SEHARI BERSAMA BAKAU

Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar beberapa hari yang lalu mendapat undangan dari YPMMD (Yayasan Pemuda Mitra Masyarakat Desa) dalam rangka Perkemahan Sahabat Mangrove Indonesia (PERSAMI) pada hari Sabtu-Minggu 21-22 Desember 2013, dengan bersemangat kami segera menyambut undangan itu dengan antusias. Beberapa saat setelah pendaftaran peserta untuk mengisi jatah Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar diumumkan, permintaan langsung membludak. Jatah 10 orang peserta, namun pendaftar mencapai 15 orang. Sayangnya, setelah hari H dan kontingen siap diberangkatkan maka satu persatu peserta mengundurkan diri dengan alasan masing-masing yang berbeda. Alhasil, peserta utusan KOMPA DANSA yang tiba di lokasi hanya berjumlah 8 orang, 2 orang berangkat dari Wonomulyo, setelah di Campalagian bertambah 1 orang, lalu di Majene bertambah 3 orang sehingga seluruh kontingen berjumlah 6 orang. Sementara 2 orang lagi berangkat dari Mamuju dan langsung bergabung di lokasi perkemahan, tidak jauh dari lokasi pembibitan Bakau pantai Baluno kec. Sendana, kab. Majene. Pukul 16.40 wita, kami tiba di lokasi perkemahan. Tak disangka kami mendapat sambutan yang sangat mengesankan, pak Aziil Anwar yang merupakan salah satu mantan direktur YPMMD langsung menghampiri dan menyapa rombongan kami ditempak kami memarkir kendaraan, padahal tempat kami memarkir kendaraan berjarak kurang lebih 100 m dari posko panitia ( sekedar info tentang pak Aziil Anwar, beliau adalah salah satu dari sepuluh orang dari seluruh Indonesia sebagai penerima penghargaan Satya Lancana untuk bidang lingkungan hidup dari wakil presiden Boediono saat peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2013 (HCPSN 2013) di Istana Wakil Presiden, Kamis 28 November 2013). Setelah tiba di posko panitia, pak Aziil langsung menawarkan pondok untuk tempat menginap, beliau mengajak kami untuk melihat lokasi pondok yang berjarak 97 m dari posko. Namun karena untuk pergi ke pondok tersebut harus menggunakan rakit yang hanya bisa memuat beberapa orang, maka terpaksa hanya saya dan seorang teman yang lain yang mengikuti pak Aziil. Karena pertimbangan jarak yang terpisah dari lokasi perkemahan itu pula yang membuat kami terpaksa menolak tawaran pondok tersebut. Cerita mengesankan di warung makan. Tak terasa, siang pun beranjak malam dan waktu untuk makan malampun tiba. Kami berdelapan segera mencari warung makan yang tidak jauh dari lokasi perkemahan, sebab panitia memang hanya menyiapkan bantuan konsumsi. Setiba di warung makan yang dituju dan kami menanyakan harga, ternyata makanan disana Rp.20000/porsi. Setelah berhitung, ternyata uang konsumsi tidak cukup untuk tiga kali makan dengan harga makanan yang sekian. Disinilah muncul kepiawaian Syamsul (salah seorang teman kami), dengan gesitnya ia maju dan melakukan proses tawar menawar dengan sang pemilik warung. Hingga akhirnya, kami bisa makan sampai kenyang dengan menu yang lumayan lengkap namun dengan harga cukup murah. Setelah makan malam selesai dan kami tiba kembali di lokasi perkemahan, tak lama kemudian acara malampun dimulai. Acara dimulai dengan pembukaan oleh ketua Green Vision Sulawesi Barat, lalu dilanjutkan dengan acara diskusi. Dalam diskusi yang dipandu oleh saya, diawali dengan presentasi transek atau pemetaan dasar keadaan lokasi pantai mulai dari Desa Tammeroqdo hingga ke pantai Baluno desa Puttada, kec. Sendana, kab. Majene, Sulawesi Barat. Transek ini dilakukan oleh adik-adik dari SISPALA (siswa pecinta alam) SMP 4 Sendana yang melakukan perjalanan dari lokasi sekolahnya hingga ke lokasi perkemahan pada pagi harinya (Sabtu, 21 Desember 2013). Dari pemetaan ini penulis menyimpulkan bahwa tumbuhan mangrove yang tumbuh mulai dari Tammeroqdo hingga ke Baluno hanya ada sekitar 5 ribu pohon dan tentu yang terbanyak adalah yang ada di Baluno. Sementara beberapa titik daerah lain masih kosong akan mangrove. Sesi selanjutnya adalah pengenalan mangrove dan sejarah mulainya kegiatan YPMMD di Majene yang dipaparkan langsung oleh salah seorang perintisnya bapak Aziil Anwar. Di sinilah kami mendengar banyak istilah dan nama jenis-jenis mangrove yang baru kami dengar, dan bagaimana suka duka awal kegiatan pelestarian bakau di kabupaten Majene oleh YPMMD. Sesi diskusi dan tanya jawab ini diselingi dengan lomba baca puisi, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi sempitnya waktu kegiatan dan menjaga agar sesi diskusi tidak membosankan, dan tujuan ini tercapai. Seluruh peserta diskusi antusias dan semakin menunjukkan animo. Dalam lomba baca puisi Syamsul Maarif, teman kami yang jago menawar harga makanan di warung tadi sekali lagi menunjukkan kemampuannya membaca puisi dengan memukau penonton dan dewan juri hingga berhak menjadi juara pertama dan menggondol uang hadiah sebesar ¼ juta rupiah. Hujan mengagetkan Setelah sesi diskusi selesai, teman-teman KOMPA DANSA kembali ke camp. Di camp, kami sempat sedikit diskusi tentang sejarah mandar serta bagaimana memajukan komunitas kedepannya. Setelah kantuk menyapa, teman-teman lalu menuju tempat peristirahatan terakhir....eh, peristirahatan panitia maksudnya. Sementara saya tetap tinggal karena bermaksud tidur di alam bebas beratap langit yang cerah dan berhias bintang dan ratu malamnya. Namun ternyata langit tak selamanya indah, setelah tidur kurang lebih dua jam lamanya. Saya yang sedang dibuai mimpi tiba-tiba tersiram hujan gerimis yang hanya dalam hitungan detik berubah menjadi deras. Saya langsung lari ke Camp panitia untuk menyelamatkan tas dan tubuh dari siraman hujan, sempat saya melirik jam ditangan yang rupanya menunjukkan jam 05.05 wita. Hujan deras rupanya tidak lama, berganti dengan suasana pagi yang indah. Sambil minum kopi susu hangat yang ditawarkan teman-teman dari Komunitas Kampung Kita (K3) dan sarapan sokkol (ketan) sisa pesanan dari warung semalam, saya duduk menikmati alam pantai yang menghembuskan aroma laut pagi. Suasana pagi yang indah pun tidak berlangsung lama, awan mendung mulai berarak dan menghitam dan akhirnya turun menjadi hujan. Sambil menunggu redanya hujan agar kegiatan penanaman bakau bisa dilakukan, panitia membagikan t-shirt kepada para peserta. Namun hingga semua peserta mendapat t-shirt, hujan belum juga berhenti. Hingga kemudian diputuskan bahwa penanaman tetap dilakukan meski hujan masih turun walau sudah tidak deras lagi. Dengan kompak seluruh peserta berbaris sesuai kelompok masing-masing menuju ke lokasi pembibitan untuk menerima bibit mangrove yang selanjutnya akan ditanam disebuah lokasi penanaman yang berjarak 200 meter dari lokasi pembibitan. Melintasi rawa payau yang airnya setinggi paha orang dewasa, kami lalu menjejak hamparan pantai karang mati (death coral reef), disitulah mangrove yang kami bawa dari lokasi pembibitan akan ditanam. Dalam proses penanaman bakau, keakraban yang sempat terbina pada malam harinya semakin nampak dan mengental dengan adanya canda dan senda gurau diantara peserta. Menjelang proses penanaman selesai, instruksi dari pak Aziil Anwar sempat membuat panitia koordinator penanaman bibit kebingungan. Karena beliau meminta agar peserta yang sudah terlanjur tersebar untuk didokumentasikan dengan berbaris di depan rimbunan bakau yang sudah ditanam sebelum kedatangan kami, padahal panitia tidak membawa megapone atau pengeras suara yang lain. Melihat kebingungan teman- teman panitia, saya lalu tampil kedepan dan memberikan kode barisan bersaf ala pramuka. Syukurlah, beberapa kelompok peserta yang juga berasal dari organisasi pramuka melihat dan mengerti isyarat yang saya berikan. Mereka lalu bergerak dan membentuk barisan bersaf dan diikuti oleh peserta lain. Akhirnya instruksi pendokumentasian peserta selesai dengan sukses. Sebanyak 271 peserta hanya membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk menanam 4000 bibit bakau jenis Rhizophora Apiculata. Dalam perjalanan pulang setelah penanaman bibit bakau, kami berpapasan dengan bapak dari instansi BAPEDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) yang datang untuk meninjau prose penanaman bibit bakau yang baru dilakukan dan sempat berfoto bersama beliau. Melihat pantai Baluno dari ketinggian. Tiba dari kegiatan penanaman bibit bakau, kami kembali camp. Setelah makan siang dan istirahat, jam 14.00 wita. Peserta kembali berkumpul, kegiatan kali ini adalah hicking dengan menelusuri jalan poros kearah selatan. Setelah menyusuri jalan poros sejauh sekitar 300 m, kami lalu berbelok ke kiri memasuki daerah perkebunan masyarakat. Tidak lama kemudian, pendakian dimulai. Para peserta mulai menapaki gunung yang cukup terjal jalanannya, setiba di puncak para peserta sudah mulai lelah namun jangan salah, perjalanan belum berakhir. Dengan menapaki jalan setapak diantara padang ilalang, kami terus mendaki. Di kanan dan di kiri jalan banyak tumbuh pohon-pohon jambu mete hasil tanaman rakyat. Setelah beristirahat di bukit pertama, kami lalu melanjutkan mendaki ke bukit kedua yang lebih tinggi dari bukit yang kami jejaki sekarang. Di puncak bukit kedua ini, meski masih dengan pepohonan jambu mete di antara hamparan alang-alang, namun di salah satu sisi menawarkan pemandangan yang luar biasa indahnya dengan berlatar pantai Baluno yang berpasir putih dan berair jernih, sungguh ciptaan Dzat Yang Maha Agung, Allah Azza Wa Jalla. Dimana ada pendakian, disitu ada penurunan. Begitulah kata pepatah, setelah mendaki dua buah bukit yang cukup menguras tenaga bagi para pendaki baru. Penurunan terjal pun menyambut, dan mengharuskan para pendaki untuk berhati-hati, apalagi hujan yang sempat mengguyur membuat jalan setapak yang kami lalui menjadi sedikit licin. Sekitar 2 km track hicking kami lalui, akhirnya kami tiba kembali di lokasi perkemahan. Sambil beristirahat, kami menikmati air teh kemasan dari panitia. Dan akhirnya sang waktu pula yang mengharuskan kami berpisah. Sehari semalam rasanya hanya berlalu sekian menit, dengan segudang perasaan dan kesan yang begitu mendalam untuk alam dan orang-orang yang telah mendedikasikan hidupnya untuk pelestarian bakau ini, kami ucapkan terima kasih atas ilmu dan keakraban yang luar biasa yang telah kami terima. Kami pergi untuk kembali, Insya Allah.
( Zulfihadi, 23 Desember 2013)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung

Masihkah kita Mala’bi’ Pau