SANG PUTRI “YANG MENCAPLOK” SUL-BAR



Keputusan dewan juri yang terdiri dari Ketua Dewan Juri Miss Indonesia 2014, Liliana Tanoesoedibjo, Wulan Tilaar, Ferry Salim, desainer Priyo Oktaviano, dan Miss Indonesia 2012 Ines Putri Tjiptadi memutuskan Maria Esteria Sastrayu Rahajeng sebagai ratu versi Miss Indonesia 2014 sontak membuat beberapa warga Sul-Bar, paling tidak mereka yang menjadi pemerhati budaya Mandar meradang. Meski tidak sedikit juga yang ikut merasa bangga karena ada nama Sulawesi Barat yang tersemat sebab sang putri (katanya) merupakan duta dari Sulawesi Barat. Hal inipun menjadi trending topik dibeberapa media sosial, baik akun perseorangan maupun akun grup khususnya grup Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar yang memang merupakan grup sosial media yang menekunibagian kebudayaan, Mandar khususnya.


Mengangkat atau menjatuhkan?
Sebagian masyarakat merasa bangga dengan sejarah baru dimana untuk pertama kalinya utusan Sulbar menjadi pemenang dalam ajang Miss Indonesia, dan menaruh harapan besar sekiranya sang Putri nantinya dapat menjadi promotor kebudayaan dan mengharumkan nama sulbar. Hingga menjadikan sulawesi barat ikut memiliki nama di pentas dunia dalam hal kebudayaan dan pariwisata.
Lalu pasal apa yang membuat orang-orang Sul-Bar bereaksi?. Dari pengamatan pribadi terhadap diskusi yang menghangat, ada dua hal yang menjadi sorotan masyarakat.
Yang pertama adalah profil kependudukan dari sang putri yang didapat dari seorang teman jurnalis dan sempat pula dimasukkan sebagai data pribadi di sosial media instagram sama sekali tidak menunjukkan bahwa sang putri berasal atau pernah berdomisili di sul-bar. Ini memicu pertanyaan dan kegamangan sebagian masyarakat tentang pemahaman sang putri tentang budaya ke-mandar-an yang notabene merupakan suku asli dan terbesar yang menghuni provinsi Sulawesi Barat.
Yang kedua dan paling parah adalah tampilnya sang putri dengan berbagai pose poto berbikini ria di sebuah pantai, bahkan di blog dan akun instagram miliknya sang putri dengan “pede” memamerkan foto (maaf) BH dan celana dalamnya ( http://www.mariaandelizabeth.blogspot.com/ ).
Rupanya pasal kedua inilah yang lebih menyulut hati dan perasaan sebagian masyarakat pemerhati budaya. Sebab hal demikian tentu sangat jauh dari jargon budaya malaqbiq yang telah diusung oleh leluhur orang mandar sejak ratusan tahun yang lalu. Berbikini adalah produk budaya barat yang kemudian masuk menginvasi budaya ke-timur-an sejalan dengan arus globalisasi dan westernisasi yang mengalir bersama keterbukaan informasi dan transportasi. Inilah yang menjadi perhatian sebagian warga jika sekiranya sang putri yang menyandang nama utusan “Sulawesi barat” akan menciptakan image bagi warga dunia bahwa ternyata orang mandar “merestui” budaya bikini. Apalagi dengan rencana bahwa sang putrilah nanti yng akan mewakili Indonesia dalam ajang Miss Universe berikutnya di London, Inggris.


Lalu?

Dalam menyikapi persoalan selalu ada sikap reaktif dan responsif, terkadang kita terjebak dengan kata yang artinya hampir serupa ini.
Salah seorang prkatisi Ayur Hypnoteraphy yang sering dipanggil dengan nama pak Hento mengatakan, reaktif adalah sikap langsung menanggapi terjadinya suatu keadaan tanpa memikirkan akibat atau solusi lanjutan setelah solusi pertama dijalankan, sedangkan responsif sebaliknya. Beliau menyebut bahwa responsif adalah reaksi yang bertanggung jawab.
Menyikapi hal Miss Sulbar yang kontroversi inipun demikian. Beberapa teman bertindak reaktif dan ingin berunjuk rasa, dan ada pula yang lebih bertindak moderat dengan menggunakan media tulisan di media massa atau artikel lain. Tentu semuanya sah-sah saja, asal jangan saling menyerang sesama pemerhati sendiri sebab tentu hal itu tidak akan menyelesaikan masalah bahkan justru semakin memperkeruh keadaan. Terlepas dari pilihan mana yang dipilih, saya hanya ingin memberi saran agar kiranya yang memilih jalur tindakan “nyata” bisa bertemu dengan fihak terkait untuk mempertanyakan hal ini dan menggugat sang putri dengan gelarnya jika memang menginginkannya. Agar kedepannya, para calon wakil Sulbar bisa mendalami terlebih dahulu budaya yang hendak diwakilinya.
Demikian pula dengan para pihak pemberi ijin agar bisa lebih selektif memilih duta budaya.
Dukungan saya juga tetap untuk teman yang memilih jalur penulisan untuk mewakilkan suaranya, tetaplah meyakini bahwa pena adalah senjata yang tidak kalah tajam dari jambiya.....


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung

Masihkah kita Mala’bi’ Pau