Sambungan MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) bagian 3.
Tahun 1884 Adolf Bastian dari Universitas Berlin menerbitkan
buku sebanyak lima volume dengan judul Indonesien onder die Inseln des
Malayischen Archipel (Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu). Buku
inilah yang membuat nama Indonesia menjadi populer di kalangan cendekiawan
Belanda, sehingga membuat sebagian kalangan salah mengira bahwa nama Indonesia
diciptakan oleh Bastian, padahal ia mengambil istilah tersebut dari
tulisan-tulisan Logan. Pada akhirnya istilah Indonesia tersebut sampai ke
tangan orang-orang Indonesia pada awal abad ke-20 dan menjadi indentitas bagi
sebuah bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Belanda.
Menelusur Peradaban Sulawesi
Menurut pemaparan Paul Michael Munoz, peradaban Sulawesi
sudah ada sejak 8000 tahun lalu, yakni dengan munculnya kerajinan mikrolith
Toali di Maros Sulawesi Selatan. Kerajinan itu berupa mata pisau dan mata panah
Maros yang terbuat dari batu belah dengan bentuk-bentuk geometrik.
Untuk menelusuri jejak peradaban di Sulawesi, ada dua
gelombang migrasi yang melatarinya. Gelombang pertama dari ras Mogoloid yang
teerjadi sejak 4000 tahun SM dengan rute awal dari daratan China, menyebrang ke
pulau-pulau yang kini dikenal Taiwan. Dari sana mengarus ke selatan ke pulau
Luzon, Filipina, lalu terbagi dua. Satu ke barat daya mendarat di Kalimantan
bagian utara (2500 tahun SM) dan satunya lagi ke barat laut ke daratan Asia,
yakni wilayah Indochina.
Gelombang migrasi kedua berlangsung 3000 tahun SM, meniti ke
Mindanao dan seterusnya ke daratan Sulawesi Utara, menyebrangi Teluk Tomini ke
daratan Sulawesi Tengah lalu ke Jazirah Sulawesi Selatan. Hal menarik dari
migrasi ini adalah pada setiap tempat-tempat yang dilaluinya, selalu ada konsep
tentang manusia yang turun dari langit atau Tomanurung. Dari pantai barat
Sulsel migrasi berlanjut lewat laut menujupulau Jawa pada 2500 tahun SM, terus
mengarus ke Sumatera dan semenanjung Melayu dan Thailand sampai 1000 tahun SM.
Pada fase 1500 tahun SM ini sudah dikenal kebudayaan
perunggu, bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menetap dan tidak
lagi menjadi manusia pengembara. Ratusan tahun berlangsung kebudayaan ini,
sehingga mereka berkembang dan membentuk sebuah kelompok-kelompok yang lebih
besar, membentuk desa-desa dengan suku multi klan. Dari sinilah dikenal
pemimpin yang tampilannya otoriter karena berdasar pada prinsip egalitee atau
kebersamaan, dimana suara setiap anggota kelompok cenderung sama harganya. Para
pemimpin menjalankan kehendak bersama para anggota dan dengan demikian memiliki
kekuasaan yang tidak terbatas. Hal ini memiliki banyak kesamaan dengan sistem
demokrasi di dunia Barat meski dalam bentuk yang masih sangat sederhana.
Ketika mulai merasa tidak puas dengan keterbatasan kekuasaan
dalam tatanan yang semi demokratis, beberapa diantaranya mulai mencari model
sehingga mereka terjadi persentuhan dengan kebudayaan Hindu yang datang dari
India. Dari sinilah muncul model-model kekuasaan dari semi demokratis menuju
bentuk aristokrasi, kedatuan dan dengan kekuasaan pemimpin yang lebih kuat
semacam model kerajaan.
Dalam catatan lontaraq bisa ditemukan penggambaran situasai
kedatuan atau kerajaan model awal di jazirah Sulawesi. Dikalangan mereka sering
berselisih dengan yang lain dalam melindungi kepentingan masing-masing.
Terlebih kepada kelompok yang berada jauh terpisah seperti Kalimantan dan
sebagainya. Namun situasi ini kemudian membuat mereka menemukan solusi dengan
membentuk semacam konfederasi yang dipimpin pertama kali oleh Tomanurung yang
dikonsepsikan sebagai Tomanurung.
