(Photo: Aisyah S. Ahmad)
Perkembangan teknologi informasi
yang demikian pesat tak bisa dipungkiri menjadi sesuatu yang menakjubkan dewasa
ini. Gerakan-gerakan literasi yang membooming semakin bergulir hangat ditambah
dengan back-up media pemberitaan maupun media sosial semakin membuatnya semakin
menggema. Tentu ini adalah sebuah hal yang menggembirakan mengingat krisis
penulis hari ini sedikit banyak dipengaruhi oleh kurangnya media baca pada
waktu-waktu lalu. Bagi anda generasi 70-an ke atas tentu cukup mengetahui
bagaimana sulitnya menjadi seorang penulis waktu itu dengan adanya pengawasan
pemerintah yang cukup ketat.
Lalu pasca reformasi 98, saat
masyarakat diberikan kebebasan untuk bersuara dan menuliskan apapun yang hendak
ditulisnya, media penulisan pun bermunculan bagaikan cendawan dimusim hujan.
Surat kabar, majalah, tabloid, buku maupun buletin adalah contoh media fisik
penulisan. Belum lagi blog dan website juga turut pula menjamur menyajikan
berjuta informasi dengan beragam tema yang berbeda. Informasi ilmu pengetahuan, sejarah, budaya
maupun hal yang lainnya demikian mudah didapatkan bahkan ada pameo yang
menyatakan bahwa informasi kini hadir dalam genggaman.
Dalam hal kesejarahan dan
kebudayaan. Setiap penulisan sejarah membutuhkan sumber-sumber berupa artefak
ataupun kisah tutur yang tersimpan dalam ingatan komunal masyarakat yang kemudian
dicermati, dianalisa, diinterpretasi lalu ditulis oleh penulis. Entah oleh
zaman, perang maupun bencana alam artefak-artefak yang menjadi sumber sejarah
semakin sedikit. Salah satunya lontaraq. Lontaraq yang hanya sedikit semakin
sulit diakses dengan adanya kepercayaan beberapa orang pemegang lontaraq yang
mengharuskan pemotongan hewan kurban berupa kambing, sapi atau kerbau sebelum
membuka lontaraqnya. Meskipun menurut saya, ini hanya akal-akalan saja untuk
sesuatu tujuan yang tidak diketahui.
Padahal lontaraq semestinya
menjadi sebuah sumber terpercaya saat akan mengkaji sejarah masa lalu. Lontarak
menempati kedudukan yang unik di antara tulisan-tulisan bersejarah di
Indonesia, oleh karena isinya pada umumnya dapat dipercaya dan kurang
mengandung mitos, ramalan-ramalan, dan penulisnya sangat memperhatikan
peristiwaperistiwa sendiri dan menulisnya secara jujur. Kronologi peristiwa
ditulis secara cermat dan seobjektif mungkin. ( wawancara A.A. Cense oleh Zainal
Abidin dalam buku Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan. Hal.ix).
Pengkajian lontaraq juga
membutuhkan kecermatan ekstra dan penuh perhitungan. Hal ini disebabkan oleh
gaya bahasa yang sudah tidak populer hari ini. Inilah yang terkadang membuat
sebagian orang yang membaca lontaraq mengira bahwa antara lontaraq yang satu
bertentangan dengan lontaraq yang lainnya. Apalagi lontaraq yang banyak beredar
hari ini hanyalah berupa lontaraq hasil alih tulisan dan alih bahasa saja.
Tidak
bermaksud mengecilkan jasa penerjemah lontaraq masa lalu yang harus kita syukuri sebagai berkah dalam ranah intelektual lokal kita. Namun selain adanya beberapa kata yang menujukkan arti sama, memang terkadang ada
beberapa penulisan kata dalam lontaraq yang tidak sesuai dengan alih tulisannya sehingga
ketika dialih bahasakan ke-bahasa Indonesia akan melenceng pula artinya. Olehnya itu, pengkaji dan penulis sejarah setidaknya harus pula bisa membaca aksara lontaraq.