Makam-makam Palsu Maraqdia Balanipa di Tinambung

Oleh: Zulfihadi


Ketika saya dan teman-teman dari Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar akan menuju Sanggar Seni Sossorang di Dusun Lambe, Karama, Tinambung, Polewali Mandar, saya dan teman-teman penasaran dengan gerbang megah di kaki bukit pinggir Tinambung. Di gerbang tersebut tertulis, “Makam Raja-raja Balanipa”. Selain dalam huruf latin, juga ada dalam huruf lontar. Agar rasa penasaran terbayar, kami pun berjalan mendaki sekitar 200 meter.
Awalnya kagum. Tapi itu seakan sirna ketika masuk ke dalam makam. Ada di antara sekian makam, ada yang tertulis “Haja Andi Depu”. Bukankah makamnya ada di Makassar? Sebagaimana yang disaksikan dengan mata sendiri oleh teman-teman Kompa Dansa Makassar. Yang mana itu juga ada di dalam buku “Srikandi dari Jazirah Tipalayo” karya Ahmad Asdy atau lebih dikenal dengan nama Rappo.
Bukan hanya itu, di dalam kompleks makam tersebut juga ada makam yang di situ tertulis “Tandi Bella Kakanna I Pattang” atau Arayang Balanipa keempat yang juga dikenal dengan nama I Daetta Tommuane. Beberapa saat setelah Hari Raya Idul Fitri tahun 2013 lalu, saya dan teman Kompa Dansa mengunjungi makam dari nama yang sama di Allu. Jadi, mana makam yang benar?.


Makam "palsu" Hj. Andi Depu

Berangkat dari rasa bingung itulah, beberapa teman mencoba mengunggah beberapa foto makam tersebut ke media sosial facebook. Yang selama ini menjadi salah satu tempat kami berdiskusi dan berbagi pengetahuan tentang budaya, sejarah dan wisata Mandar. Dari salah satu sumber diketahui bahwa makam raja-raja yang berjejer rapi di sisi bagian kanan dari kompleks tersebut adalah bangunan yang baru diadakan beberapa bulan yang lalu. Makam “tandi-tandi” alias pura-pura alias replika alias tidak ada betul jenazah di bawahnya. Singkat kata, makam itu palsu.
Apakah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Polewali Mandar, yang menangani hal tentang cagar budaya di Kabupaten Polewali Mandar, tidak mengetahui hal tersebut? Atau malah terlibat didalamnya?

Saya menebak bahwa mungkin saja maksud pembuatan duplikat makam tersebut bertujuan agar generasi muda yang berkunjung ke sana dapat mengetahui beberapa nama raja yang pernah berkuasa di Balanipa. Tapi, penambahan makam baru tersebut bisa saja akan menjadi bumerang bagi pengetahuan kesejarahan generasi muda Mandar. Terlebih lagi sama sekali tidak diberikan informasi secara meluas bahwa makam baru tersebut hanyalah replika. Dan yang paling fatal adalah, secara hukum hal tersebut sebenarnya pun sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993, tentang Pelaksanaan Undang Undang No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya pasal 29 yang menjelaskan bahwa yang termasuk kegiatan yang dapat merusak benda cagar budaya dan situsnya adalah kegiatan mengurangi, menambah, mengubah, memindahkan, dan mencemari benda cagar budaya, dan melakukan hal ini dapat dikenai sanksi hukum. Bisa dipastikan, penambahan makam palsu tersebut tergolong kegiatan menambah dan mengubah bentang cagar alam. Belum lagi kesannya yang membohongi pengunjung.

Tak cukup sampai di situ keganjilan yang ditemui. Saat membaca tulisan lontar di atap tiap makam palsu, saya tersenyum geli. Bagaimana tidak, berbekal dari pengetahuan membaca aksara lontar yang turun temurun diajarkan di dalam keluarga saya, bisa saya simpulkan penulisannya salah! Dari pemberian tanda baca, menunjukkan bahwa orang yang menulisnya bukan orang yang mengerti tentang aksara lontar. Salah satu contoh, nama Haja Andi Depu ditulis dalam aksara lontar yang jika dibaca dalam huruf latin menjadi “Haya Ada Depu”, padahal seharusnya terbaca Haja Adi Depu (dalam aksara lontar tidak dikenal huruf mati, sehingga “andi” akan ditulis “adi”). Begitu juga yang ada pada makam I Laju Kanna Doro, tertulis I Lunyu Kanna Doro padahal seharusnya I Laju Kanna Doro. Memang pada beberapa bagian terdapat adanya tanda baca, namun penempatannya melenceng dari pakem penulisan aksara lontar sehingga tidak bisa dikatakan bahwa itu adalah tanda baca.

Makam "palsu" I Laju Kanna Doro
Seharusnya penyelenggara proyek menunjuk orang yang benar-benar bisa membaca aksara lontar untuk mengerjakan pekerjaan yang seperti ini. Sungguh miris perasaan saya melihat keadaan situs bersejarah yang menjadi milik orang-orang Mandar dan masyarakat Sulawesi Barat secara keseluruhan ini. Terlebih lagi jika mengingat banyaknya biaya yang digunakan untuk melakukan pekerjaan itu. Bukankah hal yang sia-sia dan sekaligus memalukan jika hasilnya hanya menambah kebingungan dan mengaburkan sejarah bagi generasi muda di daerah ini? Belum lagi tulisan aksara lontara seperti yang sudah saya terangkan sebelumnya bisa membuat wisatawan yang berkunjung, apalagi kalau mereka mengerti tulisan lontar, tentu akan tertawa geli.

Melalui tulisan ini, saya berharap kepada pemerintah atau pemerhati budaya lainnya agar sekiranya dapat memberi perhatian khusus terhadap kasus “pengerusakan” situs ini. Mengingat hal ini terkait dengan sejarah dan jati diri Mandar yang mau tidak mau atau siap tidak siap pasti akan diterima oleh generasi muda kita sebagai pelanjut tongkat estafet sejarah. Saya juga berharap agar kasus serupa tidak terjadi di masa yang akan datang, hingga dapat membantu para sejarawan untuk mengurai sejarah Mandar yang masih banyak menyimpan misteri. “Jas merah,” Jangan sekali-kali melupakan sejarah!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Cerita Rakyat "LA WELLE"

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung