20/09/2015

MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) (bag.5/tamat)

Sambungan MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) bagian 4.


Dalam keterangan lontar tidak ditemukan tentang raja-raja Passokkorang lain selain I Takia Bassi yang kemudian melahirkan I Labassi Kalling. Ada dugaan jika raja ini (baca: I Takia Bassi) merupakan bangsawan dari Bone yang eksodus pasca pemberontakan La Dati Arung Katumpi dimasa pemerintahan Arumpone I Benri Gau Daeng Marowa Arung Matajang (1470 – 1489).

Ketiga: Munculnya Tau pitu di Hulu sungai Saqdang yang dalam lontaraq Baqba Binanga menerangkan tau pitu yaitu 1).Talombeng Susu pergi dan menetap di Luwu; 2). Talando Beluhe pergi dan menetap di Bone; 3). Talambeq Kuntuq pergi dan menetap di Lariang; 4). Pongka Padang pergi dan menetap di Tabulahan; 5). Paqdorang pergi dan menetap di Belawa; 6). Sawerigading pergi entah kemana; dan 7). Tanriabeng pergi entah kemana.
Tau pitu dalam keterangan beberapa lontaraq dijelaskan sebagai manusia pertama ini tidaklah kuat, karena salah satu yang bernama Pongka Padang itu
Juga diterangkan pergi dan menetap di Tabulahang. Kedatangan Pongka Padang di Tabulahang itu justru ditemukan diantara rimbunnya hutan bambu/Tallang (Buntu Bulo) oleh masyarakat Tabulahang (MT. Azis Syah) yang dalam tulisan Sarman Sahuding peristiwa ini terjadi pada tahun 1190 atau abad ke-12.

Sangat tidak masuk akal dikatakan sebagai manusia pertama sebab kedatangan Pongka Padang di Tabulahang itu sudah ada manusia. Dan menurut keterangan tokoh sejarah di Talippuki Mambi (2012) ini bahwa masyarakat Tabulahang inilah yang mengawinkan Pongka Padang (Puang Pattimboro) dengan Torijeqne salah satu keturunan Tokombong di Bura.

Tentang Pongka Padang ini masyarakat Tabulahan-Mamasa mengabadikannya dalam kitab Sengo-Sengo (salah satu karya sastra yang sering dijadikan kidung/nyanyian), bunyinya seperti ini: "Mangkutana kada adaq mettule bukunna litaq urunna titanan indo, tiosoq tappa langngang tau pitu, rokaq kulambudiraapaq tondo Gowan melluttiqna tanniabe luttuq dai ditassusung. Rabummi Sawerigading unteppoq kaju bilande nasombalan sau Jaba napopetangnga jolangan. Keqdeq neneq Pongka Padang unsariri pedalinna, unsele tambalona mentanete dao mai tanete landa banua tisarraq di Tabulahang. Tungka Seppon buntu bulo unpadidi tau pitu, dadi tosappulo mesa iyan laun taha manaq laun bisaq parandanan"

Puang Pattimboro atau Pongka Padang itu sendiri adalah sebuah gelaran, bukan nama orang. "Pong" artinya Dewa, Tuhan atau didewakan dan "Ka" adalah kata bantu yang menerangkan kepunyaan, sepadan dengan kata Puangnga/Puanna. Adapun "Padang" dalam bahasa Tabulahang dan pattaeq artinya alam, dunia atau lino. (Tuturan dari Drs. Syahrial Ka. SMK Negeri Tutar). Dan dalam beberapa sumber bahwa Pongka Padang ini juga menjadi gelaran turunan kegenerasinya, seperti Pongka Padang oleh orang Baqba Binanga disebut Tobanua Pong/Banua Posi yang menikah dengan Sanrabone (versi Saiful Sinrang) mengatakan sekitar tahun 1280 an yang mana To Banua Pong ini oleh kalangan Tomakaka Passokkorang Luyo disebut sebagai Tomanurung (MT. Azis Syah).

Keempat: Sebagaimana dikisahkan, bahwa pada awalnya sekelompok orang yang membentuk diri sebagai suatu masyarakat di pinggir pantai yang dikenal sebagai "To Alau" (orang di timur). Seiring waktu, masyarakat itu semakin berkembang dan penyebutan identitas mereka sebagai "To Alau" semakin di sederhanakan menjadi "To Luu", sehingga pengertiannya bergeser menjadi "orang di laut". Sesuatu yang sesungguhnya "tentu saja" tidak dipermasalahkan, mengingat perkampungan mereka terletak dipinggir laut. Seiring waktu, perkampungan itu kian besar, sehingga sekelompok keluarga memutuskan untuk berpindah kearah barat untuk memulai kehidupan bercocok tanam. Maka mereka merambah hutan pegunungan kearah barat hingga menemukan tempat yang cocok. Mereka membangun perkampungan itu sebagai hunian baru yang akhirnya dikenal oleh masyarakat "To Luu" sebagai "To Riaja" (Orang di Barat). Waktu berlalu dan zaman berganti, penyebutan "To Riaja" tersebut kini berubah menjadi "Toraja".

Dengan fakta-fakta tentang Toriaja atau Toraja ini, apakah tidak mungkin bahwa dari mereka ini melakukan ekspansi lalu muncul di Sungai Saqdang, yang dikenal dengan tau pitu (Manusia tujuh). Manusia Tujuh inilah yang beranak pinak, kawin mawin dan berkembang menjadi sebuah peradaban Talollo di Tabulahang, Galumpang dan juga di Baras. Ini akan menjadi sebuah kajian awal untuk kemudian menelusurinya kembali lalu kita lisan tuliskan.
Tomanurung

Istilah Tomanurung mempunyai dua konsep yang harus menjadi acuan, yaitu Tomanurung sebagai sebuah penghargaan yang diberikan kepada pendatang baru yang memiliki cara berfikir lebih maju. Tomanurung menjadi gelar kehormatan bagi seseorang yang mampu memberi petunujuk dan menuntun masyarakat pada saat itu. Dan Tomanurung sebagai manusia paling awal tiba disetiap wilayah, entah itu di gunung atau di pantai, istilah Tomanurung ini
punya ruang disetiap kelompok masyarakat.

Hal ini penting, sebab Tomanurung itu sendiri bukan hanya di Mandar tapi juga dibeberapa daerah di Sulawesi bahkan daerah lain diluar Sulawesi. Tomanurung di Mandar yang kita kenal adalah Tokombong Dibura, Tobisse Ditallang, Tonisesse di Tingalor dan Tomonete Ditarrauwe. Keempat Tomanurung ini juga tidak secara merata difahami dan diyakini oleh orang Mandar, sebab dibeberapa wilayah juga punya Leluhur yang diposisikan sebagai Tomanurung.

Intinya sehingga disebut Tomanurung karena tidak diketahui secara pasti kedatangannya. Tomanurung dalam Lontar Pattappingang Pamboang dan cerita rakyat Mandar diartikan sebagai orang yang turun dari kayangang (dari langit) dan ia tidak tergolong sebagai manusia biasa, ia dianggap sebagai dewa dengan membawa ajaran keselamatan dan kemaslahatan ummat manusia, makanya dianggap sebagai manusia luar biasa.
Sesungguhnya Tomanurung itu adalah orang asing entah orang Portugis, atau dari daratan Cina, dimuliakan oleh masyarakat pribumi, karena memiliki kelebihan, keahlian dan keistimewaan berupa wawasan serta cara pandang yang lebih baik yang tidak dimiliki oleh masyarakat pribumi. Selain memiliki pola pikir yang lebih matang, To Manurung juga berparas wajah lebih tampan/cantik dibanding dengan penduduk asli. Karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki itulah, maka penduduk asli mempercayakan kepemimpinan kepada Tomanurung untuk memimpin komunitas masyarakat itu. Ia memiliki kepemimpinan kharismatik, karena berhasil menetralisir keadaan masyarakat yang sedang kacau balau.

Tomakakaq

Tomakakaq adalah suatu kepemimpinan pada komunitas masyarakat yang menempati wilayah tertentu yang salah satu tugasnya adalah membagi lahan pertanian atau membagi tanah kepada anggota kelompok komunitasnya (PETAHA MANA’ PEBISA’ PARANDANGANG).
Konsepsi kepemimpinan Tomakaka merupakan salah satu jenis kepemimpinan asli kaum yang meletakkan dasar-dasar adaq litaq Mandar pada zaman pra Tomanurung.
Tomakakaq yang berarti to makkelitaq (memiliki litaq/negeri), to kaka (orang yang dituakan), to maka (layak) yang dalam pengertiannya adalah sesepuh masyarakat atau orang yang pantas dituakan atau pribumi, penduduk asli, dan inilah cikal bakal menjadi bangsawan Hadat menempati jabatan legislatif (Pappuangang/¬Paqbicara).

Dan kepemimpinan Tomakaka ini berlangsung hingga akhir abad XIV Masehi, yang walaupun dibeberapa wilayah masih ada kepemimpinan Tomakakaq, misalnya Tomakaka Ulumanda dan ini berlangsung hingga terintegrasi (bergabung) kedalam Negara kesatuan Indonesia Republik Indonesia.
Kepemimpinan Tomakakaq di Pitu Baqbabana Binanga mengangkat banyak pejabat pembantu untuk berbagai urusan kesejahteraan rakyat yang semakin meningkat tuntutannya. Para pejabat pembantu itu seperti Paqbicara, Tomabubeng, dan sebagainya untuk mengurus kepentingan rakyat. Dalam sejarah Tomakakaq di Mandar tercatat sebanyak 41 Tomakakaq.

Maraqdia

Lambat laun tokoh Tomakakaq yang semakin mengurangi simpatinya dimata rakyat, kehilangan wibawa dimata rakyat dan memperlebar jaraknya dengan rakyat, maka terjadilah reformasi kepemimpinan dan merubah sistim kepemimpinan menjadi Maraqdia. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh budaya luar khususnyya dari Islam Melayu, dari Arab, dari Gowa, Bone, Luwu, Kutai, Banawa (Kaeli), Jawa dan beberapa daerah lain dalam hubungannya dengan lintas perdagangan.

Penutup

Demikian tulisan ini saya sampaikan sebagai pengantar dan acuan diskusi kita pada proses penelusuran-penelusu¬ran sejarah peradaban manusia Mandar. Semoga dalam perjalanan selanjutnya, kita sudah bisa menyajikan sebuah periodesasi sejarah peradaban manusia Mandar. Mulai dari Zaman Prasejarah, Zaman Sejarah, Tomanurung, Era Pongka Padang (Puang Patimboro) dan Torijeqneq, Periode Tomakakaq, Maraqdia, Arajang, sampai kepada Periodesasi masuknya Islam di Mandar, Periodesasi Perjuangan mappatumballeq litaq, sampai kepada pembentukan provinsi Sulawesi Barat dan tentunya kita berharap setiap penulisan nama tokoh/raja sudah harus dicantumkan tahunnya. Sebab jika hanya menyebut nama, ada kekhawatiran sejarah kita makin semrawut karna dalam perjalanan panjang peradaban kita ini sering kita temukan nama tokoh/raja memiliki nama yang sama dengan leluhur.

Saya tentu berharap tulisan ini menjadi awal untuk melingkar dalam sebuah aula membincang sejarah, budaya dan peradaban kita. Dan dalam tulisan selanjutnya saya akan lebih fokus menelusur tentang alur perjalanan saqbe ke Mandar kaitanya dengan awal mula masuknya Islam di Mandar.
Tulian ini disari dari berbagai sumber, blog dan buku-buku terkait sejarah kebudayaan, peradaban dunia dan Mandar, seperti Atlantis The Lost Continent Finally Found (Prof. Arysio Santos), Nation in Trap, Menangkal Bunuh diri negara dan Dunia Tahun 2020 (Efendi Siradjuddin), Pembebasan Budaya-Budaya Kita (Editor Agus R. Sarjono). Majene menemukan hari lahirnya (Drs. Darmansyah), Zulfihadi (Zul Elang Biru), Sarman Sahuding, Muhammad Ridwan Alimuddin, wawancara dg tokoh (Nurdin Hamma, Tammalele dan tokoh-tokoh pitu ulunna Salu seperti di Rangoan dan Katimbang-Matangnga-2010, Malatiro,Tabulahang, Talippuk, Mehalaan dan Lenggo-2011,2012) dan sumber-sumber lain yang edisinya tidak terlacak.


Akhirnya saya tutup dengan kutipan "Tulisi di tappaqdanna" (tulislah sebelum semuanya hilang)
(tammat)

MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) (bag.4)

Sambungan MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) bagian 3.

Tahun 1884 Adolf Bastian dari Universitas Berlin menerbitkan buku sebanyak lima volume dengan judul Indonesien onder die Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu). Buku inilah yang membuat nama Indonesia menjadi populer di kalangan cendekiawan Belanda, sehingga membuat sebagian kalangan salah mengira bahwa nama Indonesia diciptakan oleh Bastian, padahal ia mengambil istilah tersebut dari tulisan-tulisan Logan. Pada akhirnya istilah Indonesia tersebut sampai ke tangan orang-orang Indonesia pada awal abad ke-20 dan menjadi indentitas bagi sebuah bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Belanda.

Menelusur Peradaban Sulawesi

Menurut pemaparan Paul Michael Munoz, peradaban Sulawesi sudah ada sejak 8000 tahun lalu, yakni dengan munculnya kerajinan mikrolith Toali di Maros Sulawesi Selatan. Kerajinan itu berupa mata pisau dan mata panah Maros yang terbuat dari batu belah dengan bentuk-bentuk geometrik.
Untuk menelusuri jejak peradaban di Sulawesi, ada dua gelombang migrasi yang melatarinya. Gelombang pertama dari ras Mogoloid yang teerjadi sejak 4000 tahun SM dengan rute awal dari daratan China, menyebrang ke pulau-pulau yang kini dikenal Taiwan. Dari sana mengarus ke selatan ke pulau Luzon, Filipina, lalu terbagi dua. Satu ke barat daya mendarat di Kalimantan bagian utara (2500 tahun SM) dan satunya lagi ke barat laut ke daratan Asia, yakni wilayah Indochina.

Gelombang migrasi kedua berlangsung 3000 tahun SM, meniti ke Mindanao dan seterusnya ke daratan Sulawesi Utara, menyebrangi Teluk Tomini ke daratan Sulawesi Tengah lalu ke Jazirah Sulawesi Selatan. Hal menarik dari migrasi ini adalah pada setiap tempat-tempat yang dilaluinya, selalu ada konsep tentang manusia yang turun dari langit atau Tomanurung. Dari pantai barat Sulsel migrasi berlanjut lewat laut menujupulau Jawa pada 2500 tahun SM, terus mengarus ke Sumatera dan semenanjung Melayu dan Thailand sampai 1000 tahun SM.

Pada fase 1500 tahun SM ini sudah dikenal kebudayaan perunggu, bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menetap dan tidak lagi menjadi manusia pengembara. Ratusan tahun berlangsung kebudayaan ini, sehingga mereka berkembang dan membentuk sebuah kelompok-kelompok yang lebih besar, membentuk desa-desa dengan suku multi klan. Dari sinilah dikenal pemimpin yang tampilannya otoriter karena berdasar pada prinsip egalitee atau kebersamaan, dimana suara setiap anggota kelompok cenderung sama harganya. Para pemimpin menjalankan kehendak bersama para anggota dan dengan demikian memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Hal ini memiliki banyak kesamaan dengan sistem demokrasi di dunia Barat meski dalam bentuk yang masih sangat sederhana.

Ketika mulai merasa tidak puas dengan keterbatasan kekuasaan dalam tatanan yang semi demokratis, beberapa diantaranya mulai mencari model sehingga mereka terjadi persentuhan dengan kebudayaan Hindu yang datang dari India. Dari sinilah muncul model-model kekuasaan dari semi demokratis menuju bentuk aristokrasi, kedatuan dan dengan kekuasaan pemimpin yang lebih kuat semacam model kerajaan.

Dalam catatan lontaraq bisa ditemukan penggambaran situasai kedatuan atau kerajaan model awal di jazirah Sulawesi. Dikalangan mereka sering berselisih dengan yang lain dalam melindungi kepentingan masing-masing. Terlebih kepada kelompok yang berada jauh terpisah seperti Kalimantan dan sebagainya. Namun situasi ini kemudian membuat mereka menemukan solusi dengan membentuk semacam konfederasi yang dipimpin pertama kali oleh Tomanurung yang dikonsepsikan sebagai Tomanurung.

Dalam konfederasi, sistem semi demokrasi menjadi prinsip yang egalite dan humanite yang dipegang teguh. Para pemimpin disegala tingkat mengabdikan diri untuk menjaga harkat dan martabat manusia yang menjadi rakyat, mengupayakan kesejahteraan dan menjaga ketertiban. Pemimpin yang melakukan penimpangan akan mendapatkan sanksi rakyat melalui dewan adat. Tadisi pendampingan penguasa oleh dewan adat ini bertahan lama. Dewan adat ini ada yang beranggotakan sembilan maka disebut Adaq Salapang (Makassar). Demikian juga yang beranggotakan tujuh disebut Adaq Pitue (Bugis) dan termasuk di Mandar ada dewan adat yang beranggotakan empat banua maka disebut dengan Pitu ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga dan pada perkembagan selanjutnya sikenal Appeq Banua Kayyang (Arajang Balanipa). Adapun rakyat yang merupakan sumber kekuasaan menunjukkan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Dengan demikian keseimbangan antara hak dan kewajiban terjaga dengan baik.

Inilah yang mendasari sehingga pada masa itu tidak heran jika seorang pemimpinnya meninggal dunia, para pelayan setianyapun rela ikut dengan junjungannya dikubur hidup-hidup demi menunjukkan sebuah pengabdian yang betul-betul disakralkan dan dijunjung tinggi, salah satu contohny adalah I Manyambungi Todilaling yang sampa hari ini masih bias kita lihat pekuburannya di Desa Napo.

Menelusur Peradaban Mandar

Menelusur sejarah peradaban di Mandar dapat dimulai dari beberapa peristiwa sebagai tonggak sejarah peradaban Mandar. Pertama: Adanya penggalian daerah Sampaga pada bulan Mei 1933 di Lembah Sungai Karama Kabupaten Mamuju yang menemukan beberapa peralatan prasejarah seperti batu dan gerabah.

Kemudian dilanjutkan dengan dua kali penelitian di tempat yang sama di Bukit Kamassiq yang menemukan alat-alat seperti pisau, kapak batu, kapak batu segi empat, mata panah yang halus, beserta pecah-pecahan tenbikar yang berukir. Penggalian pertamanya sendiri dilakukan oleh PV. Van Callenvels pada tahun 1933 di bagian tikur sedangkan penelitian yang kedua dilakukan oleh Dr. HR. Van Hee Karem 1949 menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu, yang ada kemiripannya dengan Neolithic di Luzon (Philipina), Manchuria (Mongolia), Hongkong dan sebagainya.
Penelitian yang dilakukan di bagian selatan puncak Magassiq ini juga ditemukan gerabah berhias yang dinilai oleh para arkeolog telah menunjukkan keteraturan kebudayaan di daerah Galumpang Kabupaten Mamuju ini terlingkup dalam satu wilayah Sa-huynh Kalanay, Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan Pasifik.
Hal berikutnya juga pernah dilakukan oleh Dr. FDK Bosch yang mencoba membandingkan hasil temuan Amiruddin Maula salah seorang tokoh pendidik di Kabupaten Majene yang menemukan Patung dan dibandingkannya dengan patung Budha dari Solok Sumatera Barat, Kotabangun Jambi, Kalimantan Barat, Gunung Lawu, Jawa Tengah,

Kesimpulannya, tidak ada satupun kemiripan atasnya. Dan setelah dibandingkan dengan patung Budha yang ada di India, Muka dan Gandhara, disimpulkan kemudian bahwa patung tersebut dipengaruhi oleh gaya dan kemiripan dengan Budha Greeco yang ada di India Selatan yang beraliran kesenian Amarawati yang juga sangat besar pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-2-7 Masehi. Inilah yang menjadi penanda tentang adanya peradaban di Mandar. Dan tentu saja penemuan ini bukanlah satu-satunya yang bisa dijadikan rujukan, sebab catatan sejarah peradaban di Sulawesi itu berlangsung jauh sebelum Masehi, sehingga kedepan masih akan banyak kita temukan posil dan artefak sejarah yang bisa dijadikan data pendukung tentang eksistensi komunitas manusia Mandar pada periode sebelum dan awal abad masehi.
Kedua: Adanya gelombang migrasi kedua berlangsung 3000 tahun SM, itu rutenya meniti ke Mindanao dan seterusnya ke daratan Sulawesi Utara, menyebrangi Teluk Tomini ke daratan Sulawesi Tengah lalu ke Jazirah Sulawesi Selatan. Dari sini kemudian saya meyakini bahwa diantara imigran itulah yang menjadi komunitas pertama manusia-manusia Mandar di pesisir. Beberapa informasi yang didapatkan itu, terlepas apakah bisa dibuktikan secara ilmiah atau tidak namun saya kira menarik untuk bahan diskusi kita demi menemukan sebuah konsep kesefahaman dalam penulisan periodesasi sejarah Mandar.

Dalam hal ini, menarik kita bandingkan dengan tulisan Zulfihadi (Radar Sulbar: edisi Kamis, 13/08/15) tentang awal sejarah Passokkorang yang hingga saat ini belum diketahui pasti tentang sejarah awal penamaan Passokkorang. Dalam tulisannya ia mengisahkan ketika zaman prasejarah yang menyelimuti daratan pulau Sulawesi, atau bisa dikatakan era pra Tomanurung. Masa dimana orang belum mengerti apa itu agama.

Di sekitar aliran sungai Mapilli (saat itu belum dinamai sungai Mapilli) terdapat beberapa komunitas manusia penghuni awal. Komunitas-komunitas ini sangat menyukai perang, dan mereka seringkali saling menyerang antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Namun dimasa itu belumlah dikenal senjata perang, sehingga mereka berperang hanya dengan kayu dan paling banyak dengan saling menggigit lawannya. Ada kemungkinan kondisi inilah yang disebut dalam kitab epos I Lagaligo dengan kondisi “sianre bale”, dimana kondisi ini digambarkan penuh dengan kekacauan. Dari kebiasaan perang dengan cara saling menggigit inilah muncul nama PASSIKOKKOANG yang kemudian secara perlahan berubah penyebutannya menjadi PASSIKOKKORANG dan akhirnya menjadi PASSOKKORANG. Masyarakat komunitas ini sangatlah pemberani, memiliki kekebalan dan juga pandai menundukkan mahluk halus. Setelah beberapa generasi kemudian, masuklah era Tomanurung. Tatanan peradaban pun menjadi lebih baik dan kebiasaan perang dengan saling menggigit dihentikan, namun demikian wilayah yang dulunya sering menjadi tempat bermukim komunitas ini tetap dikenal dengan nama Passokkorang atau Buttu Passokkorang saat ini.

Lebih lanjut, Zulfihadi menjelaskan dalam tulisannya, setelah beberapa generasi kemudian, kisah dan sejarah Passokkorang hilang hingga kemudian muncul kembali setelah terbentuknya Passokkorang menjadi sebuah kerajaan. Tidak diketahui tentang siapa pendiri kerajaan Passokorang, namun dari berbagai cerita tutur dan pengamatan lapangan dapat diambil beberapa kesimpulan. Passokkorang adalah sebuah kerajaan berdaulat dan menjalin persahabatan dengan kerajaan - kerajaan tetangga, bahkan salah satu raja Passokkorang yang bernama I La Bassi Kalling mempunyai seorang istri yang merupakan putri dari kerajaan Batu Lappa (masuk dalam wilayah kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan sekarang).

Kerajaan Passokkorang (bukan komunitas-pen) diperkirakan berdiri pada sekitar tengah tahun 1400-an M. dan runtuh pada awal 1500-an yang bisa dilihat persamaan time linenya dengan beberapa raja kerajaan tetangga semisal Raja Bone V La Tenri Sukki Mappajung E (1516 – 1543) atau, Arung Matowa Wajo IV La Palewo to Palippu (1491 – 1521) (bersambung....)

MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) (bag.3)

Sambungan MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) (bagian 2).

Bukti lain bahwa Indonesia adalah batas pemisah antara dua samudera besar, yaitu samudera Fasifik dan Samudra Hindia. Pada zaman es, seluruh wilayah muncul, membentuk sebuah benua luas yang terbentang hingga Asia Tenggara dan Semenanjung Melayu (dulu disebut Lanka atau Taprobane). Ketika permukaan laut naik sekitar 130 meter atau lebih, dataran-dataran rendah yang sangat luas di paparan Indonesia menjadi terendam dan menghilang di bawah laut secara permanen. Hanya dataran-dataran tinggi dan puncak-puncak vulkanis yang tersisa sebagai saksi bisu bencana alam itu.

Dataran-dataran tinggi dan puncak-puncak vulkanis inilah yang menjelma menjadi ribuan pulau di Indonesia. Mereka yang bertahan hidup terpaksa keluar dan pindah ke India yang sebenarnya dan ke tempat-tempat lain seperti Asia Tenggara, China, Polinesia, Amerika, Timur dekat dan sebagainya sehingga akhirnya mereka sampai ke Eropa dan wilayah-wilayah Barat Jauh lainnya. Dari sanalah mereka membangun peradaban kuno yang kita kenal saat ini. Riwayat-riwayat paling jelas tentang daratan yang tenggelam ini tersimpan dalam tradisi-tradisi suci India, yaitu ditempat-tempat seperti Lanka, Kumari Kandam, Tripura dan sebagainya. Mereka yang terpaksa pindah inilah yang menjadi ahli waris langsung dari kebudayaan agung yang usianya sangat tua itu.

Selain Prof. Arysio Santos, tercatat juga Stephen Oppenheimer, ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Oxford University, Inggris, lewat bukunya yang merupakan catatan perjalanan penelitian genetis populasi di dunia, ia mengungkapkan bahwa peradaban yang ada sesungguhnya berasal dari Timur, khususnya Asia Tenggara. Hal itu disampaikan Oppenheimer dalam diskusi bedah bukunya berjudul ‘Eden in The East’ di gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Kamis 28 Oktober 2010.

Sejarah selama ini mencatat bahwa induk peradaban manusia modern itu berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia. Tetapi, menurut dia, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu yang sering disebut dengan Sundaland atau Indonesia. Apa buktinya? “Peradaban agrikultur Indonesia lebih dulu ada dari peradaban agrikultur lain di dunia,” kata Oppenheimer dalam diskusi yang juga dihadiri Jimly Asshiddiqie.

Buku “Eden in The East” oleh Stephen Oppenheimer ini ingin mengubah paradigma yang ada selama ini, bahwa peradaban paling awal adalah berasal dari daerah Barat. Namun dalam perjalanan yang dilakukannya dimulai dengan komentar tanpa sengaja oleh seorang pria tua di sebuah desa zaman batu di Papua Nugini. Dari sana dia mendapati kisah pengusiran petani dan pelaut di pantai Asia Tenggara, yang diikuti serangkaian banjir pasca-sungai es hingga mengarah pada perkembangan budaya di seluruh Eurasia.

Oppenheimer meyakini temuan-temuannya itu, dan menyimpulkan bahwa benih dari budaya maju, ada di Indonesia. Buku ini juga, ingin mengubah secara radikal pandangan tentang prasejarah. Pada akhir Zaman Es, banjir besar yang diceritakan dalam kitab suci berbagai agama benar-benar terjadi dan menenggelamkan paparan benua Asia Tenggara untuk selamanya.
Peta migrasi manusia selama 160.000 tahun zaman es terakhir oleh Stephen Oppenheimer. Ini adalah hasil kerjanya yang didasarkan pada DNA mitokondria, bukti kromosom Y, arkeologi, klimatologi, dan studi fosil dan melacak rute dan waktu migrasi manusia keluar dari Afrika dan ke seluruh dunia.
Hal itu yang menyebabkan penyebaran populasi dan tumbuh suburnya berbagai budaya Neolitikum di Cina, India, Mesopotamia, Mesir dan Mediterania Timur. Akar permasalahan dari pemekaran besar peradaban di wilayah subur di Timur Dekat Kuno, berada di garis-garis pantai Asia Tenggara yang terbenam. “Indonesia telah melakukan aktivitas pelayaran, memancing, menanam jauh sebelum orang lain melakukannya,” ujar dia.

Oppenheimer mengungkapkan bahwa orang-orang Polinesia (penghuni Benua Amerika) tidak datang dari Cina, tapi dari pulau-pulau Asia Tenggara.
Sementara penanaman beras yang sangat pokok bagi masyarakat tidak berada di Cina atau India, tapi di Semenanjung Malaya pada 9.000 tahun lalu. Akibat iklim Bumi yang semakin panas saat zaman es secara dramatis pada 65-52 ribu tahun yang lalu, membuat air laut semakin naik di daerah khatulistiwa yaitu Indonesia. Keadaam itu memaksa nenek moyang manusia pindah dari daerah khatulistiwa ke daerah utara dan selatan Bumi. (Stephen Oppenheimer)
Buku Eden In The East juga mengungkapkan bahwa berbagai suku di Indonesia Timur adalah pemegang kunci siklus-siklus bagi agama-agama Barat yang tertua. Buku ini ‘membalikkan’ sejumlah fakta-fakta yang selama ini diketahui dan dipercaya masyarakat dunia tentang sejarah peradaban manusia.

Bukti-bukti ilmiah dan kesimpulan dari peneliti Prof. Arysio Santos ataupun Stephen Oppenheimer ini, mungkin sebagian akan menganggap sebagai bualan, peneliti yang bias, tapi terpulang kepada kita bahwa melihat struktur budaya dan peradaban yang begitu beragam di Nusantara kita ini, termasuk artefak sejarah, paling tidak memberi spirit buat kita sebagai generasi untuk bangga menjadi pewaris peradaban tua didunia, yang selain ada juga sekaligus diakui oleh peneliti-peneliti dari barat.

Sekilas tentang Nama Nusantara

Pada zaman purba, kepulauan Indonesia disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah yang kemudian menjadi Indonesia Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab luban jawi “kemenyan Jawa”, sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax Sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales).
Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, Archipel Malais).

Pada zaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama yaitu Nusantara, istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Dan sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan Indonesia.

Sekilas Tentang Indonesia

Orang yang pertama kali memperkenalkan nama Indonesia adalah orang Inggris bernama George Samuel Windsor Earl dalam tulisannya yang berjudul “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations” pada tahun 1850 di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), terbitan Singapura.

Dalam tulisan tersebut Earl mengusulkan dua alternatif nama untuk menggantikan sebutan Hindia (Indie/India), yaitu Malayunesia dan Indunesia. Earl sendiri lebih menyukai menggunakan sebutan Malayunesia mengingat bahasa pergaulan (lingua franca) di kepulauan ini adalah bahasa Melayu. Selanjutnya Richardson Logan mengambil nama Indonesia dari Earl dan untuk alasan kenyamanan pelafalan, ia mengganti huruf u menjadi o. Untuk pertama kalinya nama Indonesia muncul di dunia internasional melalui tulisan Logan di JIAEA (1850) yang berjudul “The Ethnology of the Indian Archipelago”. (bersambung....)

MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) (bag.2)

Sambungan MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) bagian 1.

Belum lagi Albert Camus yang menuliskan bahwa banyak sekali hal-hal yang tragis, absurd dan saling bertentangan yang ditemui dalam sejarah manusia yang tidak dapat difahami melalui disiplin-disiplin atau kategori-kategori yang biasa dipakai oleh ilmu pengetahuan.

Sampai disini tentu kita semua akan terbata untuk mencoba memberikan gambaran perjalanan sejarah peradaban kita di Mandar. Tapi justru dari kebuntuan inilah kemudian saya mencoba menghidupkan kembali apa yang disebut Proust memoire volontaire, kenangan yang tidak dirancang. Artinya, mencoba menghubung-hubungkan¬ beberapa peristiwa antara kejadian di Nusantara dan bahkan dunia dengan kejadian di Sulawesi dan di Mandar.
Dari sini kita akan menemukan sebuah kerangka untuk mulai merumuskan periodesasi sejarah peradaban kita di Mandar.

Awal Peradaban Manusia

Sebagaimana tulisan saya di Radar, 08-11 Juli 2015 (Menelusur Penulisan Sejarah Mandar), saya ingin memberikan gambaran awal peradaban manusia dari sejak nenek moyang kita memasuki tahap menjadi manusia "sempurna", mereka hidup dengan cara Palaeolitik Rendah kecuali generasi terakhir - mungkin generasi keenam belas.
Sekumpulan manusia pada zaman Palaeolitik Rendah berjumlah sedikit dan memberi tempat yang luas kepada kumpulan-kumpulan makhluk lain untuk hidup di biosfir ini. Dalam fase itu mereka membutuhkan biosfer untuk bertahan hidup.

Sebelum tiba ke masa sejarah, manusia berada dalam kesuraman masa sejarah. Kelompok-kelompok manusia tidak tiba pada waktu yang sama kedalam masa sejarah, yakni masa yang bisa dicatat dalam sejarah dengan tingkat-tingkat kemajuan peradaban. Hal ini membuat salah satu dari kelompok manusia itu ada yang berhasil masuk kedalam sejarah cukup cepat dan ada juga yang lamban sehingga lebih lama terendam dalam kesuraman masa prasejarah.
Effendi Sirajuddin, dalam bukunya Nation In TrapMesir(Menangkal Bunuh diri Negra dan Dunia tahun 2020) menjelaskan secara gamblang bahwa salah satu kelompok manusia yang telah memulai membangun peradaban yang maju di lembah-lembah tempat mengalirnya Sungai Nil yang diapit oleh Gurun Barat dan Gurun Timur di Afrika bagian utara. Peradaban Mesir mencapai puncak kecemerlangan saat Menes berhasil mempersatukan Mesir wilayah hulu Nil dengan Mesir hilir, 3200 SM dan berhasil menjadi Fir'aun pertama. Saat Nabi Musa masuk memimpin kaumnya agar bebas dari perbudakan, Mesir sudah 900 tahun menjadi bangsa yang besar secara politik dan ekonomi, meski kekuasaan dikendalikan dengan cara yang keji.

Peradaban maju Mesir berlangsung hingga 300 tahun SM saat Iskandar Agung berhasil menaklukkan Mesir. Setelah Iskandar yang agung wafat, salah seorang Jenderalnya berhasil mendirikan dinasti baru yang dikenal dengan Dinasti Ptolemeus. Namun dibawah kendali Ptolemeus masa cemerlang Mesir berangsur-angsur meredup. Sampai Ratu Cleopatra yang naik tahta di tahun 51 SM saat berusia 17 tahun, Mesir sudah masuk dalam periode memudar (lemah secara ekonomis maupun secara militer). Adapun yang membuat Ratu Cleopatra termasyhur tidak lebih karena legenda percintaannya dengan Marcus Antonius, salah seorang jenderal perang penguasa Romawi, Julius Caesar.

Peradaban yang juga mengalami kemajuan pesat adalah Mesopotamia yang dialiri oleh sungai Eufrat dan Sungai Tigris. Dimulai saat Hammurabi naik tahta di Babilonia 1750 SM berlangsung selama 42 tahun yang diteruskan oleh Kaisar Nebukadnezar II yang berhasil membangun Menara Babilondan Taman Gantung, sekaligus menjadi simbol kecemerlangan. Nanti mulai pudar setelah Nabodinus naik tahta. Nabodinus dikenal lemah, lamban dan peragu sehingga pada tahun 534 SM, Babilonia berhasil direbut oleh Cirus yang Agung dari Persia dengan hampir tanpa pertempuran sama sekali.

Ada hal yang perlu dicatat bahwa peradaban Mesopotamia (baik pada masa kekuasaan Sumeria maupun Babilonia) berhasil membangun pusat-pusat perkotaan kaya yang sekaligus menjadi pusat peradaban. Tempat berkembangnya seni, sastera, keahlian tehnologi, pusat industri, dan berbagai spesialisasi perdagangan. Termasuk menjadi awal dikembangkannya sistem tulis menulis yang praktis, sehingga memacu revolusi dalam komunikasi manusia yang pada akhirnya mendorong kemajuan budaya dan pemikiran, serta konsep dan praktek ekonomi.

Manusia penghuni India Barat laut, pada 3000 tahun SM, belahan sebelah Barat Sungai Indus berubah menjadi pemukiman yang teratur. Kota Mahenjo Daro (400 km dari muara sungai Indus di Laut Arab selatan) dan Harappa (Wilayah sungai-sungai hulu Indus Utara) dibangun dengan sistem tata kota yang unggul, mulai dari sanitasi yang prima, jalan tertata baik, hingga gedung-gedung berlantai lima, menjadi penanda kebangkitan suatu peradaban maju. Pertanian dan Industri sudah ditopang dengan tehnologi, serta pelabuhan modern dengan dermaga bertembok batu bata sepanjang 2 km, memungkinkan kapal-kapal bisa bongkar muat setiap saat karena dilengkapi pintu-pintu air yang bisa mengendalikan permukaan air disaat pasang atau surut.Pada saat yang sama Harappa sudah berdagang emas, tembaga, pirus, zamrud, dan hasil kayu pegunungan Himalaya dan kapal-kapalnya berlayar dari laut Arab ke Mesopotamia melalui Teluk Persia membwa gading dan kapas.
Para arkeolog dan antropolog sering menyebut peradaban India setua dengan peradaban itu sendiri dan selalu dapat di sejajarkan dengan peradaban Nil dan Mesopotamia. Namun peradaban Harappa ini hancur tiba-tiba tanpa melalui proses degradasi setelah berusia 1000 tahun (antara 2500-1500 tahun SM). Para ahli menyebutkan bahwa kehancuran Harappa ini lebih disebabkan oleh krisis kepemimpinan, termasuk akibat kelalaian dalam mengelola alam, karena hutan-hutan dieksploitasi secara berlebihan (Mahenjo Daro). Eksploitasi hutan ini berimbas pada bencana banjir yang tentu saja menyebabkan garis pantai laut Arab naik, sehingga teknologi pengendalian air di pelabuhan tak berdaya. 

Beberapa pelabuhan digeser ke hulu yang menyebabkan para industrialis, petani dan peniaga meninggalkan kedua kota penting dalam sejarah peradaban ini.
Kehancuran peradaban Indus ini tuntas ketika kaum Arya masuk meluluh lantakkan seluruh kota dan merusak bukti-bukti peradaban Lembah Sungai Indus sampai ke timur, yaitu Bihar dan Benggala. Kaum Arya ini menyebut diri mereka "bangsa yang mulia" dan berhasil membangun kerajaan Magadha yang pendetanya menghasilkan empat kitab Weda (Rig Weda, Yajur Weda, Sama Weda, dan Atharva Weda) yang kemudian menjadi dasar bagi Hinduisme. Masa 1500-500 SM ini disebut abad Weda, karena dalam era inilah ada pembagian kasta dalam ajaran agama, yaitu Brahmana (kaum pendeta) adalah mulut, Ksatriya (para bangsawan dan militer) adalah lengan, sedang Waisya (pedagang dan petani) adalah paha dan kaum Sudra (hamba sahaya) adalah kaki yang bersitumpu ke tanah.

Menjelang akhir zaman Weda ini lahirlah Sidharta Gautama yang menentang ketidaksetaraan dalam tatanan sosial, yang mengajarkan Budha yang secara esensial beda dengan ajaran kitab Weda. Pada periode ini rakyat India terbelah dalam urusan agama, sebab ajaran Budha tak mampu merubah tatanan masyarakat India dibawah kendali para Brahmana dan Ksatriya dan itu berlangsung sampai hari ini. Ajaran Budha justru lebih berhasilnya ke utara, ke Asia Timur dan ke China, yang dalam sejarah peradaban berhasil mendirikan Dinasti Shang (1766-1123 SM) dibawah pemerintahan Kaisar Shang Chao dan turun temurun ke 8 dinasti setelahnya sampai berakhir Dinasti Qing pada 1912 Masehi.

Kemaharajaan India yang besar dan cemerlang untuk pertama kali terbentuk setelah klaim Raja Darius 500 -300 tahun SM, yaitu dibangun oleh Chandragupta Mauriya yang mencapai puncak dibawah pemerintahan Raja Ashoka yang sekaligus menjadikan ajaran Budha ini makin meluas dengan dibangunnya patung Budha oleh para ahli seni pahat dari Gandhara dan Mathura. Dari sini pula peradaban sungai Indus bergeser ke daerah aliran Sungai Gangga (sungai suci bagi ajaran Hindu)

Kedatangan tentara Iskandar Agung dari 200 SM sampai awal abad Masehi, India tak henti-hentinya di menghadapi invasi, mulai dari orang Bakria (Yunani), Parthia (Persia), Skitia sampai Kush dari Asia tengah. Pertengahan abad ke-5 M berturut-turut dua gelombang serbuan bangsa Hum. Dan pada abad Ke-8 M bangsa Arab menaklukkan Sind dan mulai memperkenalkan Islam untuk pertama kalinya di India. Dan pengikut Islam umumnya dari penganut Budha. Islam terus berkembang dari abad ke abad sampai puncak berjayanya pada masa Kemaharajaan Mughal (abad 16-17) mencakup wilayah terluas dan praktis sepeninggal Raja Mughal pada paruh kedua abad ke-18 Inggris tumbuh menjadi pemegang kekuasaan hingga 26 Januari 1947. Yang sekaligus pada tahun itu juga India terbagi dua, terutama berdasarkan perbedaan agama, menjadi Republik India dan Pakistan.
Menelusur Peradaban Nusantara

Peradaban Nusantara menuju negara bangsa Indonesia amat panjang. bahkan menjadi temuan beberapa ahli bahwa nusantara ini adalah awal mula peradaban dunia. Lacakan pertama menurut Prof. Gunawan diperoleh 4000 tahun yang lalu, atau 2000 tahun SM, dengan ditemukannya sejumlah peralatan yang lazim dipergunakan pada zaman batu muda (neolitikum). Pada zaman ini alat-alat dibuat dari batu namun sudah diasah sehingga permukaannya menjadi halus. Demikian juga dengan ditemukannya fosil Homo Soloensis di Pulau Jawa yang setara dengan manusia Cro-Magnon Perancis yang merupakan fosil dari zaman neoliticum (50.000-35.000 SM).


Jika kita merujuk pada penelitian Prof. Arysio Santos, seorang Geolog dan Fisikawan Nuklir dari Brazil, ia bahkan menyimpulkan bahwa Nusantara (Indonesia) ini adalah tempat lahir peradaban dunia yang berdasarkan pada istilah Antlantis yang hilang oleh Plato, karna berdasarkan penelitiannya, bahwa kata “nesos” yang digunakan oleh Plato itu ia temukan di wilayah Indonesia dan memenuhi kriteria ilmiah yang disyaratkan, bahwa Atlantis itu ditaburi oleh pulau-pulau vulkanis, seperti kepulauan Azore dan Canary, yang langsung muncul dari dasar laut. Dikatakannya, bahwa Indonesia ini terletak di persimpangan tiga lempeng benua yang menciptakan tekanan sangat besar pada lapisan kulit bumi. (bersambung....)

MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) (bag. 1)

Oleh: Muhammad Munir
Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sulbar
Aktif di Appeq Jannangang.
Inisiator Sepeda Pustaka, Rumah Pustaka dan Rumah Buku

Pengantar:
Mengapa Fir'aun Jazadnya di Selamatkan ?
"Apa perbedaan antara Soekarno membaca teks Proklamasi dengan saat Soekarno Kencing. Dan Peristiwa yang mana yang bisa dikatakan peristiwa sejarah?". Demikian pertanyaan yang sering saya lontarkan dalam setiap saya diundang oleh teman-teman dalam diskusi atau seminar terkait Sejarah Mandar. Hal sama saya lontarkan saat menjadi pembicara pada SEMINAR NASIONAL Pendidikan, Sejarah dan Kebudayaan Mandar di Gedung DPRD Majene, 11 Agustus 2015 lalu, dalam rangkaian peringatan HUT Majene ke 470.

Jika semua kejadian-kejadian pada masa lalu kita sebut sebagai sejarah,
maka ketika Soekarno kencing pun seharusnya ditulis sebagai sejarah. Demikian juga dengan aktifitas keseharian beliau. Namun jika kita berfikir bahwa sejarah adalah sebuah rangkaian peristiwa masa lalu, yang memberi perubahan dan pencerahan pada masa-masa selanjutnya adalah sejarah, maka pertanyaan tersebut sudah bisa difahami dalam menarasikan dan mendeskripsikan tentang masa lampau yang bernilai sejarah, atau masa lampau yang bukan sejarah tapi dilebih-lebihkan dan ditulis sebagai sejarah.

Fenomena hari ini, kerap kita temukan sesuatu yang sebenarnya tak punya nilai terhadap perubahan dan pencerahan justru dilisan tuliskan dengan varian gaya penulisan yang memukau, maka lahirlah tulisan yang justru mengibuli dan membuat para pembaca larut dalam kerancuan menelisik makna sejarah yang sebenarnya.
Kejadian masa lalu yang punya nilai tidak harus kita maknai hanya sebagai sebuah kejadian yang dilakukan oleh seorang tokoh arif dan bijak. Tapi peran tokoh jahat, biadab dan semena-menapun sejatinya harus dilisan tuliskan juga sebagai sejarah karena keduanya akan menjadi penanda, pembanding buat pembaca dalam menemu kenali identitas dan jati diri.
Tak boleh ada diskriminati dalam penulisan sejarah, karna didalam menulis, kita boleh saja salah yang penting jangan bohong !

Jika kita meneliti Al Qur'an, ternyata banyak sekali kita temukan bercerita tentang sejarah, terutama sejarah tentang manusia. Dari sini kembali kita akan beroleh tanya, mengapa kitab suci membincang sejarah, mengapa sejarah mesti dipelajari dan ditulis?.
Jasmerah (Jangan Sampai Melupakan Sejarah) adalah salah satu ungkapan yang keluar dari mulut Bapak Proklamator kita Soekarno. Kaitannya dengan Jasmerah ini, ada sebuah petanyaan mendasar yang perlu kita telisik, yaitu: “Mengapa Fir'aun di selamatkan?”. Tulisan inilah yang kita coba ramu untuk melisan tuliskan kembali tentang sejarah kaitannya sejarah peradaban sebagai acuan untuk mengetahui perruqdusang (asal-usul) kita sebaga orang Mandar .

Merujuk pada salah satu firman Allah dalam Al Qur'an, Allah berfirman, "Pada hari ini Fir'aun aku selamatkan badanmu agar menjadi pelajaran terhadap orang-orang sesudah kamu". Ayat ini turun ketika Fir'aun tenggelam dilaut merah setelah mengejar Nabi Musa sampai di laut merah dan Nabi Musa melemparkan tongkatnya kelaut dan seketika itu juga laut itu terbelah. Musa dan pengikutnya menyebrang, Fir'aun terus menyerang. Ketika Fir'aun ditengah laut dan Musa sampai disebrang, tiba-tiba laut merah tertutup dan Fir'aun bersama pengikutnya tenggelam.
Saat tenggelam itulah, Fir'aun berdo'a, "Ya Allah Tuhannya Musa, Engkaulah Tuhan yang benar, Engkaulah yang patut disembah, saya bukan Tuhan (padahal sebelumnya Fir'aun) selalu berteriak, Waanna Rabbukum A'la, akulah Tuhanmu sekalian. Tapi dalam keadaan kritis itu, Fir'aun berteriak, Engkaulah Tuhan yang benar, maka selamatkanlah aku”.

Dari kisah dalam Al Qur'an tersebut kita menemukan jawaban dari pertanyaan tentang Jasmerah dan sederet pertanyaan diatas, Mengapa Fir'aun diselamatkan? Yaitu, Sejarah adalah guru yang akan mengajar manusia, bahwa orang yang berbuat salah dan benar itu sudah jelas dalam pandangan Allah, sebesar biji zarrah kebaikan atau keburukan pasti akan ditemui balasannya.
Kisah Fir'aun adalah refleksi yang unik, tentang Fir'aun yang tenggelam dan meninggal dilaut merah. Tapi Allah mengatakan aku selamatkan kamu Fir'aun. Ternyata yang diselamatkan adalah tubuh Fir'aun. Dan setelah berlalu sekitar 5000 tahun, tubuh itu masih dapat kita saksikan hari ini, sebab tubuh itu dijadikan mumi, diawetkan disebuah museum di Kairo, yaitu Museum At-Tahrer Mesir.

Tulisan ini awalnya adalah makalah yang akan saya sampaikan pada Seminar Sejarah dan Kebudayaan Mandar. Mengingat terbatasnya waktu maka makalah ini saya format ulang menjadi artikel. Semoga bermanfaat dan melahirkan sebuah ruang untuk berdiskusi tentang peradaban Mandar, Kappung Pembolongatta.

Menelisik Makna Peradaban

Menelusur sejarah Mandar dalam rangka menemukan manusia pertama dan peradaban mempunyai tingkat kesulitan karna tidak cukup dengan mengkaji lontar. Sebab, lontar sendiri lebih banyak mengungkap mitologi, amanat nenek moyang, himpunan peraturan adat, dongeng, putika, mistis dan mantra bahkan takhayyul, khurafat, dan lain sebagainya. Begitupun jika hanya dengan perenungan untuk memahami keterangan lisan dan beberapa kearifan-kearifan leluhur. Termasuk ketajaman imajinasi dan intuisi sebab sejarah yang kita baca, yang kita fahami telah melalui proses pengibulan sejarah oleh Belanda.

Penelitian dengan menggunakan metode ilmiahpun tidak sepenuhnya bisa diandalkan, sebab sarana dan prasarana pendukung hampir bisa dikatakan tidak ada. Juga kurang dan terbatasnya data yang ingin dikaji secara ilmiah, baik berupa prasasti, fosil, keramik, pusaka atau benda berharga lainnya. Benda-benda pusaka itu sudah banyak yang keluar daerah karena terjual dan juga dirahasiakan/¬tersimpan dirumah-rumah penduduk khususnya dikediaman pelaku sejarah (keturunan bangsawan).
Tapi bukan berarti kesulitan itu, harus membuat kita pasrah dan berhenti mengungkap peradaban itu, karena makin dalam kita menghargai dan menyelami peradaban masa lalu, maka makin mudah sebuah bangsa/daerah meraih kejayaan di masa yang akan datang. Dan terbukti bangsa yang berhak meraih kejayaan dan kebesaran adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Sejarah peradaban yang dimaksud adalah kejadian atau peristiwa perubahan yang terjadi di masyarakat secara kolektif kearah yang lebih baik, mulai dari adanya peradaban, kebudayaan, agama, pendidikan dan pemerintahan.

Berbicara masalah peradaban, terlebih dahulu kita harus fahami apa itu peradaban. Dalam pengertian bahasa Inggris peradaban dinamakan civilization. Sajidiman Surjohadiprojo dalam pidato kebudayaannya saat Temu Budaya 86 mengatakan bahwa pengertian civilization menurut Encyclopedia Americana telah berkembang selama sejarah manusia

Pengertian pertama, berhubungan dengan sifat manusia yang berkelakuan baik dan dapat mengendalikan diri. Kedua, pengertiannya kemudian berkembang menjadi pertumbuhan manusia dalam penguasaan pengetahuan dan kecakapan yang mendorongnya untuk mencapai perilaku yang lebih luhur. Dan ketiga, pengertiannya lebih ditekankan pada sifat khas dan adanya perbedaan kebudayaan masing-masing bangsa.

Dewasa ini, ada kecenderungan lebih kuat untuk menggunakan pengertian ketiga, sebab pengertian pertama dan kedua cenderung mengarah pada peradaban barat saja. Sedangkan dalam kenyataan terdapat begitu banyak perbedaan yang cukup besar antara kebudayaan berbagai bangsa, disamping tentu ada juga persamaannya.
Dari pengertian peradaban (Civilization) kita melihat kebudayaan (culture) adalah sebuah kesatuan yang utuh dan integral, sabab pengertian kebudayaan yang kemudian disepakati adalah keseluruhan pemikiran dan benda yang dibuat atau diciptakan manusia dalam perkembangan sejarahnya.

Dalam hal ini saya tentu tidak dalam rangka menyajikan sebuah panorama miniatur dari apa yang telah kita fahami terkait perkembangan kebudayaan dan peradaban kita selama ini. Yang ingin saya lakukan adalah mencoba memahami hakikat dari sejarah kita di Mandar, terutama menentukan periodesasi sejarah dalam menemukan perruqdusan kita yang selama ini kerap dimitoskan. Cara ini tentu saja bukan satu-satunya cara yang tak memiliki kekurangan. Sebab, cara ini selain belum dan tidak lengkapnya artefak dan keterbatasan cakupannya, juga sangat rentan menjadi sebuah apologi dari apa yang tidak dan belum dilakukan. Lagi pula bisakah masa lampau itu kita kembalikan dengan cara yang hidup ?.


Marcel Proust, seperti yang dikutip Asrul Sani dalam pidato kebudayaannya di Teater Arena TIM, September 1990 bahwa Proust mengemukakan, sesuatu yang sudah tergolong pada suatu kelampauan mungkin merupakan sesuatu yang sudah mati untuk selama-lamanya dan kalau dihidupkan kembali akan sangat tergantung pada suatu memoire volontaire (ingatan yang sengaja dihidupkan). Proust juga berpendapat bahwa sia-sialah untuk menghidupkan masa lampau itu kembali dengan bantuan akal, karena otak kita tidak akan pernah bisa mencapai tempat dimana masa lampau yang hidup itu bersembunyi. (Bersambung...........)

15/09/2015

PAQBANNE TAUANG (tata acara pernikahan adat di Desa Matangnga)


Oleh : Mujahidin Musa
Paqbanne tauang (pernikahan) bagi masyarakat Matangngga dahulu hanya dapat dilakukan pada waktu pealloang (selesai panen padi) sampai waktu kembali turun ke sawah (dipandallembaq di sedang rappakang).  Dalam memilih jodoh, seorang pria harus memperhatikan ketentuan ketentuan khusus, misalnya pria dari kalangan bangsawan hanya dapat memilih putri kalangan bangsawan, pria dari kalangan biasa hanya dapat memilih wanita biasa pula. Pernikahan dengan sepupu sekali dibolehkan dengan syarat harus menyembelih kerbau. Pernikahan dengan sepupu dua kali juga diperbolehkan dengan syarat menyerahkan sebilah keris tua atau piringan tua kepada dewan adat, atau yang dikenal dengan istilah naala lettengang buttu.
Tata aturan dalam pernikahan adat sebagaimana adat istiadat Pitu Ulunna Salu khususnya di Desa Matangnga antara lain;
1.      Messisiq/ Mekkutana (bertanya secara rahasia)
Dalam tahapan ini pihak pria berkunjung ke rumah orang tua wanita yang diinginkan dan menanyakan kesediaan keluarga pihak wanita untuk menerima kehadiran pihak pria dengan tujuan melamar. Setelah ada kesepakatan kedua belah pihak maka kemudian ditentukan kapan waktu mettumae (melamar)
2.      Mettumae (melamar)
Dalam tahapan ini pihak pria berkunjung ke rumah pihak wanita dengan membawa pakaian wanita lengkap (kain, cincin emas yang tidak ditentukan banyaknya) beserta sirih dan pinang. Jika dalam watu tiga hari barang bawaan tersebut tidak dikembalikan oleh keluarga pihak perempuan, berarti lamaran telah diterima, kemudian disusul dengan penentuan saat perkawinan.
3.      Meusi
Dalam tahapan ini pihak calon mempelai pria berkunjung ke rumah calon mempelai wanita dengan utusan dua orang pria dewasa atau lebih dan dua orang wanita dewasa atau lebih dengan membawa kalung ata sejenis perhiasan wanita dari emas, ditambah piringan batu (batu peusi). Pada tahapan inilah ditentukan somba dan balanja (mahar dan biaya perkawinan).



4.      Sumomba
Istilah sumomba diambil dari kata somba yang berarti mahar. Dalam tahapan ini kedua belah pihak menentukan mas kawin ditinjau dari segi derajat srata sosial atau kebangsawanan. Untuk kalangan bangsawan tidak boleh kurang dari sekati mesa tedong (tidak boleh kurang dari nilai seekor kerbau). Untuk kalangan biasa tergantung dari kemampuan pihak pria.
Biaya pesta perkawinan dulunya ditanggung sepenuhnya oleh pihak mempelai wanita, tetapi dewasa ini biaya sepenuhnya ditanggung oleh  pihak pria (mahar dan biaya pesta).

Untuk menangani masalah perkawinan adat, diangkat seorang suro. Saat resepsi berlangsung, suro berbicara ditengah-tengah keluarga kedua mempelai untuk menyampaikan pesan kepada kedua belah pihak sebagai tana’ (hukum), yaitu;
a.       Mua muanei tammettama dipatindoanna bainena, labu sombanna. Artinya; jika pengantin laki-laki kembali tidak mau bersama istrinya maka sia-sia maharnya dan tidak berhak menuntut ganti rugi.
b.      Mua bainei mangngallaqi allongang di allaqna muanena, tabilang sombanna tala kurang tala kerangang. Artinya; jika kembali pengantin wanita tidak mau rukun dengan suaminya sebagai  suami istri maka semua kerugian pihak laki-laki dikembalikan dengan tidak kurang dan tidak bertambah.
c.       Mua situppui gau sisorokang tandiang aka-aka. Artinya jika sama-sama rela berpisah (cerai) tanpa hubungan sebagai suami istri maka tidak ada tuntutan apa-apa.
d.      Mua dilambiqi baine dua ulu appaq bitti diluppiq sombanna. Artinya jika sitri ternyata menyeleweng dengan laki-laki lain maka semua kerugian pihak pria diganti dan mahar dibayar dua kali lipat dari nilai yang dibayar oleh pihak laki-laki lalu cerai.

Dari ucapan-ucapan yang dikemukakan oleh suro itulah yang merupakan ijab dan qabul antara suami dan istri maka resmilah sebagai suami istri diantara kedua mempelai.
Sumber ;
·         Ismail. 1986. Acara penyelenggaraan mayat secara adat di Desa Matangnga ditinjau dari segi Aqidah Islam. Ujung Pandang: Fak.Tarbiyah IAIN Alauddin.
·         Dll. (hehehe. Capek ngetik..)


10/09/2015

PASSOKKORANG, SIAPAKAH ENGKAU??


Penulis: Zulfihadi (aktif di Komunitas Appeq Jannangang)

Selama ini khasanah sejarah khususnya jaman kerajaan di tanah Mandar cenderung  dimonopoli oleh federasi kerajaan-kerajaan Mandar pesisir atau bisa disebut Pitu Babbana Binanga (PBB), terkhusus oleh kerajaan Balanipa. Berbagai cerita tentang keagungan dan kehebatan kerajaan Balanipa sangat mudah kita dapati dari literatur atau alur tutur sejarawan termasuk manuskrip-manuskrip lontar. Sementara itu di sisi lain kita akan kesulitan menemukan kisah maupun tulisan lontar mengenai beberapa kerajaan lain yang notabene lebih dahulu berdiri dibandingkan dengan kerajaan Balanipa. Sebut saja salah satunya, Passokkorang.
Bisa dikatakan bahwa kerajaan Passokkkorang merupakan salah satu pemicu berdirinya kerajaan Balanipa. Namun kemudian, seperti disebutkan di atas bahwa sangat sedikit kisah tentang kerajaan tua ini kecuali sekelumit kisahnya sebagai kerajaan yang dzalim dan semena-mena terutama kepada daerah-daerah kecil disekitarnya.
Dari informasi yang terdapat di dalam lontar Pattaudioloang diketahui bahwa saking pengacaunya orang-orang Passokkorang, sehingga jika masyarakat di daerah sekitar Appeq Banua Kayyang (Napo, Mosso, Todang-todang dan Samasundu) ada yang mendirikan rumah maka jika rumah itu selesai diwaktu sore hari maka akan dihancurkan oleh orang Passokkorang pada pagi harinya. Demikian pula jika rumah itu selesai dibangun pada pagi hari, maka akan dihancurkan pula oleh orang-orang Passokkorang pada sore harinya. Sehingga kemudian para Tomakaka di Appeq Banua Kayyang berunding dan memutuskan untuk memanggil I Manyambungi, anak yang lahir dari pasangan Puang Digandang Tomakaka Napo dengan I We Apas yang saat itu menjabat sebagai Tobarani (Panglima perang) kerajaan Gowa pada masa pemerintahan raja Gowa IX Daeng Matanre Tu Mappariqsiq Kallonna. We Apas sendiri adalah saudara dari I Rerasi yang diperistri oleh Raja Gowa  VII Tu Mammiinanga Ri Pallakenna, dan melahirkan raja Gowa VIII Pakere Tau Tu Nijallo Ri Pasukki dan raja Gowa IX I Manguntungi Daeng Matanre Tu Mappariqsiq Kallonna. Dengan demikian I Manyambungi dan Daeng Matanre bersepupu satu kali.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengkaji sejarah dengan metode belah bambu dimana yang satu diangkat sedang yang lain dipijak, namun akan mencoba untuk mengangkat sejarah agar tersaji secara berimbang. Untuk itu marilah kita simak sejenak awal berdirinya kerajaan Passokkorang. 
Awal Sejarah Passokkorang
Hingga saat ini belum diketahui pasti tentang sejarah awal penamaan Passokkorang, namun ada sekelumit cerita tentang ini yang kami ceritakan berikut. 
Ketika zaman prasejarah masih menyelimuti daratan pulau Sulawesi, atau bisa dikatakan era pra Tomanurung. Masa dimana orang belum mengerti apa itu agama. Di sekitar aliran sungai Mapilli (saat itu belum dinamai sungai Mapilli) terdapat beberapa komunitas manusia penghuni awal. Komunitas-komunitas ini sangat menyukai perang, dan mereka seringkali saling menyerang antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Namun dimasa itu belumlah dikenal senjata perang, sehingga mereka berperang hanya dengan kayu dan paling banyak dengan saling menggigit lawannya. Ada kemungkinan kondisi inilah yang disebut dalam kitab epos I Lagaligo dengan kondisi “sianre bale”, dimana kondisi ini digambarkan penuh dengan kekacauan. Dari kebiasaan perang dengan cara saling menggigit inilah muncul nama PASSIKOKKOANG yang kemudian secara perlahan berubah penyebutannya menjadi PASSIKOKKORANG dan akhirnya menjadi PASSOKKORANG. Masyarakat komunitas ini sangatlah pemberani, memiliki kekebalan dan juga pandai menundukkan mahluk halus. 
Setelah beberapa generasi kemudian, masuklah era Tomanurung. Tatanan peradaban pun menjadi lebih baik dan kebiasaan perang dengan saling menggigit dihentikan, namun demikian wilayah yang dulunya sering menjadi tempat bermukim komunitas ini tetap dikenal dengan nama Passokkorang atau Buttu Passokkorang saat ini. 
Setelah beberapa generasi kemudian, kisah dan sejarah Passokkorang hilang hingga kemudian muncul kembali setelah terbentuknya Passokkorang menjadi sebuah kerajaan. Tidak diketahui tentang siapa pendiri kerajaan Passokorang, namun dari berbagai cerita tutur dan pengamatan lapangan dapat diambil beberapa kesimpulan. Passokkorang adalah sebuah kerajaan berdaulat dan menjalin persahabatan dengan kerajaan - kerajaan tetangga, bahkan salah satu raja Passokkorang yang bernama I La Bassi Kalling mempunyai seorang istri yang merupakan putri dari kerajaan Batu Lappa (masuk dalam wilayah kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan sekarang). 
Kerajaan Passokkorang diperkirakan berdiri pada sekitar tengah tahun 1400an M. dan runtuh pada awal 1500an yang bisa dilihat persamaan time linenya dengan beberapa raja kerajaan tetangga semisal Raja Bone V La Tenri Sukki Mappajung E (1516 – 1543) atau, Arung Matowa Wajo IV La Palewo to Palippu (1491 – 1521)
Dalam keterangan lontar tidak ditemukan tentang raja-raja Passokkorang lain selain I Takia Bassi yang kemudian melahirkan I Labassi Kalling. Ada dugaan jika raja ini (baca: I Takia Bassi) merupakan bangsawan dari Bone yang eksodus pasca pemberontakan La Dati Arung Katumpi dimasa pemerintahan Arumpone I Benri Gau Daeng Marowa Arung Matajang (1470 – 1489).
Hal yang mendasari dugaan jika rumpun ini adalah berasal dari Bugis diantaranya:
1. Penggunaan awalan nama “La” yang lazimnya digunakan oleh etnis Bugis, berbeda dengan etnis Mandar atau Makassar yang menggunakan awalan nama “I” seperti misalnya I Kaco atau I Manyambungi.
2. Penggunaan nama La Bassi Kalling yang kemungkinan hanya sebuah julukan adalah tidak dikenalinya kata “kalling” dalam kosa kata mandar. Sementara pada etnis bugis sendiri istilah ini sangatlah akrab adanya, sebut saja ikan lele yang selain disebut bale ceppii kadang pula disebut dengan bale kelling atau ikan hitam. Yah, kalling/kelling dalam bahasa Bugis memang berarti hitam. Etnis makassar pun sebenarnya menggunakan kata “kalling” seperti kalimat “rappo kalling” yang sekarang menjadi nama wilayah, namun demikian jika kita mencoba menganalisa sejarah selanjutnya maka kemungkinan bahwa I Takia Bassi berasal dari Makassar mungkin agak meragukan.
3. Dijelaskan dalam berbagai sumber bahwa I Manyambungi sebelum menjabat sebagai Maraddia pertama kerajaan Balanipa adalah salah seorang Tu Barani atau panglima perang kerajaan Gowa yang kemudian dipanggil dan dijemput pulang ke Mandar oleh karena adanya kekacauan yang disebabkan oleh kerajaan Passokkorang. Jika seumpama I Takia Bassi berasal dari Makassar, maka sesungguhnya cukup mudah bagi penguasa kerajaan Gowa untuk menghimbau penguasa Passokkorang dalam hal ini para To Makaka dari Appeq Banua Kayyang cukup melaporkan saja kepada Raja Gowa untuk memperingatkan raja Passokkorang yang masih serumpun dengan beliau dan malah menjemput I Manyambungi. Bahkan raja Gowa ketika mengetahui hal itu malah mempersilahkan I Manyambungi kembali untuk membereskan para pengacau, sesuatu yang sulit diterima jika hal itu dibiarkan oleh raja Gowa jika seandainya yang melakukan itu adalah orang dari etnis Makassar (Makassar melawan sesama Makassar). 
4. Hal yang selanjutnya adalah mudahnya pembauran dengan orang-orang Bone yang datang kemudian dan membentuk perkampungan yang dinamakan Campalagian (Kecamatan Campalagian sekarang).
5. Hal lain adalah dalam usaha penyerangan passokkorang tercatat dua kali kerajaan Gowa memberi bantuan pendanaan kepada kerajaan Balanipa, hal yang lagi-lagi bertolak belakang dengan rasio jika Gowa tidak memiliki “misi” tertentu.

Dari kelima point penjelasan di atas, penulis hanya mencoba untuk kembali membuka wawasan berfikir kita tentang kesejarahan atau masa lalu yang terjadi di tanah Mandar. Sementara untuk hasil selanjutnya kami serahkan kepada pembaca untuk menggali dan mengkaji lebih lanjut, utamanya kepada generasi muda yang haus akan ilmu sejarah lokal dan masih bergelut dalam pencarian cultural identity-nya

Sumber-sumber:
1. Lontaraq Pattaudioloang di Mandar 1 (M.T. Azis Syah)
2. Wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat Suruang bulan Mei tahun 2014.
3. Lontaraq Sukku Na Wajo.
4. Warisan Arung Palakka - Sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII.

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...