MENAPAK JEJAK SEKEPING SYURGA DI TEPIAN JURANG.

Pukul 09.00, saat kaki-kaki si Beaty (si Beaty adalah kendaraan penulis, berupa sepeda motor Honda Beat) mulai berputar membawa tubuhku dan pangeran kecilku kerumah teman yang menjadi titik berkumpul untuk trip kali ini di kecamatan Tapango. Yah, sesuai kesepakatan sebelumnya bahwa pukul 09.30 kami para member Kompa dansa mandar wilayah Polman akan melihat keindahan Limbong kamandang yang konon sangat indah dan asri.

Setiba di titik pertemuan dan telah istirahat serta disuguhi teh hangat oleh teman yang menjadi tuan rumah, pukul 10.10 perjalanan ke Limbong kamandang pun dimulai dengan mengendarai 5 kendaraan roda dua. Dari keterangan guide kami, bahwa jarak dari pusat kota kecamatan Tapango ke lokasi berjarak sekitar kurang lebih 4 Km. Setelah melewati pemungkiman penduduk, hamparan sawah yang tidak begitu luas dengan sedikit teknik terasering mengganti mengawal perjalanan kami saat memasuki desa Riso kecamatan Tapango.
Menjelang desa Kalimbua, pendakian sudah mulai terasa lebih curam. Kondisi jalan berbatu dan cor beton bergantian menjadi alas roda-roda kendaraan kami, ditambah sudut kemiringan yang kian terjal dengan perkiraan saya bahwa kecuraman tapak jalan ada yang mencapai sudut 40⁰ - 45⁰ dengan tikungan tajam dibeberapa titik sedikit menyentil adrenalin berkendara.

Ada yang unik di desa Kalimbua ini, dimana beberapa rumah memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan mengalirkannya dari mata air di pegunungan melalui selang-selang palstik hingga masuk ke dalam rumah mereka. Selang – selang plastik ini melintang di atas jalan hingga sepintas lalu mirip dengan jaringan kabel listrik PLN.
Memasuki desa Kurra, jalan masih mendaki dengan kondisi jalan beton dan jalan tanah yang cukup licin dilalui saat kondisi basah. Salah seorang peserta trip terpaksa memarkir kendaraannya karena tidak sanggup lagi menjadi joki dan terpaksa pindah keboncengan kawan lain. Diharapkan pula kepada pengendara yang melalui track ini agar tidak tertipu dengan kondisi jalan beton yang halus mulus, sebab jalan seperti inipun sebenarnya mengandung bahaya yang juga tidak sedikit. Hal ini karena jalan ini masih relatif kurang sibuk ditambah dengan kondisi dingin berkepanjangan sehingga memungkinkan tumbuhnya lumut yang menyebabkan jalan menjadi licin. Bahkan penulis sempat “mencicipi” pengalaman pahit jatuh karena ban kendaraan yang slip oleh licinnya lumut saat pulang. Dengan kondisi jalan seperti ini diharapkan para pengunjung ekstra hati-hati, dan mempersiapkan kondisi kendaraan semaksimal mungkin demi lancarnya perjalanan anda.

Setiba di desa Kurra, kami sepakat untuk mengunjungi salah satu keluarga warga desa Kurra yang sering membuat kerajinan anyaman keranjang atau dalam bahasa lokal disebut baka.
Baka ini digunakan oleh warga sebagai wadah untuk membawa hasil bumi dari kebun atau hutan untuk dibawa pulang ke rumah. Baka dibuat dari bahan rautan rotan yang diambil sendiri dari kedalaman hutan oleh para warga lalu diraut dan dianyam sehingga cukup kuat untuk membawa barang dengan berat 5 kg – 10 kg.
Untuk membuat satu buah baka dibutuhkan waktu minimal satu hari dengan harga jual 80 – 100 ribu rupiah perbuah. Sebuah usaha yang cukup menjanjikan saya kira jika saja baka ini mendapat tempat yang layak di pasaran. Namun sayangnya, peminat baka ini masih terbatas pada penduduk atau warga pegunungan. Ada yang unik pada cara membawa baka ini, jika keranjang lain biasanya dibawa dengan dijinjing atau dibawa dengan bahu. Namun baka ini dibawa dengan menggantungkannya dibelakang punggung dan talinya disangkutkan di dahi. Jadi untuk membawa baka, mengandalkan kekuatan leher.
Setelah berbincang dan melihat cara membuat serta hasil baka yang sudah jadi, maka kamipun kembali untuk menuju ke lokasi utama yaitu Limbong Kamandang.

Menapaki jembatan yang melintang di atas sungai antara limbong Biliq dan Limbong Kamandang serasa membuat jiwa kami melayang oleh keindahan dan kekaguman yang begitu besar akan sebuah maha karya dari sang pencipta alam. Jembatan ini masih baru, sementara jembatan gantung tua dan tidak terpakai yang ada disebelahnya tidak terawat namun masih menyisakan papan lantai yang mulai lapuk. Penulis sempat mengintip keangkeran Limbong Biliq dari jembatan tua yang tepat berada diatasnya.
Di kanan kami ada air limbong Kamandang yang terjun bebas dari ketinggian antara 15 – 20 meter, sementara di kiri kami Limbong Biliq yang memiliki ketinggian yang lebih rendah sekitar 5 – 10 meter namun menawarkan nuansa yang agak angker dengan kolam tempat jatuhnya air yang sepertinya sangat dalam, ini terlihat dari warna permukaan air yang gelap. Yah, sebuah perpaduan unik dimana keindahan di kanan berpadu dengan kesan angker di kiri. Namun secara umum, suasana tempat ini begitu indah dan mempesona. Tak mau larut dengan suasana angker, kami segera menuju ke Limbong kamandang yang masih berjarak sekitar 40 – 50 meter, dengan berjalan kaki melewati jalan setapak yang curam dan agak licin. Maklum, karena air terjun ini berada di kawasan hutan hujan yang asri dan masih dikelilingi oleh pepohonan yang menjulang tinggi. Kondisi itu pula yang membuat jejak pertama kami di air sungai ini disambut oleh hawa dingin yang menyegarkan. Di sungai yang bertaburan bebatuan dari berbagai ukuran mulai dari yang ukuran kerikil hingga berukuran raksasa, kami lalu bersiap dan menceburkan diri dikesegaran air Limbong Kamandang. Yah, perjuangan dalam menempuh track terobati oleh keindahan dan kesegaran air Limbong kamandang.

Meninggalkan obyek wisata ini membersitkan do’a dalam hati. Semoga kiranya pemerintah atau instansi terkait mau melirik tempat ini. Setidaknya dengan membenahi akses jalan agar lebih baik hingga mudah bagi masyarakat untuk mencapainya.
Namun terlepas dari kondisi jalan yang lumayan berat, keindahan pesona Limbong Kamandang sungguh luar biasa. Inilah keindahan Indonesia yang terlupa, inilah keindahan Sulawesi barat yang terabaikan. Aku bersyukur sempat berkenalan dengan mu Limbong Kamandang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung

Masihkah kita Mala’bi’ Pau