Pelaksanaan tata laksana pemerintahan kerajaan dimasa lalu
cukup kompleks dan untuk itu diperlukan adanya petugas atau pemangku jabatan
sebagai aparatur kerajaan. Dan salah
satu profesi bergengsi kala itu bahkan mungkin hingga dijaman modern ini adalah
kehadiran seseorang yang berprofesi sebagai Bissu.
( Dalam foto di samping nampak Pemimpin Ritual upacara adat (Bissu) di Bone,tahun 1929 Sumber fotoleren.nl)
Apakah Bissu itu?.
Berikut
hasil dari salah satu diskusi online yang dapat saya sajikan sebagai bacaan
kita semua.
Bissu adalah orang yang dianggap memiliki kemampuan
berkomunikasi dengan Dewata, karna kelebihan yang dimilikinya itu ia menjadi
penghubung antara manusia dengan Dewata. Dewata sendiri adalah sebutan untuk
mendeskripsikan sesembahan manusia di Sulawesi pada jaman dahulu yang berarti
tuhan semesta alam, pencipta langit bumi dan segala isinya.
Ada beberapa pendapat tentang asal kata BISSU, dan berikut
adalah pendapat Andi Rahmat Munawar, seorang pemerhati budaya Bugis yang saat
ini berdomisili di Sengkang, kabupaten Wajo.
1. Dari kata BESSI (yang berarti bersih) kemudian menjadi
BISSU
2. Dari kata BISMILLAH kemudian menjadi BISSU
3. Dari kata BIKSU (serapan dari india) kemudian menjadi
BISSU
kalau pendapat pertama.
1.a) Bessi dalam bahasa bugis artinya Besi (sejenis logam)
dan Tombak (misalnya bessi pakka artinya tombak bercabang)
1.b) Tak pernah ada kosa kata bugis BESSI yang diartikan bersih...selalunya PACCING...kosa kata klasik Bugis tentang bersih yang masih digunakan hingga hari ini.
1.c) Sepertinya, bahasa Indonesia (Bersih) dipaksa untuk
menjadi bahasa Bugis.
1.d) Saya kurang paham linguistik...tetapi sependek
pengetahuan saya, dalam proses "pelidah bugisan" misalnya Abdul
--> Beddu...Razaq --> Razzake....Anwar --> La Naware'...jadi huruf
vokal tetap...kalau Bessi tiba tiba menjadi Bissu belum pernah saya temukan
proses perubahan seperti itu.
Kalau pendapat kedua, Bissu telah ada sebelum Islam secara resmi
dianut masyarakat Bugis, otomatis kosa kata serapan Arab mestinya belum ada.
Kalau pendapat ketiga bahwa, pengaruh bahasa India banyak
dalam kosa kata Bugis kuno seperti sangiang (Sang Hyang), sangkuru (Sang Guru),
Batara, dewa, dst...meski agama yang dianut, bukan hindu atau budha. Jelasnya.
Bissu pertama dalam sejarah adalah We Tenriabeng, saudara
kembar Sawerigading. We Tenriabeng tidak menikah di dunia, tapi ada suaminya di
"langit" yaitu Remmang ri Langi, yang membantu Sawerigading dalam
beberapa perang lautnya. Bissu adalah
pendeta agama Bugis kuno yang syarat kesempurnaan ilmunya adalah I REBBA yaitu
dikubur hidup2 selama 7 hari 7 malam, tanpa makan dan minum serta hanya
bernapas dengan bulo/bambu di mulut. Menurut keyakinan masyarakat dahulu bahwa
jika calon Bissu yang menjalani ujian I Parebba ternyata tidak suci atau tulus
dalam ujiannya maka calon bissu tersebut akan mati dalam proses ujiannya. Hanya
1 orang Bissu yang diangkat dari komunitasnya dengan prosesi di Rebba tadi. Namun
syarat utama sebelum diangkat tentu ada uji kelayakan, dengan melihat
kompetensi dari pemahaman tentang Ade' Pangadereng-nya, seperti yang disinggung
di atas bahwa Bissu sudah bukan lagi Waria/CaLabai melainkan telah melepaskan
nafsu duniawi yang konotasinya mungkin disebut Suci. Untuk melangkah ke jenjang
lebih tinggi lagi dalam hal menjadi Ammatoa, adalah kewenangan dari Dewan Adat
dengan kembali melihat perilaku/adab serta pencapaian pemahamannya (Untuk di
Bone sendiri, Ammatoa saat ini dalam kekosongan posisi). Pungkasnya.
Sedangkan menurut Abdul Hamid, salah seorang pemerhati
budaya Bugis dari Sidrap mengungkapkan catatan B.F. Mattes dari buku ” La Galigo,menelusuri
jejak warisan sastra dunia” (hal 520.), Bissu adalah pendeta Bugis kuno pra Islam.
Ketua para Bissu adalah seorang yang diberi gelar Puang Matowa/Puang Towa. Dia
adalah figur feminim dengan wajah yang licin seperti seorang kasim. Para Bissu
lain adalah lelaki dengan keadaan jasmaniahnya abnormal. Bissu dan tradisi
transvestites (lelaki yg berperan sebagai perempuan). Pada halaman 522 pada
buku yang sama tertulis, Bissu umumnya wadam (wanita adam) atau wanita dari
kalangan putri bangsawan tinggi. Kata bissu berasal dari kata bessi (bugis) yang
berarti bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah (haid), suci, tidak
ada tetek dsb. B.F. Matthes menyebut bissu sebagai priesters en pristeresse. Matthes
menggambarkan Bissu sebagai pendeta pria-wanita.
Bahwa sebagian "Bissu" adalah "Non
Gender" dan bukan pula calabai atau calalai. Bissu memiliki fungsi ritual
sebagai "mediator" Dewata yang hendak menyampaikan pesannya kepada
manusia (Tau). Namun Dewata "tidak tahan dengan bau manusia", maka
mereka memilih "mediatornya" yang bukan "manusia" (tau).
Sementara itu, manusia diidentifikasi dengan "gender" (laki atau
perempuan). Olehnya itu, Bissu sesungguhnya bukan lagi laki-laki ataupun
perempuan dan bukan calabai atau calalai. Adapun sebagian lainnya adalah tetap
mempertahankan "gender" namun melepaskan sebutan "manusia' (tau)
bagi dirinya. Salah seorang "Bissu" yang bergender
"perempuan" adalah : We TenriabEng LaloElona BISSU RI LANGI DaEng
Manutte' (saudara kembar Sawerigading). Setelah menjadi Bissu, beliau tidak
lagi tinggal di Attawareng (dunia) dan berubah menjadi "Batari
Sangiang" (Dewata). Hingga sekarang masih ada Bissu yang mempertahankan
"gender", namun dikalangan Bissu sendiri mereka ini disebut :
Larukkodo Bissu.
Mereka sangat dihormati. Setelah memasuki masa Islam, di mana
hampir semua Kerajaan di Sulawesi Selatan mengakui Islam sebagai Agama
Kerajaan, peran Bissu semakin istimewa, yakni : menjadi "Angkuru
Arajang" (penjaga dan perawat regalia). Bahkan Datu sendiri tidak berwenang
untuk mengeluarkan atau sekedar menyentuh Arajang itu jika tanpa diperkenankan
Bissu. Selain itu pada beberapa Kerajaan, Bissu diberi jabatan selaku "AnrEguru
Attoriolong". Kaum merekalah yang mengatur segala ritual menyangkut
Attoriolong dan juga pelestari Sure' Galigo. Tidak jarang seorang Bissu menjadi
guru khusus bagi "Passure'" dalam Istana dan banyak pula yang
menggubah Sure' SEllEang. Lebih dari itu, mereka pula secara rahasia menerapkan
bahasa Bissu dalam kalangan internal mereka sendiri.
Lalu bagaimana dengan peran Bissu di tanah Mandar?.
Catatan
mengenai Bissu dan aktifitasnya di tanah mandar bisa dikatakan hampir nihil. Sejauh
ini tak ada dalam catatan lontaraq Mandar tentang hal ini, setidaknya lontaraq
yang telah terpublikasi. Keberadaan tentang Bissu di Mandar mungkin hanya bisa
dikaitkan dengan adanya “paleko bissu”. Pada prosesi perkawinan adat di Mandar,
paleko bissu adalah ornamen pelengkap berupa kain putih yang ditata sedemikian
rupa dan diletakkan dibagian atas “lamming”. Tidak sembarang orang yang bisa
menggunakan paleko bissu ini, yakni mereka yang punya darah bangsawan tinggi
dan dibuktikan dengan silsilah atau lontaraq peruqdusang yang dipunyainya. Jejak
selanjutnya hanyalah berupa keterangan bahwa di daerah sekitar Pambusuang yang
merupakan daerah penyangga kerajaan Balanipa dahulu pernah ada seorang Bissu. Keterangan
ini didapat dari Muhammad Ridwan Alimuddin, seorang pemerhati budaya Mandar
dalam diskusi serupa dengan tema yang sama pada medio Maret tahun 2015. Namun ia tidaklah menjelaskan tentang fungsi Bissu tersebut selama di Mandar
sekaitan dengan pelaksanaan adat, ataupun asal sang Bissu yang dimaksud.
ditulis oleh Zulfihadi
(Ketua dewan pendiri Appeq Jannangang)
===============================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar