Celebess adalah blogspot yang berisi informasi unik sekitar sejarah dan budaya masyarakat Sulawesi
28/09/2015
27/09/2015
PolmanInAndroid merupakan aplikasi yang dapat membantu anda mengenal potensi wisata atau hal-hal lain tentang Polewali Mandar. Aplikasi ini terwujud atas dasar kecintaan kepada Polewali Mandar sebagai litaq pembolongang. Yah, berhubung kepada sudah nyut-nyut menunggu fihak Play Store mengirim konfirmasi. Tak apalah, silahkan anda download aplikasinya DI SINI. Hitung-hitung anda bisa dengar puisiku ;) :D Bagi anda yang tertarik untuk mempromosikan usaha hotel, bengkel ataupun cafe, dengan biaya murah. Anda dapat menghubungi kami melalui fasilitas "SMS ADUAN" ataupun "@EMAIL" yang telah tersemat diaplikasi PolmanInAndroid.
21/09/2015
Penulis: Mursalin (Aktif di Komunitas Appeq Jannangang, Taekwondo Cabang Polman dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) cabang Sulbar)
===================
Banyak pengertian jika kita ingin mengartikan kata Mala’bi’ dari beberapa referensi saya mendapat pengertiannya seperti berikut, Mala’bi’ dalam bahasa mandar dapat diartikan sebagai nilai-nilai luhur, mulia, rendah hati dan keutamaan dalam sifat-sifat berharkat dan bermartabat, ada juga yang mengatakan bahwa Mala’bi’ adalah konsep memanusiakan manusia. Semuanya benar tetapi menurut saya Mala’bi’ adalah ketika tidak ada hati yang terluka.
Mala’bi pau adalah salah satu pembagian dalam konsep mala’bi’, mala’bi’ pau ini mencakup tindakan kita sebagai manusia mandar dalam keseharian sebagai bentuk tuturan yang baik. Dewasa ini sepertinya kita lupa akan nilai-nilai luhur yang diturunkan oleh leluhur kita dalam berucap, bukan hanya percakapan langsung, media sosial seperti facebook, twitter dll seringkali menjadi tempat dalam menuliskan tuturan kita yang “tidak banget” mencitrakan kata mala’bi, tanpa disadari bahwa media sosial tersebut menjadi cerminan diri kita dalam lingkaran khalayak luas (publik).
Beberapa pepatah yang sering didengar seperti "Mulutmu Harimaumu", "Lidah tak bertulang" dll, yang intinya menafsirkan bahwa yang dipegang dari manusia adalah kata-katanya. Tidak berbeda dengan petuah-petuah di Mandar yang biasa disebut dengan "Pappasang" beberapa Pappasang mengenai pentingnya kita menjaga tutur sapa yang sering saya dengar adalah :
"Mua' olo-olo' gulangna ditu'galang, mua' tau pau-paunna ditu'galang" (Binatang tali kekangnya yang dipegang, dan manusia kata-katanya yang dipegang). Pappasang ini ditujukan agar manusia mandar memegang tiap-tiap perkataannya, janji, ikrar atau semacamnya.
"Da patoyo-toyo pau mua' mane sallame'i tuyu' purrusmu, palambi'i dolo' sandappa, mua' ganna'mi sandappa pacoaimi passindingmu" (Jangan keras berbicara jika ikat celanamu baru sejengkal, genapkan dulu satu depa , jika sudah sedepa nmaka kuatkan pula dinding keilmuannmu). Pappasang yang pertama diatas saya fikir tidak perlu dikaji lebih jauh lagi karena sudah jelas, Pappasang yang kedua mengandung artian yang bukan sebenarnya, jika dikaji maka hasil kajian kasarnya kira-kira seperti ini :
"Da patoyo-toyo pau" = Jangan keras/kasar berbicara
maksud dari keras berbicara bukan keras dalam artian berteriak sekencang kencangnya akan tetapi keras yang berarti bersifat pilih tanding, menghina atau tetap berdiri teguh pada ucapan walau itu salah ataupun benar.
"Mua' mane sallame' tuyu' purrusmu, palambi'i dolo' sandappa" = jika ikat celanamu baru sejengkal, genapkan dulu satu depa. 2 kalimat ini hampir tidak bisa dipisahkan karena merupakan 1 kesatuan yang mempunya makna. Tuyu' Purrus = Ikat celana yang dimaksud disini bukan ikat pinggang (selipit) tetapi tali yang memilit disekitaran celana yang membuatnya tidak kedodoran, dimasa lalu dizaman Pemerintahan I Manyambungi atau Todilaling raja pertama kerajaan Balanipa dimana hukum yang berlaku pada saat itu Jika dua orang laki-laki bersengketa dan detelah dimediasi tidak ada penyelesaian maka akan Situyu’purrus atau diadu bertikaman menggunakan Jambia (badik) dalam sebuah kandang yang terbuat dari pohon Nipa dalam bahasa mandar disebut balanipa juga merujuk pada asal mula penamaan kerajaan Balanipa. Pemaknaan tuyu’ purrus pada kalimat dipepasang ini mengandung arti simbolis. Berikutnya “mua’ ganna’mi sadappa pacoaimi passindingmu” = jika sudah sedepa maka kuatkan pula dinding keilmuannmu. Makna sebenarnya dari kalimat ini adalah jika sudah siap untuk bertikaman mempertahankan kata-kata maka dinding keilmuan kita yang diperkuat, dinding keilmuan disini yang dimaksud adalah siap menghadapi/ memblok hal-hal yang tidak baik sebut saja ilmu hitam yang dikirimkan oleh orang-orang yang tersinggung atas kata-kata yang terlontar dimulut kita.
Jika dicermati tiap-tiap kalimat dari Pappasang diatas selain merupakan pesan-pesan leluhur yang bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa diperhatikan kalimat tersebut menggunakan kata yang bukan pada artian yang sebenarnya, dalam ilmu kebahasaan biasa disebut menggunakan majas hiperbola. Ini menandakan bahwa mereka sangat berhati-hati dalam tiap-tiap pemilihan kata-katanya atau diperhalus kata-katanya. Ini yang coba ditanamkan kepada para generasi mandar dewasa ini.
“Bahasa menunjukkan bangsa” pepatah ini yang kemudian tersirat dalam benakku jika coba dihubungkan dengan zaman kekinian, Kata-kata yang kita lontarkan memang bisa menjadi pisau bermata dua jika tidak hati-hati memilah kata yang akan kita keluarkan, karena akan ada saja orang-orang yang akan tersinggung atas apa yang keluar dari bibir kita sebagai manusia, dan pemilahan kata-kata yang baik dan tidak menyinggung perasaan orang lain ini sudah masuk kedalam istilah Mala’bi’ pau. Tanggung jawab moral menjadi salah satu landasan dalam mempertahankan Nilai-nilai luhur yang ditanamkan oleh para leluhur kita orang mandar, seharusnya sebagai manusia yang bermukim di bumi Tipalayo mampu untuk melestarikan bukannya malah merusak tatanan nilai yang ditanamkan oleh mereka. Seharusnya kita malu karena seringnya kita berkoar-koar mengenai Mandar adalah hunian yang mala’bi’ akan tetapi sifat, sikap dan kata-kata kita tidak mencerminkan kata sakral tersebut. Jadi Siapkah kita ber-mala’bi’ pau ??
• Ta'lemi manurunna paneneang uppasambulo-bulo ana' appona di Pitu Ulunna Salu, Pitu Babana Binanga, nasa'bi dewata diaya, dewata diong, dewata di kanang, dewata dikairi, dewata diolo, dewata diboe', menjarimi passemandarang.
• Tannipasa' tanniatonang, ma' allonang mesa malatte samballa, siluang sambu-sambu, sirondong langi-langi, tassi pande peo'dong, tassi pande pelango, tassipelei di panra', tassialuppei diapiangang.
• Sipatuppu diada', sipalele dirapang, ada tuo di Pitu Ulunna Salu, ada' mate di Muane ada'na Pitu
Babana Binanga.
• Saputangan di Pitu Ulunna Salu, simbolong di Pitu Babana Binanga.
• Pitu Ulunna Salu memata di sawa, Pitu Babana Binanga memata di mangiwang.
• Sisara'pai mata malotong anna mata mapute, anna sisara' Pitu Ulunna Salu - Pitu Babana Binanga.
• Mua diang tomangipi niangidang mambattangang tommu-tommuane, iya namappasisara' Pitu
Ulunna Salu - Pitu Babana Binanga, pasungi ana'na anna mumanusangi sau di uai tammembali.
Artinya :
• Sudah terfakta kesaktian leluhur moyang menyatu bulatkan anak cucunya di Putu Ulunna Salu dan Pitu Babana Binanga, diatas kesaktian dewata di atas, dewata di bawah, dewata di kanan, dewata di kiri, dewata di muka, dewata di belakang, lahirlah persatuan seluruh Mandar.
• Tak berpetak tak berpembatas, bersatu tikar bertikar selembar, sepembalut tubuh, selangit-langit, saling tidak memberi makanan rusak, saling tidak memberi minuman rusak, saling tidak meninggalkan dikesusahan, saling tidak melupakan pada kebaikan.
• Saling menghormati hukum dan peraturan masing-masing, hukum hidup di Pitu Ulunna Salu, hukum mati di suami adatnya Pitu Babana Binanga.
• Pitu Ulunna Salu menjaga ular (musuh dari darat/hutan), Pitu Babana Binanga menjaga hiu (musuh dari laut).
• Bila berpisah mata hitam dan mata putih, maka dapatlah pisah Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babana Binanga.
• Bila seseorang bermimpi mengidamkan seorang anak lelaki yang bakal memisahkan Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Babana Binanga, bersepakatlah untuk segera membedah perut yang hamil itu, lalu keluarkan bayi laki-laki itu, kemudian hanyutkan ke air yang tidak mungkin kembali lagi.
(Mujahidin Musa)
Penulis: Tulisan Mursalim /Kaco Kendeq Tandiapa
(Tomakaka Pemanaq Dewan Pendiri Appeq Jannangang,
Pembina Tim Sakkaq Manarang AJ)
=========================================
Somba Sendana dikenal dengan rumah akannya berjejer di tepian pantai, makanan seafood menjadi andalan para rumah makan ini, ada dua maskan andalan yang paling sering dihidangkan adalah tumis cumi dan tuing-tuing tapa (ikan terbang bakar). Tapi kali ini kita tidak akan membahas panjang lebar mengenai kulinernya somba, tetapi mengenai Tari Pattuqdu yang ada di wilayah somba. Tari Pattuqdu diyakini hanya ada diwilayah Mandar saja sama halnya Paqjoge di bugis, Paqgellu di Toraja dan Pakkarena di makassar. Tetapi ada hal yang lain pada Tarian Pattuqdu yang ada di somba.
Penelitian ini dilakukan pada bulan mei 2014, yang ikut pada saat itu, Ketua Yayasan Darputri Dra. Sri Musdikawati. M.si, Pembina sanggar OneDo Sahabuddin Mahganna spd, Ketua sanggar OneDo, muh Ulfi Mahendra, saya sendiri dan Para penari sanggar Darputri.
Tujuan dilakukannya penelitian ini selain untuk menambah wawasan tentang Tari-tarian yang ada di Mandar, yang diketahui sudah banyak tarian yang ada di mandar hampir punah juga untuk mempererat hubungan silaturahmi antar sanggar Darputri dan komunitas OneDo untuk membuat video tari yang akan di CDkan dan akan dibawa ke Amerika serikat guna memperkenalkan budaya tarian kepada warga negeri paman Sam.
Sebut saja I Dateq nenek yang sudah tua renta ini jika dilihat sepintas lalu sama seperti nenek-nenek lain, berjalanpun susah payah untuk dapat keruang tamu, namun siapa sangka nenek I Dateq ini dulunya seorang penari Kerajaan Sendana.
Nenek I Dateq 3 kali bersuami, suami pertama bernama Manurung dan dikaruniai seorang anak, suami ke dua bernama I Kalibong, nah dari Ayah Kalibong inilah atau Ayah mertua I Dateq sebut saja mamanya I Piara dia bukanlah orang Somba asli melainkan orang makassar, tetepi dialah yang kemudian berjasa mengajarkan Dateq muda menari Pattuqdu Sarawandang, setelah suami pertama dan keduanya meninggal, Nenek Dateq masih bersuami lagi dengan Laki-laki asal Somba bernam I Kaco dan dikaruniai 4 orang anak, meski bersuami lagi, mantan mertua Nenek Dateq yakni I Piara masih tetap memanggilnya untuk ikut menari dalam acara-acara kerajaan Sendana.
Dari segi gerakan, dan nama tarian tidak ada yang berbeda dengan Gerakan Pattuqdu Sarawandang yang diyakini oleh masyarakat mandar pada umumnya, yang membedakan adalah jenis pukulan Gendangnya dan juga Syair lagunya dari beberapa jenis pukulan gendang yang diperdengarkan kanda Sahabuddin mahganna yang lumrah di dengar dalam Tari Pattuqdu hanya satu yang dikenal oleh nenek I Date yakni, pukulan Pattuqdu Pillamba pukulan gendang Pakkanjaraq makassarpun sempat diperdengarkan namun beliau katanya tidak pernah dengar. Hal ini mengindikasiakan bahwa ada beberapa jenis pukulan Gendang Pattuqdu di Sendana sudah punah. Yang kedua yang berbeda adalah syair lagunya jika dalam Pattuqdu Sarawandang yang umumnya pernah dilihat orang ia menggunakan syair yang berbahasa mandar tapi Pattuqdu Sarawandang yang berasal dari kerajaan Sendana ini menggunakan syair lagu berbahasa makassar. Berikut adalah syairnya:
Syair Pattuqdu Berbahasa Makassar
Rimawela uji pale
Larrana tana waranna
Makilaiya sumbore
Mannaso naku
Upasang tonji malaqba
Sangging karaeng maqmempo
Sangging daeng maqjijirang
Tawe karaeng, makusoeang...
Gunturuna naji malompo
Kilaqna mallaqbang lino
Bosi sarrona, tangnga lalang lompo bangkeng
Melihat dari syair Pattuqdu Sarawandang, sebenarnya kita tidak perlu heran, kenapa kok ada bahasa makassar dalam syair Pattuqdu Sarawandang tersebut. Hubungan kekertabatan kerajaan Gowa dengan antara kerajaan yang ada di mandar terkhusus pada kerajaan Balanipa & Sendana memang sedari dulunya pernah terjalin.
Pertama hubungan kekerabatan antara kerajaan Gowa dan kerajaan Balanipa saat kawinnya Batara Gowa denga “ I Rerasi” putri Tomakaka Balanipa mandar yang melahirkan Sombaiyya Ri Gowa IX Daeng matanre Karaeng Tumaqrisi Kallonna.
Hubungan kekerabatan antara kerajaan Gowa dengan kerajaan Balanipa dengan menikahnya I manyambungi dengan Karaeng Surya. Hala ini terjadi karena I manyambungi atau sering juga disebut To di laling diketahui seagai kemanakan dari ibunda Sombaiyya Ri Gowa yang kemudian dari hasil perkawinan ini melahirkan I Billa-Billami atau Tomepayung sebagai maraqdia ke-2 Arayang Balanipa.
Nah yang ketiga ini adalah hubungan kekerabatan antara kerajaan Gowa dan kerajaan Sendana mandar adalah dengan kawinnya I Bannaiq maraqdia ke-8 kerajaan Sendana mandar dengan karaeng Baine (putri raja Gowa) sebagai bukti sejarah dari peristiwa perkawinan I Bannang dan Karaeng Baine dari Gowa adalah Somba sebagai ibu kota kecamatan Sendana kab. Majene, dn kisahnya bahwa Somba dahulu bernama “Lamboriq” tetapi setelah menikah antara I Bannaiq dengan Baine terjadi maka Lamboriq di ubah namanya menjadi . sewaktu karaeng Baine di bawa pulang ke Sendana, supaya dimana saja Karaeng Baine menetap, maka daerah itu harus disamakan namanya dengan daerah asal Karaeng Baine tujuannya agar mudah dicari ketika orang tuanya rindu kepadanya.
Dari ketiga hubungan kerajaan-kerajaan mandar dengan kerajaan Gowa di atas, maka tidaklah mengherankan apabila adanya Asimilasi dan Akulturasi budaya yang terjadi pada tarian Pattuqdu Sarawandang yang ada di kerajaan Sendana tersebut. Bila kita membandingkan Pakaian antara penari Pattuqdu dan Pakkarena maka banyak kesamaannya terlihat, terkecuali pada sanggul, gelang dan kalung/ rantai. Juga pada kata Aule atau Lee pada Pattuqdu ada saja persamaan dengan Pakkarena makassar.
Referensi
Penuturan langsung narasumber I Dateq
Sosialisasi Siriq etika dan estetika di mandar
(Tomakaka Pemanaq Dewan Pendiri Appeq Jannangang,
Pembina Tim Sakkaq Manarang AJ)
=========================================
Somba Sendana dikenal dengan rumah akannya berjejer di tepian pantai, makanan seafood menjadi andalan para rumah makan ini, ada dua maskan andalan yang paling sering dihidangkan adalah tumis cumi dan tuing-tuing tapa (ikan terbang bakar). Tapi kali ini kita tidak akan membahas panjang lebar mengenai kulinernya somba, tetapi mengenai Tari Pattuqdu yang ada di wilayah somba. Tari Pattuqdu diyakini hanya ada diwilayah Mandar saja sama halnya Paqjoge di bugis, Paqgellu di Toraja dan Pakkarena di makassar. Tetapi ada hal yang lain pada Tarian Pattuqdu yang ada di somba.
Penelitian ini dilakukan pada bulan mei 2014, yang ikut pada saat itu, Ketua Yayasan Darputri Dra. Sri Musdikawati. M.si, Pembina sanggar OneDo Sahabuddin Mahganna spd, Ketua sanggar OneDo, muh Ulfi Mahendra, saya sendiri dan Para penari sanggar Darputri.
Tujuan dilakukannya penelitian ini selain untuk menambah wawasan tentang Tari-tarian yang ada di Mandar, yang diketahui sudah banyak tarian yang ada di mandar hampir punah juga untuk mempererat hubungan silaturahmi antar sanggar Darputri dan komunitas OneDo untuk membuat video tari yang akan di CDkan dan akan dibawa ke Amerika serikat guna memperkenalkan budaya tarian kepada warga negeri paman Sam.
Sebut saja I Dateq nenek yang sudah tua renta ini jika dilihat sepintas lalu sama seperti nenek-nenek lain, berjalanpun susah payah untuk dapat keruang tamu, namun siapa sangka nenek I Dateq ini dulunya seorang penari Kerajaan Sendana.
Nenek I Dateq 3 kali bersuami, suami pertama bernama Manurung dan dikaruniai seorang anak, suami ke dua bernama I Kalibong, nah dari Ayah Kalibong inilah atau Ayah mertua I Dateq sebut saja mamanya I Piara dia bukanlah orang Somba asli melainkan orang makassar, tetepi dialah yang kemudian berjasa mengajarkan Dateq muda menari Pattuqdu Sarawandang, setelah suami pertama dan keduanya meninggal, Nenek Dateq masih bersuami lagi dengan Laki-laki asal Somba bernam I Kaco dan dikaruniai 4 orang anak, meski bersuami lagi, mantan mertua Nenek Dateq yakni I Piara masih tetap memanggilnya untuk ikut menari dalam acara-acara kerajaan Sendana.
Dari segi gerakan, dan nama tarian tidak ada yang berbeda dengan Gerakan Pattuqdu Sarawandang yang diyakini oleh masyarakat mandar pada umumnya, yang membedakan adalah jenis pukulan Gendangnya dan juga Syair lagunya dari beberapa jenis pukulan gendang yang diperdengarkan kanda Sahabuddin mahganna yang lumrah di dengar dalam Tari Pattuqdu hanya satu yang dikenal oleh nenek I Date yakni, pukulan Pattuqdu Pillamba pukulan gendang Pakkanjaraq makassarpun sempat diperdengarkan namun beliau katanya tidak pernah dengar. Hal ini mengindikasiakan bahwa ada beberapa jenis pukulan Gendang Pattuqdu di Sendana sudah punah. Yang kedua yang berbeda adalah syair lagunya jika dalam Pattuqdu Sarawandang yang umumnya pernah dilihat orang ia menggunakan syair yang berbahasa mandar tapi Pattuqdu Sarawandang yang berasal dari kerajaan Sendana ini menggunakan syair lagu berbahasa makassar. Berikut adalah syairnya:
Syair Pattuqdu Berbahasa Makassar
Rimawela uji pale
Larrana tana waranna
Makilaiya sumbore
Mannaso naku
Upasang tonji malaqba
Sangging karaeng maqmempo
Sangging daeng maqjijirang
Tawe karaeng, makusoeang...
Gunturuna naji malompo
Kilaqna mallaqbang lino
Bosi sarrona, tangnga lalang lompo bangkeng
Melihat dari syair Pattuqdu Sarawandang, sebenarnya kita tidak perlu heran, kenapa kok ada bahasa makassar dalam syair Pattuqdu Sarawandang tersebut. Hubungan kekertabatan kerajaan Gowa dengan antara kerajaan yang ada di mandar terkhusus pada kerajaan Balanipa & Sendana memang sedari dulunya pernah terjalin.
Pertama hubungan kekerabatan antara kerajaan Gowa dan kerajaan Balanipa saat kawinnya Batara Gowa denga “ I Rerasi” putri Tomakaka Balanipa mandar yang melahirkan Sombaiyya Ri Gowa IX Daeng matanre Karaeng Tumaqrisi Kallonna.
Hubungan kekerabatan antara kerajaan Gowa dengan kerajaan Balanipa dengan menikahnya I manyambungi dengan Karaeng Surya. Hala ini terjadi karena I manyambungi atau sering juga disebut To di laling diketahui seagai kemanakan dari ibunda Sombaiyya Ri Gowa yang kemudian dari hasil perkawinan ini melahirkan I Billa-Billami atau Tomepayung sebagai maraqdia ke-2 Arayang Balanipa.
Nah yang ketiga ini adalah hubungan kekerabatan antara kerajaan Gowa dan kerajaan Sendana mandar adalah dengan kawinnya I Bannaiq maraqdia ke-8 kerajaan Sendana mandar dengan karaeng Baine (putri raja Gowa) sebagai bukti sejarah dari peristiwa perkawinan I Bannang dan Karaeng Baine dari Gowa adalah Somba sebagai ibu kota kecamatan Sendana kab. Majene, dn kisahnya bahwa Somba dahulu bernama “Lamboriq” tetapi setelah menikah antara I Bannaiq dengan Baine terjadi maka Lamboriq di ubah namanya menjadi . sewaktu karaeng Baine di bawa pulang ke Sendana, supaya dimana saja Karaeng Baine menetap, maka daerah itu harus disamakan namanya dengan daerah asal Karaeng Baine tujuannya agar mudah dicari ketika orang tuanya rindu kepadanya.
Dari ketiga hubungan kerajaan-kerajaan mandar dengan kerajaan Gowa di atas, maka tidaklah mengherankan apabila adanya Asimilasi dan Akulturasi budaya yang terjadi pada tarian Pattuqdu Sarawandang yang ada di kerajaan Sendana tersebut. Bila kita membandingkan Pakaian antara penari Pattuqdu dan Pakkarena maka banyak kesamaannya terlihat, terkecuali pada sanggul, gelang dan kalung/ rantai. Juga pada kata Aule atau Lee pada Pattuqdu ada saja persamaan dengan Pakkarena makassar.
Referensi
Penuturan langsung narasumber I Dateq
Sosialisasi Siriq etika dan estetika di mandar
Penulis: Mujahidin Musa.
(Pemuda asal Batetangnga, saat ini aktif sebagai pengurus Appeq Jannangang reg. Makassar)
=====================
Salah satu daerah yang menjadi
pusat penyebaran awal islam di Sulawesi Barat adalah di wilayah Desa
Batetangnga (Biru dan Penanian) Kec. Binuang. Islam masuk di daerah ini
diperkirakan akhir abad XVI hingga awal abad XVII (sekitar tahun 1600-an yang
dibawa oleh Aji (haji) Sande (lebih dikenal sebagai Tosalama di Penanian, Guru
Bulo, dan ada sumber yang mengatakan bahwa nama beliau adalah Syekh Kamaluddin)
bersama muridnya Pua Kilala (nama gelar) dari Tomadio (Campalagian).
Dalam historiografi islam di
Polewali Mandar, salahsatu Tokoh penyebar islam awal yang terkenal adalah Syekh
Abdurrahim Kamaluddin Tosalama di Binuang yang berhasil mengislamkan Mara'dia
Balanipa ke-IV Kanna i Pattang Daetta Tommuane setelah mengislamkan Mara'dia
Pallis Kanna i Cunang sekitar tahun 1610. Sezaman dengan Sippajollangi Arung
Binuang (masih butuh penelitian lanjut apakah telah memeluk islam waktu itu
atau tidak).
Setidaknya ada dua versi mengenai
keterkaitan antara kedua Tosalama ini. versi pertama mengatakan bahwa Tosalama
di Penanian adalah "partnert" dakwah dari Tosalama di Binuang. versi
kedua mengatakan bahwa Tosalama di Binuang adalah anak dari Tosalama di
Penanian, hasil pernikahannya dengan putri pemangku adat setempat.
(Al Quran peninggalan Syekh Kamaluddin alias Haji Sande' alias Tosalama di Penanian Yang menyebarkan islam di Wilayah Batetangnga pada akhir tahun 1500 an.)
Peninggalan dari Tosalama
Penanian hingga kini masih terawat dengan baik yaitu berupa Al Quran Tulisan
Tangan. Al Quran tersebut kini berada di tangan Drs. Adnan Nota, M.Si, yang
merupakan pewaris Al Quran tersebut. Al Qur'an ini memang diwariskan secara
turun temurun dari generasi ke generasi mulai dari Tosalama Penanian hingga
Imam/Tokoh islam selanjutnya. Peninggalan lainnya berupa Kitab Tahlilan yang
ditulis langsu ng oleh Pua Kilala (Murid Tosalama Penanian).
Penyebaran Islam di Batetangnga
kemudian dilanjutkan oleh Tomitindo Cakkiri'na yang merupakan saudara dari
Tomitindo Tondo'nga dan Tomitindo Tumbiling. hanya saja situs, catatan, tradisi
lisan dan sumber sejarah dan mengenai tokoh ini masih sangat minim dan belum
banyak dikaji secara ilmiah.
Sejarah islam di Batetangnga
selanjutnya terputus hingga sekitar tahun 1920-1940 an. Tokoh Islam yang
terkenal periode ini adalah Tongguru Rida' (KH.Rasyid Ridha, Imam Tonyamang
berasal dari Campalagian), KH.Maddappungan (Qadhi Campalagian, Guru dari Imam
Lapeo, dan rekan dakwah Syekh Hasan Yamani di Campalagian), Qadhi Binuang, dll.
Jika anda tahu atau pernah ke
Biru (Polewali), maka sesungguhnya di sana ada bekas mesjid tua (ingat
permandian Biru, Kanang, nah...lokasinya dkat2 situ. hehehe) yang skarang
tinggal pondasi. mesjid ini tempat KH.Maddapungan, Qadhi Campalagian, KH.
Machmuda, Qadhi Binuang yang berasal dari Soppeng, dan ulama lainya mengajarkan
islam bagi Masyarakat Batetangnga akhir 1920 an hingga awal 1930. tahun 1942
KH. Rasyid Ridha (disebut juga Imang Tonyamang) dari Campalagian mendirikan
Madrasah Arabiyah Islamiyah disini. Walaupun pengajianya cuman di pusatkan di
mesjid dan kolong rumah imam mesjid. madrasah inilah cikal bakal berdirinya
Pondok Pesantren Al Ihsan DDI Kanang.
( Sisa pondasi bekas mesjid tua di Biru)
Salah satu tokoh bernama H.Syamsuddin
Mangnganja' atau yang lebih dikenal Sebagai Tongguru Rawali. Beliau bersama H.
Nota (ayah dari Drs. Adnan Nota). H. Latung, H. Cora dkk adalah generasi
pertama remaja dari Batetangnga yang nyantri ke Campalagian (di bawah bimbingan
KH. Maddapungan) dan beberapa daerah lain. Masa penjajahan Jepang beliau
nyantri lagi di bawah bimbingan KH. Rasyid Ridha/Tongguru Rida'. Setelah
Tongguru Rida' kembali ke Tonyamang, Beliau dan kawan-kawan seperjuangannya
melanjutkan pengajian di Mesjid dan Madrasah Arabiyah Islamiyah di Biru. Beliau
yang juga akrab dikenal sebagai Aji Keccu ( haji yang postur tubuhnya kecil.)
sempat menjabat sebagai Imam Biru dan Imam Desa di Mesjid Nuruh Huda Kanang,
Batetangnga. Selain itu beliau pernah menjabat sebagai Matua ada' (Pattola
Ada') di Bateteangnga menggantikan ayahnya. Beliau yang lahir pada tahun 1922
meninggal di Biru tahun 2014.
( H.Syamsuddin Mangnganja' atau yang lebih dikenal Sebagai Tongguru Rawali mengenakan songkok kuning)
20/09/2015
Pelaksanaan tata laksana pemerintahan kerajaan dimasa lalu
cukup kompleks dan untuk itu diperlukan adanya petugas atau pemangku jabatan
sebagai aparatur kerajaan. Dan salah
satu profesi bergengsi kala itu bahkan mungkin hingga dijaman modern ini adalah
kehadiran seseorang yang berprofesi sebagai Bissu.
( Dalam foto di samping nampak Pemimpin Ritual upacara adat (Bissu) di Bone,tahun 1929 Sumber fotoleren.nl)
Apakah Bissu itu?.
Berikut
hasil dari salah satu diskusi online yang dapat saya sajikan sebagai bacaan
kita semua.
Bissu adalah orang yang dianggap memiliki kemampuan
berkomunikasi dengan Dewata, karna kelebihan yang dimilikinya itu ia menjadi
penghubung antara manusia dengan Dewata. Dewata sendiri adalah sebutan untuk
mendeskripsikan sesembahan manusia di Sulawesi pada jaman dahulu yang berarti
tuhan semesta alam, pencipta langit bumi dan segala isinya.
Ada beberapa pendapat tentang asal kata BISSU, dan berikut
adalah pendapat Andi Rahmat Munawar, seorang pemerhati budaya Bugis yang saat
ini berdomisili di Sengkang, kabupaten Wajo.
1. Dari kata BESSI (yang berarti bersih) kemudian menjadi
BISSU
2. Dari kata BISMILLAH kemudian menjadi BISSU
3. Dari kata BIKSU (serapan dari india) kemudian menjadi
BISSU
kalau pendapat pertama.
1.a) Bessi dalam bahasa bugis artinya Besi (sejenis logam)
dan Tombak (misalnya bessi pakka artinya tombak bercabang)
1.b) Tak pernah ada kosa kata bugis BESSI yang diartikan bersih...selalunya PACCING...kosa kata klasik Bugis tentang bersih yang masih digunakan hingga hari ini.
1.c) Sepertinya, bahasa Indonesia (Bersih) dipaksa untuk
menjadi bahasa Bugis.
1.d) Saya kurang paham linguistik...tetapi sependek
pengetahuan saya, dalam proses "pelidah bugisan" misalnya Abdul
--> Beddu...Razaq --> Razzake....Anwar --> La Naware'...jadi huruf
vokal tetap...kalau Bessi tiba tiba menjadi Bissu belum pernah saya temukan
proses perubahan seperti itu.
Kalau pendapat kedua, Bissu telah ada sebelum Islam secara resmi
dianut masyarakat Bugis, otomatis kosa kata serapan Arab mestinya belum ada.
Kalau pendapat ketiga bahwa, pengaruh bahasa India banyak
dalam kosa kata Bugis kuno seperti sangiang (Sang Hyang), sangkuru (Sang Guru),
Batara, dewa, dst...meski agama yang dianut, bukan hindu atau budha. Jelasnya.
Bissu pertama dalam sejarah adalah We Tenriabeng, saudara
kembar Sawerigading. We Tenriabeng tidak menikah di dunia, tapi ada suaminya di
"langit" yaitu Remmang ri Langi, yang membantu Sawerigading dalam
beberapa perang lautnya. Bissu adalah
pendeta agama Bugis kuno yang syarat kesempurnaan ilmunya adalah I REBBA yaitu
dikubur hidup2 selama 7 hari 7 malam, tanpa makan dan minum serta hanya
bernapas dengan bulo/bambu di mulut. Menurut keyakinan masyarakat dahulu bahwa
jika calon Bissu yang menjalani ujian I Parebba ternyata tidak suci atau tulus
dalam ujiannya maka calon bissu tersebut akan mati dalam proses ujiannya. Hanya
1 orang Bissu yang diangkat dari komunitasnya dengan prosesi di Rebba tadi. Namun
syarat utama sebelum diangkat tentu ada uji kelayakan, dengan melihat
kompetensi dari pemahaman tentang Ade' Pangadereng-nya, seperti yang disinggung
di atas bahwa Bissu sudah bukan lagi Waria/CaLabai melainkan telah melepaskan
nafsu duniawi yang konotasinya mungkin disebut Suci. Untuk melangkah ke jenjang
lebih tinggi lagi dalam hal menjadi Ammatoa, adalah kewenangan dari Dewan Adat
dengan kembali melihat perilaku/adab serta pencapaian pemahamannya (Untuk di
Bone sendiri, Ammatoa saat ini dalam kekosongan posisi). Pungkasnya.
Sedangkan menurut Abdul Hamid, salah seorang pemerhati
budaya Bugis dari Sidrap mengungkapkan catatan B.F. Mattes dari buku ” La Galigo,menelusuri
jejak warisan sastra dunia” (hal 520.), Bissu adalah pendeta Bugis kuno pra Islam.
Ketua para Bissu adalah seorang yang diberi gelar Puang Matowa/Puang Towa. Dia
adalah figur feminim dengan wajah yang licin seperti seorang kasim. Para Bissu
lain adalah lelaki dengan keadaan jasmaniahnya abnormal. Bissu dan tradisi
transvestites (lelaki yg berperan sebagai perempuan). Pada halaman 522 pada
buku yang sama tertulis, Bissu umumnya wadam (wanita adam) atau wanita dari
kalangan putri bangsawan tinggi. Kata bissu berasal dari kata bessi (bugis) yang
berarti bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah (haid), suci, tidak
ada tetek dsb. B.F. Matthes menyebut bissu sebagai priesters en pristeresse. Matthes
menggambarkan Bissu sebagai pendeta pria-wanita.
Bahwa sebagian "Bissu" adalah "Non
Gender" dan bukan pula calabai atau calalai. Bissu memiliki fungsi ritual
sebagai "mediator" Dewata yang hendak menyampaikan pesannya kepada
manusia (Tau). Namun Dewata "tidak tahan dengan bau manusia", maka
mereka memilih "mediatornya" yang bukan "manusia" (tau).