Dalam konfederasi, sistem semi demokrasi menjadi prinsip
yang egalite dan humanite yang dipegang teguh. Para pemimpin disegala tingkat
mengabdikan diri untuk menjaga harkat dan martabat manusia yang menjadi rakyat,
mengupayakan kesejahteraan dan menjaga ketertiban. Pemimpin yang melakukan
penimpangan akan mendapatkan sanksi rakyat melalui dewan adat. Tadisi
pendampingan penguasa oleh dewan adat ini bertahan lama. Dewan adat ini ada
yang beranggotakan sembilan maka disebut Adaq Salapang (Makassar). Demikian
juga yang beranggotakan tujuh disebut Adaq Pitue (Bugis) dan termasuk di Mandar
ada dewan adat yang beranggotakan empat banua maka disebut dengan Pitu ulunna
Salu Pitu Baqbana Binanga dan pada perkembagan selanjutnya sikenal Appeq Banua
Kayyang (Arajang Balanipa). Adapun rakyat yang merupakan sumber kekuasaan
menunjukkan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Dengan
demikian keseimbangan antara hak dan kewajiban terjaga dengan baik.
Inilah yang mendasari sehingga pada masa itu tidak heran
jika seorang pemimpinnya meninggal dunia, para pelayan setianyapun rela ikut
dengan junjungannya dikubur hidup-hidup demi menunjukkan sebuah pengabdian yang
betul-betul disakralkan dan dijunjung tinggi, salah satu contohny adalah I
Manyambungi Todilaling yang sampa hari ini masih bias kita lihat pekuburannya
di Desa Napo.
Menelusur Peradaban Mandar
Menelusur sejarah peradaban di Mandar dapat dimulai dari
beberapa peristiwa sebagai tonggak sejarah peradaban Mandar. Pertama: Adanya
penggalian daerah Sampaga pada bulan Mei 1933 di Lembah Sungai Karama Kabupaten
Mamuju yang menemukan beberapa peralatan prasejarah seperti batu dan gerabah.
Kemudian dilanjutkan dengan dua kali penelitian di tempat
yang sama di Bukit Kamassiq yang menemukan alat-alat seperti pisau, kapak batu,
kapak batu segi empat, mata panah yang halus, beserta pecah-pecahan tenbikar
yang berukir. Penggalian pertamanya sendiri dilakukan oleh PV. Van Callenvels
pada tahun 1933 di bagian tikur sedangkan penelitian yang kedua dilakukan oleh
Dr. HR. Van Hee Karem 1949 menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu, yang
ada kemiripannya dengan Neolithic di Luzon (Philipina), Manchuria (Mongolia),
Hongkong dan sebagainya.
Penelitian yang dilakukan di bagian selatan puncak Magassiq
ini juga ditemukan gerabah berhias yang dinilai oleh para arkeolog telah
menunjukkan keteraturan kebudayaan di daerah Galumpang Kabupaten Mamuju ini
terlingkup dalam satu wilayah Sa-huynh Kalanay, Philipina, Vietnam dan beberapa
daerah di kawasan Pasifik.
Hal berikutnya juga pernah dilakukan oleh Dr. FDK Bosch yang
mencoba membandingkan hasil temuan Amiruddin Maula salah seorang tokoh pendidik
di Kabupaten Majene yang menemukan Patung dan dibandingkannya dengan patung
Budha dari Solok Sumatera Barat, Kotabangun Jambi, Kalimantan Barat, Gunung
Lawu, Jawa Tengah,
Kesimpulannya, tidak ada satupun kemiripan atasnya. Dan
setelah dibandingkan dengan patung Budha yang ada di India, Muka dan Gandhara,
disimpulkan kemudian bahwa patung tersebut dipengaruhi oleh gaya dan kemiripan
dengan Budha Greeco yang ada di India Selatan yang beraliran kesenian Amarawati
yang juga sangat besar pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-2-7
Masehi. Inilah yang menjadi penanda tentang adanya peradaban di
Mandar. Dan tentu saja penemuan ini bukanlah satu-satunya yang bisa dijadikan
rujukan, sebab catatan sejarah peradaban di Sulawesi itu berlangsung jauh
sebelum Masehi, sehingga kedepan masih akan banyak kita temukan posil dan
artefak sejarah yang bisa dijadikan data pendukung tentang eksistensi komunitas
manusia Mandar pada periode sebelum dan awal abad masehi.
