PERTEMPURAN PERTAMAKU

Malam ini hujan turun dengan deras membasahi tubuhku, dinginnya sampai mencucuk tulang.
Terasa jika gerahamku gemetar dan kubayangkan bibirku pasti sudah biru sejak tadikarena dingin.
Tapi aku harus kuat, seorang prajurit harus patuh pada perintah panglima dan seorang prajurit yang lalai adalah pangkal dari kehancuran sebuah pasukan. Setidaknya begitulah pesan andong guru pamusuq saat berpidato dalam acara pembukaan latihan prajurit, saat pertama kali aku mengajukan diri menjadi seorang prajurit di bawah pimpinan puang ta I Daeng Riosoq. Dan karena pesan itulah sehingga aku harus menahan dingin dalam menjalankan tugasku malam ini sebagai penjaga perbatasan.


Suasana kampung terasa sunyi, padahal malam belum begitu larut.
Tentu saja suasana seperti ini, orang-orang lebih suka berdiam di rumah. Atau bisa jadi karena mereka takut akan ada perang lagi.
Ya, kampung ini memang sedang tidak aman sejak pasukan Arung Palakka memulai perang dengan Balanipa ini dan berhasil masuk melewati perbatasan kerajaan. Terkadang pasukan Bone muncul tiba-tiba dan melakukan penyerangan.
Maraddiya dan para tetua kerajaan sudah kehabisan akal melawan pasukan Bone bersenjata lengkap hasil bantuan VOC dari Batavia. Hingga maraddiya membuat sayembara yang langsung disambut oleh Daeng Riosoq, pimpinanku saat ini.


Tiba-tiba dari rimbunan semak tidak jauh dari tempatku berjaga, terdengar suara gemerisik seolah diterabas oleh seseorang yang bermaksud melewatinya.
Tidak lama kemudian tampaklah sekilas kibaran bendera perang, tidak salah lagi itu pasti pasukan Bone. Darahku berdesir seolah terpompa dengan cepat dan jantungku pun berdetak hebat.
Mengingat aku yang hanya sendiri, sementara Baqdu teman patroliku belum kembali sejak ia meminta ijin untuk buang air. Maka aku memutuskan untuk menyerang mereka lebih dulu. Aku akan melakukan puputan seorang diri.
Perlahan ku raba gagang keris yang senantiasa terselip di pinggangku. Tanpa suara, perlahan keris itu aku cabut dengan tangan kiri.
Sementara tangan kananku erat menggenggam tombak.
Perlahan bibirku komat kamit membaca mantera kebal yang pernah diajari oleh kakekku, karena sudah hampir pasti bahwa mereka akan melewatiku.
Dan sebagai prajurit, sudah tugasku untuk melindungi pemimpinku.
Secepat kilat aku melompati orang pertama yang muncul dari kerimbunan semak belukar, tapi aneh aku hanya menikam angin dan dahiku benjol meninggalkan rasa sakit.



Sial, rupanya aku bermimpi dan saat melompat tadi aku terjaduh dari ranjang hingga dahiku sempat terbentur di sudut lemari.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung

Masihkah kita Mala’bi’ Pau