20/09/2015

MENELUSUR SEJARAH PERADABAN MANDAR (Telaah Sejarah Perruqdusanna To Mandar) (bag. 1)

Oleh: Muhammad Munir
Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sulbar
Aktif di Appeq Jannangang.
Inisiator Sepeda Pustaka, Rumah Pustaka dan Rumah Buku

Pengantar:
Mengapa Fir'aun Jazadnya di Selamatkan ?
"Apa perbedaan antara Soekarno membaca teks Proklamasi dengan saat Soekarno Kencing. Dan Peristiwa yang mana yang bisa dikatakan peristiwa sejarah?". Demikian pertanyaan yang sering saya lontarkan dalam setiap saya diundang oleh teman-teman dalam diskusi atau seminar terkait Sejarah Mandar. Hal sama saya lontarkan saat menjadi pembicara pada SEMINAR NASIONAL Pendidikan, Sejarah dan Kebudayaan Mandar di Gedung DPRD Majene, 11 Agustus 2015 lalu, dalam rangkaian peringatan HUT Majene ke 470.

Jika semua kejadian-kejadian pada masa lalu kita sebut sebagai sejarah,
maka ketika Soekarno kencing pun seharusnya ditulis sebagai sejarah. Demikian juga dengan aktifitas keseharian beliau. Namun jika kita berfikir bahwa sejarah adalah sebuah rangkaian peristiwa masa lalu, yang memberi perubahan dan pencerahan pada masa-masa selanjutnya adalah sejarah, maka pertanyaan tersebut sudah bisa difahami dalam menarasikan dan mendeskripsikan tentang masa lampau yang bernilai sejarah, atau masa lampau yang bukan sejarah tapi dilebih-lebihkan dan ditulis sebagai sejarah.

Fenomena hari ini, kerap kita temukan sesuatu yang sebenarnya tak punya nilai terhadap perubahan dan pencerahan justru dilisan tuliskan dengan varian gaya penulisan yang memukau, maka lahirlah tulisan yang justru mengibuli dan membuat para pembaca larut dalam kerancuan menelisik makna sejarah yang sebenarnya.
Kejadian masa lalu yang punya nilai tidak harus kita maknai hanya sebagai sebuah kejadian yang dilakukan oleh seorang tokoh arif dan bijak. Tapi peran tokoh jahat, biadab dan semena-menapun sejatinya harus dilisan tuliskan juga sebagai sejarah karena keduanya akan menjadi penanda, pembanding buat pembaca dalam menemu kenali identitas dan jati diri.
Tak boleh ada diskriminati dalam penulisan sejarah, karna didalam menulis, kita boleh saja salah yang penting jangan bohong !

Jika kita meneliti Al Qur'an, ternyata banyak sekali kita temukan bercerita tentang sejarah, terutama sejarah tentang manusia. Dari sini kembali kita akan beroleh tanya, mengapa kitab suci membincang sejarah, mengapa sejarah mesti dipelajari dan ditulis?.
Jasmerah (Jangan Sampai Melupakan Sejarah) adalah salah satu ungkapan yang keluar dari mulut Bapak Proklamator kita Soekarno. Kaitannya dengan Jasmerah ini, ada sebuah petanyaan mendasar yang perlu kita telisik, yaitu: “Mengapa Fir'aun di selamatkan?”. Tulisan inilah yang kita coba ramu untuk melisan tuliskan kembali tentang sejarah kaitannya sejarah peradaban sebagai acuan untuk mengetahui perruqdusang (asal-usul) kita sebaga orang Mandar .

Merujuk pada salah satu firman Allah dalam Al Qur'an, Allah berfirman, "Pada hari ini Fir'aun aku selamatkan badanmu agar menjadi pelajaran terhadap orang-orang sesudah kamu". Ayat ini turun ketika Fir'aun tenggelam dilaut merah setelah mengejar Nabi Musa sampai di laut merah dan Nabi Musa melemparkan tongkatnya kelaut dan seketika itu juga laut itu terbelah. Musa dan pengikutnya menyebrang, Fir'aun terus menyerang. Ketika Fir'aun ditengah laut dan Musa sampai disebrang, tiba-tiba laut merah tertutup dan Fir'aun bersama pengikutnya tenggelam.
Saat tenggelam itulah, Fir'aun berdo'a, "Ya Allah Tuhannya Musa, Engkaulah Tuhan yang benar, Engkaulah yang patut disembah, saya bukan Tuhan (padahal sebelumnya Fir'aun) selalu berteriak, Waanna Rabbukum A'la, akulah Tuhanmu sekalian. Tapi dalam keadaan kritis itu, Fir'aun berteriak, Engkaulah Tuhan yang benar, maka selamatkanlah aku”.

Dari kisah dalam Al Qur'an tersebut kita menemukan jawaban dari pertanyaan tentang Jasmerah dan sederet pertanyaan diatas, Mengapa Fir'aun diselamatkan? Yaitu, Sejarah adalah guru yang akan mengajar manusia, bahwa orang yang berbuat salah dan benar itu sudah jelas dalam pandangan Allah, sebesar biji zarrah kebaikan atau keburukan pasti akan ditemui balasannya.
Kisah Fir'aun adalah refleksi yang unik, tentang Fir'aun yang tenggelam dan meninggal dilaut merah. Tapi Allah mengatakan aku selamatkan kamu Fir'aun. Ternyata yang diselamatkan adalah tubuh Fir'aun. Dan setelah berlalu sekitar 5000 tahun, tubuh itu masih dapat kita saksikan hari ini, sebab tubuh itu dijadikan mumi, diawetkan disebuah museum di Kairo, yaitu Museum At-Tahrer Mesir.

Tulisan ini awalnya adalah makalah yang akan saya sampaikan pada Seminar Sejarah dan Kebudayaan Mandar. Mengingat terbatasnya waktu maka makalah ini saya format ulang menjadi artikel. Semoga bermanfaat dan melahirkan sebuah ruang untuk berdiskusi tentang peradaban Mandar, Kappung Pembolongatta.

Menelisik Makna Peradaban

Menelusur sejarah Mandar dalam rangka menemukan manusia pertama dan peradaban mempunyai tingkat kesulitan karna tidak cukup dengan mengkaji lontar. Sebab, lontar sendiri lebih banyak mengungkap mitologi, amanat nenek moyang, himpunan peraturan adat, dongeng, putika, mistis dan mantra bahkan takhayyul, khurafat, dan lain sebagainya. Begitupun jika hanya dengan perenungan untuk memahami keterangan lisan dan beberapa kearifan-kearifan leluhur. Termasuk ketajaman imajinasi dan intuisi sebab sejarah yang kita baca, yang kita fahami telah melalui proses pengibulan sejarah oleh Belanda.

Penelitian dengan menggunakan metode ilmiahpun tidak sepenuhnya bisa diandalkan, sebab sarana dan prasarana pendukung hampir bisa dikatakan tidak ada. Juga kurang dan terbatasnya data yang ingin dikaji secara ilmiah, baik berupa prasasti, fosil, keramik, pusaka atau benda berharga lainnya. Benda-benda pusaka itu sudah banyak yang keluar daerah karena terjual dan juga dirahasiakan/¬tersimpan dirumah-rumah penduduk khususnya dikediaman pelaku sejarah (keturunan bangsawan).
Tapi bukan berarti kesulitan itu, harus membuat kita pasrah dan berhenti mengungkap peradaban itu, karena makin dalam kita menghargai dan menyelami peradaban masa lalu, maka makin mudah sebuah bangsa/daerah meraih kejayaan di masa yang akan datang. Dan terbukti bangsa yang berhak meraih kejayaan dan kebesaran adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Sejarah peradaban yang dimaksud adalah kejadian atau peristiwa perubahan yang terjadi di masyarakat secara kolektif kearah yang lebih baik, mulai dari adanya peradaban, kebudayaan, agama, pendidikan dan pemerintahan.

Berbicara masalah peradaban, terlebih dahulu kita harus fahami apa itu peradaban. Dalam pengertian bahasa Inggris peradaban dinamakan civilization. Sajidiman Surjohadiprojo dalam pidato kebudayaannya saat Temu Budaya 86 mengatakan bahwa pengertian civilization menurut Encyclopedia Americana telah berkembang selama sejarah manusia

Pengertian pertama, berhubungan dengan sifat manusia yang berkelakuan baik dan dapat mengendalikan diri. Kedua, pengertiannya kemudian berkembang menjadi pertumbuhan manusia dalam penguasaan pengetahuan dan kecakapan yang mendorongnya untuk mencapai perilaku yang lebih luhur. Dan ketiga, pengertiannya lebih ditekankan pada sifat khas dan adanya perbedaan kebudayaan masing-masing bangsa.

Dewasa ini, ada kecenderungan lebih kuat untuk menggunakan pengertian ketiga, sebab pengertian pertama dan kedua cenderung mengarah pada peradaban barat saja. Sedangkan dalam kenyataan terdapat begitu banyak perbedaan yang cukup besar antara kebudayaan berbagai bangsa, disamping tentu ada juga persamaannya.
Dari pengertian peradaban (Civilization) kita melihat kebudayaan (culture) adalah sebuah kesatuan yang utuh dan integral, sabab pengertian kebudayaan yang kemudian disepakati adalah keseluruhan pemikiran dan benda yang dibuat atau diciptakan manusia dalam perkembangan sejarahnya.

Dalam hal ini saya tentu tidak dalam rangka menyajikan sebuah panorama miniatur dari apa yang telah kita fahami terkait perkembangan kebudayaan dan peradaban kita selama ini. Yang ingin saya lakukan adalah mencoba memahami hakikat dari sejarah kita di Mandar, terutama menentukan periodesasi sejarah dalam menemukan perruqdusan kita yang selama ini kerap dimitoskan. Cara ini tentu saja bukan satu-satunya cara yang tak memiliki kekurangan. Sebab, cara ini selain belum dan tidak lengkapnya artefak dan keterbatasan cakupannya, juga sangat rentan menjadi sebuah apologi dari apa yang tidak dan belum dilakukan. Lagi pula bisakah masa lampau itu kita kembalikan dengan cara yang hidup ?.


Marcel Proust, seperti yang dikutip Asrul Sani dalam pidato kebudayaannya di Teater Arena TIM, September 1990 bahwa Proust mengemukakan, sesuatu yang sudah tergolong pada suatu kelampauan mungkin merupakan sesuatu yang sudah mati untuk selama-lamanya dan kalau dihidupkan kembali akan sangat tergantung pada suatu memoire volontaire (ingatan yang sengaja dihidupkan). Proust juga berpendapat bahwa sia-sialah untuk menghidupkan masa lampau itu kembali dengan bantuan akal, karena otak kita tidak akan pernah bisa mencapai tempat dimana masa lampau yang hidup itu bersembunyi. (Bersambung...........)

15/09/2015

PAQBANNE TAUANG (tata acara pernikahan adat di Desa Matangnga)


Oleh : Mujahidin Musa
Paqbanne tauang (pernikahan) bagi masyarakat Matangngga dahulu hanya dapat dilakukan pada waktu pealloang (selesai panen padi) sampai waktu kembali turun ke sawah (dipandallembaq di sedang rappakang).  Dalam memilih jodoh, seorang pria harus memperhatikan ketentuan ketentuan khusus, misalnya pria dari kalangan bangsawan hanya dapat memilih putri kalangan bangsawan, pria dari kalangan biasa hanya dapat memilih wanita biasa pula. Pernikahan dengan sepupu sekali dibolehkan dengan syarat harus menyembelih kerbau. Pernikahan dengan sepupu dua kali juga diperbolehkan dengan syarat menyerahkan sebilah keris tua atau piringan tua kepada dewan adat, atau yang dikenal dengan istilah naala lettengang buttu.
Tata aturan dalam pernikahan adat sebagaimana adat istiadat Pitu Ulunna Salu khususnya di Desa Matangnga antara lain;
1.      Messisiq/ Mekkutana (bertanya secara rahasia)
Dalam tahapan ini pihak pria berkunjung ke rumah orang tua wanita yang diinginkan dan menanyakan kesediaan keluarga pihak wanita untuk menerima kehadiran pihak pria dengan tujuan melamar. Setelah ada kesepakatan kedua belah pihak maka kemudian ditentukan kapan waktu mettumae (melamar)
2.      Mettumae (melamar)
Dalam tahapan ini pihak pria berkunjung ke rumah pihak wanita dengan membawa pakaian wanita lengkap (kain, cincin emas yang tidak ditentukan banyaknya) beserta sirih dan pinang. Jika dalam watu tiga hari barang bawaan tersebut tidak dikembalikan oleh keluarga pihak perempuan, berarti lamaran telah diterima, kemudian disusul dengan penentuan saat perkawinan.
3.      Meusi
Dalam tahapan ini pihak calon mempelai pria berkunjung ke rumah calon mempelai wanita dengan utusan dua orang pria dewasa atau lebih dan dua orang wanita dewasa atau lebih dengan membawa kalung ata sejenis perhiasan wanita dari emas, ditambah piringan batu (batu peusi). Pada tahapan inilah ditentukan somba dan balanja (mahar dan biaya perkawinan).



4.      Sumomba
Istilah sumomba diambil dari kata somba yang berarti mahar. Dalam tahapan ini kedua belah pihak menentukan mas kawin ditinjau dari segi derajat srata sosial atau kebangsawanan. Untuk kalangan bangsawan tidak boleh kurang dari sekati mesa tedong (tidak boleh kurang dari nilai seekor kerbau). Untuk kalangan biasa tergantung dari kemampuan pihak pria.
Biaya pesta perkawinan dulunya ditanggung sepenuhnya oleh pihak mempelai wanita, tetapi dewasa ini biaya sepenuhnya ditanggung oleh  pihak pria (mahar dan biaya pesta).

Untuk menangani masalah perkawinan adat, diangkat seorang suro. Saat resepsi berlangsung, suro berbicara ditengah-tengah keluarga kedua mempelai untuk menyampaikan pesan kepada kedua belah pihak sebagai tana’ (hukum), yaitu;
a.       Mua muanei tammettama dipatindoanna bainena, labu sombanna. Artinya; jika pengantin laki-laki kembali tidak mau bersama istrinya maka sia-sia maharnya dan tidak berhak menuntut ganti rugi.
b.      Mua bainei mangngallaqi allongang di allaqna muanena, tabilang sombanna tala kurang tala kerangang. Artinya; jika kembali pengantin wanita tidak mau rukun dengan suaminya sebagai  suami istri maka semua kerugian pihak laki-laki dikembalikan dengan tidak kurang dan tidak bertambah.
c.       Mua situppui gau sisorokang tandiang aka-aka. Artinya jika sama-sama rela berpisah (cerai) tanpa hubungan sebagai suami istri maka tidak ada tuntutan apa-apa.
d.      Mua dilambiqi baine dua ulu appaq bitti diluppiq sombanna. Artinya jika sitri ternyata menyeleweng dengan laki-laki lain maka semua kerugian pihak pria diganti dan mahar dibayar dua kali lipat dari nilai yang dibayar oleh pihak laki-laki lalu cerai.

Dari ucapan-ucapan yang dikemukakan oleh suro itulah yang merupakan ijab dan qabul antara suami dan istri maka resmilah sebagai suami istri diantara kedua mempelai.
Sumber ;
·         Ismail. 1986. Acara penyelenggaraan mayat secara adat di Desa Matangnga ditinjau dari segi Aqidah Islam. Ujung Pandang: Fak.Tarbiyah IAIN Alauddin.
·         Dll. (hehehe. Capek ngetik..)


10/09/2015

PASSOKKORANG, SIAPAKAH ENGKAU??


