Dalam keterangan lontar tidak ditemukan tentang raja-raja
Passokkorang lain selain I Takia Bassi yang kemudian melahirkan I Labassi
Kalling. Ada dugaan jika raja ini (baca: I Takia Bassi) merupakan bangsawan
dari Bone yang eksodus pasca pemberontakan La Dati Arung Katumpi dimasa
pemerintahan Arumpone I Benri Gau Daeng Marowa Arung Matajang (1470 – 1489).
Ketiga: Munculnya Tau pitu di Hulu sungai Saqdang yang dalam
lontaraq Baqba Binanga menerangkan tau pitu yaitu 1).Talombeng Susu pergi dan
menetap di Luwu; 2). Talando Beluhe pergi dan menetap di Bone; 3). Talambeq
Kuntuq pergi dan menetap di Lariang; 4). Pongka Padang pergi dan menetap di
Tabulahan; 5). Paqdorang pergi dan menetap di Belawa; 6). Sawerigading pergi
entah kemana; dan 7). Tanriabeng pergi entah kemana.
Tau pitu dalam keterangan beberapa lontaraq dijelaskan
sebagai manusia pertama ini tidaklah kuat, karena salah satu yang bernama
Pongka Padang itu
Juga diterangkan pergi dan menetap di Tabulahang. Kedatangan
Pongka Padang di Tabulahang itu justru ditemukan diantara rimbunnya hutan
bambu/Tallang (Buntu Bulo) oleh masyarakat Tabulahang (MT. Azis Syah) yang
dalam tulisan Sarman Sahuding peristiwa ini terjadi pada tahun 1190 atau abad
ke-12.
Sangat tidak masuk akal dikatakan sebagai manusia pertama
sebab kedatangan Pongka Padang di Tabulahang itu sudah ada manusia. Dan menurut
keterangan tokoh sejarah di Talippuki Mambi (2012) ini bahwa masyarakat
Tabulahang inilah yang mengawinkan Pongka Padang (Puang Pattimboro) dengan
Torijeqne salah satu keturunan Tokombong di Bura.
Tentang Pongka Padang ini masyarakat Tabulahan-Mamasa
mengabadikannya dalam kitab Sengo-Sengo (salah satu karya sastra yang sering
dijadikan kidung/nyanyian), bunyinya seperti ini: "Mangkutana kada adaq
mettule bukunna litaq urunna titanan indo, tiosoq tappa langngang tau pitu,
rokaq kulambudiraapaq tondo Gowan melluttiqna tanniabe luttuq dai ditassusung.
Rabummi Sawerigading unteppoq kaju bilande nasombalan sau Jaba napopetangnga
jolangan. Keqdeq neneq Pongka Padang unsariri pedalinna, unsele tambalona
mentanete dao mai tanete landa banua tisarraq di Tabulahang. Tungka Seppon
buntu bulo unpadidi tau pitu, dadi tosappulo mesa iyan laun taha manaq laun
bisaq parandanan"
Puang Pattimboro atau Pongka Padang itu sendiri adalah
sebuah gelaran, bukan nama orang. "Pong" artinya Dewa, Tuhan atau
didewakan dan "Ka" adalah kata bantu yang menerangkan kepunyaan,
sepadan dengan kata Puangnga/Puanna. Adapun "Padang" dalam bahasa
Tabulahang dan pattaeq artinya alam, dunia atau lino. (Tuturan dari Drs.
Syahrial Ka. SMK Negeri Tutar). Dan dalam beberapa sumber bahwa Pongka Padang
ini juga menjadi gelaran turunan kegenerasinya, seperti Pongka Padang oleh
orang Baqba Binanga disebut Tobanua Pong/Banua Posi yang menikah dengan
Sanrabone (versi Saiful Sinrang) mengatakan sekitar tahun 1280 an yang mana To
Banua Pong ini oleh kalangan Tomakaka Passokkorang Luyo disebut sebagai
Tomanurung (MT. Azis Syah).
Keempat: Sebagaimana dikisahkan, bahwa pada awalnya
sekelompok orang yang membentuk diri sebagai suatu masyarakat di pinggir pantai
yang dikenal sebagai "To Alau" (orang di timur). Seiring waktu,
masyarakat itu semakin berkembang dan penyebutan identitas mereka sebagai
"To Alau" semakin di sederhanakan menjadi "To Luu", sehingga
pengertiannya bergeser menjadi "orang di laut". Sesuatu yang
sesungguhnya "tentu saja" tidak dipermasalahkan, mengingat
perkampungan mereka terletak dipinggir laut. Seiring waktu, perkampungan itu
kian besar, sehingga sekelompok keluarga memutuskan untuk berpindah kearah
barat untuk memulai kehidupan bercocok tanam. Maka mereka merambah hutan
pegunungan kearah barat hingga menemukan tempat yang cocok. Mereka membangun
perkampungan itu sebagai hunian baru yang akhirnya dikenal oleh masyarakat
"To Luu" sebagai "To Riaja" (Orang di Barat). Waktu berlalu
dan zaman berganti, penyebutan "To Riaja" tersebut kini berubah
menjadi "Toraja".
Dengan fakta-fakta tentang Toriaja atau Toraja ini, apakah
tidak mungkin bahwa dari mereka ini melakukan ekspansi lalu muncul di Sungai
Saqdang, yang dikenal dengan tau pitu (Manusia tujuh). Manusia Tujuh inilah
yang beranak pinak, kawin mawin dan berkembang menjadi sebuah peradaban Talollo
di Tabulahang, Galumpang dan juga di Baras. Ini akan menjadi sebuah kajian awal
untuk kemudian menelusurinya kembali lalu kita lisan tuliskan.
Tomanurung
Istilah Tomanurung mempunyai dua konsep yang harus menjadi
acuan, yaitu Tomanurung sebagai sebuah penghargaan yang diberikan kepada
pendatang baru yang memiliki cara berfikir lebih maju. Tomanurung menjadi gelar
kehormatan bagi seseorang yang mampu memberi petunujuk dan menuntun masyarakat
pada saat itu. Dan Tomanurung sebagai manusia paling awal tiba disetiap
wilayah, entah itu di gunung atau di pantai, istilah Tomanurung ini
punya ruang disetiap kelompok masyarakat.
Hal ini penting, sebab Tomanurung itu sendiri bukan hanya di
Mandar tapi juga dibeberapa daerah di Sulawesi bahkan daerah lain diluar
Sulawesi. Tomanurung di Mandar yang kita kenal adalah Tokombong Dibura, Tobisse
Ditallang, Tonisesse di Tingalor dan Tomonete Ditarrauwe. Keempat Tomanurung
ini juga tidak secara merata difahami dan diyakini oleh orang Mandar, sebab
dibeberapa wilayah juga punya Leluhur yang diposisikan sebagai Tomanurung.
Intinya sehingga disebut Tomanurung karena tidak diketahui
secara pasti kedatangannya. Tomanurung dalam Lontar Pattappingang Pamboang dan
cerita rakyat Mandar diartikan sebagai orang yang turun dari kayangang (dari
langit) dan ia tidak tergolong sebagai manusia biasa, ia dianggap sebagai dewa
dengan membawa ajaran keselamatan dan kemaslahatan ummat manusia, makanya
dianggap sebagai manusia luar biasa.
Sesungguhnya Tomanurung itu adalah orang asing entah orang
Portugis, atau dari daratan Cina, dimuliakan oleh masyarakat pribumi, karena
memiliki kelebihan, keahlian dan keistimewaan berupa wawasan serta cara pandang
yang lebih baik yang tidak dimiliki oleh masyarakat pribumi. Selain memiliki
pola pikir yang lebih matang, To Manurung juga berparas wajah lebih
tampan/cantik dibanding dengan penduduk asli. Karena kelebihan-kelebihan yang
dimiliki itulah, maka penduduk asli mempercayakan kepemimpinan kepada
Tomanurung untuk memimpin komunitas masyarakat itu. Ia memiliki kepemimpinan
kharismatik, karena berhasil menetralisir keadaan masyarakat yang sedang kacau
balau.
Tomakakaq
Tomakakaq adalah suatu kepemimpinan pada komunitas
masyarakat yang menempati wilayah tertentu yang salah satu tugasnya adalah
membagi lahan pertanian atau membagi tanah kepada anggota kelompok komunitasnya
(PETAHA MANA’ PEBISA’ PARANDANGANG).
Konsepsi kepemimpinan Tomakaka merupakan salah satu jenis
kepemimpinan asli kaum yang meletakkan dasar-dasar adaq litaq Mandar pada zaman
pra Tomanurung.
Tomakakaq yang berarti to makkelitaq (memiliki
litaq/negeri), to kaka (orang yang dituakan), to maka (layak) yang dalam pengertiannya
adalah sesepuh masyarakat atau orang yang pantas dituakan atau pribumi,
penduduk asli, dan inilah cikal bakal menjadi bangsawan Hadat menempati jabatan
legislatif (Pappuangang/¬Paqbicara).
Dan kepemimpinan Tomakaka ini berlangsung hingga akhir abad
XIV Masehi, yang walaupun dibeberapa wilayah masih ada kepemimpinan Tomakakaq,
misalnya Tomakaka Ulumanda dan ini berlangsung hingga terintegrasi (bergabung)
kedalam Negara kesatuan Indonesia Republik Indonesia.
Kepemimpinan Tomakakaq di Pitu Baqbabana Binanga mengangkat
banyak pejabat pembantu untuk berbagai urusan kesejahteraan rakyat yang semakin
meningkat tuntutannya. Para pejabat pembantu itu seperti Paqbicara, Tomabubeng,
dan sebagainya untuk mengurus kepentingan rakyat. Dalam sejarah Tomakakaq di
Mandar tercatat sebanyak 41 Tomakakaq.
Maraqdia
Lambat laun tokoh Tomakakaq yang semakin mengurangi
simpatinya dimata rakyat, kehilangan wibawa dimata rakyat dan memperlebar
jaraknya dengan rakyat, maka terjadilah reformasi kepemimpinan dan merubah
sistim kepemimpinan menjadi Maraqdia. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh
budaya luar khususnyya dari Islam Melayu, dari Arab, dari Gowa, Bone, Luwu,
Kutai, Banawa (Kaeli), Jawa dan beberapa daerah lain dalam hubungannya dengan
lintas perdagangan.
Penutup
Demikian tulisan ini saya sampaikan sebagai pengantar dan
acuan diskusi kita pada proses penelusuran-penelusu¬ran sejarah peradaban
manusia Mandar. Semoga dalam perjalanan selanjutnya, kita sudah bisa menyajikan
sebuah periodesasi sejarah peradaban manusia Mandar. Mulai dari Zaman
Prasejarah, Zaman Sejarah, Tomanurung, Era Pongka Padang (Puang Patimboro) dan
Torijeqneq, Periode Tomakakaq, Maraqdia, Arajang, sampai kepada Periodesasi
masuknya Islam di Mandar, Periodesasi Perjuangan mappatumballeq litaq, sampai
kepada pembentukan provinsi Sulawesi Barat dan tentunya kita berharap setiap
penulisan nama tokoh/raja sudah harus dicantumkan tahunnya. Sebab jika hanya
menyebut nama, ada kekhawatiran sejarah kita makin semrawut karna dalam
perjalanan panjang peradaban kita ini sering kita temukan nama tokoh/raja
memiliki nama yang sama dengan leluhur.
Saya tentu berharap tulisan ini menjadi awal untuk melingkar
dalam sebuah aula membincang sejarah, budaya dan peradaban kita. Dan dalam
tulisan selanjutnya saya akan lebih fokus menelusur tentang alur perjalanan
saqbe ke Mandar kaitanya dengan awal mula masuknya Islam di Mandar.
Tulian ini disari dari berbagai sumber, blog dan buku-buku
terkait sejarah kebudayaan, peradaban dunia dan Mandar, seperti Atlantis The
Lost Continent Finally Found (Prof. Arysio Santos), Nation in Trap, Menangkal
Bunuh diri negara dan Dunia Tahun 2020 (Efendi Siradjuddin), Pembebasan
Budaya-Budaya Kita (Editor Agus R. Sarjono). Majene menemukan hari lahirnya (Drs.
Darmansyah), Zulfihadi (Zul Elang Biru), Sarman Sahuding, Muhammad Ridwan
Alimuddin, wawancara dg tokoh (Nurdin Hamma, Tammalele dan tokoh-tokoh pitu
ulunna Salu seperti di Rangoan dan Katimbang-Matangnga-2010,
Malatiro,Tabulahang, Talippuk, Mehalaan dan Lenggo-2011,2012) dan sumber-sumber
lain yang edisinya tidak terlacak.
Akhirnya saya tutup dengan kutipan "Tulisi di
tappaqdanna" (tulislah sebelum semuanya hilang)
(tammat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar