Lukisan keberanian manusia sulawesi dalam sastera

Manusia Sulawesi dikenal sebagai manusia berwatak keras, pemberani dan menjunjung tinggi nilai kesetiaan bahkan mungkin cenderung pendendam(?). Ini bukanlah hal yang baru, ketika jaman ini persaingan makin keras dan cenderung membuat seseorng menjadi cepat emosi. Kekerasan watak, keberanian dan kesetiaan orang Sulselbar terkenal sejak jamn dahulu dan menjadi buah bibir di belahan dunia lain. Beberapa kejadian heroik telah dicatatkan oleh sejarah, mulai dari kisah Daeng Mangalle dengan kurang lebih 200 orang pengikutnya yang melakukan perlawanan terhadap raja Siam (Thailand) yang bernama Phra Narai di tahun 1658-1659 yang dibantu oleh pasukan perancis. Dimana Daeng Mangalle dan pasukannya berhasil menewaskan hampir 2000 orang Siam dan Perancis. (Kisah ini sendiri diambil dari catatan Claude de Forbin seorang ksatria Prancis oleh Raja Louis XIV). Kemudian kisah To Salamaka Syekh Yusuf Al Makassary Al Bantany, yang membuat VOC mengalami frustasi berat. Dan hanya bisa ditangkap setelah anak perempuannya disandera oleh pasukan VOC, di Jawa barat. Dan berlanjut dengan kisah Ammana Pattolawali yang perlawanannya baru bisa dihentikan oleh Belanda setelah beliau terbunuh dengan jalan anggota tubuhnya ditarik dengan kuda kearah berlawanan hingga tercerai berai. Apakah ini kebetulan? Maka dari sudut pandang saya, saya mengambil kesimpulan bahwa semua ini bukanlah sebuah kebetulan. Orang-orang sulselbar terlatih dan terdidik oleh alam yang keras, mulai dari kerasnya perjuangan menaklukkan pegunungan dan hutan rimba hingga keganasan gelombang laut untuk mereka yang hidup di pesisir. Selain kisah sejarah, maka sebagai sebuah bangsa yang berbudaya, keberanian orang sulselbar juga tergambar dari peninggalan yang berupa sastera. Salah satu sastera yang menggambarkan keberanian dan kesetiaan orang sulselbar adalah adanya puisi perang yang menyatakan ikrar kesetiaan pada sahabat, junjungan, tanah air dan bangsanya. Ada beberpa istilah untuk puisi perang ini di sulselbar, ada yang menyebutnya mesong/osong (bugis), pangngaruq (makassar) atau pattaroalaq (mandar), dan berikut beberapa contohnya:

1.Angngaruq (Makassar)

Karaeng ku.......!
Kipamomporammaq, jai dudu karaeng....!
Ri dallekang laqbiriqna,
ri empoang matingginna,
ri sakkiri karatuanna.
Satulituli kanangku karaeng.
Pangngainna laherekku, pappatojeng na batengku,
bera niaq kunipattebbak, pangkuluq kunisoean.....
ikatte anging karaeng....na ikambe lekok ayu......
ikatte jenneq karaeng, i kambe batang mammanyuk.
Ikatte jarung karaeng.....na ikambe bannang panjaiq....

Artinya:
Junjunganku, maafkan hamba sebanyak-banyaknya...
Dari kesalahan dihadapan kedudukan tahta yang mulia
Jika pernah saya berniat tidak menghiraukan titah baginda...
Kelahiranku ditakdirkan untuk mengabdi pada tuanku....
Maka jika aku ada berkhianat
Saya siap dirubuhkan dengan pedang yang terselip di pinggang tuanku...
Baginda angin, saya cabang pohon yang ditiup angin....
Baginda air, hamba batang pohon yang menopang alirannya...
Baginda jarum, hamba benang jahitnya..

