MENYIKAPI BUDAYA SECARA BIJAK Part II

Foto Maja Anis



Budaya dan kebudayaan adalah sesuatu yang tidak pernah bisa dilepaskan dari kehidupan manusia sebagai mahluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan manusia lain, sekaligus sebagai mahluk religius yang membutuhkan ‘’obat’’ penenang jiwa setelah bergelut dengan aktifitas alam yang berada diluar jangkauan nalarnya (sesuatu yang gaib).
Budaya Menurut E.B. Taylor adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
Dalam perjalanannya manusia telah memiliki begitu banyak kebudayaan sesuai dengan cara hidup dan kondisi lingkungan masing-masing komunitas baik secara beradab maupun tidak. Pada suku Aztec, Inca di Peru atau Maya kuno di daerah semenanjung Yucatan, Amerika Tengah pada jaman dahulu dikenal sebuah upacara keagamaan untuk menyembah Dewa matahari dimana dalam upacara itu dilakukan dengan mengorbankan seorang. Di pulau Kalimantan juga dikenal kegiatan mengayau, yaitu pemenggalan kepala manusia (biasanya musuh dalam perang) sebagai bahan utama untuk ritual upacara betiwah.
Lalu di pulau Celebes bagian barat, tepatnya didaerah yang dulu dikenal sebagai kerajaan Balanipa pada jaman pra maraqdiya dikenal sebuah adanya penegakan hukum diantara dua orang yang bertikai, di mana kedua lelaki yang berperkara akan dibiarkan berduel dengan menggunakan senjata tajam di dalam arena hingga salah satu dari keduanya tewas. Kebudayaan Mandar masa lalu ini hingga sekarang masih meninggalkan sisa dengan adanya tempat sebagai arena duel yang bernama bala tau (kandang/ring manusia).


Seiring datangnya sinar agama dan kesadaran untuk saling memanusiakan ditambah dengan munculnya undang-undang dan hukum kenegaraan, akhirnya budaya yang mengandung unsur kekerasan itu kemudian dihilangkan. Sementara kebudayaan yang bisa diterima oleh agama dan hukum kenegaraan tetap dipertahankan.
Kebudayaan sebagai sebuah kebiasaan masyarakatpun kemudian berkembang dan mengalami pergeseran dengan tampilnya berbagai ide humanitas, seperti misalnya persamaan gender dan hak asasi manusia.


Wajah budaya sekarang.

Setiap pelaku budaya merasa memiliki hak untuk menjalankan budaya dan tradisi sesuai dengan keinginannya, sekali lagi dengan berlindung di balik tameng HAM. Sehingga apa yang nampak sekarang bukan lagi budaya yang bernas (berisi) keagungan. Bukan sebuah persoalan jika sekiranya dengan alasan jenuh dan monoton lalu seseorang mau dan sanggup memodifikasi sebuah bentuk kebudayaan menjadi budaya baru yang sedikit berbeda, namun hendaknya pula pemikiran itu dilandasi dengan pesan apa yang hendak disampaikan kepada masyarakat yang menjadi pengusung budaya tersebut.
Namun terlepas dari hiruk pikuk pro dan kontra kebudayaan. Kekaguman kita terhadap produk kebudayaan leluhur semestinya bukan hanya sekedar kagum pada bentuk tampilannya, namun seyogyanya kita berusaha menggali hakikat pemaknaan dari hadirnya kebudayaan tersebut.
Saat sebuah tarian tradisional mandar misalnya yang biasanya ditarikan oleh seorang wanita ingin menyampaikan sebuah pesan bagi penonton, bagaimana seorang wanita mandar yang cantik dan gemulai namun tetap bisa melakukan pekerjaan berat sebagai wanita desa. Lalu kemudian tarian ini ditarikan oleh seorang lelaki yang dimakeup selayaknya wanita, bukankah kemudian pesan moralnya tidak sampai kepada penonton.
Okelah jika beberapa orang menerima hal ini dengan alasan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengekspresikan diri ( sekali lagi bersembunyi di ketiak HAM), namun kembali lagi apakah pesan moral yang bisa didapat dari tarian yang seharusnya ditarikan oleh seorang wanita kemudian diambil alih oleh seorang lelaki.

Demikiain pula seumpamanya dengan bala suji, yang seharusnya bilah bambunya disulam timbal balik antara kulit bambu (sembilu) dan bagian dagingnya (ampu) yang melambangkan simbol keselarasan hubungan antar manusia lalu kemudian disulam hanya bagian sembilunya saja yang diposisikan di sebelah luar dengan alasan lebih cantik.
Bukankah kemudian kasusnya sama dengan tarian tadi, sama-sama kehilangan makna keagungannya hingga fungsinya pun hanya “sekedar” wadah yang bisa diganti dengan benda lain. Dan masih banyak lagi simbol-simbol kebudayaan yang perlahan mulai ditinggalkan.
Setiap seniman dan budayawan memiliki hak asasi yang sama untuk menciptakan budaya dan tradisi baru, namun hendaknya dalam penciptaan tersebut sudah pula difikirkan akibat dari kebudayaan yang akan diciptakan atau dimodifikasi tersebut dalam pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, setidaknya ada hal positif dalam substansinya dengan budaya tersebut. Setiap manusia memiliki hak masing-masing, namun hak tersebut harus pula bisa menghormati hak orang lain.
Mari berkarya untuk kebudayaan kita, mari kita gali maknanya hingga kitapun dapat memetik hikmah dari apa yang telah diwariskan oleh leluhur kita. Kita sudah kenyang dengan jargon mengembalikan kearifan lokal budaya tradisional namun terkadang kita terlupa, di mana letak kearifan itu tersimpan. Hingga akhirnya kesenian dan kebudayaan kita memang terangkat namun tanpa kualitas hakikat lagi dan ia hanya menjadi sekedar aktifitas festival dan pagelaran namun gagal dalam fungsinya sebagai pengajaran.
Simbol budaya bukan lahir hanya karena kebetulan namun sekali lagi, ada “ussul” (makna : mandar) yang berusaha diselipkan oleh leluhur kita sebagai pesan agar kita tidak lupa akan kodrat kita sebagai manusia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung

Masihkah kita Mala’bi’ Pau