Kedua: Adanya gelombang migrasi kedua berlangsung 3000 tahun
SM, itu rutenya meniti ke Mindanao dan seterusnya ke daratan Sulawesi Utara,
menyebrangi Teluk Tomini ke daratan Sulawesi Tengah lalu ke Jazirah Sulawesi
Selatan. Dari sini kemudian saya meyakini bahwa diantara imigran itulah yang
menjadi komunitas pertama manusia-manusia Mandar di pesisir. Beberapa informasi
yang didapatkan itu, terlepas apakah bisa dibuktikan secara ilmiah atau tidak
namun saya kira menarik untuk bahan diskusi kita demi menemukan sebuah konsep
kesefahaman dalam penulisan periodesasi sejarah Mandar.
Dalam hal ini, menarik kita bandingkan dengan tulisan
Zulfihadi (Radar Sulbar: edisi Kamis, 13/08/15) tentang awal sejarah Passokkorang
yang hingga saat ini belum diketahui pasti tentang sejarah awal penamaan
Passokkorang. Dalam tulisannya ia mengisahkan ketika zaman prasejarah yang
menyelimuti daratan pulau Sulawesi, atau bisa dikatakan era pra Tomanurung.
Masa dimana orang belum mengerti apa itu agama.
Di sekitar aliran sungai Mapilli (saat itu belum dinamai
sungai Mapilli) terdapat beberapa komunitas manusia penghuni awal.
Komunitas-komunitas ini sangat menyukai perang, dan mereka seringkali saling
menyerang antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Namun dimasa
itu belumlah dikenal senjata perang, sehingga mereka berperang hanya dengan
kayu dan paling banyak dengan saling menggigit lawannya. Ada kemungkinan
kondisi inilah yang disebut dalam kitab epos I Lagaligo dengan kondisi “sianre
bale”, dimana kondisi ini digambarkan penuh dengan kekacauan. Dari kebiasaan
perang dengan cara saling menggigit inilah muncul nama PASSIKOKKOANG yang
kemudian secara perlahan berubah penyebutannya menjadi PASSIKOKKORANG dan
akhirnya menjadi PASSOKKORANG. Masyarakat komunitas ini sangatlah pemberani,
memiliki kekebalan dan juga pandai menundukkan mahluk halus. Setelah beberapa
generasi kemudian, masuklah era Tomanurung. Tatanan peradaban pun menjadi lebih
baik dan kebiasaan perang dengan saling menggigit dihentikan, namun demikian
wilayah yang dulunya sering menjadi tempat bermukim komunitas ini tetap dikenal
dengan nama Passokkorang atau Buttu Passokkorang saat ini.
Lebih lanjut, Zulfihadi menjelaskan dalam tulisannya, setelah
beberapa generasi kemudian, kisah dan sejarah Passokkorang hilang hingga
kemudian muncul kembali setelah terbentuknya Passokkorang menjadi sebuah
kerajaan. Tidak diketahui tentang siapa pendiri kerajaan Passokorang, namun
dari berbagai cerita tutur dan pengamatan lapangan dapat diambil beberapa
kesimpulan. Passokkorang adalah sebuah kerajaan berdaulat dan menjalin
persahabatan dengan kerajaan - kerajaan tetangga, bahkan salah satu raja
Passokkorang yang bernama I La Bassi Kalling mempunyai seorang istri yang
merupakan putri dari kerajaan Batu Lappa (masuk dalam wilayah kabupaten
Pinrang, Sulawesi Selatan sekarang).
Kerajaan Passokkorang (bukan komunitas-pen) diperkirakan
berdiri pada sekitar tengah tahun 1400-an M. dan runtuh pada awal 1500-an yang
bisa dilihat persamaan time linenya dengan beberapa raja kerajaan tetangga
semisal Raja Bone V La Tenri Sukki Mappajung E (1516 – 1543) atau, Arung Matowa
Wajo IV La Palewo to Palippu (1491 – 1521) (bersambung....)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar