27/08/2014

PELATIHAN EKOSISTEM MANGROVE YAYASAN KEHATI KERJASAMA YPMMD SUL-BAR



Isu pemanasan global masih menjadi bahan perbincangan yang hangat sampai saat ini, membuat beberapa aktifis terus bergiat melakukan penyelamatan lingkungan dengan berbagai cara.
Salah satunya Yayasan Keanekaragama Hayati (KEHATI) bekerja sama dengan Yayasan Pemuda Mitra Masyarakat (YPMMD) Sul-Bar melaksanakan kegiatan Pelatihan Ekosistem Mangrove yang dipusatkan di desa Binanga, kecamatan Sendana kabupaten Majene. Kegiatan dalam rangka Program Merajut Sabuk Hijau Pesisir Indonesia kali ini mengangkat tema Peningkatan Peran Pemuda Pada Restorasi Pada Kehidupan Pesisir Pantai mulai dibuka pada hari Jumat, 22 Agustus 2014 dan berakhir pada hari Minggu, 24 Agustus 2014. Melibatkan peserta dari berbagai komunitas pelajar dan pemuda salah satunya Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar (KOMPA DANSA MANDAR) yang mengirim 4 orang anggotanya sebagai peserta pelatihan.




Dalam kegiatan ini, panitia penyelenggara menggunakan konsep ruangan dan lapangan dimana peserta menerima teori dan kemudian mempraktekkan apa yang didapatkannya langsung di pantai Baluno, lokasi yang menjadi garapan restorasi pantai  YPPMD Sulawesi Barat.

Hari pertama panitia penyelenggara memberikan tugas kepada peserta untuk mengidentifikasi sepuluh macam mangrove (pohon bakau) yang ada di pantai Baluno. Ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana para peserta mengenal berbagai macam varietas mangrove. Peserta dibagi menjadi lima kelompok dan dibawa menyusuri pantai Baluno untuk melakukan identifikasi beberapa macam mangrove melalui perbedaan daun, bunga dan buahnya dengan masing-masing kelompok didampingi oleh satu orang panitia. Dengan antusias, para peserta melakukan tugas sesuai petunjuk modul yang diberikan meski harus hati-hati melangkahkan kaki. Pasalnya pantai Baluno merupakan kawasan karang mati atau dalam istilahnya death coral reef, sehingga banyak terdapat karang-karang tajam yang meninggalkan luka yang cukup perih jika sempat menggores kaki. Lalu peserta diberikan kesempatan untuk mempresentasikan sejauh mana pengetahuannya tentang ciri dan perbedaan dari beberapa varietas mangrove yang mereka temui.

Pada hari kedua, para peserta mendapatkan materi pengetahuan tentang pembibitan mangrove dan pada siang harinya langsung berpraktek di lapangan melakukan pembibitan mulai dari pengisian polybag, pemilihan bakal bibit yang baik, hingga cara meletakkannya  pada polybag.
Dalam penyampaiannya, Aziil Anwar selaku Direktur program pada Yayasan Pemuda Mitra Masyarakat Desa (YPMMD) mengemukakan bahwa tujuan dari kegiatan ini agar nantinya para peserta bisa menjadi pelopor dalam pelestarian ekosistem mangrove dan restorasi pantai.
Pada hari yang sama, para peserta juga mendapatkan pelajaran bagaimana fungsi  keberadaan ekosistem mangrove dalam pencegahan global warming serta manfaatnya untuk masyarakat di sekitar ekosistem tersebut.

Dihari terakhir, setelah peserta mendapat penjelasan tentang tata cara penanaman bakau yang benar, para peserta diarahkan menuju ke tempat pembibitan untuk masing-masing mengambil bibit untuk kemudian dibawa ke lokasi penanaman dan terakhir ditanam sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan fasilitator sebelumnya. Pada kegiatan kali ini, sekitar 200 pohon bibit mangrove ditanam dengan 5 varietas yang berbeda dari spesies Brugeira, Sonneratia dan Rizhopora.



Ita Nur Azizah atau akrab dipanggil Ita, salah seorang peserta dari Komunitas Pemuda Totolisi mengemukakan kesan-kesannya. “ Banyak hal tentang wawasan ekosistem mangrove dari pelatihan ini”, ungkapnya singkat.

Mangrove di pantai Baluno.

Menurut keterangan bapak Aziil Anwar yang merupakan pioneer penyelamat lingkungan pantai Baluno,  salah satu dari sepuluh orang dari seluruh Indonesia sebagai penerima penghargaan Satya Lancana untuk bidang lingkungan hidup dari wakil presiden Boediono saat peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2013 (HCPSN 2013). Penanaman mangrove di pantai Baluno dimulai pada tahun 1989, dimana kondisi hutan mangrove di tempat itu sudah kritis akibat dari eksploitasi warga sekitar. Namun setelah kurang lebih 30 tahun, saat ini kondisi mangrove di pantai tersebut sudah kembali lebat dan mulai ada penambahan luas daratan pantai. Dari lebih 200 jenis  pohon mangrove, di pantai Baluno saat ini terdapat sekitar 40 jenis dan spesies pohon mangrove, beberapa diantara belum teridentifikasi. Beberapa spesies makhluk hidup daerah pantai  yang sebelumnya tidak ada pun mulai banyak seperti ikan, udang, kepiting dan beberapa jenis burung. Ini tentu akan membawa keuntungan tersendiri bagi warga sekitar.

Menanam mangrove tidak dilakukan sembarangan, harus diperhatikan cara menanam yang benar, kondisi pantai dan cuaca. Demikian juga dengan memelihara mangrove dibutuhkan perhatian khusus, minimal hingga tanaman kecil tersebut melewati masa kritis yakni berumur 2-3 tahun setelah masa tanam. Mangrove yang masih kecil mempunyai beberapa hama diantaranya tiram yang sering menempel dan melukai batang pohon, padahal meskipun merupakan tumbuhan pantai namun jaringan di dalam batang mangrove kecil tidak boleh dimasuki air laut. Jika itu terjadi, pohon mangrove yang masih kecil tersebut akan mati.  Belum lagi sampah plastik yang sering terbawa air pasang, terkadang tersangkut dan membelit batang atau cabang pohon hingga menghambat pertumbuhannya. Olehnya itu, tanaman mangrove kecil ini harus rutin dibersihkan agar dapat tumbuh secara normal.



“diharapkan nantinya setelah mengikuti pelatihan ini, para peserta dapat memberikan penjelasan tentang pentingnya ekosistem bakau pada masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, syukur-syukur bisa menjadi pioneer pelestari hutan bakau Indonesia, khususnya di Sulawesi Barat” kata beliau, menutup penjelasannya.  

ANAK-ANAK HARAM SANG ZAMAN


Lahir dari rahim seorang ibu yang bernama pertiwi
Dibesarkan oleh ayah yang bernama sejarah
Disusui oleh kebudayaan
Berpencaran engkau bagai mencit yang mencericit
Berbulan tahun engkau nikmati saripati tradisi
Hingga kokoh kuat tubuhmu
Kini engkau gagah dalam balutan busana necis
Goyangkan kaki di balik meja
Angkuh kau kalungkan di lehermu
Sombong kau sematkan di dadamu
Kau perkosa ibu pertiwimu hingga melarat
Engkau sodomi ayah sejarahmu hingga sekarat
Kau bantai tradisi yang mulia sarat ajaran
Jadilah dirimu kanibal atas nama uang
Dan kami hanya bisa merintih melihat tingkahmu
Berharap kebenaran segera tiba


Matakali, 220814

15/05/2014

BOKAQ DI MANDAR

Tulisan ini terinspirasi dari postingan poto seorang teman di sosial media facebook yang menampilkan onggokan butiran kelapa biji yang sabutnya telah dikupas. Sulawesi Barat memang salah satu provinsi yang masuk dalam jajaran teratas penghasil kopra dan terkenal sejak jaman Belanda, memiliki jumlah pohon kelapa yang melimpah dan bisa didapati mulai dari daerah pegunungan hingga ke daerah pesisir. 
Waktu panen buah kelapa menggunakan sistem catur wulan, artinya buah kelapa dapat dipanen setiap 4 bulan sekali sepanjang tahun.

Dari gunung hingga pantai selalu ada pohon kelapa sejauh mata memandang.
(dok. kpbwm)


Penulis dan teman-teman dari KPBWM sedang menikmati segarnya kelapa muda.
(dok. kpbwm)


Jangan bingung jika mendengar kata bokaq di Mandar tidak sama dengan pengertian bokaq pada suku Bugis khususnya Bugis Wajo untuk menyebut minyak kelapa. Di  Mandar, bokaq dipakai untuk menyebut kopra. Kopra adalah hasil perkebunan yang dihasilkan dari buah kelapa yang telah dikeringkan hingga mencapai kadar air tertentu. 

Untuk mendapatkan hasil kopra, ada dua cara dan akan kita bahas sesuai dengan pengalaman penulis yang sudah belajar membuat kopra sejak kelas 2 SMP J.
Cara pertama adalah dengan metode pengasapan. Pada tahapan ini, mula-mula buah kelapa yang telah dikumpulkan dikupas sabutnya dengan menggunakan sula atau dalam bahasa Mandar disebut passukke. 

Passukke atau Sula
(foto searching internet)


Membaca kata sula, mungkin pikiran anda dan fikiran saya akan terbersit sebuah nama pulau. Benar, Sulawesi. Entah kebetulan atau kebenaran, nama Sulawesi (sula=sula, wesi =besi. Menurut KBBI) disematkan pada pulau yang warganya paling banyak menggunakan alat sula, mungkin ini tugas dari para antropolog untuk mencari awal mula penamaan Sulawesi yang belum kunjung disepakati. 

By the way, on the way, bus way, kita kembali ke topik tentang bokaq J. Harap berhati-hati jika anda adalah seorang pemula, sebab tidak jarang dalam proses massukke ini bagian lengan akan penuh luka goresan begitu pula bagian telapak tangan biasanya akan lecet dan berisi cairan. Belum lagi kemungkinan mata sula akan menembus perut jika kita tidak waspada. Dalam kacamata penulis, dari sekian tahapan pembuatan kopra proses massukke inilah yang paling berat. Dalam sehari, penulis biasanya hanya mampu mengupas kelapa maksimal 800 butir padahal teman-teman kerja penulis bisa mencapai 1000 butir/hari.

Proses mengupas kelapa dengan sula
(foto searching internet)

Setelah kelapa-kelapa tersebut dikupas, kemudian dipotong dua. Ingat yah, kelapanya dipotong bukan dibelah J. Lalu disusun di atas pengasapan (paqbokangan) dengan bagian daging menghadap ke bawah. Kelapa ini disusun sampai beberapa lapis, tp idealnya sih cukup 8-10 lapis saja biar panas api tembus hingga ke atas. Soalnya jika terlalu tebal lapisannya, biasanya yang di bagian atas masih segar sementara bagian bawah sudah hangus.
Setelah tersusun rapi, masukkan bahan bakar yang biasanya diambil dari sabut kelapa yang sudah dikupas tadi, ke bagian kolong paqbokang dan mulai lah menyalakan api di beberapa sudut lantai bawah paqbokangan ini dimaksudkan agar api cepat menyebar rata hingga ke bagian tengah area pembakaran. 


Cara menyusun kelapa yang diasapi
(foto searching internet)


Dalam tahap ini, pekerja sudah boleh agak santai namun kewaspadaan harus benar-benar disiagakan sebab tidak jarang angin akan menerbangkan bara yang selanjutnya hinggap pada sisa sabut yang masih melekat pada tempurung kelapa dan selanjutnya akan membuat kelapa di atas paqbokang akan ikut terbakar. Beberapa kali penulis mengalami kejadian seperti ini, dan benar-benar merepotkan mengatasi jika kelapa yang diasapi sudah sempat terbakar. Sehingga senantiasa perlu disiapkan alat penyemprot air pada tahapan ini. Dan pada tahapan ini juga, kita bisa melihat kondisi asap di bagian teratas dari lapisan kelapa yang disusun sebagai pertanda. 
Jika asapnya hitam, maka biasanya semua masih terkendali. Itu pertanda jika kandungan air pada kelapa sudah mulai keluar. Jika asapnya bening dan hanya berupa fatamorgana, maka biasanya kadar air pada daging kelapa sudah tinggal sedikit. Namun jika keadaan asap berwarna putih, maka itu pertanda bahwa adanya kebakaran di antara lapisan kelapa-kelapa itu dan biasanya sudah mulai gawat.

Setelah diasapi 6 – 8 jam, api kemudian dibiarkan padam dan kelapa dibiarkan menjadi dingin. Setelah kelapa agak dingin, kita masuk ditahap selanjutnya yaitu massisi atau mencungkil daging buah kelapa dari tempurungnya dengan menggunakan sebuah alat khusus yang dinamakan passisi. Inilah sebenarnya tujuan utama dari pengasapan awal ini, agar daging buah kelapa layu dan mudah disisi. Setelah itu kelapa yang kini tinggal dagingnya kembali disusun rapi untuk selanjutnya kembali diasapi untuk proses pematangan/pengeringan akhir. 

Massisi untuk mencungkil daging kelapa dari tempurungnya.
(foto searching internet)

Setelah diasapi kembali 6-8 jam, dan daging kelapa sudah kering yang ditandai dengan warna daging kelapa berubah menjadi bening dan berminyak, buah kelapa kemudian didinginkan dan dimasukkan ke dalam karung. 
Dalam proses packing ini, biasanya petani menumbuk kopra di dalam karung dengan tujuan agar karungnya padat. Ini untuk mensiasati banyaknya karung yang digunakan, agar terhindar dari pemotongan timbangan yang dilakukan para pedagang. Terakhir yang penulis dapati para pedagang melakukan pemotongan 1 kg./karung.
Kopra yang telah diasapi
(foto searching internet)

Cara pengeringan yang kedua adalah dengan menggunakan sinar matahari. Pengeringan dengan proses ini relatif aman, sebab tidak lagi mengkhawatirkan masalah api dan hasil koprapun bersih. Namun dengan proses ini membutuhkan waktu lebih lama sebab untuk proses pengeringannya saja butuh waktu 3-5 hari tergantung dari teriknya sinar matahari. Dan tentu saja sulit dilakukan pada musim penghujan. Selain itu diperlukan pula area pengeringan yang lebih luas, umpamanya saja untuk mengeringkan 600 butir kelapa dibutuhkan lapangan dengan ukuran 35 m2, sementara dengan metode pengasapan untuk 3000 butir kelapa cukup dengan paqbokangan berukuran 10m2.

Pembuatan kopra dengan sistem jemur
(foto searching internet)

Demikianlah proses pembuatan kopra dari awal hingga akhir, sebelum kemudian dimasukkan ke pabrik untuk diolah lebih lanjut menjadi bahan kosmetik maupun bahan pangan atau bahan bakar. Semoga dengan mengetahui proses pembuatan kopra yang membutuhkan waktu dan tenaga yang luar biasa dari petani dan buruh tani bisa menghadirkan kesadaran pada diri kita untuk lebih menghargai petani. Demikian juga pemerintah agar kiranya mulai dapat memikirkan kebijakan-kebijakan yang berfihak pada petani kita. PETANIKU PAHLAWANKU........

Penulis saat membuat kopra. Nampak onggokan kelapa di belakang (sudut kiri bawah)
(dok. pribadi)

14/05/2014

PETAKA CINTA I PUTUWUNGA MASAGALA

Berjalan dengan perasaan berkecamuk antara segan, malu, kekhawatiran  dan rasa kesetia kawanan, terpaksa kulangkahkan juga kaki ini menuju rumah I Putuwunga Masagala.
Yah, pemuda mana di kampung ini yang tidak mengenal I Putuwunga Masagala?. Pemuda mana yang birahinya tidak terbakar dan melayang dengan fantasi liar melihat seorang gadis berparas cantik, bertubuh denok dengan tinggi semampai yang dari pinggulnya menggambarkan seorang wanita yang akan memberikan keturunan yang banyak seperti potongan I Putuwunga Masagala. 
Setidaknya dari sisi fisik, potongan wanita demikianlah yang disarankan ayahku pada suatu malam padaku jika aku hendak mencari pasangan hidup. Namun kali ini, aku menuju kerumahnya bukanlah untuk diriku namun untuk seorang teman yang rupanya juga memendam rasa padanya.

Dan karena kedekatanku dengan kedua orang tuanya yang memang masih famili dekat denganku, membuat sahabatku itu mempercayakan padaku untuk “missisi” dengan tujuan mengetahui tanggapan keluarga sang gadis jika seumpama keluarga sahabatku itu nantinya datang melamar.
Namun satu-satunya hal yang membuatku khawatir adalah jika ternyata keluarga I Putuwunga nantinya memberikan isyarat  penolakan.

Singkat cerita, kekhawatiranku terbukti. Keluarga gadis manis bertubuh denok itu dengan halus menyampaikan isyarat penolakannya.
Halus??. Bisa jadi halus bagi orang lain, tapi tidak bagi lelaki yang mengutusku.
Dengan menahan pedih dan mata menyala, ia mendengar penuturanku dalam diam. Aku berusaha menghiburnya namun ia tetap bergeming dalam lamunannya. Pun ia tetap acuh tak acuh ketika aku pamit untuk pulang.

Dan hal yang tidak pernah aku sangka adalah akibat dari penolakan itu, ternyata kelak berbuah duka bagi kedua keluarga. Rupanya diam-diam sahabatku itu merasa terhina dan menyimpan dendam untuk membalas penghinaan itu.

Dua purnama berselang kejadian “messisi” yang gagal itu, aku mulai jarang bertemu dengan sahabatku itu. Aku hanya pernah bertemu secara kebetulan di atas puncak sebuah bukit saat aku hendak mencari kayu bakar, di mana ia hanya memandang kosong nun jauh kearah passauang pitu, begitulah nama yang diberikan oleh orang sekitar kampung pada mata air yang muncul secara alami di kaki bukit itu.
Dengan perlahan dan hampir tanpa suara, kududuk disampingnya dan mecoba mensejajarkan pandangan kami, dan kudapati obyek yang menjadi paku retina matanya.
Jauh di kaki bukit, di tepi salah satu mata air passauang pitu nampak bayangan seseorang yang sedang mandi, sesekali terlindung oleh dedaunan yang bergoyang oleh hembusan angin. Siapa lagi orang itu kalau bukan I Putuwunga Masagala, gadis molek berpinggul subur yang menghancurkan dunia sahabat di sampingku ini.

Dengan sangat perlahan kutoleh wajah sahabatku, dan aku mulai sadar jika aku telah kehilangan sesosok wajah ceria dengan sorot mata penuh semangat, yang kudapati di antara struktur kulit, daging dan tulang itu hanyalah kesan sebuah batu cadas yang keras dan dingin.
Namun binar matanya yang membuat hatiku berdegup kencang, ada pijar dendam yang begitu kuat memancar dari kedua bola lunak di dalam rongga wajahnya itu menggantikan cahaya rindu yang dulu selalu memancar saat nama sang gadis singgah di gendang telinganya.

Aku hanya duduk diam dan membiarkan sahabatku yang sukmanya sedang bercumbu dengan bayangan sang gadis pujaan. Hingga kemudian akhirnya aku letih sendiri menunggu ia mencapai orgasme yang aku pun tak tau kapan tibanya, letih itu pula yang membuatku lalu pergi dalam diam seperti tadi bagaimana aku datang dalam kesunyian. Kulangkahkan kakiku dengan sangat perlahan di antara padang ilalang yang menjadi permadani bukit itu, membawa setumpuk beban kayu bakar di bahuku dan seonggok tanya dalam dadaku tentang akhir dari semua ini.

Hampir saja aku terjungkal dari tempat tidur, saat satu teriakan murka menggelegar,  serta merta datang membangunkan dan merenggut paksa alam bawah sadarku yang sedang berasyik masyuk dengan bidadari alam mimpiku. Dengan bara api yang membakar isi dadaku, tergesa kulangkahkan kakiku keluar dan bermaksud mencari siapa yang telah mengganggu tidurku hingga membuat orgasme mimpiku tertangguh dengan menyakitkan, untuk memberinya sekedar peringatan.

Namun saat tiba di halaman, aku hanya bisa berdiri mematung, kemarahanku menjadi hilang seketika saat aku tahu siapa yang berteriak. Nampak di tengah jalan seorang lelaki dengan “sokkoq biring” yang sekarang tanpa disadarinya telah benar-benar miring di kepalanya.
Dengan wajah kelam penuh amarah dan tangannya yang gemetar menghunus-hunuskan keris yang meski bilahnya hanya nampak sekilas karena tidak hentinya bergoyang, namun aku tau jika keris itu keris pusaka nan bertuah. Itulah keris pusaka yang bernama I Rete Pitu. Meski namanya tak setenar keris Empu Gandring di tangan Ken Arok dalam cerita yang pernah dituturkan kakekku dulu sepulangnya dari tanah Jawa. Tapi siapa orang di serata Pitu Babbana Binanga yang tidak mengenal keampuhan keris I Rete Pitu yang bisa membuat seorang manusia langsung bertemu dengan Sang Pencipta cukup hanya dengan goresan kecil di kulit korbannya, keris yang dengan setia menemani tuannya yang kini ada di depanku saat meluluh lantakkan kerajaan Passokkorang bersama Tomepayung Sang Maraqdia dari Balanipa?. Sebilah keris pusaka hasil karya “pande” ternama dan dibuat dengan segala rupa laku ritual mulai saat pemilihan besi  hingga kemudian pertama kali diselipkan di pinggang Puang ta I Ullung Allo yang saat ini masih berdiri di tengah jalan mencari dan meneriakkan nama sahabatku keseantero kampung kami.

Aku hanya bisa tergagap menjawab tidak tau, ketika ia melangkah mendekat kehadapanku dengan sorot mata merah seolah ada percikan api keluar dari mata itu dan lalu bertanya dengan suara yang berat tentang keberadaan lelaki sahabatku yang rupanya telah menyulut gelora murka di dadanya. Syukurlah karena kemarahannya kemudian tidak dilampiaskan kepadaku, padahal lututku sudah gemetar dan mataku tidak lepas dari keris dalam genggamannya seolah-olah keris itu sesaat lagi akan menancap di antara tulang dadaku atau mungkin keris itu akan bersarang mulus di perutku. Kuhembuskan nafas lega sekuat-kuatnya untuk menenangkan gemuruh ketakutan di dadaku ketika sekonyong-konyong puang ta I Ullung Allo berbalik dan meninggalkanku. Untung karena ia tidak semakin marah atas jawaban ketidak tahuanku, atau mungkin juga keris pusakanya tidak berminat untuk sekedar mencicipi setetes darah dari tubuhku.

Sebelum ia berjalan semakin jauh, tiba-tiba terbit ingatanku akan keselamatan sahabatku. Naluriku mengatakan akan terjadi sesuatu yang mengerikan jika sekiranya sahabatku berhasil ditemukan olehnya. Dan kemudian diam-diam aku mengikuti langkah tergesa dari pamanku I Ullung Allo.

# bersambung.........

13/04/2014

CELEBES

SULAWESI atau CELEBES, terserah anda mau menyebutnya.... tapi inilah pulau tempat aku lahir dan merasakan nikmatnya alam subur dan indah. Setiap malamku dibuai dengan pesan leluhur yang menyejukkan dan menguatkan jiwa dan semangat ku sebagai anak celebes.....


11/04/2014

EKSOTISME MAKAM TOMAKAKA ALLUNG Part II


Seorang kawan penulis sedang berpose
disamping makam.

Maka tersebutlah sepasang suami istri yang tidak diketahui namanya namun diyakini berasal dari tanah Bugis hendak mengunjungi saudaranya di Mandar (entah di mana daerah di mandar yang dimaksud) pun tidak diketahui tahun berapa waktu kedatangan mereka, setelah menempuh perjalanan tibalah mereka di daerah yang sekarang bernama Bunga-Bunga (masih termasuk dalam kecamatan Matakali). Disanalah mereka bertempat untuk sementara waktu sambil beristirahat, namun tidak lama kemudian salah satu dari suami istri itu meninggal dan oleh orang bunga-bunga dimakamkan di Allung. Dan karena peristiwa tersebut sehingga pasangannya yang masih hidup terpaksa tinggal dan tidak lagi melanjutkan perjalanan sebagaimana maksudnya semula hingga kemudian meninggal pula di tempat itu. Menurut keterangan pak Salim, dahulu kedua makam tersebut disimpan jauh di dalam goa, namun kemudian dikeluarkan diposisinya saat ini yaitu di mulut goa. Ada dugaan jika mereka berdua berasal dari keluarga bangsawan, sebab masih menurut pak Salim, ketika mereka datang, mereka memiliki perhiasan lengkap mulai dari cincin, gelang, anting dan sebagainya sehingga saking banyaknya perhiasan yang mereka miliki sehingga tempat itu penuh warna-warni mirip dengan taman bunga, maka disebutlah tempat itu dengan Bunga-Bunga.

Konon kabarnya saat baru dipindahkan dari dalam goa ke mulut goa, batu yang ada dibagian atas belum selebar saat ini. Dahulu, saat hujan turun maka sebagian makam ini akan basah namun kemudian setelah sekian waktu. Batu yang ada di bagian atas goa tersebut tumbuh melebar dan menaungi makam hingga saat ini jika hujan maka kedua makam tersebut tetap kering.

Mitos lainnya adalah dahulu jika ada orang yang membutuhkan piring dan peralatan makan lainnya untuk hajatan maka yang bersangkutan biasa datang ke makam itu untuk “meminjam” barang yang dimaksud dan melakukan ritual tertentu. Konon jika permohonan peminjaman disetujui maka pada malam harinya barang yang dimaksud akan muncul di samping makam sehingga yang punya hajatan bisa datang keesokan harinya untuk mengambil dan harus mengembalikan saat barang tersebut sudah tidak dipakai lagi, tentu dengan membawa sesajen sebagai tanda terima kasih. Namun kemudian ada beberapa pemilik hajatan yang tidak mengembalikan barang pinjaman, maka saat ini “si empunya” tidak lagi mau meminjamkan jika ada yang melakukan ritual untuk meminjam peralatan makan.

Satu lagi mitos tentang makam Tomakaka Allung adalah, konon bahan pembuatan makam tersebut  adalah batang pohon kayu “sinaguri”. Sinaguri adalah sejenis tanaman perdu dengan tinggi 50 Cm.-100 Cm., bercabang banyak, kulit batang agak kemerahan, berkayu relatif keras dan memiliki bulu halus pada daunnya, biasanya tumbuhan ini terdapat dikebun-kebun atau daerah stepa. Sebelum mendapat kutukan, konon tumbuhan ini adalah pohon kayu yang besar dan kuat hingga sering digunakan untuk bahan pembuatan rumah. Mitos tentang pohon ini dapat juga kita temui dalam sejarah berdirinya mesjid tua Palopo, dengan nama kayu cinaguri.

Penulis sedang mencatat penuturan
narasumber tentang makam Tomakaka Allung.


Kondisi makam saat ini.
Kondisi terakhir dari makam Tomakaka Allung saat kami berkunjung relatif masih cukup baik, meski lantai disalah satu ujung makam sudah berlubang cukup besar karena sudah lapuk dan membuat kita bisa melihat kebagian dalam makam. Makam Tomakaka Allung adalah sistem pemakaman dengan menggunakan peti kayu sebagai wadah makam, ini sangat mirip dengan sistem pemakaman yang ada di Tanah Toraya yang dipercaya sebagai peninggalan zaman megalitik. Makam senantiasa dalam kondisi kering meski hujan deras, dinding kiri dan kanan adalah batu demikian juga bagian atas terlindungi batu yang cukup unik sebab menyerupai atap seolah-olah memang dibuat khusus untuk menaungi makam. Ada dua makam di tempat ini, makam pertama yang diyakini sebagai sang suami memiliki ukuran panjang kira-kira 2,5 meter, lebar 0,5 meter dan tinggi 0,5 meter. Sedangkan pada makam kedua berukuran panjang kira-kira 2 meter, sedangkan lebar dan tingginya sama dengan makam yang pertama. Di samping makam terdapat pendupaan yang menandakan jika sering ada orang yang datang kesana untuk berdo’a atau meminta. Hal ini juga ditegaskan dengan banyaknya ikatan tali rafia disisi makam yang menurut pak Salim diikatkan oleh mereka yang datang bernazar.
Saat kedatangan kami, juga terlihat jika kain kafan yang menutp makam masih dalam kondisi baru. Ini diakui oleh sumber kami yang katanya beberapa minggu sebelum kedatangan kami, ada satu rombongan keluarga dari daerah Barru (Sulawesi Selatan) yang datang ke lokasi itu untuk melepas nazar dengan memotong seekor kerbau hitam.

Perpisahan.
Ada rasa kecewa dan prihatin atas perilaku mereka yang sering datang ke tempat ini dengan maksud untuk meminta-minta. Bukankah mereka yang dimakamkan di tempat ini adalah mahluk, sementara tempat kita meminta seharusnya adalah Sang Khalik yang telah menciptakan segenap makhluk yang ada di bumi. Ditambah lagi mereka yang dimakamkan di sini belum diketahui dengan jelas agama dan keyakinannya bahkan sangat kuat dugaan jika mereka bukanlah muslim sementara yang datang untuk bernazar dan meminta hampir semua adalah muslim. Tentu ini adalah sesuatu yang bisa berbahaya jika ditinjau dari sisi aqidah sebagai seorang muslim, belum lagi upaya mengikatkan tali rafia ditepi makam yang tentu saja mengganggu pemandangan. Seyogyanya sebuah tempat bersejarah bisa dijadikan sebagai pengingat dan pembelajaran, bukan justru menjadi tempat pemujaan. Namun itu kembali lagi kepada prinsip diri kita masing-masing.
Selain kisah tentang Tomakaka Allung, kami juga mendapat bonus dari penuturan pak Salim berupa kisah asal usul nama daerah yang ada disekitar desa Patampanua itu, seperti misalnya Buttu Lamba yang konon menurutnya ada seorang wanita yang mempunyai dua orang suami. Rumah kedua suaminya itu berjauhan sehingga mengharuskan wanita itu berjalan jauh dari rumah suami yang satu ke rumah suaminya yang lain hingga akhirnya bukit yang sering dilalui wanita itu dinamakan Buttu Lamba (Buttu=gunung/bukit. Lamba = (ber) jalan).
Ada juga cerita tentang Tabone. Menurut cerita tutur yang disampaikan pada kami bahwa dahulu ada orang dari Bone (Sulawesi Selatan) yang datang dan membuka daerah itu untuk dijadikan kebun dan oleh masyarakat sekitar orang dari Bone tadi dipanggil dengan nama Ta Bone. Setelah beberapa waktu, maka dinamakanlah tempat itu dengan Tabone. Ketika saya tinggal di Tapango pada era tahun 90an, saya masih sering mendapat orang yang di depan namanya diberi awalan Ta, namun saya tidak tau apakah hal ini merujuk pada kata “tau” yang berarti orang. Contohnya orang yang saya dapati kala itu bernama Ta Kataq, Ta Kunding, Ta Sida, Ta Ridang, dll.
Sebenarnya rasa penasaran kami belumlah terjawab tuntas tentang sejarah keberadaan makam Tomakaka Allung ini, namun apalah daya kondisi hujan deras sementara tempat bernaung di sisi makam tidak sanggup menampung kami semua sehingga beberapa teman terpaksa berbasah-basah. Ditambah lagi dengan pengetahuan sumber kami yang diakuinya sangat terbatas sebab hanya berasal dari cerita tutur yang kemudian kembali ia tuturkan pada kami. Sehingga begitu sang hujan sedikit reda dan memberi kesempatan untuk pulang maka kamipun meninggalkan situs makam Tomakaka Allung.
Menjejakkan kaki di pelataran sempit tingkat bawah, aura mistis yang sempat menyapa saya saat pertama tiba kembali menyergap namun kali ini rasanya seolah ada tatapan mata yang melepas kepergian saya dan teman-teman. Mungkin saja “sang pemilik mata” ingin mengucapkan selamat jalan, dan dalam hatipun saya mengucapkan selamat jalan pula padanya. Saya dan teman-teman berpisah setelah mengantarkan kembali pak Muhammad Salim ke rumah anak beliau. Dan di bawah langit yang sudah tidak lagi meneteskan air hujan, kupacu si Beti (motor Beat matik) yang menjadi tungganganku untuk kembali ke rumah mencari sedikit hangat dari segelas kopi panas buatan sang istri yang tentunya sudah menanti kepulanganku.


Tumpiling, 100414. Saat hawa pemilu masih terasa hangat.

Berpose, penulis bersama para sahabat
KOMPA DANSA MANDAR dan Narasumber

EKSOTISME MAKAM TOMAKAKA ALLUNG Part I


Penulis sedang mengamati
makam Tomakaka Allung


Di bawah rintik hujan yang sudah mulai reda, saya dan kawan-kawan mulai menapaki jalanan menuju Allung. Yah, kami sedang melakukan trip yang bertema sejarah dan budaya mandar dan untuk kesempatan kali ini (Rabu,090414) kami bermaksud untuk mengunjungi pamakaman Tomakaka Allung. Pertimbangan kami, sebab keterangan tentang situs makam ini amat sangat sedikit terekspos ke dunia luar. Padahal situs ini terdaftar pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar dengan nomor registrasi 228 dan bernama Allung Tomakaka di Lanja. Situs ini juga sangat penting bagi dunia sejarah khususnya sejarah Sulawesi Selatan dan Barat, serta sebagai bukti penguat persaudaraan masyarakat di jazirah mandar ditengah ancaman disintegrasi, dimana kelompok komunitas yang satu merasa berbeda dan tidak ada hubungan dengan kelompok komunitas yang lain.

Saat melakukan browsing internet menggunakan search engine google dengan mengetikkan keyword “situs makam Tomakaka Allung”, maka setidaknya ada delapan link dalam index awal yang akan muncul namun sayangnya tidak ada yang menyajikan deskripsi secara lengkap tentang posisi, sejarah dan situasi makam. Dengan demikian saya berharap agar kehadiran tulisan ini bisa menjadi bahan pelengkap untuk mendampingi data yang sudah ada.

Allung adalah sebuah lingkungan yang berada di desa Patampanua, kecamatan Matakali, kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 8 km. dari pusat kota Polewali. Makam Tomakaka Allung sendiri hanya berjarak kurang lebih 1 km. kearah utara dari tepi jalan poros Polewali – Majene dengan kondisi jalan lorong  yang relatif baik untuk ditempuh dengan kendaraan roda dua sebab sebagian jalanan sudah dibeton dan sebagian lagi sudah dalam pengerasan.
Sebelum menjelang kompleks makam, kita akan disambut dengan tumbuhan jati lokal di sisi kiri dan kanan jalan sehingga meski tidak lebat namun lingkungan alam masih lumayan asri. Diakhiri dengan jalan yang sedikit agak menanjak, kami lalu memasuki kompleks makam yang berada di kaki bukit dimana bertebaran batu cadas yang besarnya tidak tanggung-tanggung, hingga ada yang besarnya tiga kali lipat dari kerbau.   Kami kemudian memarkir kendaraan dan berjalan di antara bebatuan besar dengan memberikan kesempatan kepada pak Muhammad Salim sebagai guide untuk berjalan di depan kami.

Pak Salim, narasumber kami
sedang wawancara dengan kawan penulis.


Gara-gara pemilu
Pak Muhammad Salim adalah salah seorang masyarakat Allung yang sudah terbilang sepuh dengan usia yang saya perkirakan antara 70 – 80 tahun. Awal pertemuan saya dengan beliau dimulai ketika pagi harinya saya menunggu kedatangan  teman-teman di depan MIS DDI Rea Barat desa Patampanua sebagaimana kesepakatan hari sebelumnya, dimana kita akan berkumpul dan bersama-sama menuju lokasi tujuan. Saya tiba dilokasi titik pertemuan bersamaan dengan kesibukan para warga dalam mengikuti pesta demokrasi pemilihan para calon legislatif. Sehingga sambil menunggu teman-teman yang belum juga tiba, saya iseng-iseng mengobrol dengan salah seorang warga yang rupanya sedang menunggu anaknya yang sedang antri masuk ke bilik suara untuk mencoblos. Sementara yang bersangkutan sendiri rupanya sudah menunaikan haknya dalam memilih, ini terlihat dari jari ujung kelingkingnya yang berwarna biru keunguan akibat telah dicelup dengan tinta pemilu. Dengan sebuah kalimat pembuka disusul dengan pertanyaan “berapa jauh jarak makam Tomakaka Allung dari sini?” (tempat kami ngobrol saat itu), mengalirlah obrolan dalam suasana akrab. Dari obrolan itu saya kemudian berfikir untuk mencari narasumber dari salah satu sesepuh desa, dan beliau (sayang saya lupa menanyakan namanya)menyarankan saya untuk menemui Imam mesjid yang rumahnya hanya beberapa langkah dari tempat kami berada saat itu dengan harapan kami bisa mendapatkan penjelasan tentang sejarah makam Tomamaka Allung. Namun sayang sebab ternyata sang Imam sedang tidak di rumah, sehingga saya diberikan alternatif untuk menemui pak Muhammad Salim. Saya hanya mengiyakan, dan syukurlah sebab bapak tadi juga bersedia untuk mengantar saya kerumah pak Muhammad Salim.


Dari hasil bertemu dan berbincang dengan pak Muhammad Salim, beliau bersedia mengantar kami ke lokasi makam namun sayangnya karena beliau hanya bisa mengantar kami selepas shalat Ashar karena urusan pemilu, padahal waktu itu baru sekitar pukul 10.30 wita. Terpaksa saya pergi dulu dan berjanji untuk kembali sekitar jam 16.00 wita. saya kemudian menuju ke Manding, dan mengontak teman-teman agar berkumpul di rumah Pusvawirna saja untuk mencari apa kira-kira yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu hingga sore. Hingga kemudian disepakati untuk mengunjungi situs sumur Manurung yang berada di Lantora, kecamatan Polewali. Setelah situs sumur Manurung, kemudian dilanjutkan dengan trip ke sebuah bukit yang berada tidak jauh dari kampus UNASMAN. Dasar kami mendaki ke bukit itu karena penasaran dengan keterangan beberapa teman yang “katanya” bahwa batu-batu besar di bukit itu agak aneh karena ada yang bentuknya mirip mobil, perahu dan ikan paus. Mengenai apa yang kami temui di sumur Manurung dan di atas bukit tidak akan saya tuliskan di sini, namun insya allah akan saya tuliskan pada tulisan selanjutnya.

Demikianlah kami menghabiskan waktu siang itu hingga kemudian waktu menunjukkan pukul 16 sore, dimana saya telah berjanji pada pak Muhammad Salim untuk kembali ke rumahnya bersama teman-teman untuk menuju ke makam Tomakaka Allung.

Sebelum tiba di titik lokasi makam
kita akan melalui 3 tingkatan mirip pelataran sempit.


Berselimutkan mitos
Lokasi pemakaman yang berada ditengah lokasi kebun warga sangat eksotis menurut saya. Di mana terhampar bebatuan berukuran jumbo seperti yang saya tuliskan di awal. Begitu juga untuk sampai di titik makam kita akan melalui tiga tingkatan yang mirip dengan pelataran sempit. Untuk naik dari jalan ke pelataran tingkat awal kita bisa menginjak batu, namun untuk naik ketingkatan kedua kita harus menaiki tangga besi yang sudah disiapkan, begitu juga untuk naik ke mulut goa di mana makam itu berada harus melewati tangga besi. Sehingga sepintas lalu kita akan merasa sedang menaiki punden berundak yaitu sebuah sisa kebudayaan jaman megalitik seperti candi atau piramida namun tentu saja yang ini alami dan tidak seperti candi atau piramida yang merupakan karya manusia.


Sejenak ada aura mistis menyergap saya ketika untuk pertama kalinya menjejakkan kaki ke mulut goa dimana kedua makam itu berada, entahlah rasa ini dirasakan pula oleh teman-teman yang lain ataukah hanya saya yang merasakannya. Memang perasaan itu hanya sejenak lalu kemudian mereda, rasa itu seolah mengatakan ada yang mengucapkan kata selamat datang pada saya. Saat pak Salim, saya dan dan seorang teman duduk disamping makam (teman yang lain terpaksa menunggu di tingkat bawah sebab luas pelataran disamping makam tidak bisa menampung kami yang berjumlah 10 orang), maka mulailah beliau bercerita tentang makam yang ada di depan kami.

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...