Penulis: Zulfihadi (aktif di Komunitas Appeq Jannangang)

Selama ini khasanah sejarah khususnya jaman kerajaan di tanah Mandar cenderung  dimonopoli oleh federasi kerajaan-kerajaan Mandar pesisir atau bisa disebut Pitu Babbana Binanga (PBB), terkhusus oleh kerajaan Balanipa. Berbagai cerita tentang keagungan dan kehebatan kerajaan Balanipa sangat mudah kita dapati dari literatur atau alur tutur sejarawan termasuk manuskrip-manuskrip lontar. Sementara itu di sisi lain kita akan kesulitan menemukan kisah maupun tulisan lontar mengenai beberapa kerajaan lain yang notabene lebih dahulu berdiri dibandingkan dengan kerajaan Balanipa. Sebut saja salah satunya, Passokkorang.
Bisa dikatakan bahwa kerajaan Passokkkorang merupakan salah satu pemicu berdirinya kerajaan Balanipa. Namun kemudian, seperti disebutkan di atas bahwa sangat sedikit kisah tentang kerajaan tua ini kecuali sekelumit kisahnya sebagai kerajaan yang dzalim dan semena-mena terutama kepada daerah-daerah kecil disekitarnya.
Dari informasi yang terdapat di dalam lontar Pattaudioloang diketahui bahwa saking pengacaunya orang-orang Passokkorang, sehingga jika masyarakat di daerah sekitar Appeq Banua Kayyang (Napo, Mosso, Todang-todang dan Samasundu) ada yang mendirikan rumah maka jika rumah itu selesai diwaktu sore hari maka akan dihancurkan oleh orang Passokkorang pada pagi harinya. Demikian pula jika rumah itu selesai dibangun pada pagi hari, maka akan dihancurkan pula oleh orang-orang Passokkorang pada sore harinya. Sehingga kemudian para Tomakaka di Appeq Banua Kayyang berunding dan memutuskan untuk memanggil I Manyambungi, anak yang lahir dari pasangan Puang Digandang Tomakaka Napo dengan I We Apas yang saat itu menjabat sebagai Tobarani (Panglima perang) kerajaan Gowa pada masa pemerintahan raja Gowa IX Daeng Matanre Tu Mappariqsiq Kallonna. We Apas sendiri adalah saudara dari I Rerasi yang diperistri oleh Raja Gowa  VII Tu Mammiinanga Ri Pallakenna, dan melahirkan raja Gowa VIII Pakere Tau Tu Nijallo Ri Pasukki dan raja Gowa IX I Manguntungi Daeng Matanre Tu Mappariqsiq Kallonna. Dengan demikian I Manyambungi dan Daeng Matanre bersepupu satu kali.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengkaji sejarah dengan metode belah bambu dimana yang satu diangkat sedang yang lain dipijak, namun akan mencoba untuk mengangkat sejarah agar tersaji secara berimbang. Untuk itu marilah kita simak sejenak awal berdirinya kerajaan Passokkorang. 
Awal Sejarah Passokkorang
Hingga saat ini belum diketahui pasti tentang sejarah awal penamaan Passokkorang, namun ada sekelumit cerita tentang ini yang kami ceritakan berikut. 
Ketika zaman prasejarah masih menyelimuti daratan pulau Sulawesi, atau bisa dikatakan era pra Tomanurung. Masa dimana orang belum mengerti apa itu agama. Di sekitar aliran sungai Mapilli (saat itu belum dinamai sungai Mapilli) terdapat beberapa komunitas manusia penghuni awal. Komunitas-komunitas ini sangat menyukai perang, dan mereka seringkali saling menyerang antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Namun dimasa itu belumlah dikenal senjata perang, sehingga mereka berperang hanya dengan kayu dan paling banyak dengan saling menggigit lawannya. Ada kemungkinan kondisi inilah yang disebut dalam kitab epos I Lagaligo dengan kondisi “sianre bale”, dimana kondisi ini digambarkan penuh dengan kekacauan. Dari kebiasaan perang dengan cara saling menggigit inilah muncul nama PASSIKOKKOANG yang kemudian secara perlahan berubah penyebutannya menjadi PASSIKOKKORANG dan akhirnya menjadi PASSOKKORANG. Masyarakat komunitas ini sangatlah pemberani, memiliki kekebalan dan juga pandai menundukkan mahluk halus. 
Setelah beberapa generasi kemudian, masuklah era Tomanurung. Tatanan peradaban pun menjadi lebih baik dan kebiasaan perang dengan saling menggigit dihentikan, namun demikian wilayah yang dulunya sering menjadi tempat bermukim komunitas ini tetap dikenal dengan nama Passokkorang atau Buttu Passokkorang saat ini. 
Setelah beberapa generasi kemudian, kisah dan sejarah Passokkorang hilang hingga kemudian muncul kembali setelah terbentuknya Passokkorang menjadi sebuah kerajaan. Tidak diketahui tentang siapa pendiri kerajaan Passokorang, namun dari berbagai cerita tutur dan pengamatan lapangan dapat diambil beberapa kesimpulan. Passokkorang adalah sebuah kerajaan berdaulat dan menjalin persahabatan dengan kerajaan - kerajaan tetangga, bahkan salah satu raja Passokkorang yang bernama I La Bassi Kalling mempunyai seorang istri yang merupakan putri dari kerajaan Batu Lappa (masuk dalam wilayah kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan sekarang). 
Kerajaan Passokkorang diperkirakan berdiri pada sekitar tengah tahun 1400an M. dan runtuh pada awal 1500an yang bisa dilihat persamaan time linenya dengan beberapa raja kerajaan tetangga semisal Raja Bone V La Tenri Sukki Mappajung E (1516 – 1543) atau, Arung Matowa Wajo IV La Palewo to Palippu (1491 – 1521)
Dalam keterangan lontar tidak ditemukan tentang raja-raja Passokkorang lain selain I Takia Bassi yang kemudian melahirkan I Labassi Kalling. Ada dugaan jika raja ini (baca: I Takia Bassi) merupakan bangsawan dari Bone yang eksodus pasca pemberontakan La Dati Arung Katumpi dimasa pemerintahan Arumpone I Benri Gau Daeng Marowa Arung Matajang (1470 – 1489).
Hal yang mendasari dugaan jika rumpun ini adalah berasal dari Bugis diantaranya:
1. Penggunaan awalan nama “La” yang lazimnya digunakan oleh etnis Bugis, berbeda dengan etnis Mandar atau Makassar yang menggunakan awalan nama “I” seperti misalnya I Kaco atau I Manyambungi.
2. Penggunaan nama La Bassi Kalling yang kemungkinan hanya sebuah julukan adalah tidak dikenalinya kata “kalling” dalam kosa kata mandar. Sementara pada etnis bugis sendiri istilah ini sangatlah akrab adanya, sebut saja ikan lele yang selain disebut bale ceppii kadang pula disebut dengan bale kelling atau ikan hitam. Yah, kalling/kelling dalam bahasa Bugis memang berarti hitam. Etnis makassar pun sebenarnya menggunakan kata “kalling” seperti kalimat “rappo kalling” yang sekarang menjadi nama wilayah, namun demikian jika kita mencoba menganalisa sejarah selanjutnya maka kemungkinan bahwa I Takia Bassi berasal dari Makassar mungkin agak meragukan.
3. Dijelaskan dalam berbagai sumber bahwa I Manyambungi sebelum menjabat sebagai Maraddia pertama kerajaan Balanipa adalah salah seorang Tu Barani atau panglima perang kerajaan Gowa yang kemudian dipanggil dan dijemput pulang ke Mandar oleh karena adanya kekacauan yang disebabkan oleh kerajaan Passokkorang. Jika seumpama I Takia Bassi berasal dari Makassar, maka sesungguhnya cukup mudah bagi penguasa kerajaan Gowa untuk menghimbau penguasa Passokkorang dalam hal ini para To Makaka dari Appeq Banua Kayyang cukup melaporkan saja kepada Raja Gowa untuk memperingatkan raja Passokkorang yang masih serumpun dengan beliau dan malah menjemput I Manyambungi. Bahkan raja Gowa ketika mengetahui hal itu malah mempersilahkan I Manyambungi kembali untuk membereskan para pengacau, sesuatu yang sulit diterima jika hal itu dibiarkan oleh raja Gowa jika seandainya yang melakukan itu adalah orang dari etnis Makassar (Makassar melawan sesama Makassar). 
4. Hal yang selanjutnya adalah mudahnya pembauran dengan orang-orang Bone yang datang kemudian dan membentuk perkampungan yang dinamakan Campalagian (Kecamatan Campalagian sekarang).
5. Hal lain adalah dalam usaha penyerangan passokkorang tercatat dua kali kerajaan Gowa memberi bantuan pendanaan kepada kerajaan Balanipa, hal yang lagi-lagi bertolak belakang dengan rasio jika Gowa tidak memiliki “misi” tertentu.

Dari kelima point penjelasan di atas, penulis hanya mencoba untuk kembali membuka wawasan berfikir kita tentang kesejarahan atau masa lalu yang terjadi di tanah Mandar. Sementara untuk hasil selanjutnya kami serahkan kepada pembaca untuk menggali dan mengkaji lebih lanjut, utamanya kepada generasi muda yang haus akan ilmu sejarah lokal dan masih bergelut dalam pencarian cultural identity-nya

Sumber-sumber:
1. Lontaraq Pattaudioloang di Mandar 1 (M.T. Azis Syah)
2. Wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat Suruang bulan Mei tahun 2014.
3. Lontaraq Sukku Na Wajo.
4. Warisan Arung Palakka - Sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII.

MENELUSUR PENULISAN SEJARAH MANDAR


(Telaah Sejarah Mandar)

Oleh : Muhammad Munir
Aktif di Komunitas Appeq Jannangang
Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sulbar

Pengantar

Sepanjang tahun 2015 ini, saya melihat ada sebuah ghirah yang muncul dari pelaku dan pemerhati budaya dan sejarah Mandar dan tentu saja ini merupakan sebuah kondisi yang mesti dijadikan sebagai momentum untuk lebih bangga menjadikan Mandar sebagai identitas kita. Mengapa Mandar harus menjadi identitas kita, sebab Mandar disamping sebagai wilayah administratif dari Paku hingga Suremana yang juga disebut provinsi Sulawesi Barat, juga adalah sebuah sistim nilai yang turun temurun dilestarikan dalam tuturan dan tulisan.

Identitas itu mungkin diaktualkan secara beragam, misalnya Uwake’ Culture Fondation, Kompadansa Mandar, atau Appeq Jannangang dll.,dengan sederet kegiatan yang formatnya berbeda-beda, seperti Festifal Sungai Mandar, Perpustakaan Rakyat Sepekan, Halaqah Budaya, pertunjukan-pertunjukan seni tradisional sampai kepada Baqgo atau Perahu Pustaka Pattingalloang ala Muhammad Ridwan Alimuddin, Bendi Pustaka ala Muhammad Rahmat Muchtar, dan yang tak kalah menariknya adalah peluncuran Aplikasi Lontaraq Digital besutan Zulfihadi (Zul Elang Biru) dari Komunitas Appeq Jannangang. Yang kesemuanya itu adalah bentuk aksentasi dan aktualisasi yang tidak saja menjadikan Mandar ini ada, tapi sekaligus diakui.
Hal baru yang juga menjadi spirit dari munculnya ghirah generasi Mandar itu adalah dengan dikukuhkannya Darmasyah (Ketua DPRD Majene) sebagai Ketua Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sulbar yang dikukuhkan langsung oleh Muhlis Paeni (Ketua Umum MSI Pusat) pada tanggal 16 Mei 2015 di Villa Bogor Majene. Dengan MSI Sulbar dan kegigihan seorang Darmansyah yang intens dalam kerja-kerja budaya dan diskusi sejarah baik itu di Majene maupun di Polewali Mandar, maka lengkap sudah lembaga untuk mewadahi semua kegiatan sejarah dan kebudayaan Mandar untuk tetap lestari, tidak saja menjadi gumam atau sugiging ditempat, tapi sekaligus menjadi teriakan yang terdengar tidak saja di Mandar, tapi merambah segala pelosok dan penjuru dunia.

Kebudayaan dan sejarah ini adalah sebuah kesatuan yang utuh dan integral yang tak mungkin mampu kita pisahkan secara absolut, sebab kenyataannya kebudayaan apa saja yang dibelahan bumi ini selalu dicatat oleh sejarah. Sejarah akan selalu setia menunggu, mencatat setiap jengkal perubahan, pergeseran dan bahkan pergesekan sekalipun. Hal yang sama, kita harapkan dari semua elemen masyarakat penggiat, pencinta dan pelaku kebudayaan Mandar dalam setiap kegiatannya bersinergi dengan MSI dalam menuliskan semua hal yang terjadi itu, sebagai manifestasi bagi generasi kita selanjutnya.

Menulis Sejarah

Membincang Mandar sebagai sebuah objek, selalu memungkinkan banyak orang untuk menginterpretasinya secara berbeda dan beragam dalam penulisan sejarah. Hal ini memang sangat memungkinkan, sebab di Mandar itu sendiri belum melahirkan sebuah konsep seragam tentang Mandar yang sebenarnya. Sejarah yang kita pahami selama ini merupakan hasil tafsir manusia terhadap fakta sejarah yang tersusun rapih dalam lembaran-lembaran teks. Dan sangat mungkin kehadiran sejarah dalam sebuah teks tidak pernah membawa konteks yang melingkupinya. Artinya, ketika sejarah mulai ditulis, dalam waktu bersamaan konteks realitas lepas dari padanya. Kehadiran teks dihadapan pembaca seyogyanya memahami dan mengkaji konteks yang melahirkan teks tersebut. Karena ketika seorang pembaca melepaskan diri dari konteks, maka yang muncul adalah sikap ahistoris.

Kecenderungan lain yang juga sangat memungkinkan adalah kehadiran sejarah sebagai proses legitimasi terhadap kepentingan tertentu. Bahkan sejarah dibuat hanya untuk meneguhkan kepentingan penguasa dan kelompok dominan. Dan tidak heran jika kemudian kita melihat dan mendengar penguasa tiba-tiba menjadi “sejarawan” dan lalu menulis sejarah sesuai dengan nalurinya. Misalnya, sejarah tentang PKI di Indonesia yang ditulis atas perintah penguasa Orde Baru. Serta buku-buku sejarah yang menjadi bacaan khusus di setiap lembaga pendidikan formal merupakan hasil konstruksi Orde Baru.

Untuk proses itu, sejarah harus selalu kita tulis, untuk memberi jawaban dan bukti-bukti sebagai bentuk rekonstruksi masa lalu. Sejarah dibutuhkan untuk merekonstruksi apa saja yang sudah di fikirkan, di kerjakan, di katakan dan di alami oleh orang terdahulu. Namun, bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri, sebab sejarah mempunyai kepentingan masa kini dan bukan untuk masa yang akan datang. Olehnya itu, perkembangan ilmu sejarah dituntut konstribusinya menuju hal yang lebih benar, rasional, obyektif dan ilmiah. Tantangan kedepan membutuhkan sejarah sebagai pengawal setiap idea of progres.

Jika ilmu sejarah tidak tangguh untuk itu, maka kemajuan-kemajuan zaman seperti sekarang ini justru akan menghilangkan kesadaran penghuni zamannya sendiri. Ketika masa lalu tidak lagi bisa di tengok, apalagi pada masa berikutnya, maka generasi akan rusak yang identik dengan (meminjam kalimat Pak Darmansyah dalam setiap diskusi) orang yang pikung

Sejarah Mandar

Tentang sejarah Mandar, bukanlah sebuah rahasia lagi ketika menemukan perbedaan muatan sejarah dalam berbagai literatur, “ Tidak ada yang otentik tentang sejarah Mandar selain ketidak otentikannya “ demikian sebagian orang menyatakan ketika melihat sejarah Mandar hanya dipenuhi lembaran-lembaran perbedaan. Pernyataan ini mungkin tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak harus membenarkan semuanya. Karena ketika kecelakaan lalu lintas tetap terjadi, tidak harus semua traffic light diseluruh dunia harus dicabut. Anggaplah perbedaan-perbedaan itu hanyalah sebatas duri yang menusuk kaki kita. Tentu saja jika kaki kita tertusuk duri, tidak harus menjadikan amputasi sebagai jalan keluar, tapi cukup berusaha mencabut duri itu dari kaki kita. Meski kemudian proses mencabut duri itu harus merasakan sakit, perih, tapi untuk sebuah proses penyembuhan, saya kira rasa sakit itu akan mampu kita lalui secara perlahan dan pasti.

Terlepas dari sejarah Mandar sebagai sebuah peristiwa kecelakaan, tertusuk duri, atau bahkan mati karena over dosis, lagi-lagi tidak harus berusaha menutup semua pabrik obat-obatan diseluruh dunia untuk menghentikan produksinya. Sebab bagaimanapun, tak akan pernah ada ruang yang tercipta untuk itu. Sebab mencapai sebuah kebenaran tentu harus melalui proses kekeliruan, seperti halnya ketika Nabi Ibrahim melakukan pencarian Tuhan atau pengenalan Tuhan, sempat terjadi kekeliruan dalam keraguannya memahami Tuhan. Sampai-sampai matahari, bulan dianggap sebagai Tuhan, tapi kemudian karena kekeliruan dan keraguan itu akhirnya ia mendapat petunjuk tentang kebenaran Tuhan. Oleh karenanya, mari kita secara kolektif membuat sebuah perbaikan sejarah guna mewariskan sebuah konsep yang ilmiah kepada anak cucu kita kelak. Ilmiah dalam artian, tidak sekedar menyuguhi mereka dengan cerita mitos yang sebenarnya hanya merupakan kebuntuan pemikiran dalam menalar dan menulis sejarah pada masa lampau.

Beberapa hal yang sering kita dapati, ketika membaca dan menelaah buku sejarah Mandar yang banyak ditulis oleh para sejarawan, kemungkinan besar kita akan menemukan adanya ketimpangan struktur penulisan di dalamnya. Seperti yang Suardi Kaco Paparkan dalam salah satu artikelnya" Menulis sejarah Mandar dalam tafsir asas tunggal" aroma konstruksi penulis sangat terasa dalam alur penulisan sejarah Mandar sehingga nampak seperti naskah sinetron dan film yang di dalamnya terdapat unsur pemeran yang bersifat oposisi biner (binary oposition), yakni pemeran protagonis dan antagonis.

Kondisi yang sama kita temukan ketika membincang manusia pertama dalam kehidupan masyarakat Mandar yang kerap dimitoskan. Beberapa sejarawan Mandar menghadirkan sosok manusia pertama dengan mengikuti logika manusia pertama di tanah Bugis yaitu Tomanurung. Tomanurung adalah manusia yang dikonsepsikan sebagai manusia langit yang turun ke bumi melalui cara yang unik dan ajaib. Salah seorang Sejarawan Mandar, Abdul Muis Mandra dalam bukunya, Assitalliang (2009) menerangkan bahwa manusia pertama yang berkembang di Mandar adalah berasal dari hulu sungai Saqdang yang muncul sesudah terjadinya banjir besar. Cikal bakal nenek moyang orang Mandar ini dikenal keberadaannya dengan istilah ’Tau Pitu’ (Manusia Tujuh) karena terdiri dari 7 orang. Ada yang mengatakan bahwa tujuh orang ini bersaudara, namun ada juga yang mengatakan tidak. Dan kenyataannya, sebagian besar sejarawan menegaskan bahwa mereka ini memang tidak bersaudara bahkan tidak saling mengenal karena mereka hanya merupakan korban banjir yang terseret air sampai ke wilayah Mandar. Ketujuh manusia itu adalah :Talombeng Susu pergi dan menetap di Luwu, Talando Beluhe pergi dan menetap di Bone, Talambeq Kuntuq pergi dan menetap di Lariang, Pongka Padang pergi dan menetap di Tabulahan, Paqdorang pergi dan menetap di Belawa, Sawerigading pergi entah kemana, Tanriabeng pergi entah kemana.

Terkait konsepsi manusia pertama ini juga oleh Abdul Muis Mandra mencatat ada empat konsepsi tentang Tomanurung yang direkam dalam berbagai Lontraq Mandar, yaitu: Tokombong Dibura (Orang yang datang dari busa air), Tobisse Ditallang (Orang yang datang dari belahan bambu), Tonisesseq Ditingalor (Orang yang keluar dari perut ikan Tingalor), Tomonete Ditarauwe (orang yang datang meniti pelangi). HM.Tanawali Azis Syah juga menerangkan bahwa tradisi di Sulawesi mengenal banyak sekali Tomanurung yang sampai terakhir dipercaya oleh rakyat sebagai orang turunan dari langit. Dan memang sampai hari ini belum ada kesatuan konsep tentang Tomanurung ini, tapi yang pasti Tomanurung itu diyakini dan disepakati berasal dari daerah lain yang lebih maju kebudayaannya, mungkin pula karena kehebatan dan keberaniannya, atau bisa jadi juga gelaran Tomanurung itu dipakai dengan tujuan-tujuan politik dengan mengagungkan asal usulnya.
Tulisan ini tentu saja tidak dalam rangka mendurhakai apa yang telah pendahulu kita lakukan, tapi keberadaan buku sejarah yang beredar dan konsepsi Tomanurung ini penting untuk kita telaah kembali agar dengan mudah anak-cucu kita merasa bangga menjadi Mandar yang tau perruqdusang (asal-usul), bukan sebagai turunan dari manusia yang tak dikenal rumbu apinna (tidak dikenali asal muasalnya). Untuk tujuan itu, saya ingin mengetengahkan sebuah perbandingan untuk menjadi acuan atau mungkin menjadi bahan diskusi kita dalam setiap halaqah dan seminar tentang sejarah dan kebudayaan Mandar.

Periodesasi Sejarah

Periodesasi sejarah Mandar sebagai manusia, bukan sebatas etnik saja harus dirangkai dengan asal-usul dari mulai zaman prasejarah, sejarah sampai kepada zaman digital hari ini. Dengan demikian kita akan melihat keterkaitan asal-muasal kita dengan bangsa dan peradaban lain yang lebih dahulu maju dan berkembang dibelahan bumi ini. Permulaan generasi pertama manusia dalam kitab-kitab suci bangsa Timur Tengah bahwa Adam, yang dianggap sebagai manusia pertama dan Nabi pertama, mulai mengembangkan generasinya bersama Siti Hawa, nenek moyang manusia yang ditemukan kembali setelah didamparkan di daerah India dari Surga. Meski Adam sebagai manusia pertama masih membutuhkan kajian, tapi paling tidak, kita sepakati sebagai konsepsi Tomanurung yang tak punya ibu atau bapak, atau manusia langit, manusia surga yang dipindahkan kedunia.

Zulfihadi, dalam salah satu tulisannya menerangkan bahwan dari Adam ini lahir generasi berikutnya yaitu beberapa kelompok Bangsa. Bangsa Semetik menurunkan bangsa Arab dan Israel yang selalu berperang. Kabarnya perpecahan kedua bangsa ini dimulai sejak Nabi Ibrahim. Bangsa Syam yang kemudian dikenal sebagai ras Aryan, menurunkan Bangsa Yunani dan Roma yang menjadi cikal bakal Eropa (Hitler merupakan tokoh ras ini yang ingin memurnikan bangsa Aryan di samping Bangsa Braminik yang chauvinistic dan menjadi penguasa kasta tinggi di agama Hindu), Nordik, Patan, Kaukasian, Slavia, Persia (Iran) dan India Utara (semisal Punjabi, Kashmir dan Gujarat) berkulit putih serta bule-bule lain sebangsanya. Bangsa Negroid menurunkan bangsa Afrika dan beberapa bangsa berkulit hitam lainnya di dunia seperti Bangsa Dravidian (India berkulit Hitam), Papua, Samoa, Aborigin di Autralia, Asmat dan bangsa lain yang hidup di kepulauan Polinesia, Samudera Pasifik.

Bangsa Tartar menurunkan Ras Mongoloid yang terdiri dari bangsa Mongol; Cina, Korea, Uzbek, Tazik, Kazakh, Kazan di Rusia, bangsa Nomad penghuni Kutub Utara dan Selatan bermata sipit, Hokkian yang menjadi Konglomerat dan Mafia di Indonesia serta Bangsa Maya, Suku Indian dan lain sebagainya yang menjadi penduduk asli benua Amerika dan yang kedua; Ras Austronesia, yang menyebar di Madagaskar, Afrika; Batak, Proto Malayan dan Neo Malayan; Melayu, Jawa dan lain-lain.

Penyebaran populasi manusia terjadi pasca “Tsunami” pertama atau dikenal sebagai banjir bah dizaman Nabi Nuh AS. Di zaman ini terdapat sebuah komunitas manusia yang konon mempunyai tinggi badan 15-30 meter punah ditelan banjir karena kesombongannya. Peneliti antropologi Amerika di awal abad 20 menemukan kembali bangsa ini di pedalaman Afrika, namun lokasinya dirahasiakan oleh pihak militer yang tertarik untuk mengambil sampel komunitas ini untuk rekayasa gen tentara AS. Penelitian juga diarahkan untuk menghidupkan kembali Bangsa Dinosaurus, sejenis binatang purba, yang juga mati tenggelam karena tidak sempat dan tidak ‘muat’ dimasukkan dikapal Nabi Nuh 3000-1000 SM (sebelum masehi).
Bangsa Batak yang merupakan bagian dari Ras Proto Malayan hidup damai bermukim di perbatasan Burma/Myanmar dengan India. Beberapa komunitas tersebut yang kemudian menjadi cikal-bakal bangsa adalah kelompok Bangsa Karen, Toradja, Tayal, Ranau, Bontoc, Meo serta trio Naga, Manipur, Mizoram. Tiga yang terakhir ini sekarang berwarga negara India. Adat istiadat mereka dan aksesoris pakaian yang dimiliki sampai sekarang masih mirip dengan pakaian Batak, misalnya pernik dan warna ulos. Sifat dominan dari ras ini adalah kebiasaan hidup dalam Splendid Isolation dilembah-lembah sungai dan di puncak-puncak pegunungan.

Akan halnya dengan bangsa Indonesia, Prof. Moh. Yamin mengatakan bahwa asal bangsa Indonesia dari daerah Indonesia sendiri,” pendapat ini didukung suatu pernyataan tentang Blood Und Breden Unchro yang artinya darah dan tanah bangsa Indonesia berasal dari Indonesia sendiri. Fosil dan artefak itu lebih banyak dan lebih lengkap ditemukan di wilayah Indonesia dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Asia. Misalnya dengan penemuan manusia purba sejenis homosoloensis, homowajakensis.
Sedangkan Brandes yang meneliti dengan perbandingan bahasa, mengatakan bahwa bangsa yang bermukim di kepulauan Indonesia memiliki banyak persamaan dengan bangsa-bangsa pada daerah-daerah yang membentang dari sebelah utara Pulau Formosa, sebelah barat daerah Madagaskar, sebelah selatan yaitu tanah Jawa, Bali, sebelah timur sampai ke tepi pantai barat Amerika (terdesak oleh alam).

Berdasarkan penggunaan bahasa yang dipakai di berbagai kepulauan Kern berkesimpulan bangsa Indonesia berasal dari satu daerah dan menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Campa dan agak ke utara yaitu daerah Lonkin. Namun, sebelum bangsa Indonesia tiba di daerah Kepulauan Indonesia, sudah ditempati bangsa berkulit hitam dan berambut keriting. Bangsa tersebut hingga sekarang menempati daerah-daerah Indonesia timur dan daerah- daerah Australia.

Namun Mochtar Lubis berpendapat lain. Beliau menulis bahwa nenek-moyang bangsa Indonesia mula-mula berasal dan bergerak dari bagian timur Eropa tengah dan bagian utara wilayah Balkan sekitar laut hitam kearah timur. Mencapai Asia lalu masuk ke Tiongkok. Dan di Tiongkok arus perpindahan ini bercabang-cabang ke utara, timur dan selatan. Arus selatan mencapai Yunan. Sedang bagian timur mencapai laut Indo China. Di sinilah tempat lahirnya budaya asal Indonesia. Manusia-manusia yang yang berimigrasi dan bergerak ke Asia dari Eropa Tengah dan wilayah Balkan itu adalah orang-orang Thracia, Iliria, Cimeria, Kaukasia, dan mungkin juga orang Teuton, yang memulai perpindahan mereka di abad ke-9 hingga abad ke-8 sebelum Nabi Isa. Mereka membawa keahlian membuat besi dan perunggu.

Untuk menguatkan hipotesanya Mohtar Lubis mengatakan bahwa ada kemiripan pot-pot tanah liat Kalumpang di Mamuju dengan pot-pot tanah liat Samron-Send Kamboja, atau dengan jambangan-jambangan pada budaya Hallstatt di Eropa serta jambangan-jambangan Yunani. Kemiripannya pada desain berkelok-kelok atau berliku-liku, bulatan-bulatan yang bersambung ke garis-garis miring dan segi-segi tiga yang digore-gores. Wallahu ‘Alam Bissawab.

Asal-usul Manusia Mandar

Lalu darimana penyebutan Toraja ini ?, Sebagaimana dikisahkan, bahwa pada awalnya sekelompok orang yang membentuk diri sebagai suatu masyarakat di pinggir pantai yang dikenal sebagai "To Alau" (orang di timur). Seiring waktu, masyarakat itu semakin berkembang dan penyebutan identitas mereka sebagai "To Alau" semakin di sederhanakan menjadi "To Luu", sehingga pengertiannya bergeser menjadi "orang di laut". Sesuatu yang sesungguhnya "tentu saja" tidak dipermasalahkan, mengingat perkampungan mereka terletak dipinggir laut. Seiring waktu, perkampungan itu kian besar, sehingga sekelompok keluarga memutuskan untuk berpindah kearah barat untuk memulai kehidupan bercocok tanam. Maka mereka merambah hutan pegunungan kearah barat hingga menemukan tempat yang cocok. Mereka membangun perkampungan itu sebagai hunian baru yang akhirnya dikenal oleh masyarakat "To Luu" sebagai "To Riaja" (Orang di Barat). Waktu berlalu dan zaman berganti, penyebutan "To Riaja" tersebut kini berubah menjadi "Toraja".

Dengan fakta-fakta tentang Toriaja atau Toraja ini, apakah tidak mungkin bahwa dari mereka ini melakukan ekspansi lalu muncul di Sungai Saqdang, yang dikenal dengan tau pitu (Manusia tujuh). Manusia Tujuh inilah yang beranak pinak, kawin mawin dan berkembang menjadi sebuah peradaban Talollo di Tabulahang, Tanah Lotong di Kalumpang dan juga di Baras. Ini akan menjadi sebuah kajian awal untuk kemudian menelusurinya kembali lalu kita lisan tuliskan. Istilah Tomanurung tidak harus dihilangkan, juga tidak harus dipersepsikan lagi sebagai manusia pertama, melainkan sebagai sebuah penghargaan yang diberikan kepada pendatang baru yang memiliki cara berfikir lebih maju. Tomanurung menjadi gelar kehormatan bagi seseorang yang mampu memberi petunujuk dan menuntun masyarakat pada saat itu.

Sampai disini, saya kira kita sudah bisa membuat periodesasi sejarah Mandar selanjutnya setelah Tomanurung, yaitu periode Pongka Padang dan Torijeqneq (ingat, Pomgka Padang adalah gelaran, tidak satu orang yang menyandang gelar kebangsawanan ini, ada juga Pongka Padang lain yang kawin dengan Sanrabone dan ini punya periode yang berbeda), selanjutnya periode kerajaan, periode masuknya Islam, periode masuknya penjajahan sampai periode kemerdekaan. Hal ini penting agar dalam penulisan sejarah selanjutnya tidak terkesan sigaru pecaq.

Buku Sejarah Mandar

Selain Tomanurung dengan rumusan periodesasinya, buku sejarah Mandar juga harus ditelaah secara mendalam agar tidak terjadi kesemrawutan, sebab dari sekian banyak buku sejarah, termasuk juga salinan lontaraq, yang kita temukan justreru lembaran-lembaran perbedaan yang tentu ini akan menjadi sebuah proses mengedifikasi kesalahan kegenerasi jika tidak segera dilakukan kajian dan telah khusus lalu kemudian kita berusaha merevisi buku-buku sejarah yang beredar di sekolah-sekolah dan di masyarakat.

Selama ini, buku utama yang menjadi rujukan para sejarawan dalam menulis sejarah Mandar adalah Lontaraq Mandar yang masih berbahasa Mandar. Sedangkan Lontaraq Mandar kemungkinan besar ditulis oleh kalangan kerajaan yang tentu saja berimplikasi terhadap proses pembesaran diri untuk kemudian memposisikan kerajaan-kerajaan lain yang juga berdaulat pada zamannya. Ditambah lagi buku sejarah yang ditulis oleh kolonialis Belanda. Penulisan tentang Mandar oleh Belanda berawal pada saat terjadinya proses penjajahan di Indonesia. Motif dari penulisan dan pengkajian tentang Mandar oleh Belanda tidak lain adalah kepentingan penjajahan demi menanamkan tangan kuasanya di tanah Mandar serta penguasaan terhadap sektor kekayaan alamnya.
Setelah pasca hengkangnya kolonislisme Belanda di Indonesia, termasuk di tanah Mandar. Muncul semacam mental baru dikalangan para sejarawan dan kaum intelektual di Indonesia, dimana buku-buku yang pernah ditulis oleh kolonialis Belanda menjadi rujukan utama oleh mereka. Hal yang sama juga terjadi di tanah Mandar, dimana banyak sejarawan yang mengkaji dan menulis kembali tentang Mandar dengan mengambil karya-karya Belanda sebagai referensi mereka.

Imbasnya, sejarah tutur (lisan) yang berkembang kuat di masyarakat, khususnya pada masyarakat pinggiran dianggap bukan lagi bagian dari sejarah. Apalagi sejarah tutur yang berkembang di masyarakat pinggiran banyak yang tidak mampu ditangkap oleh logika manusia. Kalaupun mereka melogikakannya terkadang hasilnya melenceng dari maksud yang sebenarnya (Suardi Kaco)

Sejarawan Mandar misalnya, banyak mengabaikan sejarah tutur yang masih kuat di masyarakat Mandar. Mereka hanya merujuk sejarah teks yang telah dibakukan dan dibukukan oleh kelompok terntentu. Baginya, keabsahan sebuah karya sejarah jika ia lahir dari penuturan yang menyandang gelar sebagai “sejarawan”, bukan dari kaum pinggiran yang tidak pernah menempuh jenjang pendidikan formal.

Nah saatnya sekarang kita kembali kepelosok untuk meneliti dan meriset kembali peradaban masa lampau yang pernah berkembang dan berdaulat saat itu.

Penutup

Dari sekian perbandingan yang saya uraikan ini, ada sejumput harapan kepada saudaraku Darmansyah sebagai Ketua MSI Sulbar, untuk bisa menjadikan MSI sebagai perekat antar sejarawan yang ada di Mandar. Diharapkan, kedepan ada buku sejarah Mandar yang utuh dan menggambarkan keberadaan kerajaan-kerajaan dari Pitu Ulunna Salu, Pitu Baqbana Binanga, Sampai kepada Karua Tiparittiqna uhai dan Paliliq Arrua. Hal ini penting agar memudahkan kita dalam mempelajari sejarah, budaya dan kearifan lokal yang pernah ada dan masih eksist sampai hari ini.

Akhirnya, saya ingin mengatakan menulis boleh saja salah, tapi Jangan bohong !

09/09/2015

FESTIVAL GauTIK 2015 dan APPEQ JANNANGANG



Perhelatan Festival GauTIK 2015 yang digelar di gedung GADIS Polewali Mandar telah usai beberapa hari yang lalu. Kegiatan yang diusung oleh relawan TIK (R-TIK) Sulawesi Barat ini terlaksana pada tanggal 1-5 September lalu dengan bermacam acara, di antaranya sosialisasi Domain desa.id, workshop pembuatan website, pameran TIK dan berbagai macam lomba. 

Yang menarik dalam acara yang pembukaannya dihadiri oleh Direktur Pemberdayaan Informatika Kementrian KOMINFO  ibu Septriana Tangkary, serta Wakil Bupati Polewali Mandar bapak HM. Natsir Rahmat dan Asisten II PemKab Pol-Man bapak Darwin Badaruddin, ini adalah sosialisasi perangkat-perangkat IT. Sebut saja Rapsberry yang salah satu pengembangnya adalah putra lokal Mandar. Mini computer yang hanya seukuran kartu KTP ini sungguh mengundang decak kagum. “Untuk sementara produk ini telah diuji cobakan di Malang dan Jogja, tapi tidak lama lagi produk ini akan kita pasarkan juga di sini (Sulawesi Barat/red)” terang Mihram, lelaki asal Campalagiang yang saat ini bertugas sebagai ketua R-TIK wilayah Papua dan pulang ke Mandar  demi acara festival GauTIK ini.

Dalam acara pembukaan festival GauTIK 2015 ini, ibu Direktur Pemberdayaan Informatika juga memberikan apresiasi yang luar biasa terhadap pembuatan aplikasi android Lontaraq Digital yang ditelurkan oleh komunitas Appeq Jannangang yang rupanya beliau ketahui melalui informasi dari pak Darwin Badaruddin. Dalam kesempatan yang sama beliau menyarankan agar aplikasi Lontaraq Digital diikutkan dalam even INAICTA, sebuah ajang lomba bergengsi internasional inovasi teknologi. Hanya sayang sebab sekali sebab pendaftaran INAICTA untuk tahun 2015 telah tertutup, beliau bahkan mencoba meminta pengecualian kepada fihak panitia namun sayang tak terpenuhi. 

Untuk kegiatan fastival ini, mewakili Appeq Jannangang, saya  diberikan kesempatan pada hari ketiga untuk mensosialisasikan aplikasi Lontaraq Digital bersama dengan mas Soepriyanto (Domain desa.id dari Jawa Tengah) serta Burhanuddi Hr. (Wartawan senior Sulawesi Barat).

Selain itu, Appeq Jannangang dalam hal ini tim Sakkaq Manarang-nya juga didaulat untuk mewakili R-TIK Majene dalam pameran IT yang diikuti oleh beberapa komunitas IT dan sekolah menengah yang punya jurusan berbasis IT.

Festival GauTIK 2015 telah berakhir setelah ditutup oleh DR. H. Anwar Sewang selaku pengurus R-TIK Sul-Bar, namun harapan untuk bersua dan terlibat kembali dalam ajang Festival GauTIK 2016 yang akan datang sangatlah dinantikan. Sebab dari kegiatan seperti ini kita berharap Appeq Jannangang bisa menjadi pelopor dalam pelestarian budaya lokal Mandar berbasis teknologi. Teknologi kian maju, dan budaya sebagai filter harus mampu mengiringi pergerakan teknologi.
(Zulfihadi)

SIKAPA, MAKANAN KHAS MANDAR PEGUNUNGAN.

Sikapa alias gadung
(Foto: jamunusantara.com)

Sesungguhnya sumber daya alam Polewali Mandar sangatlah kaya dan beragam, meskipun mungkin masih banyak yang belum terungkap dan terbudi dayakan dengan maksimal. Dalam hal ini sumber bahan pangan yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat mandar pegunungan.
Singkong dan Undo/kundo/sikapa merupakan salah satu sumber makanan pokok orang Mandar pegunungan seperti halnya singkong dan sagu bagi orang Mandar pesisir. Dewasa ini konsumsi undo telah tergeser oleh adanya beras atau nasi, namun demikian tak ada salahnya jika kita kembali menengok sumber pangan tradisional ini dan berikut tulisan tentang umbi tumbuhan yang oleh masyarakat Mandar disebut undo atau sikapa.

Pada saat musim kemarau seperti saat ini di mana banyak areal persawahan yang mengalami gagal panen dan terjadi paceklik, masyarakat pegunungan biasanya membentuk kelompok-kelompok kecil dari keluarga atau tetangga mereka sendiri dan melakukan pencarian sikapa ke tepian hutan. Kegiatan ini biasa dikenal dengan massikapa.

Kegiatan massikapa
(Foto: Chawal)

Undo adalah salah satu jenis umbi-umbian hutan yang sekarang mulai jarang ditemui di Mandar. Penyebabnya adalah selain karena tergeser oleh lancarnya suplay beras dari wilayah pantai, tumbuhan ini juga sering dianggap sebagai gulma pengganggu pada perkebunan rakyat sehingga sering dibabat atau disemprot dengan pestisida. Secara nasional Indonesia, undo dikenal dengan nama gadung dan mempunyai penyebutan berbeda-beda disetiap daerah di nusantara dan dalam bahasa latin disebut Dioscorea hispida Dennst.

Pada dasarnya tumbuhan ini merupakan tumbuhan asli dari India bagian Barat kemudian menyebar luas sampai ke Asia Tenggara. Tumbuh pada tanah datar hingga ketinggian 850 m dpl, tetapi dapat juga diketemukan pada ketinggian 1.200 m dpl.
Gadung merupakan perdu memanjat yang tingginya dapat mencapai  5-10 m. Batangnya bulat, berbentuk galah, berbulu, dan berduri yang tersebar sepanjang batang dan tangkai daun. Umbinya bulat diliputi rambut akar yang besar dan kaku. Kulit umbi berwarna gading atau coklat muda, daging umbinya berwarna putih gading atau kuning. Umbinya muncul dekat permukaan tanah. Dapat dibedakan dari jenis-jenis dioscorea lainnya karena daunnya merupakan daun majemuk terdiri dari 3 helai daun (trifoliolatus), warna hijau, panjang 20-25 cm, lebar 1-12 cm, helaian daun tipis lemas, bentuk lonjong, ujung meruncing (acuminatus), pangkal tumpul (obtusus), tepi rata, pertulangan melengkung (dichotomous), permukaan kasar (scaber). Bunga tersusun dalam ketiak daun (axillaris), berbulit, berbulu, dan jarang sekali dijumpai. Perbungaan jantan berupa malai atau tandan, panjang antara 7-55 cm, perbungaan betina berupa bulir, panjang antara 25-65 cm. Buah lonjong, panjang kira-kira 1 cm, berwarna coklat atau kuning kecoklatan bila tua. Akar serabut. Tanaman gadung (Dioscorea hispida Dennst), bagi beberapa Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, sumber makanan yang mengandung karbohidrat merupakan kebutuhan utama. Bahan pangan yang mengandung karbohidrat cukup tinggi adalah termasuk pada jenis kacang-kacangan dan jenis umbi-umbian. Salah satu sumber karbohidrat yang ada di Indonesia adalah umbi gadung. Gadung mengandung air, lemak, protein, karbohidrat, serat kasar, abu, diosgenin, dioscinin, kalori, kalsium, posfor, besi, maupun vitamin C. Selain kandungan gizi yang berguna bagi tubuh manusia seperti disebutkan sebelumnya, undo juga memiliki zat beracun yang berbahaya.

Kandungan asam yang dikandungnya adalah asam sianida (HCN) atau biasa juga dikenal dengan asam biru. Asam sianida pada gadung akan terbentuk jika jaringan umbi rusak seperti misalnya dikupas, diiris atau digigit. Orang yang mengkonsumsi undo yang prosedur pengolahannya kurang tepat dapat mengalami keracunan dengan gejala mual, muntah bahkan dapat mematikan. Sehingga dengan demikian agar undo dapat dikonsumsi secara aman bagi manusia, maka perlu diolah dengan cara yang cukup rumit.
Berikut adalah kutipan keterangan salah seorang warga Pasiang (Polewali Mandar) tentang beberapa cara yang sering dilakukan oleh masyarakat Mandar yang ada di pegunungan dalam mengolah undo.
Di desa Pasiang kec. Matakali ada 2 cara pengolahan.
Cara 1: sikapa dikupas bersih, diiris tipis, diberi abu dapur yang bersih, dijemur hingga kering lalu direndam dalam air mengalir dari pagi sampai sore. Ditiriskan semalaman lalu dicetak dan disimpan di para sampai berjamur.

Cara 2: kupas bersih kulitnya, diiris tipis, disusun dalam lubang tanah sedalam 1 m. diameter 0,5 m. yang dialas daun pisang, setiap lapisan ditaburi garam dapur, tutup dengan daun pisang lalu ditutup dgn tanah, dipendam selama dua malam. Setelah itu direndam di dalam air mengalir dari pagi sampai sore. Tiriskan semalaman lalu dicetak dan simpan di para biarkan sampai berjamur.
Sikapa yang sudah berjamur siap diolah menjadi sokko (makanan yang biasanya dibuat dengan cara dikukus seperti ketan) sikapa.
Caranya sikapa dicincang halus lalu diberi percikan air hingga agak lembab lalu dikukus hingga matang. Setelah matang diberi parutan kelapa dan garam secukupnya.

Faktor kesulitan dalam pengolahan bahan undo ini juga menjadi salah satu penyebab masyarakat umum segan untuk mengkonsumsi makanan yang berbahan undo. Dewasa ini, pengolahan undo sebagai bahan makanan juga tidak mengalami pengembangan inovasi dan hanya terbatas pada pembuatan sokkol. Padahal di Jawa, produksi makanan dan cemilan berbahan undo semisal keripik gadung sudah banyak diberdayakan demikian pula dalam pembudidayaan tanaman undo sendiri.

Sokkol sikapa
(Foto: Muhammad Hasbi)

Dari tulisan ini saya berharap bahwa masyarakat mau kembali melirik tanaman ini sebagai sumber makanan yang potensial. Dan kepada fihak pemerintah dan instansi pemerintah setidaknya bisa memberikan penerangan kepada masyarakat serta menjadikan undo sebagai makanan lokal yang berperan dalam program ketahanan pangan nasional.
(Zulfihadi)

Sumber:
1. Hasrindaru K. Mahasiswa program studi ilmu gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang tahun 2011/2012.
2. Diskusi online media sosial dengan Rusdy dan Nurlaela Bilu (Grup facebook Appeq Jannangang (7/9)).















SUNGAI MANDAR (Dari Mata Air ke Air Mata)

Pernah sekali aku melihatmu keluar dari celah batu, dari ujung-ujung akar, dari bongkahan tanah berpasir, Berjalan pelan, mengalir Terus, terus dan terus menerus Tetes, tetes dan tetesan menetes Rembes dan merembes Mata air Pertama kukenal, ketika lelah tak letih mengikuti Jadilah kau pilihan hatiku ketika peluh meluluh nyaliku, enggan kompromi Pertama kali jua kau mengalir diantara sumsum dan urat nadi Sesekali kau menyapaku lewat pori Aku mengenalmu Begitu dalam Mata air Pernah kuingin membuat danau, Membuat samudera, membuat kondensasi air, membuat hujan, untuk sekedar memberimu ruang untuk aku semakin dekat. Dan dengan halus kau janjikan dan jadikan sungai, laut, danau dan samudera itu tepat ketika aku beranjak dari tempat dimana aku pertama mengalirkanmu ketubuhku. Mata air Kau benar, janjimu pasti dan aku melihat sosok tuhan yang begitu santun menyayangi alam dan makhluk-Nya. Kaukah sifat Tuhan itu, dan dari sifat apa kau dicipta? Sebab aku ada dan dicipta dari sifat Tuhan itu. Jangan-jangan kau adalah aku Tapi, tak mungkin mata air itu aku. Aku adalah mata air, bukan Aku hanya punya air mata Air mata Pertama kukenal ketika kurasakan mata air itu menamat hausku Dan air mata itu keluar ketika syukurku memuncak sebab dahaga yang mencekik itu telah hilang Air mata Aku memang tak lagi bisa menjadi mata air, ketika melihat karyamu diabaikan Danaumu dikeringkan, sungaimu di rusak, samudramu jadi tong sampah Aku ingin menyerapahi mereka, tapi mereka memaki aku Lalu air mata ini mengalir Mencari mata air Menemukan tuhan Lalu Tuhan menyapaku Jangan bersedih, kata-Nya Hapus air matamu, jadilah mata air Agar mereka menjadikan tujuh samudra lagi dari air mata mereka. Air mata, Mata Air Tanah air dan air tanah Adalah Mandar Litaq Mandarku adalah Tanah air ! Sungai Mandar, 28 Juni 2015

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...