2.Mesong/osong ( Bugis )

Itaka' mai Lapuang, Djinniralana Tana Wajo !
Iya'na pakka temmalara'na Gilireng
Tomassola-solaEngngi sunge'na
Ri Lanti'E ri Tengnga Padang
Tania bElo-bElo janggo'E na bulu sadang
Tania bElo-bElo bElua' sampo gEnoE
Engkapa musuu ri tengnga padang na riyabbEso-bEsoang
Aroo malebba', pajjagguru' malibu
Olii tEa sopE', darah tEa mitti', ure' tEa pettu',,
polopi cappa' kawalikku
Mallajangpi sunge'ku ri pammasareng
Naripasoro ujuuku ri tengnga padang

Artinya:

Itaka’ mai la puang, jinniralana tana Wajo
(lihatlah aku wahai tuan ku, jenderalnya Tanah Wajo)
Iya’ na pakka temmalara’na GilirEng
(sayalah perisai tak lapuk dari GilirEng)
To massolla sollangi sunge’na
(yang menyabung nyawanya)
Ri lanti’e ri tengnga padang
(dilantik di tengah padang)
Tania belo belo, janggo’e na bulu sadang
(bukan sekedar hiasan janggut dan bulu dagu)
Tania belo belo welua’ sampo genoE
(bukan sekedar hiasan rambut sebahu)
Engkapa musu ri tengnga padang na ri ya’beso besoang
(nantilah setelah bertemu musuh kemudian diseret)
Aroo malebba’, pajjagguru malibu
(dada lebar, tinju membulat)
Olii tea sope’, dara tea mitti’, ure’ tea pettu
(kulit tak mau robek, darah tak mau menetes, urat tak mau putus)
Polopi cappa’ kawalikku
(nantilah patah ujung badikku)
Mallajanpi sunge’ku ri pammasareng
(nyawaku melayang keakhirat)
Nari pasoro ujuuku ri tengnga padang
(barulah dipulangkan mayatku dari medan juang)

3.Syair Pattaroalaq ( Mandar ):


Indi tia Passopo doena tomalaqbi
passanger kowiq lakkana tomakanang
Pattuei tirarunna todzi posiriq
muaq mupasoppoi annaq mupabullei tomaq
Harangi ulengasang muaq tania tonamatinnande
Iya malaqbi, iya makanang, iya toqo diposiriq
Artinya :


Akulah pemikul tombak orang yg jadi panutan
pengasah parang panjang orang ternama
peniup sumpit bagi orang yg punya harga diri
kalau aku diberi beban dan tanggung jawab
pantang bagiku untuk membela
kalau bukan panutan, ternama dan punya harga diri.


Indi tia betteng bayanna litaq dzi mandar
Arriang appeqna boyang dzi Tomadio
Namekkeqde dzi atonangang, meloq siasayangngi
Meloq sidamo-damo, meloq toi sipetombangan ceraq
Muaq nadiang tolandur, pasayu tigiling sokkoqna
Tiraqbiq mata gayanna.


Artinya :
Inilah benteng kokohnya tanah di mandar
tiang penyanggah empatnya rumah di Tomadio
berdiri tegak dalam kebenaran, ingin saling menyayangi
ingin saling mengasihi, dang juga ingin bersimbah darah
kalau ada yang lewat ingin menentang bertepuk dada, maka kerisnya terhunus.


Itulah beberapa syair yang menggambarkan bagaimana orang-orang sulselbar dalam hal keberanian dan kesetiaannya. Semestinyalah kita sebagai penerus mampu menjadikan peninggalan-peninggalan sastera heroisme ini sebagai pegangan dalam menegakkan kedaulatan bangsa yang bermartabat. Dan semestinyalah kita mewarisi jiwa-jiwa ksatria leluhur kita, bukan hanya sekedar berbangga sebagai keturunan namun tak mampu mengejewantahkannya dalam hidup dan kehidupan kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung

Masihkah kita Mala’bi’ Pau