arab. Sampai saat ini, teks khutbah ini masih sering dikeluarkan untuk dibacakan pada hari raya Iedul Adha termasuk hari raya tahun ini 1435 H. atau 2014 M.

Ada mitos yang lahir dari kitab ini yaitu siapa saja mengambil serpihan kertas dan menelannya maka dipercaya bahwa orang tersebut akan memperoleh kekebalan atau kulitnya tidak akan mempan terhadap senjata tajam.  Karena mitos yang diyakini sebagian masyarakat inilah sehingga perangkat mesjid begitu waspada dan berhati-hati saat mngeluarkan teks khutbah ini untuk dibacakan.

Di Lambanan terdapat pula peninggalan dari Pappuangang Luyo yaitu sebilah keris berluk 7 dan luk 13 yang disimpan oleh salah satu warga. Sayang karena keterbatasan waktu, artefak yang kami sebut di atas tidak dapat kami lihat secara langsung saat kunjungan tersebut.

Selain peninggalan berupa artefak sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, di Lambanan juga masih terdapat tradisi ritual agama yang unik dan tidak terdapat di daerah lain. Salah satunya adalah ritual baca do’a Neneta Adam yang dilaksanakan setiap malam 10 Muharram. Tidak dijelaskan oleh narasumber sejak kapan ritual ini mulai diadakan, namun beliau menjelaskan bahwa prosesi ini menyimpan suasana mistis hingga pernah mengejutkan istri salah satu mantan bupati Polman yang menyempatkan untuk menyaksikan prosesi ritual baca do’a Nene ta Adam ini.

Ritual ini dijalankan oleh tujuh orang pemuka agama Lambanan sebagai pemeran kunci acara, menggunakan tujuh macam kue tradisional yang dialasi dengan daun pisang pilihan. Daun pisang yang terpilih haruslah merupakan daun pisang yang pelepahnya terpanjang di Lambanan dan utuh alias tidak boleh cacat atau sobek. Ada berbagai makna penyimbolan dari segala property yang digunakan. Mulai dari penggunaan jumlah tujuh yang dimaknai sebagai lingkup ruang kosmos, yang terdiri dari tujuh lapis langit dan tujuh lapis tanah, pada saat melaksanakan thawaf di Ka'bah sebanyak tujuh putaran, bagain tubuh yang menandai sujud sebanyak tujuh serta banyak lagi yang tidak dapat kami sebutkan. Pemilihan waktu malam tanggal 10 Muharram pun dipilih karena diyakini bahwa pada tanggal 10 Muharram terjadi banyak peristiwa-peristiwa luar biasa yang dikenal oleh ummat Islam.
Ritual baca do'a "Nene ta Adam".
(Foto: disbudparpolman.weebly.com)


Ritual yang kedua adalah sambayang annang (shalat enam). Ritual ini biasanya dilakukan pada malam hari setelah lebaran dan menggunakan enam orang sebagai pemeran kunci yang jika tidak hadir salah satunya maka acara tidak dapat dilaksanakan. Sebagaimana ritual baca do’a nene ta Adam, sambayang annang pun memiliki kandungan makna penyimbolan yang amat dalam. Namun karena ini berkaitan dengan keyakinan dan kebatinan, maka kami tidak dapat menyebutkannya di sini.

Lalu mengapa menggunakan nama baca do'a “Nene ta Adam” yang jika diterjemahkan kebahasa Indonesia berarti Nenek kita Adam, sementara dalam bahasa Mandar sendiri, nenek disebut dengan kanneq?. Saya hanya bisa menarik menyimpulkan, bahwa dari sekian ikon simbolik yang digunakan oleh masyarakat Selebes (Sulawesi) baik yang sempat kami sebutkan di sini atau tidak. Terdapat benang merah bahwa sesungguhnya masyarakat Selebes berasal dari satu rumpun yang satu dan kemudian terpecah menjadi suku-suku seperti yang kita temui sekarang. 
Bahwa Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja sesungguhnya adalah berasal dari kesatuan “bambu” yang pecah.


Bersambung............

Komentar

  1. hai blogger . saya punya tugas karya ilmiah kebudayaan di polman . saya tertarik dengan ritual agama baca nenek adam ,bisa tidak saya wawancara blogger lewat email ? apa anda tau banyak soal itu ? atau apa ada kebudayaan di sana yg bisa anda jelaskan ke saya ?
    terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf, pengetahuan saya tentang itu hanya sekilas. namun sy bisa mempertemukan anda dengan tokoh masyarakat yang bisa menjelaskan hal itu. maaf jika balasan komentar anda lambat mendapat tanggapan, silahkan hubungi saya via Facebook dengan akun Zul Elang Biru untuk memudahkan komunikasi. terimakasih.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung

Masihkah kita Mala’bi’ Pau