Oleh Rusdi Aco
(Kepala Lembaga Pendidikan Perkoperasian Sul-Bar)
Dari berbagai sumber yang layak dan bisa dipercaya bahwa pada tahun 1300 sampai dengan tahun 1400 di mandar yaitu sebelum adanya apa yang disebut dengan Mara’dia (raja) dari Amara’diangan (kerajaan) dan Taupia ( manusia pilihan) dari ataupiangan ( pemangku hadat) maka tersebutlah disuatu tempat yang belum bernama, seorang wanita yang berwajah sangat cantik pada zaman itu yang bernama I Nipa. Dia adalah anak dari seorang Tomakaka yang bergelar Tomakaka Nipa, yang kemudian dinikahkan dengan Tomakaka Napo lalu keduanya menetap disebuah tempat yang belum bernama yang dalam perjalanan waktu tempat itu kemudian diberi nama Tammajarra sekarang desa Tammajara.
Di tempat mereka menetap dan membina kehidupan berumah tangga, sebuah daerah atau kampung yang belum bernama itu, mereka bermaksud untuk menggali sebuah sumur yang akan digunakan untuk kebutuhan sehai-hari yang tidak jauh dari rumah mereka berdua. Tempat di mana mereka menggali sumur berada di sebuah tempat yang agak tinggi dan di bawahnya terdapat lembang (kali kecil) yang airnya mengalir sangat deras ketika musim hujan tiba, namun ketika musim kemarau kali kecil itu akan kering sehingga pada musim kemarau mereka sangat kesulitan mendapatkan air bersih. Tak lama setelah sumur itu selesai dalam penggaliannya yang hanya dilakukan oleh mereka berdua dengan kedalaman hanya kira-kira dua meter, aneh bin ajaib sumur tersebut bagaikan sebuah mata air yang airnya sangat jernih dan tidak pernah kering walaupun dalam keadaan musim kemarau berkepanjangan , sehingga oleh penduduk setempat memberi nama sumur tersebut yaitu Passauang Nipa (sumur nipa) pemberian nama ini adalah sebagai ungkapan pernyataan hormat dan terima kasih kepada I Nipa dan suaminya Tomakaka Napo karena telah menemukan sumber air serta megizinkan masyarakat setempat untuk mempergunakannya untuk mencukupi kebutuhan sehari hari mereka.
Sumur tersebut lalu dijadikan sumber air minum dan kebutuhan sehari-hari serta menjadi tempat mandi bagi para Tomakaka dan keluarganya pada zaman dahulu dan sekarang ini masih dijadikan sumber air minum satu-satunya baik dalam musim hujan apalagi pada musim kemarau oleh masyarakat setempat yang berada disekitarnya. Di tempat itulah pada generasi selanjutnya, Arayang Billa-billami (Tomeppayung) menggelar pertemuan dengan kerajaan lain.
Adapun nama I Nipa yang dalam perjalanannya menjadi tonggak dan awal sejarah berdirinya dan terbentuknya kerajaan Balanipa , yang berawal adanya kejadian- kejadian atau peristiwa yang terjadi di sekitar sumur yang dibuat oleh I Nipa serta suaminya Tomakaka Napo. Termasuk nama I Nipa yang kemudian diambil sebagai nama kerajaan Balanipa.
Pada zaman dahulu sebelum zaman Tomakaka hingga masuk pada zaman Tomakaka yaitu sebelum adanya zaman Mara’dia maka aturan hukum yang berlaku di wilayah ini adalah hukum rimba atau dikenal dengan adat mati. Siapa yang kuat maka dialah yang berkuasa dan jika terjadi sesuatu yang menjadi sengketa , maka siapa yang menang dalam sebuah pertarungan bagi kaum lelaki atau bagi kaum perempuan adalah merendam kedua tangan dalam air yang sedang mendidih atau minyak kelapa yang sedang mendidih.
Pertarungan dan merendam tangan ini diadakan di sebuah puncak gunung, yang pemenangnya secara otomatis disebut sebagai pihak yang benar, lalu yang kalah disebut sebagai pihak yang bersalah.
Dengan adanya hukum rimba ini dan seiring berjalannya waktu bertahun-tahun kemudian entah berapa puluh tahun lamanya sehingga datanglah seseorang yang tidak diketahui asal usulnya dan tiba-tiba saja muncul di tempat itu dan memiliki ilmu kesaktian yang sangat luar biasa dan masyarakat setempat menyebut dan menggelarnya Tomakaka Tambura (orang kuat dan sakti ) , yang kemudian menjadi perusuh dan menentang semua Tomakaka dan orang-orang sakti di tempat itu.
Tomakaka Tambura secara paksa akan menantang bertarung satu lawan satu di tempat tersebut yang akhirnya dialah yang menjadi pemenang lalu kemudian berkuasa dan memaksakan kehendaknya agar dipatuhi segala perintahnya menurut keinginan hatinya. Selama kepemimpinannya itu membuat masyarakat sangat tersiksa dan ketakutan selama bertahun akan tetapi kemudian dapat dibunuh dalam sebuah pertarungan oleh Imanyambungi (Todilaling)
Hukum rimba ini masih juga berlaku pada masa awal pemerintahan Arayang pertama bernama I Manyambungi dan istrinya bernama Karaeng surya putri dari Sombaiya Ri Gowa dan melahirkan Seorang anak bernama Billa-billa,mi (Tomeppayung) yang diangkat menjadi Arayang Balanipa Ke II ( raja II). Imanyambungi setelah berhasil mengalahkan Tomakaka Tambura kemudian bergelar Todilaling setelah mangkat. I Manyambungi adalah orang yang melanjutkan warisan dari leluhur sebagai salah satu aturan dalam menegakkan hukum di dalam pemerintahannya dan menyelesaikan setiap persoalan dengan aturan adu kekuatan ilmu dan ketahanan fisik yang dilakukan di tempat yang seperti dahulu yaitu Balatau
Dan untuk memutuskan setiap persoalan atau sengeta (perkara) , maka dibangunlah sebuah tempat yang disebut Balatau (Kurungan/kandang yang terbuat dari batu), nama ini disebabkan karena lokasi dari Balatau dipagari batu atau yang menjadi batas adalah dikelilingi dengan tumpukan batu yang menjadi pagar kemudian karena tempat tersebut adalah tempat pertarungan orang (manusia) maka tempat ini kemudian berganti nama yaitu Balatau (kandang orang).
Akibat dari penyelesain sengketa lewat pertarungan (duel) yang terkadang memakan waktu sampai sehari bahkan sampai menjelang malam , maka menurut aturan dari faham animisme ,agama budha dan hindu yang dianut oleh masyarakat ketika itu hingga pertarungan harus dihentikan dan akan dilanjutkan pada keesokan harinya dan seterusnya dan hal semacam ini sering terjadi jika kedua belah pihak sama-sama memiliki paissangan ilmu tingkat tinggi) sehingga dengan adanya kejadian itu maka dibangunlah tiga buah bangunan yang terdiri dari:
1. Bangunan tempat para penegak hukum untuk menyaksikan jalannya eksekusi dengan ukuran 2x3 meter atau 2.1/2 x 3.1/2 meter yang di dalamnya terdapat satu kursi sebagai tempat duduk pa’bicara kaiyyang (hakim) dan empat potongan kayu sebagai tempat duduk algojo dan pengawal
2. Bangunan tempat duel pria dari kedua pelaku sengketa yang berukuran 7 x 7 meter sebagai tempat bertarung yang disebut Situyupurrus yang artinya duel satu lawan satu dan tidak boleh menghindar sebelum salah satu diantaranya ada yang menjadi korban atau keduanya ,pengertian lain dari situyupurrus adalah saling mengikatkan tali celana kolor agar tidak dapat menghindari kematian .
3. Bangunan tempat bertarung wanita yang disebut Sitallangan Bowo artinya saling merendam kedua tangan ke dalam wajan berisi air atau minyak yang sedang mendidih, dan dalam bangunan ini terdapat laliang (tungku) sebagai tempat pamuttu minna (wajan yang berisi air atau minyak kelapa ) yang ditempati oleh perempuan yang bersengketa untuk merendam tangannya kedalam wajan yang air atau minyaknya sedang mendidih dan bangunan ini berukuran 4 x 4 Meter Persegi
Ketiga bangunan tersebut diatapi dengan daun nipa (rumbiah) sehingga disebut balanipa sebagai akronim dari kata bala yang artinya adalah kandang dan diatapi atau ditutup dengan daun nipa sehingga bernama balanipa sampai sekarang.
I Manyambungi bergelar Todilaling sebagai Mara’dia (raja) pertama putra dari Puang Digandang Tomakaka Lemo yang diangkat oleh 4 (empat) kerajaan kecil pada masa itu yaitu : pappuangan dari napo turunan Pappuangan Saleko yang didampingi oleh turunan Pappuangan Buyung, Pappuangan Samasundu turunan Puang Dipangale yang didampingi oleh turunan Puang Dicamba, Pappuangan Mosso turunan Puang Bulewang yang didampingi oleh turunan Puang Dilemo dan Pappuangan Todang-todang turunan ana’lulua yang didampingi oleh turunan ana’ tangnga dan turunan ana’ tappalaus yang kemudian menjadi lembaga adat yang disebut Appe’ Banua Kaiyyang (empat negeri besar atau kerajaan kecil)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar