LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKAN #2

    Melanjutkan tulisan tentang sejarah desa Lambanan, kali ini kami sajikan sekelumit cerita tentang Mesjid Lambanan yang merupakan mesjid pertama di Mandar.

      Mesjid Lambanan.

Setelah beberapa lama mengajarkan agama Islam, dan masyarakat pun semakin antusias menerima pengajaran dari To Salamaq Annangguru Malolo. Dibuatlah kemudian sebuah mesjid yang sekiranya akan dijadikan sebagai basis dakwah agama Islam. Mesjid yang dibangun oleh To Salamaq Annangguru Malolo bersama masyarakat inilah yang kemudian diyakini oleh para arkeolog sebagai mesjid pertama di tanah Mandar.

Pada masa lalu ketika masyarakat kerajaan Balanipa sudah memeluk Islam secara keseluruhan, maka dipandang perlu untuk membangun sebuah mesjid kerajaan. Dari kesepakatan dewan adat dan masyarakat Balanipa, maka dibangunlah sebuah mesjid di daerah Tangnga-tangnga yang pada waktu itu menjadi ibukota kerajaan. Untuk keperluan itu maka tiang sokoguru (posiq arriang dalam bahasa Mandar) mesjid lama dibawa ke Tangnga-tangnga. Sehingga jika ada yang merasa simpang siur dengan berita mesjid pertama di Mandar, maka jawabannya adalah mesjid pertama di Mandar adalah yang ada di Lambanan sedangkan yang ada di Tangnga-Tangnga juga adalah mesjid pertama namun sebagai mesjid pertama kerajaan Balanipa. Jadi harus dibedakan mana mesjid pertama dan mana mesjid kerajaan.

Posisi Lambanan sendiri dalam struktur kerajaan Balanipa bertindak sebagai Kadhi (penasehat/hakim agama Islam). Artinya setiap persoalan yang terjadi di dalam kerajaan Balanipa yang menyangkut ihwal agama selalu menggunakan pemimpin masyarakat Lambanan sebagai penasehat. Pemerintah dan masyarakat kerajaan Balanipa waktu itu  sangat menghormati pemimpin agama Islam bahkan hampir mensejajarkannya dengan jabatan raja sekalipun. Oleh karenanya, tidak dibenarkan jika orang Lambanan diperbudak oleh bangsawan kerajaan. Demikian pula jika diadakan pertemuan kerajaan, maka posisi pemimpin wilayah Lambanan selalu berdampingan dengan posisi Maradia (baca:raja). Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa sesungguhnya kedudukan manusia dimata tuhan adalah sama.

Keberadaan mesjid lama (baca: tua) ini masih dapat dilihat hingga sekarang, namun sudah tidak terpakai sebab telah pula dibangun mesjid yang baru. Pada awalnya masyarakat tidak lagi menggunakan mesjid lama dikarenakan kerusakan yang terjadi akibat gempa bumi sekitar tahun 60an yang membuat struktur bangunan dianggap berbahaya, apalagi mesjid ini berdiri di bantaran sungai yang selalu tergerus. Meskipun telah dilakukan renovasi pertama pada masa S. Mengga menjabat sebagai Bupati Polewali Mamasa, nama Polewali Mandar sebelum pemekaran.

Setelah pendirian mesjid baru ini, sempat terjadi kesalah fahaman di antara masyarakat Lambanan yang menyebabkan sekitar 70 kepala keluarga atau 2/3 masyarakatnya waktu itu memilih  untuk pergi dan berdomisili di wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Galung Tulu atau Kappung Tulu dan sebagian lagi berpindah ke desa Galung Lenggoq. Perseteruan ini berlanjut kemudian dengan rebutan bedug asli mesjid tua antara mereka yang masih menetap di Lambanan dan mereka yang telah pndah ke Galung Tulu. Dan lagi-lagi, apa yang dinubuatkan terjadi. Meski kedua belah fihak memanas namun tidak terjadi pertumpahan darah. Namun saat ini, perseteruan dimasa lalu itu sudah tidak terjadi lagi. Hubungan antara mereka yang menetap di Lambanan dan mereka yang menetap di Galung Tulu sudah terjalin kembali dengan harmonis.  

Menurut informasi yang kami dapatkan dari kepala desa Lambanan, bahwa saat ini sedang diusahakan untuk melakukan renovasi bangunan mesjid dengan tetap mempertahankan arsitektur lamanya.


Bersambung............

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung

Masihkah kita Mala’bi’ Pau