Sementara itu, manusia diidentifikasi dengan "gender" (laki atau
perempuan). Olehnya itu, Bissu sesungguhnya bukan lagi laki-laki ataupun
perempuan dan bukan calabai atau calalai. Adapun sebagian lainnya adalah tetap
mempertahankan "gender" namun melepaskan sebutan "manusia' (tau)
bagi dirinya. Salah seorang "Bissu" yang bergender
"perempuan" adalah : We TenriabEng LaloElona BISSU RI LANGI DaEng
Manutte' (saudara kembar Sawerigading). Setelah menjadi Bissu, beliau tidak
lagi tinggal di Attawareng (dunia) dan berubah menjadi "Batari
Sangiang" (Dewata). Hingga sekarang masih ada Bissu yang mempertahankan
"gender", namun dikalangan Bissu sendiri mereka ini disebut :
Larukkodo Bissu.
Mereka sangat dihormati. Setelah memasuki masa Islam, di mana
hampir semua Kerajaan di Sulawesi Selatan mengakui Islam sebagai Agama
Kerajaan, peran Bissu semakin istimewa, yakni : menjadi "Angkuru
Arajang" (penjaga dan perawat regalia). Bahkan Datu sendiri tidak berwenang
untuk mengeluarkan atau sekedar menyentuh Arajang itu jika tanpa diperkenankan
Bissu. Selain itu pada beberapa Kerajaan, Bissu diberi jabatan selaku "AnrEguru
Attoriolong". Kaum merekalah yang mengatur segala ritual menyangkut
Attoriolong dan juga pelestari Sure' Galigo. Tidak jarang seorang Bissu menjadi
guru khusus bagi "Passure'" dalam Istana dan banyak pula yang
menggubah Sure' SEllEang. Lebih dari itu, mereka pula secara rahasia menerapkan
bahasa Bissu dalam kalangan internal mereka sendiri.
Lalu bagaimana dengan peran Bissu di tanah Mandar?.
Catatan
mengenai Bissu dan aktifitasnya di tanah mandar bisa dikatakan hampir nihil. Sejauh
ini tak ada dalam catatan lontaraq Mandar tentang hal ini, setidaknya lontaraq
yang telah terpublikasi. Keberadaan tentang Bissu di Mandar mungkin hanya bisa
dikaitkan dengan adanya “paleko bissu”. Pada prosesi perkawinan adat di Mandar,
paleko bissu adalah ornamen pelengkap berupa kain putih yang ditata sedemikian
rupa dan diletakkan dibagian atas “lamming”. Tidak sembarang orang yang bisa
menggunakan paleko bissu ini, yakni mereka yang punya darah bangsawan tinggi
dan dibuktikan dengan silsilah atau lontaraq peruqdusang yang dipunyainya. Jejak
selanjutnya hanyalah berupa keterangan bahwa di daerah sekitar Pambusuang yang
merupakan daerah penyangga kerajaan Balanipa dahulu pernah ada seorang Bissu. Keterangan
ini didapat dari Muhammad Ridwan Alimuddin, seorang pemerhati budaya Mandar
dalam diskusi serupa dengan tema yang sama pada medio Maret tahun 2015. Namun ia tidaklah menjelaskan tentang fungsi Bissu tersebut selama di Mandar
sekaitan dengan pelaksanaan adat, ataupun asal sang Bissu yang dimaksud.
ditulis oleh Zulfihadi
(Ketua dewan pendiri Appeq Jannangang)
===============================
Oleh Rusdi Aco
(Kepala Lembaga Pendidikan Perkoperasian Sul-Bar)
Dari berbagai sumber yang layak dan bisa dipercaya bahwa pada tahun 1300 sampai dengan tahun 1400 di mandar yaitu sebelum adanya apa yang disebut dengan Mara’dia (raja) dari Amara’diangan (kerajaan) dan Taupia ( manusia pilihan) dari ataupiangan ( pemangku hadat) maka tersebutlah disuatu tempat yang belum bernama, seorang wanita yang berwajah sangat cantik pada zaman itu yang bernama I Nipa. Dia adalah anak dari seorang Tomakaka yang bergelar Tomakaka Nipa, yang kemudian dinikahkan dengan Tomakaka Napo lalu keduanya menetap disebuah tempat yang belum bernama yang dalam perjalanan waktu tempat itu kemudian diberi nama Tammajarra sekarang desa Tammajara.
Di tempat mereka menetap dan membina kehidupan berumah tangga, sebuah daerah atau kampung yang belum bernama itu, mereka bermaksud untuk menggali sebuah sumur yang akan digunakan untuk kebutuhan sehai-hari yang tidak jauh dari rumah mereka berdua. Tempat di mana mereka menggali sumur berada di sebuah tempat yang agak tinggi dan di bawahnya terdapat lembang (kali kecil) yang airnya mengalir sangat deras ketika musim hujan tiba, namun ketika musim kemarau kali kecil itu akan kering sehingga pada musim kemarau mereka sangat kesulitan mendapatkan air bersih. Tak lama setelah sumur itu selesai dalam penggaliannya yang hanya dilakukan oleh mereka berdua dengan kedalaman hanya kira-kira dua meter, aneh bin ajaib sumur tersebut bagaikan sebuah mata air yang airnya sangat jernih dan tidak pernah kering walaupun dalam keadaan musim kemarau berkepanjangan , sehingga oleh penduduk setempat memberi nama sumur tersebut yaitu Passauang Nipa (sumur nipa) pemberian nama ini adalah sebagai ungkapan pernyataan hormat dan terima kasih kepada I Nipa dan suaminya Tomakaka Napo karena telah menemukan sumber air serta megizinkan masyarakat setempat untuk mempergunakannya untuk mencukupi kebutuhan sehari hari mereka.
Sumur tersebut lalu dijadikan sumber air minum dan kebutuhan sehari-hari serta menjadi tempat mandi bagi para Tomakaka dan keluarganya pada zaman dahulu dan sekarang ini masih dijadikan sumber air minum satu-satunya baik dalam musim hujan apalagi pada musim kemarau oleh masyarakat setempat yang berada disekitarnya. Di tempat itulah pada generasi selanjutnya, Arayang Billa-billami (Tomeppayung) menggelar pertemuan dengan kerajaan lain.
Adapun nama I Nipa yang dalam perjalanannya menjadi tonggak dan awal sejarah berdirinya dan terbentuknya kerajaan Balanipa , yang berawal adanya kejadian- kejadian atau peristiwa yang terjadi di sekitar sumur yang dibuat oleh I Nipa serta suaminya Tomakaka Napo. Termasuk nama I Nipa yang kemudian diambil sebagai nama kerajaan Balanipa.
Pada zaman dahulu sebelum zaman Tomakaka hingga masuk pada zaman Tomakaka yaitu sebelum adanya zaman Mara’dia maka aturan hukum yang berlaku di wilayah ini adalah hukum rimba atau dikenal dengan adat mati. Siapa yang kuat maka dialah yang berkuasa dan jika terjadi sesuatu yang menjadi sengketa , maka siapa yang menang dalam sebuah pertarungan bagi kaum lelaki atau bagi kaum perempuan adalah merendam kedua tangan dalam air yang sedang mendidih atau minyak kelapa yang sedang mendidih.
Pertarungan dan merendam tangan ini diadakan di sebuah puncak gunung, yang pemenangnya secara otomatis disebut sebagai pihak yang benar, lalu yang kalah disebut sebagai pihak yang bersalah.
Dengan adanya hukum rimba ini dan seiring berjalannya waktu bertahun-tahun kemudian entah berapa puluh tahun lamanya sehingga datanglah seseorang yang tidak diketahui asal usulnya dan tiba-tiba saja muncul di tempat itu dan memiliki ilmu kesaktian yang sangat luar biasa dan masyarakat setempat menyebut dan menggelarnya Tomakaka Tambura (orang kuat dan sakti ) , yang kemudian menjadi perusuh dan menentang semua Tomakaka dan orang-orang sakti di tempat itu.
Tomakaka Tambura secara paksa akan menantang bertarung satu lawan satu di tempat tersebut yang akhirnya dialah yang menjadi pemenang lalu kemudian berkuasa dan memaksakan kehendaknya agar dipatuhi segala perintahnya menurut keinginan hatinya. Selama kepemimpinannya itu membuat masyarakat sangat tersiksa dan ketakutan selama bertahun akan tetapi kemudian dapat dibunuh dalam sebuah pertarungan oleh Imanyambungi (Todilaling)
Hukum rimba ini masih juga berlaku pada masa awal pemerintahan Arayang pertama bernama I Manyambungi dan istrinya bernama Karaeng surya putri dari Sombaiya Ri Gowa dan melahirkan Seorang anak bernama Billa-billa,mi (Tomeppayung) yang diangkat menjadi Arayang Balanipa Ke II ( raja II). Imanyambungi setelah berhasil mengalahkan Tomakaka Tambura kemudian bergelar Todilaling setelah mangkat. I Manyambungi adalah orang yang melanjutkan warisan dari leluhur sebagai salah satu aturan dalam menegakkan hukum di dalam pemerintahannya dan menyelesaikan setiap persoalan dengan aturan adu kekuatan ilmu dan ketahanan fisik yang dilakukan di tempat yang seperti dahulu yaitu Balatau
Dan untuk memutuskan setiap persoalan atau sengeta (perkara) , maka dibangunlah sebuah tempat yang disebut Balatau (Kurungan/kandang yang terbuat dari batu), nama ini disebabkan karena lokasi dari Balatau dipagari batu atau yang menjadi batas adalah dikelilingi dengan tumpukan batu yang menjadi pagar kemudian karena tempat tersebut adalah tempat pertarungan orang (manusia) maka tempat ini kemudian berganti nama yaitu Balatau (kandang orang).
Akibat dari penyelesain sengketa lewat pertarungan (duel) yang terkadang memakan waktu sampai sehari bahkan sampai menjelang malam , maka menurut aturan dari faham animisme ,agama budha dan hindu yang dianut oleh masyarakat ketika itu hingga pertarungan harus dihentikan dan akan dilanjutkan pada keesokan harinya dan seterusnya dan hal semacam ini sering terjadi jika kedua belah pihak sama-sama memiliki paissangan ilmu tingkat tinggi) sehingga dengan adanya kejadian itu maka dibangunlah tiga buah bangunan yang terdiri dari:
1. Bangunan tempat para penegak hukum untuk menyaksikan jalannya eksekusi dengan ukuran 2x3 meter atau 2.1/2 x 3.1/2 meter yang di dalamnya terdapat satu kursi sebagai tempat duduk pa’bicara kaiyyang (hakim) dan empat potongan kayu sebagai tempat duduk algojo dan pengawal
2. Bangunan tempat duel pria dari kedua pelaku sengketa yang berukuran 7 x 7 meter sebagai tempat bertarung yang disebut Situyupurrus yang artinya duel satu lawan satu dan tidak boleh menghindar sebelum salah satu diantaranya ada yang menjadi korban atau keduanya ,pengertian lain dari situyupurrus adalah saling mengikatkan tali celana kolor agar tidak dapat menghindari kematian .
3. Bangunan tempat bertarung wanita yang disebut Sitallangan Bowo artinya saling merendam kedua tangan ke dalam wajan berisi air atau minyak yang sedang mendidih, dan dalam bangunan ini terdapat laliang (tungku) sebagai tempat pamuttu minna (wajan yang berisi air atau minyak kelapa ) yang ditempati oleh perempuan yang bersengketa untuk merendam tangannya kedalam wajan yang air atau minyaknya sedang mendidih dan bangunan ini berukuran 4 x 4 Meter Persegi
Ketiga bangunan tersebut diatapi dengan daun nipa (rumbiah) sehingga disebut balanipa sebagai akronim dari kata bala yang artinya adalah kandang dan diatapi atau ditutup dengan daun nipa sehingga bernama balanipa sampai sekarang.
I Manyambungi bergelar Todilaling sebagai Mara’dia (raja) pertama putra dari Puang Digandang Tomakaka Lemo yang diangkat oleh 4 (empat) kerajaan kecil pada masa itu yaitu : pappuangan dari napo turunan Pappuangan Saleko yang didampingi oleh turunan Pappuangan Buyung, Pappuangan Samasundu turunan Puang Dipangale yang didampingi oleh turunan Puang Dicamba, Pappuangan Mosso turunan Puang Bulewang yang didampingi oleh turunan Puang Dilemo dan Pappuangan Todang-todang turunan ana’lulua yang didampingi oleh turunan ana’ tangnga dan turunan ana’ tappalaus yang kemudian menjadi lembaga adat yang disebut Appe’ Banua Kaiyyang (empat negeri besar atau kerajaan kecil)
Sambungan MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) bagian 4.
Dalam keterangan lontar tidak ditemukan tentang raja-raja
Passokkorang lain selain I Takia Bassi yang kemudian melahirkan I Labassi
Kalling. Ada dugaan jika raja ini (baca: I Takia Bassi) merupakan bangsawan
dari Bone yang eksodus pasca pemberontakan La Dati Arung Katumpi dimasa
pemerintahan Arumpone I Benri Gau Daeng Marowa Arung Matajang (1470 – 1489).
Ketiga: Munculnya Tau pitu di Hulu sungai Saqdang yang dalam
lontaraq Baqba Binanga menerangkan tau pitu yaitu 1).Talombeng Susu pergi dan
menetap di Luwu; 2). Talando Beluhe pergi dan menetap di Bone; 3). Talambeq
Kuntuq pergi dan menetap di Lariang; 4). Pongka Padang pergi dan menetap di
Tabulahan; 5). Paqdorang pergi dan menetap di Belawa; 6). Sawerigading pergi
entah kemana; dan 7). Tanriabeng pergi entah kemana.
Tau pitu dalam keterangan beberapa lontaraq dijelaskan
sebagai manusia pertama ini tidaklah kuat, karena salah satu yang bernama
Pongka Padang itu
Juga diterangkan pergi dan menetap di Tabulahang. Kedatangan
Pongka Padang di Tabulahang itu justru ditemukan diantara rimbunnya hutan
bambu/Tallang (Buntu Bulo) oleh masyarakat Tabulahang (MT. Azis Syah) yang
dalam tulisan Sarman Sahuding peristiwa ini terjadi pada tahun 1190 atau abad
ke-12.
Sangat tidak masuk akal dikatakan sebagai manusia pertama
sebab kedatangan Pongka Padang di Tabulahang itu sudah ada manusia. Dan menurut
keterangan tokoh sejarah di Talippuki Mambi (2012) ini bahwa masyarakat
Tabulahang inilah yang mengawinkan Pongka Padang (Puang Pattimboro) dengan
Torijeqne salah satu keturunan Tokombong di Bura.
Tentang Pongka Padang ini masyarakat Tabulahan-Mamasa
mengabadikannya dalam kitab Sengo-Sengo (salah satu karya sastra yang sering
dijadikan kidung/nyanyian), bunyinya seperti ini: "Mangkutana kada adaq
mettule bukunna litaq urunna titanan indo, tiosoq tappa langngang tau pitu,
rokaq kulambudiraapaq tondo Gowan melluttiqna tanniabe luttuq dai ditassusung.
Rabummi Sawerigading unteppoq kaju bilande nasombalan sau Jaba napopetangnga
jolangan. Keqdeq neneq Pongka Padang unsariri pedalinna, unsele tambalona
mentanete dao mai tanete landa banua tisarraq di Tabulahang. Tungka Seppon
buntu bulo unpadidi tau pitu, dadi tosappulo mesa iyan laun taha manaq laun
bisaq parandanan"
Puang Pattimboro atau Pongka Padang itu sendiri adalah
sebuah gelaran, bukan nama orang. "Pong" artinya Dewa, Tuhan atau
didewakan dan "Ka" adalah kata bantu yang menerangkan kepunyaan,
sepadan dengan kata Puangnga/Puanna. Adapun "Padang" dalam bahasa
Tabulahang dan pattaeq artinya alam, dunia atau lino. (Tuturan dari Drs.
Syahrial Ka. SMK Negeri Tutar). Dan dalam beberapa sumber bahwa Pongka Padang
ini juga menjadi gelaran turunan kegenerasinya, seperti Pongka Padang oleh
orang Baqba Binanga disebut Tobanua Pong/Banua Posi yang menikah dengan
Sanrabone (versi Saiful Sinrang) mengatakan sekitar tahun 1280 an yang mana To
Banua Pong ini oleh kalangan Tomakaka Passokkorang Luyo disebut sebagai
Tomanurung (MT. Azis Syah).
Keempat: Sebagaimana dikisahkan, bahwa pada awalnya
sekelompok orang yang membentuk diri sebagai suatu masyarakat di pinggir pantai
yang dikenal sebagai "To Alau" (orang di timur). Seiring waktu,
masyarakat itu semakin berkembang dan penyebutan identitas mereka sebagai
"To Alau" semakin di sederhanakan menjadi "To Luu", sehingga
pengertiannya bergeser menjadi "orang di laut". Sesuatu yang
sesungguhnya "tentu saja" tidak dipermasalahkan, mengingat
perkampungan mereka terletak dipinggir laut. Seiring waktu, perkampungan itu
kian besar, sehingga sekelompok keluarga memutuskan untuk berpindah kearah
barat untuk memulai kehidupan bercocok tanam. Maka mereka merambah hutan
pegunungan kearah barat hingga menemukan tempat yang cocok. Mereka membangun
perkampungan itu sebagai hunian baru yang akhirnya dikenal oleh masyarakat
"To Luu" sebagai "To Riaja" (Orang di Barat). Waktu berlalu
dan zaman berganti, penyebutan "To Riaja" tersebut kini berubah
menjadi "Toraja".
Dengan fakta-fakta tentang Toriaja atau Toraja ini, apakah
tidak mungkin bahwa dari mereka ini melakukan ekspansi lalu muncul di Sungai
Saqdang, yang dikenal dengan tau pitu (Manusia tujuh). Manusia Tujuh inilah
yang beranak pinak, kawin mawin dan berkembang menjadi sebuah peradaban Talollo
di Tabulahang, Galumpang dan juga di Baras. Ini akan menjadi sebuah kajian awal
untuk kemudian menelusurinya kembali lalu kita lisan tuliskan.
Tomanurung
Istilah Tomanurung mempunyai dua konsep yang harus menjadi
acuan, yaitu Tomanurung sebagai sebuah penghargaan yang diberikan kepada
pendatang baru yang memiliki cara berfikir lebih maju. Tomanurung menjadi gelar
kehormatan bagi seseorang yang mampu memberi petunujuk dan menuntun masyarakat
pada saat itu. Dan Tomanurung sebagai manusia paling awal tiba disetiap
wilayah, entah itu di gunung atau di pantai, istilah Tomanurung ini
punya ruang disetiap kelompok masyarakat.
Hal ini penting, sebab Tomanurung itu sendiri bukan hanya di
Mandar tapi juga dibeberapa daerah di Sulawesi bahkan daerah lain diluar
Sulawesi. Tomanurung di Mandar yang kita kenal adalah Tokombong Dibura, Tobisse
Ditallang, Tonisesse di Tingalor dan Tomonete Ditarrauwe. Keempat Tomanurung
ini juga tidak secara merata difahami dan diyakini oleh orang Mandar, sebab
dibeberapa wilayah juga punya Leluhur yang diposisikan sebagai Tomanurung.
Intinya sehingga disebut Tomanurung karena tidak diketahui
secara pasti kedatangannya. Tomanurung dalam Lontar Pattappingang Pamboang dan
cerita rakyat Mandar diartikan sebagai orang yang turun dari kayangang (dari
langit) dan ia tidak tergolong sebagai manusia biasa, ia dianggap sebagai dewa
dengan membawa ajaran keselamatan dan kemaslahatan ummat manusia, makanya
dianggap sebagai manusia luar biasa.
Sesungguhnya Tomanurung itu adalah orang asing entah orang
Portugis, atau dari daratan Cina, dimuliakan oleh masyarakat pribumi, karena
memiliki kelebihan, keahlian dan keistimewaan berupa wawasan serta cara pandang
yang lebih baik yang tidak dimiliki oleh masyarakat pribumi. Selain memiliki
pola pikir yang lebih matang, To Manurung juga berparas wajah lebih
tampan/cantik dibanding dengan penduduk asli. Karena kelebihan-kelebihan yang
dimiliki itulah, maka penduduk asli mempercayakan kepemimpinan kepada
Tomanurung untuk memimpin komunitas masyarakat itu. Ia memiliki kepemimpinan
kharismatik, karena berhasil menetralisir keadaan masyarakat yang sedang kacau
balau.
Tomakakaq
Tomakakaq adalah suatu kepemimpinan pada komunitas
masyarakat yang menempati wilayah tertentu yang salah satu tugasnya adalah
membagi lahan pertanian atau membagi tanah kepada anggota kelompok komunitasnya
(PETAHA MANA’ PEBISA’ PARANDANGANG).
Konsepsi kepemimpinan Tomakaka merupakan salah satu jenis
kepemimpinan asli kaum yang meletakkan dasar-dasar adaq litaq Mandar pada zaman
pra Tomanurung.
Tomakakaq yang berarti to makkelitaq (memiliki
litaq/negeri), to kaka (orang yang dituakan), to maka (layak) yang dalam pengertiannya
adalah sesepuh masyarakat atau orang yang pantas dituakan atau pribumi,
penduduk asli, dan inilah cikal bakal menjadi bangsawan Hadat menempati jabatan
legislatif (Pappuangang/¬Paqbicara).
Dan kepemimpinan Tomakaka ini berlangsung hingga akhir abad
XIV Masehi, yang walaupun dibeberapa wilayah masih ada kepemimpinan Tomakakaq,
misalnya Tomakaka Ulumanda dan ini berlangsung hingga terintegrasi (bergabung)
kedalam Negara kesatuan Indonesia Republik Indonesia.
Kepemimpinan Tomakakaq di Pitu Baqbabana Binanga mengangkat
banyak pejabat pembantu untuk berbagai urusan kesejahteraan rakyat yang semakin
meningkat tuntutannya. Para pejabat pembantu itu seperti Paqbicara, Tomabubeng,
dan sebagainya untuk mengurus kepentingan rakyat. Dalam sejarah Tomakakaq di
Mandar tercatat sebanyak 41 Tomakakaq.
Maraqdia
Lambat laun tokoh Tomakakaq yang semakin mengurangi
simpatinya dimata rakyat, kehilangan wibawa dimata rakyat dan memperlebar
jaraknya dengan rakyat, maka terjadilah reformasi kepemimpinan dan merubah
sistim kepemimpinan menjadi Maraqdia. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh
budaya luar khususnyya dari Islam Melayu, dari Arab, dari Gowa, Bone, Luwu,
Kutai, Banawa (Kaeli), Jawa dan beberapa daerah lain dalam hubungannya dengan
lintas perdagangan.
Penutup
Demikian tulisan ini saya sampaikan sebagai pengantar dan
acuan diskusi kita pada proses penelusuran-penelusu¬ran sejarah peradaban
manusia Mandar. Semoga dalam perjalanan selanjutnya, kita sudah bisa menyajikan
sebuah periodesasi sejarah peradaban manusia Mandar. Mulai dari Zaman
Prasejarah, Zaman Sejarah, Tomanurung, Era Pongka Padang (Puang Patimboro) dan
Torijeqneq, Periode Tomakakaq, Maraqdia, Arajang, sampai kepada Periodesasi
masuknya Islam di Mandar, Periodesasi Perjuangan mappatumballeq litaq, sampai
kepada pembentukan provinsi Sulawesi Barat dan tentunya kita berharap setiap
penulisan nama tokoh/raja sudah harus dicantumkan tahunnya. Sebab jika hanya
menyebut nama, ada kekhawatiran sejarah kita makin semrawut karna dalam
perjalanan panjang peradaban kita ini sering kita temukan nama tokoh/raja
memiliki nama yang sama dengan leluhur.
Saya tentu berharap tulisan ini menjadi awal untuk melingkar
dalam sebuah aula membincang sejarah, budaya dan peradaban kita. Dan dalam
tulisan selanjutnya saya akan lebih fokus menelusur tentang alur perjalanan
saqbe ke Mandar kaitanya dengan awal mula masuknya Islam di Mandar.
Tulian ini disari dari berbagai sumber, blog dan buku-buku
terkait sejarah kebudayaan, peradaban dunia dan Mandar, seperti Atlantis The
Lost Continent Finally Found (Prof. Arysio Santos), Nation in Trap, Menangkal
Bunuh diri negara dan Dunia Tahun 2020 (Efendi Siradjuddin), Pembebasan
Budaya-Budaya Kita (Editor Agus R. Sarjono). Majene menemukan hari lahirnya (Drs.
Darmansyah), Zulfihadi (Zul Elang Biru), Sarman Sahuding, Muhammad Ridwan
Alimuddin, wawancara dg tokoh (Nurdin Hamma, Tammalele dan tokoh-tokoh pitu
ulunna Salu seperti di Rangoan dan Katimbang-Matangnga-2010,
Malatiro,Tabulahang, Talippuk, Mehalaan dan Lenggo-2011,2012) dan sumber-sumber
lain yang edisinya tidak terlacak.
Akhirnya saya tutup dengan kutipan "Tulisi di
tappaqdanna" (tulislah sebelum semuanya hilang)
(tammat)
Sambungan MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) bagian 3.
Tahun 1884 Adolf Bastian dari Universitas Berlin menerbitkan
buku sebanyak lima volume dengan judul Indonesien onder die Inseln des
Malayischen Archipel (Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu). Buku
inilah yang membuat nama Indonesia menjadi populer di kalangan cendekiawan
Belanda, sehingga membuat sebagian kalangan salah mengira bahwa nama Indonesia
diciptakan oleh Bastian, padahal ia mengambil istilah tersebut dari
tulisan-tulisan Logan. Pada akhirnya istilah Indonesia tersebut sampai ke
tangan orang-orang Indonesia pada awal abad ke-20 dan menjadi indentitas bagi
sebuah bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Belanda.
Menelusur Peradaban Sulawesi
Menurut pemaparan Paul Michael Munoz, peradaban Sulawesi
sudah ada sejak 8000 tahun lalu, yakni dengan munculnya kerajinan mikrolith
Toali di Maros Sulawesi Selatan. Kerajinan itu berupa mata pisau dan mata panah
Maros yang terbuat dari batu belah dengan bentuk-bentuk geometrik.
Untuk menelusuri jejak peradaban di Sulawesi, ada dua
gelombang migrasi yang melatarinya. Gelombang pertama dari ras Mogoloid yang
teerjadi sejak 4000 tahun SM dengan rute awal dari daratan China, menyebrang ke
pulau-pulau yang kini dikenal Taiwan. Dari sana mengarus ke selatan ke pulau
Luzon, Filipina, lalu terbagi dua. Satu ke barat daya mendarat di Kalimantan
bagian utara (2500 tahun SM) dan satunya lagi ke barat laut ke daratan Asia,
yakni wilayah Indochina.
Gelombang migrasi kedua berlangsung 3000 tahun SM, meniti ke
Mindanao dan seterusnya ke daratan Sulawesi Utara, menyebrangi Teluk Tomini ke
daratan Sulawesi Tengah lalu ke Jazirah Sulawesi Selatan. Hal menarik dari
migrasi ini adalah pada setiap tempat-tempat yang dilaluinya, selalu ada konsep
tentang manusia yang turun dari langit atau Tomanurung. Dari pantai barat
Sulsel migrasi berlanjut lewat laut menujupulau Jawa pada 2500 tahun SM, terus
mengarus ke Sumatera dan semenanjung Melayu dan Thailand sampai 1000 tahun SM.
Pada fase 1500 tahun SM ini sudah dikenal kebudayaan
perunggu, bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menetap dan tidak
lagi menjadi manusia pengembara. Ratusan tahun berlangsung kebudayaan ini,
sehingga mereka berkembang dan membentuk sebuah kelompok-kelompok yang lebih
besar, membentuk desa-desa dengan suku multi klan. Dari sinilah dikenal
pemimpin yang tampilannya otoriter karena berdasar pada prinsip egalitee atau
kebersamaan, dimana suara setiap anggota kelompok cenderung sama harganya. Para
pemimpin menjalankan kehendak bersama para anggota dan dengan demikian memiliki
kekuasaan yang tidak terbatas. Hal ini memiliki banyak kesamaan dengan sistem
demokrasi di dunia Barat meski dalam bentuk yang masih sangat sederhana.
Ketika mulai merasa tidak puas dengan keterbatasan kekuasaan
dalam tatanan yang semi demokratis, beberapa diantaranya mulai mencari model
sehingga mereka terjadi persentuhan dengan kebudayaan Hindu yang datang dari
India. Dari sinilah muncul model-model kekuasaan dari semi demokratis menuju
bentuk aristokrasi, kedatuan dan dengan kekuasaan pemimpin yang lebih kuat
semacam model kerajaan.
Dalam catatan lontaraq bisa ditemukan penggambaran situasai
kedatuan atau kerajaan model awal di jazirah Sulawesi. Dikalangan mereka sering
berselisih dengan yang lain dalam melindungi kepentingan masing-masing.
Terlebih kepada kelompok yang berada jauh terpisah seperti Kalimantan dan
sebagainya. Namun situasi ini kemudian membuat mereka menemukan solusi dengan
membentuk semacam konfederasi yang dipimpin pertama kali oleh Tomanurung yang
dikonsepsikan sebagai Tomanurung.
Dalam konfederasi, sistem semi demokrasi menjadi prinsip
yang egalite dan humanite yang dipegang teguh. Para pemimpin disegala tingkat
mengabdikan diri untuk menjaga harkat dan martabat manusia yang menjadi rakyat,
mengupayakan kesejahteraan dan menjaga ketertiban. Pemimpin yang melakukan
penimpangan akan mendapatkan sanksi rakyat melalui dewan adat. Tadisi
pendampingan penguasa oleh dewan adat ini bertahan lama. Dewan adat ini ada
yang beranggotakan sembilan maka disebut Adaq Salapang (Makassar). Demikian
juga yang beranggotakan tujuh disebut Adaq Pitue (Bugis) dan termasuk di Mandar
ada dewan adat yang beranggotakan empat banua maka disebut dengan Pitu ulunna
Salu Pitu Baqbana Binanga dan pada perkembagan selanjutnya sikenal Appeq Banua
Kayyang (Arajang Balanipa). Adapun rakyat yang merupakan sumber kekuasaan
menunjukkan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Dengan
demikian keseimbangan antara hak dan kewajiban terjaga dengan baik.
Inilah yang mendasari sehingga pada masa itu tidak heran
jika seorang pemimpinnya meninggal dunia, para pelayan setianyapun rela ikut
dengan junjungannya dikubur hidup-hidup demi menunjukkan sebuah pengabdian yang
betul-betul disakralkan dan dijunjung tinggi, salah satu contohny adalah I
Manyambungi Todilaling yang sampa hari ini masih bias kita lihat pekuburannya
di Desa Napo.
Menelusur Peradaban Mandar
Menelusur sejarah peradaban di Mandar dapat dimulai dari
beberapa peristiwa sebagai tonggak sejarah peradaban Mandar. Pertama: Adanya
penggalian daerah Sampaga pada bulan Mei 1933 di Lembah Sungai Karama Kabupaten
Mamuju yang menemukan beberapa peralatan prasejarah seperti batu dan gerabah.
Kemudian dilanjutkan dengan dua kali penelitian di tempat
yang sama di Bukit Kamassiq yang menemukan alat-alat seperti pisau, kapak batu,
kapak batu segi empat, mata panah yang halus, beserta pecah-pecahan tenbikar
yang berukir. Penggalian pertamanya sendiri dilakukan oleh PV. Van Callenvels
pada tahun 1933 di bagian tikur sedangkan penelitian yang kedua dilakukan oleh
Dr. HR. Van Hee Karem 1949 menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu, yang
ada kemiripannya dengan Neolithic di Luzon (Philipina), Manchuria (Mongolia),
Hongkong dan sebagainya.
Penelitian yang dilakukan di bagian selatan puncak Magassiq
ini juga ditemukan gerabah berhias yang dinilai oleh para arkeolog telah
menunjukkan keteraturan kebudayaan di daerah Galumpang Kabupaten Mamuju ini
terlingkup dalam satu wilayah Sa-huynh Kalanay, Philipina, Vietnam dan beberapa
daerah di kawasan Pasifik.
Hal berikutnya juga pernah dilakukan oleh Dr. FDK Bosch yang
mencoba membandingkan hasil temuan Amiruddin Maula salah seorang tokoh pendidik
di Kabupaten Majene yang menemukan Patung dan dibandingkannya dengan patung
Budha dari Solok Sumatera Barat, Kotabangun Jambi, Kalimantan Barat, Gunung
Lawu, Jawa Tengah,
Kesimpulannya, tidak ada satupun kemiripan atasnya. Dan
setelah dibandingkan dengan patung Budha yang ada di India, Muka dan Gandhara,
disimpulkan kemudian bahwa patung tersebut dipengaruhi oleh gaya dan kemiripan
dengan Budha Greeco yang ada di India Selatan yang beraliran kesenian Amarawati
yang juga sangat besar pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-2-7
Masehi. Inilah yang menjadi penanda tentang adanya peradaban di
Mandar. Dan tentu saja penemuan ini bukanlah satu-satunya yang bisa dijadikan
rujukan, sebab catatan sejarah peradaban di Sulawesi itu berlangsung jauh
sebelum Masehi, sehingga kedepan masih akan banyak kita temukan posil dan
artefak sejarah yang bisa dijadikan data pendukung tentang eksistensi komunitas
manusia Mandar pada periode sebelum dan awal abad masehi.
Kedua: Adanya gelombang migrasi kedua berlangsung 3000 tahun
SM, itu rutenya meniti ke Mindanao dan seterusnya ke daratan Sulawesi Utara,
menyebrangi Teluk Tomini ke daratan Sulawesi Tengah lalu ke Jazirah Sulawesi
Selatan. Dari sini kemudian saya meyakini bahwa diantara imigran itulah yang
menjadi komunitas pertama manusia-manusia Mandar di pesisir. Beberapa informasi
yang didapatkan itu, terlepas apakah bisa dibuktikan secara ilmiah atau tidak
namun saya kira menarik untuk bahan diskusi kita demi menemukan sebuah konsep
kesefahaman dalam penulisan periodesasi sejarah Mandar.
Dalam hal ini, menarik kita bandingkan dengan tulisan
Zulfihadi (Radar Sulbar: edisi Kamis, 13/08/15) tentang awal sejarah Passokkorang
yang hingga saat ini belum diketahui pasti tentang sejarah awal penamaan
Passokkorang. Dalam tulisannya ia mengisahkan ketika zaman prasejarah yang
menyelimuti daratan pulau Sulawesi, atau bisa dikatakan era pra Tomanurung.
Masa dimana orang belum mengerti apa itu agama.
Di sekitar aliran sungai Mapilli (saat itu belum dinamai
sungai Mapilli) terdapat beberapa komunitas manusia penghuni awal.
Komunitas-komunitas ini sangat menyukai perang, dan mereka seringkali saling
menyerang antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Namun dimasa
itu belumlah dikenal senjata perang, sehingga mereka berperang hanya dengan
kayu dan paling banyak dengan saling menggigit lawannya. Ada kemungkinan
kondisi inilah yang disebut dalam kitab epos I Lagaligo dengan kondisi “sianre
bale”, dimana kondisi ini digambarkan penuh dengan kekacauan. Dari kebiasaan
perang dengan cara saling menggigit inilah muncul nama PASSIKOKKOANG yang
kemudian secara perlahan berubah penyebutannya menjadi PASSIKOKKORANG dan
akhirnya menjadi PASSOKKORANG. Masyarakat komunitas ini sangatlah pemberani,
memiliki kekebalan dan juga pandai menundukkan mahluk halus. Setelah beberapa
generasi kemudian, masuklah era Tomanurung. Tatanan peradaban pun menjadi lebih
baik dan kebiasaan perang dengan saling menggigit dihentikan, namun demikian
wilayah yang dulunya sering menjadi tempat bermukim komunitas ini tetap dikenal
dengan nama Passokkorang atau Buttu Passokkorang saat ini.
Lebih lanjut, Zulfihadi menjelaskan dalam tulisannya, setelah
beberapa generasi kemudian, kisah dan sejarah Passokkorang hilang hingga
kemudian muncul kembali setelah terbentuknya Passokkorang menjadi sebuah
kerajaan. Tidak diketahui tentang siapa pendiri kerajaan Passokorang, namun
dari berbagai cerita tutur dan pengamatan lapangan dapat diambil beberapa
kesimpulan. Passokkorang adalah sebuah kerajaan berdaulat dan menjalin
persahabatan dengan kerajaan - kerajaan tetangga, bahkan salah satu raja
Passokkorang yang bernama I La Bassi Kalling mempunyai seorang istri yang
merupakan putri dari kerajaan Batu Lappa (masuk dalam wilayah kabupaten
Pinrang, Sulawesi Selatan sekarang).
Kerajaan Passokkorang (bukan komunitas-pen) diperkirakan
berdiri pada sekitar tengah tahun 1400-an M. dan runtuh pada awal 1500-an yang
bisa dilihat persamaan time linenya dengan beberapa raja kerajaan tetangga
semisal Raja Bone V La Tenri Sukki Mappajung E (1516 – 1543) atau, Arung Matowa
Wajo IV La Palewo to Palippu (1491 – 1521) (bersambung....)
Sambungan MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) (bagian 2).
Bukti lain bahwa Indonesia adalah batas pemisah antara dua
samudera besar, yaitu samudera Fasifik dan Samudra Hindia. Pada zaman es, seluruh
wilayah muncul, membentuk sebuah benua luas yang terbentang hingga Asia
Tenggara dan Semenanjung Melayu (dulu disebut Lanka atau Taprobane). Ketika
permukaan laut naik sekitar 130 meter atau lebih, dataran-dataran rendah yang
sangat luas di paparan Indonesia menjadi terendam dan menghilang di bawah laut
secara permanen. Hanya dataran-dataran tinggi dan puncak-puncak vulkanis yang
tersisa sebagai saksi bisu bencana alam itu.
Dataran-dataran tinggi dan puncak-puncak vulkanis inilah
yang menjelma menjadi ribuan pulau di Indonesia. Mereka yang bertahan hidup
terpaksa keluar dan pindah ke India yang sebenarnya dan ke tempat-tempat lain
seperti Asia Tenggara, China, Polinesia, Amerika, Timur dekat dan sebagainya
sehingga akhirnya mereka sampai ke Eropa dan wilayah-wilayah Barat Jauh
lainnya. Dari sanalah mereka membangun peradaban kuno yang kita kenal saat ini.
Riwayat-riwayat paling jelas tentang daratan yang tenggelam ini tersimpan dalam
tradisi-tradisi suci India, yaitu ditempat-tempat seperti Lanka, Kumari Kandam,
Tripura dan sebagainya. Mereka yang terpaksa pindah inilah yang menjadi ahli
waris langsung dari kebudayaan agung yang usianya sangat tua itu.
Selain Prof. Arysio Santos, tercatat juga Stephen
Oppenheimer, ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Oxford University,
Inggris, lewat bukunya yang merupakan catatan perjalanan penelitian genetis
populasi di dunia, ia mengungkapkan bahwa peradaban yang ada sesungguhnya
berasal dari Timur, khususnya Asia Tenggara. Hal itu disampaikan Oppenheimer
dalam diskusi bedah bukunya berjudul ‘Eden in The East’ di gedung LIPI, Jalan
Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Kamis 28 Oktober 2010.
Sejarah selama ini mencatat bahwa induk peradaban manusia
modern itu berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia. Tetapi, menurut
dia, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu
yang sering disebut dengan Sundaland atau Indonesia. Apa buktinya? “Peradaban
agrikultur Indonesia lebih dulu ada dari peradaban agrikultur lain di dunia,”
kata Oppenheimer dalam diskusi yang juga dihadiri Jimly Asshiddiqie.
Buku “Eden in The East” oleh Stephen Oppenheimer ini ingin
mengubah paradigma yang ada selama ini, bahwa peradaban paling awal adalah
berasal dari daerah Barat. Namun dalam perjalanan yang dilakukannya dimulai
dengan komentar tanpa sengaja oleh seorang pria tua di sebuah desa zaman batu
di Papua Nugini. Dari sana dia mendapati kisah pengusiran petani dan pelaut di
pantai Asia Tenggara, yang diikuti serangkaian banjir pasca-sungai es hingga
mengarah pada perkembangan budaya di seluruh Eurasia.
Oppenheimer meyakini temuan-temuannya itu, dan menyimpulkan
bahwa benih dari budaya maju, ada di Indonesia. Buku ini juga, ingin mengubah
secara radikal pandangan tentang prasejarah. Pada akhir Zaman Es, banjir besar
yang diceritakan dalam kitab suci berbagai agama benar-benar terjadi dan
menenggelamkan paparan benua Asia Tenggara untuk selamanya.
Peta migrasi manusia selama 160.000 tahun zaman es terakhir
oleh Stephen Oppenheimer. Ini adalah hasil kerjanya yang didasarkan pada DNA
mitokondria, bukti kromosom Y, arkeologi, klimatologi, dan studi fosil dan
melacak rute dan waktu migrasi manusia keluar dari Afrika dan ke seluruh dunia.
Hal itu yang menyebabkan penyebaran populasi dan tumbuh
suburnya berbagai budaya Neolitikum di Cina, India, Mesopotamia, Mesir dan
Mediterania Timur. Akar permasalahan dari pemekaran besar peradaban di wilayah
subur di Timur Dekat Kuno, berada di garis-garis pantai Asia Tenggara yang
terbenam. “Indonesia telah melakukan aktivitas pelayaran, memancing, menanam
jauh sebelum orang lain melakukannya,” ujar dia.
Oppenheimer mengungkapkan bahwa orang-orang Polinesia
(penghuni Benua Amerika) tidak datang dari Cina, tapi dari pulau-pulau Asia
Tenggara.
Sementara penanaman beras yang sangat pokok bagi masyarakat
tidak berada di Cina atau India, tapi di Semenanjung Malaya pada 9.000 tahun
lalu. Akibat iklim Bumi yang semakin panas saat zaman es secara dramatis pada
65-52 ribu tahun yang lalu, membuat air laut semakin naik di daerah
khatulistiwa yaitu Indonesia. Keadaam itu memaksa nenek moyang manusia pindah
dari daerah khatulistiwa ke daerah utara dan selatan Bumi. (Stephen
Oppenheimer)
Buku Eden In The East juga mengungkapkan bahwa berbagai suku
di Indonesia Timur adalah pemegang kunci siklus-siklus bagi agama-agama Barat
yang tertua. Buku ini ‘membalikkan’ sejumlah fakta-fakta yang selama ini
diketahui dan dipercaya masyarakat dunia tentang sejarah peradaban manusia.
Bukti-bukti ilmiah dan kesimpulan dari peneliti Prof. Arysio
Santos ataupun Stephen Oppenheimer ini, mungkin sebagian akan menganggap
sebagai bualan, peneliti yang bias, tapi terpulang kepada kita bahwa melihat
struktur budaya dan peradaban yang begitu beragam di Nusantara kita ini,
termasuk artefak sejarah, paling tidak memberi spirit buat kita sebagai
generasi untuk bangga menjadi pewaris peradaban tua didunia, yang selain ada
juga sekaligus diakui oleh peneliti-peneliti dari barat.
Sekilas tentang Nama Nusantara
Pada zaman purba, kepulauan Indonesia disebut dengan aneka
nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai
(Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan
ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata
Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya
pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik
Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang
terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah yang kemudian menjadi Indonesia
Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal
dari nama bahasa Arab luban jawi “kemenyan Jawa”, sebab para pedagang Arab
memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax Sumatrana yang dahulu hanya tumbuh
di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa”
oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab
juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua
pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan
bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka,
daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah
“Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia
Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama
“Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien)
atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales).
Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu”
(Maleische Archipel, Malay Archipelago, Archipel Malais).
Pada zaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan
adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan
Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker
(1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan
nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu Insulinde, yang
artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Nama
Insulinde ini kurang populer.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker
(1879-1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli),
memperkenalkan suatu nama yaitu Nusantara, istilah yang telah tenggelam
berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno
zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan
oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun
1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda
dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara
digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa
Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa).
Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah nusantara, isun
amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati
istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang
berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan
mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru
yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk
dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini
dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia
Belanda. Dan sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan
Indonesia.
Sekilas Tentang Indonesia
Orang yang pertama kali memperkenalkan nama Indonesia adalah
orang Inggris bernama George Samuel Windsor Earl dalam tulisannya yang berjudul
“On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian
Nations” pada tahun 1850 di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia
(JIAEA), terbitan Singapura.
Dalam tulisan tersebut Earl mengusulkan dua alternatif nama
untuk menggantikan sebutan Hindia (Indie/India), yaitu Malayunesia dan
Indunesia. Earl sendiri lebih menyukai menggunakan sebutan Malayunesia
mengingat bahasa pergaulan (lingua franca) di kepulauan ini adalah bahasa
Melayu. Selanjutnya Richardson Logan mengambil nama Indonesia dari Earl dan
untuk alasan kenyamanan pelafalan, ia mengganti huruf u menjadi o. Untuk
pertama kalinya nama Indonesia muncul di dunia internasional melalui tulisan
Logan di JIAEA (1850) yang berjudul “The Ethnology of the Indian Archipelago”. (bersambung....)
Sambungan MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) bagian 1.
Belum lagi Albert Camus yang menuliskan bahwa banyak sekali
hal-hal yang tragis, absurd dan saling bertentangan yang ditemui dalam sejarah
manusia yang tidak dapat difahami melalui disiplin-disiplin atau
kategori-kategori yang biasa dipakai oleh ilmu pengetahuan.
Sampai disini tentu kita semua akan terbata untuk mencoba
memberikan gambaran perjalanan sejarah peradaban kita di Mandar. Tapi justru
dari kebuntuan inilah kemudian saya mencoba menghidupkan kembali apa yang
disebut Proust memoire volontaire, kenangan yang tidak dirancang. Artinya,
mencoba menghubung-hubungkan¬ beberapa peristiwa antara kejadian di Nusantara
dan bahkan dunia dengan kejadian di Sulawesi dan di Mandar.
Dari sini kita akan menemukan sebuah kerangka untuk mulai
merumuskan periodesasi sejarah peradaban kita di Mandar.
Awal Peradaban Manusia
Sebagaimana tulisan saya di Radar, 08-11 Juli 2015
(Menelusur Penulisan Sejarah Mandar), saya ingin memberikan gambaran awal
peradaban manusia dari sejak nenek moyang kita memasuki tahap menjadi manusia
"sempurna", mereka hidup dengan cara Palaeolitik Rendah kecuali
generasi terakhir - mungkin generasi keenam belas.
Sekumpulan manusia pada zaman Palaeolitik Rendah berjumlah
sedikit dan memberi tempat yang luas kepada kumpulan-kumpulan makhluk lain
untuk hidup di biosfir ini. Dalam fase itu mereka membutuhkan biosfer untuk
bertahan hidup.
Sebelum tiba ke masa sejarah, manusia berada dalam kesuraman
masa sejarah. Kelompok-kelompok manusia tidak tiba pada waktu yang sama kedalam
masa sejarah, yakni masa yang bisa dicatat dalam sejarah dengan tingkat-tingkat
kemajuan peradaban. Hal ini membuat salah satu dari kelompok manusia itu ada
yang berhasil masuk kedalam sejarah cukup cepat dan ada juga yang lamban
sehingga lebih lama terendam dalam kesuraman masa prasejarah.
Effendi Sirajuddin, dalam bukunya Nation In
TrapMesir(Menangkal Bunuh diri Negra dan Dunia tahun 2020) menjelaskan secara
gamblang bahwa salah satu kelompok manusia yang telah memulai membangun
peradaban yang maju di lembah-lembah tempat mengalirnya Sungai Nil yang diapit
oleh Gurun Barat dan Gurun Timur di Afrika bagian utara. Peradaban Mesir
mencapai puncak kecemerlangan saat Menes berhasil mempersatukan Mesir wilayah
hulu Nil dengan Mesir hilir, 3200 SM dan berhasil menjadi Fir'aun pertama. Saat
Nabi Musa masuk memimpin kaumnya agar bebas dari perbudakan, Mesir sudah 900
tahun menjadi bangsa yang besar secara politik dan ekonomi, meski kekuasaan
dikendalikan dengan cara yang keji.
Peradaban maju Mesir berlangsung hingga 300 tahun SM saat
Iskandar Agung berhasil menaklukkan Mesir. Setelah Iskandar yang agung wafat,
salah seorang Jenderalnya berhasil mendirikan dinasti baru yang dikenal dengan
Dinasti Ptolemeus. Namun dibawah kendali Ptolemeus masa cemerlang Mesir
berangsur-angsur meredup. Sampai Ratu Cleopatra yang naik tahta di tahun 51 SM
saat berusia 17 tahun, Mesir sudah masuk dalam periode memudar (lemah secara
ekonomis maupun secara militer). Adapun yang membuat Ratu Cleopatra termasyhur
tidak lebih karena legenda percintaannya dengan Marcus Antonius, salah seorang
jenderal perang penguasa Romawi, Julius Caesar.
Peradaban yang juga mengalami kemajuan pesat adalah
Mesopotamia yang dialiri oleh sungai Eufrat dan Sungai Tigris. Dimulai saat
Hammurabi naik tahta di Babilonia 1750 SM berlangsung selama 42 tahun yang
diteruskan oleh Kaisar Nebukadnezar II yang berhasil membangun Menara
Babilondan Taman Gantung, sekaligus menjadi simbol kecemerlangan. Nanti mulai
pudar setelah Nabodinus naik tahta. Nabodinus dikenal lemah, lamban dan peragu
sehingga pada tahun 534 SM, Babilonia berhasil direbut oleh Cirus yang Agung
dari Persia dengan hampir tanpa pertempuran sama sekali.
Ada hal yang perlu dicatat bahwa peradaban Mesopotamia (baik
pada masa kekuasaan Sumeria maupun Babilonia) berhasil membangun pusat-pusat
perkotaan kaya yang sekaligus menjadi pusat peradaban. Tempat berkembangnya
seni, sastera, keahlian tehnologi, pusat industri, dan berbagai spesialisasi
perdagangan. Termasuk menjadi awal dikembangkannya sistem tulis menulis yang
praktis, sehingga memacu revolusi dalam komunikasi manusia yang pada akhirnya
mendorong kemajuan budaya dan pemikiran, serta konsep dan praktek ekonomi.
Manusia penghuni India Barat laut, pada 3000 tahun SM, belahan
sebelah Barat Sungai Indus berubah menjadi pemukiman yang teratur. Kota Mahenjo
Daro (400 km dari muara sungai Indus di Laut Arab selatan) dan Harappa (Wilayah
sungai-sungai hulu Indus Utara) dibangun dengan sistem tata kota yang unggul,
mulai dari sanitasi yang prima, jalan tertata baik, hingga gedung-gedung
berlantai lima, menjadi penanda kebangkitan suatu peradaban maju. Pertanian dan
Industri sudah ditopang dengan tehnologi, serta pelabuhan modern dengan dermaga
bertembok batu bata sepanjang 2 km, memungkinkan kapal-kapal bisa bongkar muat
setiap saat karena dilengkapi pintu-pintu air yang bisa mengendalikan permukaan
air disaat pasang atau surut.Pada saat yang sama Harappa sudah berdagang emas,
tembaga, pirus, zamrud, dan hasil kayu pegunungan Himalaya dan kapal-kapalnya
berlayar dari laut Arab ke Mesopotamia melalui Teluk Persia membwa gading dan
kapas.
Para arkeolog dan antropolog sering menyebut peradaban India
setua dengan peradaban itu sendiri dan selalu dapat di sejajarkan dengan
peradaban Nil dan Mesopotamia. Namun peradaban Harappa ini hancur tiba-tiba
tanpa melalui proses degradasi setelah berusia 1000 tahun (antara 2500-1500
tahun SM). Para ahli menyebutkan bahwa kehancuran Harappa ini lebih disebabkan
oleh krisis kepemimpinan, termasuk akibat kelalaian dalam mengelola alam,
karena hutan-hutan dieksploitasi secara berlebihan (Mahenjo Daro). Eksploitasi
hutan ini berimbas pada bencana banjir yang tentu saja menyebabkan garis pantai
laut Arab naik, sehingga teknologi pengendalian air di pelabuhan tak berdaya.
Beberapa pelabuhan digeser ke hulu yang menyebabkan para industrialis, petani
dan peniaga meninggalkan kedua kota penting dalam sejarah peradaban ini.
Kehancuran peradaban Indus ini tuntas ketika kaum Arya masuk
meluluh lantakkan seluruh kota dan merusak bukti-bukti peradaban Lembah Sungai
Indus sampai ke timur, yaitu Bihar dan Benggala. Kaum Arya ini menyebut diri
mereka "bangsa yang mulia" dan berhasil membangun kerajaan Magadha
yang pendetanya menghasilkan empat kitab Weda (Rig Weda, Yajur Weda, Sama Weda,
dan Atharva Weda) yang kemudian menjadi dasar bagi Hinduisme. Masa 1500-500 SM
ini disebut abad Weda, karena dalam era inilah ada pembagian kasta dalam ajaran
agama, yaitu Brahmana (kaum pendeta) adalah mulut, Ksatriya (para bangsawan dan
militer) adalah lengan, sedang Waisya (pedagang dan petani) adalah paha dan
kaum Sudra (hamba sahaya) adalah kaki yang bersitumpu ke tanah.
Menjelang akhir zaman Weda ini lahirlah Sidharta Gautama
yang menentang ketidaksetaraan dalam tatanan sosial, yang mengajarkan Budha
yang secara esensial beda dengan ajaran kitab Weda. Pada periode ini rakyat
India terbelah dalam urusan agama, sebab ajaran Budha tak mampu merubah tatanan
masyarakat India dibawah kendali para Brahmana dan Ksatriya dan itu berlangsung
sampai hari ini. Ajaran Budha justru lebih berhasilnya ke utara, ke Asia Timur
dan ke China, yang dalam sejarah peradaban berhasil mendirikan Dinasti Shang
(1766-1123 SM) dibawah pemerintahan Kaisar Shang Chao dan turun temurun ke 8
dinasti setelahnya sampai berakhir Dinasti Qing pada 1912 Masehi.
Kemaharajaan India yang besar dan cemerlang untuk pertama
kali terbentuk setelah klaim Raja Darius 500 -300 tahun SM, yaitu dibangun oleh
Chandragupta Mauriya yang mencapai puncak dibawah pemerintahan Raja Ashoka yang
sekaligus menjadikan ajaran Budha ini makin meluas dengan dibangunnya patung
Budha oleh para ahli seni pahat dari Gandhara dan Mathura. Dari sini pula
peradaban sungai Indus bergeser ke daerah aliran Sungai Gangga (sungai suci
bagi ajaran Hindu)
Kedatangan tentara Iskandar Agung dari 200 SM sampai awal
abad Masehi, India tak henti-hentinya di menghadapi invasi, mulai dari orang
Bakria (Yunani), Parthia (Persia), Skitia sampai Kush dari Asia tengah.
Pertengahan abad ke-5 M berturut-turut dua gelombang serbuan bangsa Hum. Dan
pada abad Ke-8 M bangsa Arab menaklukkan Sind dan mulai memperkenalkan Islam
untuk pertama kalinya di India. Dan pengikut Islam umumnya dari penganut Budha.
Islam terus berkembang dari abad ke abad sampai puncak berjayanya pada masa Kemaharajaan
Mughal (abad 16-17) mencakup wilayah terluas dan praktis sepeninggal Raja
Mughal pada paruh kedua abad ke-18 Inggris tumbuh menjadi pemegang kekuasaan
hingga 26 Januari 1947. Yang sekaligus pada tahun itu juga India terbagi dua,
terutama berdasarkan perbedaan agama, menjadi Republik India dan Pakistan.
Menelusur Peradaban Nusantara
Peradaban Nusantara menuju negara bangsa Indonesia amat
panjang. bahkan menjadi temuan beberapa ahli bahwa nusantara ini adalah awal
mula peradaban dunia. Lacakan pertama menurut Prof. Gunawan diperoleh 4000
tahun yang lalu, atau 2000 tahun SM, dengan ditemukannya sejumlah peralatan
yang lazim dipergunakan pada zaman batu muda (neolitikum). Pada zaman ini
alat-alat dibuat dari batu namun sudah diasah sehingga permukaannya menjadi
halus. Demikian juga dengan ditemukannya fosil Homo Soloensis di Pulau Jawa
yang setara dengan manusia Cro-Magnon Perancis yang merupakan fosil dari zaman
neoliticum (50.000-35.000 SM).
Jika kita merujuk pada penelitian Prof. Arysio Santos, seorang
Geolog dan Fisikawan Nuklir dari Brazil, ia bahkan menyimpulkan bahwa Nusantara
(Indonesia) ini adalah tempat lahir peradaban dunia yang berdasarkan pada
istilah Antlantis yang hilang oleh Plato, karna berdasarkan penelitiannya,
bahwa kata “nesos” yang digunakan oleh Plato itu ia temukan di wilayah
Indonesia dan memenuhi kriteria ilmiah yang disyaratkan, bahwa Atlantis itu
ditaburi oleh pulau-pulau vulkanis, seperti kepulauan Azore dan Canary, yang
langsung muncul dari dasar laut. Dikatakannya, bahwa Indonesia ini terletak di
persimpangan tiga lempeng benua yang menciptakan tekanan sangat besar pada
lapisan kulit bumi. (bersambung....)
Langganan:
Postingan (Atom)
SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA
Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...

-
Bawa di arangan (mellullung kaeng lotong) 2x Mattattangai ToPole Dzi Balitung Apamo puti-putiqna (topole Dzi Balitung) 2x Tuppuang ...