MORAL REMAJA, TANGGUNG JAWAB SIAPA ?.

Masih hangat pembicaraan tetang pelaksanaan kurikulum 2013 yang menggantikan KTSP 2006 sekitar satu semester lalu, kini datang keputusan dari Menteri Dinas Kebudayaan dan Pendidikan kabinet Indonesia Hebat yang dijabat oleh Anis Baswedan tentang penghentian pelaksanaan K-13 tersebut karena dinilai bahwa sumber daya manusia tenaga pendidik kita belum siap untuk menerapkannya. 

Respon tentang hal ini pun bermunculan, ada yang pro dengan penghentian K-13 dan ada yang menolak. Dalam masalah ini, saya tidak akan memposisikan diri disalah satu barisan tersebut namun hanya sekedar mengingatkan bahwa uji coba K-13 yang hingga hari ini masih diadakan workshop dan pelatihan bagi tenaga pengajar dibeberapa daerah tentu hanya bersifat pemborosan dan sia-sia jika memang harus dihentikan, padahal tentu dalam pelaksanaannya menggunakan biaya. Pun saya tidak akan menyoroti tentang kelanjutan penghentian pelaksanaan K-13, sebab saya berfikir bahwa kita semua telah memiliki tugas masing-masing. 

Dalam tulisan singkat kali ini, saya hanya ingin meminta sedikit perhatian anda tentang bagaimana kondisi generasi muda kita saat ini khususnya di Mandar (Sulawesi Barat).
Lalu apa sebenarnya tujuan pendidikan untuk anak-anak usia sekolah?. Tentu secara garis besar adalah untuk membentuk generasi muda pelanjut pembangunan bangsa yang berilmu pengetahuan, terampil dan berakhlak baik.

Mencermati degradasi moral masyarakat khususnya remaja belakangan ini sesungguhnya sudah tidak bisa dipandang sebelah mata namun semestinya sudah mendapat perhatian serius. Cobalah sesekali kita tinggalkan tayangan sinetron atau infotainment dan melirik tayangan berita. Kita mungkin kita tidak akan terkejut lagi disuguhkan dengan berita tentang kriminalitas yang sudah tidak lagi didominasi oleh kalangan usia dewasa. 

Namun sudah bergeser pada kejahatan seksual, perkelahian, pencurian hingga pembunuhan yang dilakukan oleh remaja yang masih dalam usia sekolah. Dalam keseharian kita baik di rumah, di jalan atau bahkan di sekolah sudah tidak asing jika menjumpai anak muda yang tidak mengenal adab kesopanan. Sudah hilang kata “tabeq” dari lidahnya saat akan lewat di depan orang yang lebih tua darinya, bahkan jika itu orang tuanya sekalipun. Sekedar membungkukkan badan pada orang yang dilaluinya pun seolah sebuah pekerjaan yang demikian beratnya.

Ada beberapa faktor yang sesungguhnya berperan dalam pembentukan watak ramaja dan pelajar ini sehingga terjadi hal demikian. Diantaranya adalah kondisi rumah tangga orang tua, lingkungan dan tontonan. Demikian juga dengan penanggung jawab yang semestinya terlibat ada beberapa namun biasanya yang terjadi adalah saling tuding antara fihak yang semestinya menjadi pengawal dalam pembentukan akhlak dan moral remaja ini.

Orang tua atau keluarga yang menjadi tempat tumbuhnya seorang anak mempunyai peran dominan dalam pembentukan watak sang anak mengingat porsi waktu yang lebih banyak dihabiskan oleh sang anak di rumah mulai dari bangun tidur hingga kemudian tidur lagi. Seyogyanya orang tua melibatkan diri dalam mengawasi anaknya mulai dari caranya mengatur waktu beraktifitas, cara berpakaian, lingkup pertemanan hingga aktifitas sang anak dalam penggunaan gadget canggih semisal komputer atau smart phone. Namun sayangnya tingkat kesibukan, pendidikan dan kepedulian orang tua terhadap perkembangan sang anak terkadang sangat minim. Mereka lebih mengutamakan untuk memenuhi kebutuhan materi sang anak dengan dalih kasih sayang daripada mengisi waktu luang mereka dengan pengajaran-pengajaran moral. Kebanyakan orang tua lebih mempercayakan sepenuhnya pendidikan moral sang anak kepada lembaga pendidikan atau sekolah. Tak jarang pula ada orang tua yang menyekolahkan anaknya hanya dengan alasan agar mereka tidak terganggu dalam mencari nafkah. Sebagian orang tua akan sedemikian marah jika sampai anak-anaknya tidak lulus sekolah dan menjadikan sekolah dan tenaga pengajarnya sebagai sasaran emosi entah itu sebatas caci maki hingga tindakan teror tanpa melihat apakah sang anak memang pantas untuk lulus atau tidak. Tingkat penguasaan teknologi dikalangan orang tua juga seringkali menjadi hambatan dalam pengawasan anak-anaknya. Sehingga pertumbuhan sang anak lebih banyak dipengaruhi oleh internet. 

Maka jadilah orang- orang tua yang kehilangan pamor dan wibawa di hadapan anak-anaknya.
Lingkungan masyarakat juga memiliki peran yang besar sebagai kontrol sosial untuk remaja. Namun yang seringkali terjadi adalah adanya sikap apatis masyarakat itu sendiri. Tidak ada jaminan jika seorang anak sekolah meninggalkan rumah dengan berpakaian seragam sekolah dan menyandang tas, kemudian ia tiba di sekolah dan masuk ke kelas untuk menerima pelajaran. Terkadang sang anak justru singgah ke rumah masyarakat yang menjadi tempat mereka biasa nongkrong bersama teman-temannya yang lain tanpa merasa risih dengan pakaian sekolah yang ia kenakan. Namun tuan rumah atau masyarakat lain tidak melakukan teguran atau memberi nasehat agar mereka masuk sekolah.

Sekolah adalah tempat bagi sang anak untuk mendapatkan ilmu dalam menempuh masa depannya kelak, selain ilmu sains tentu saja ilmu akhlak harus diberikan. Namun kemudian, porsi waktu perjumpaan yang demikian terbatas. Dengan kondisi demikian sebuah kemustahilan jika tanggung jawab pendidikan dan pengawasan remaja diserahkan sepenuhnya kepada fihak sekolah.
Dinas Pendidikan juga tentu saja tidak bisa berlepas tangan. Tugasnya untuk meneliti, meramu dan meluncurkan sistem pendidikan serta materi pembelajaran yang tepat untuk remaja mutlak diperlukan. Sudah selayaknya buku-buku materi pembelajaran khususnya mata pelajaran seni budaya atau muatan lokal disusun sesuai dengan karakter dan budaya masyarakat setempat. Tidak seperti apa yang sekarang terjadi dimana buku-buku materi seni budaya hampir semua berisi dengan uraian-uraian yang menjelaskan tentang budaya dari pulau Jawa yang dibeberapa sisi tidak sesuai dengan budaya masyarakat di pulau lain.

Sehingga dengan mudah dapat disimpulkan bahwa peran serta orang tua, masyarakat, lembaga pendidikan, pembuat sistem pendidikan serta tenaga pengajar mutlak bekerja sama dan bahu membahu dalam pembentukan generasi muda hingga akhirnya kemudian dapat menjadi penerus dalam pembangunan bangsa yang mumpuni baik dari sisi ilmu pengetahuan maupun akhlaknya.

Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi bahan masukan dalam meracik dan meramu sistem pendidikan kita di Indonesia. Sudah tiba waktunya siswa tidak hanya ditekankan memiliki keterampilan dan ilmu pengetahuan semata namun juga diarahkan agar memiliki moral dan budaya yang baik sebagai pondasi jika kelak tongkat estafet pembangunan bangsa telah tiba saatnya untuk diserahkan ke tangan mereka. 

Dan yang terakhir, saya ingin mengajak para pengajar, orang tua, dan masyarakat lain agar kiranya sejenak kita meluangkan waktu untuk kembali belajar dan sedikit memacu hasrat kita untuk mempelajari teknologi. Sungguh ironis kiranya jika kita selaku pengawas dalam perkembangan pendidikan dan akhlak anak-anak kita justru kecolongan hanya karena kita “BUTEK” atau buta teknologi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Cerita Rakyat "LA WELLE"

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung