Seorang kawan penulis sedang berpose
disamping makam.
Maka tersebutlah sepasang suami istri yang tidak diketahui
namanya namun diyakini berasal dari tanah Bugis hendak mengunjungi saudaranya
di Mandar (entah di mana daerah di mandar yang dimaksud) pun tidak diketahui
tahun berapa waktu kedatangan mereka, setelah menempuh perjalanan tibalah
mereka di daerah yang sekarang bernama Bunga-Bunga (masih termasuk dalam kecamatan
Matakali). Disanalah mereka bertempat untuk sementara waktu sambil
beristirahat, namun tidak lama kemudian salah satu dari suami istri itu
meninggal dan oleh orang bunga-bunga dimakamkan di Allung. Dan karena peristiwa
tersebut sehingga pasangannya yang masih hidup terpaksa tinggal dan tidak lagi
melanjutkan perjalanan sebagaimana maksudnya semula hingga kemudian meninggal
pula di tempat itu. Menurut keterangan pak Salim, dahulu kedua makam tersebut
disimpan jauh di dalam goa, namun kemudian dikeluarkan diposisinya saat ini
yaitu di mulut goa. Ada dugaan jika mereka berdua berasal dari keluarga
bangsawan, sebab masih menurut pak Salim, ketika mereka datang, mereka memiliki
perhiasan lengkap mulai dari cincin, gelang, anting dan sebagainya sehingga
saking banyaknya perhiasan yang mereka miliki sehingga tempat itu penuh
warna-warni mirip dengan taman bunga, maka disebutlah tempat itu dengan
Bunga-Bunga.
Konon kabarnya saat baru dipindahkan dari dalam goa ke mulut
goa, batu yang ada dibagian atas belum selebar saat ini. Dahulu, saat hujan
turun maka sebagian makam ini akan basah namun kemudian setelah sekian waktu.
Batu yang ada di bagian atas goa tersebut tumbuh melebar dan menaungi makam
hingga saat ini jika hujan maka kedua makam tersebut tetap kering.
Mitos lainnya adalah dahulu jika ada orang yang membutuhkan
piring dan peralatan makan lainnya untuk hajatan maka yang bersangkutan biasa
datang ke makam itu untuk “meminjam” barang yang dimaksud dan melakukan ritual
tertentu. Konon jika permohonan peminjaman disetujui maka pada malam harinya
barang yang dimaksud akan muncul di samping makam sehingga yang punya hajatan
bisa datang keesokan harinya untuk mengambil dan harus mengembalikan saat
barang tersebut sudah tidak dipakai lagi, tentu dengan membawa sesajen sebagai
tanda terima kasih. Namun kemudian ada beberapa pemilik hajatan yang tidak
mengembalikan barang pinjaman, maka saat ini “si empunya” tidak lagi mau
meminjamkan jika ada yang melakukan ritual untuk meminjam peralatan makan.
Satu lagi mitos tentang makam Tomakaka Allung adalah, konon
bahan pembuatan makam tersebut adalah
batang pohon kayu “sinaguri”. Sinaguri adalah sejenis tanaman perdu dengan
tinggi 50 Cm.-100 Cm., bercabang banyak, kulit batang agak kemerahan, berkayu
relatif keras dan memiliki bulu halus pada daunnya, biasanya tumbuhan ini
terdapat dikebun-kebun atau daerah stepa. Sebelum mendapat kutukan, konon
tumbuhan ini adalah pohon kayu yang besar dan kuat hingga sering digunakan
untuk bahan pembuatan rumah. Mitos tentang pohon ini dapat juga kita temui
dalam sejarah berdirinya mesjid tua Palopo, dengan nama kayu cinaguri.
Penulis sedang mencatat penuturan
narasumber tentang makam Tomakaka Allung.
Kondisi makam saat ini.
Kondisi terakhir dari makam Tomakaka Allung saat kami
berkunjung relatif masih cukup baik, meski lantai disalah satu ujung makam
sudah berlubang cukup besar karena sudah lapuk dan membuat kita bisa melihat
kebagian dalam makam. Makam Tomakaka Allung adalah sistem pemakaman dengan
menggunakan peti kayu sebagai wadah makam, ini sangat mirip dengan sistem pemakaman
yang ada di Tanah Toraya yang dipercaya sebagai peninggalan zaman megalitik. Makam
senantiasa dalam kondisi kering meski hujan deras, dinding kiri dan kanan
adalah batu demikian juga bagian atas terlindungi batu yang cukup unik sebab
menyerupai atap seolah-olah memang dibuat khusus untuk menaungi makam. Ada dua
makam di tempat ini, makam pertama yang diyakini sebagai sang suami memiliki
ukuran panjang kira-kira 2,5 meter, lebar 0,5 meter dan tinggi 0,5 meter.
Sedangkan pada makam kedua berukuran panjang kira-kira 2 meter, sedangkan lebar
dan tingginya sama dengan makam yang pertama. Di samping makam terdapat
pendupaan yang menandakan jika sering ada orang yang datang kesana untuk
berdo’a atau meminta. Hal ini juga ditegaskan dengan banyaknya ikatan tali
rafia disisi makam yang menurut pak Salim diikatkan oleh mereka yang datang
bernazar.
Saat kedatangan kami, juga terlihat jika kain kafan yang
menutp makam masih dalam kondisi baru. Ini diakui oleh sumber kami yang katanya
beberapa minggu sebelum kedatangan kami, ada satu rombongan keluarga dari
daerah Barru (Sulawesi Selatan) yang datang ke lokasi itu untuk melepas nazar
dengan memotong seekor kerbau hitam.
Perpisahan.
Ada rasa kecewa dan prihatin atas perilaku mereka yang
sering datang ke tempat ini dengan maksud untuk meminta-minta. Bukankah mereka
yang dimakamkan di tempat ini adalah mahluk, sementara tempat kita meminta
seharusnya adalah Sang Khalik yang telah menciptakan segenap makhluk yang ada
di bumi. Ditambah lagi mereka yang dimakamkan di sini belum diketahui dengan
jelas agama dan keyakinannya bahkan sangat kuat dugaan jika mereka bukanlah
muslim sementara yang datang untuk bernazar dan meminta hampir semua adalah
muslim. Tentu ini adalah sesuatu yang bisa berbahaya jika ditinjau dari sisi
aqidah sebagai seorang muslim, belum lagi upaya mengikatkan tali rafia ditepi
makam yang tentu saja mengganggu pemandangan. Seyogyanya sebuah tempat
bersejarah bisa dijadikan sebagai pengingat dan pembelajaran, bukan justru
menjadi tempat pemujaan. Namun itu kembali lagi kepada prinsip diri kita
masing-masing.
Selain kisah tentang Tomakaka Allung, kami juga mendapat
bonus dari penuturan pak Salim berupa kisah asal usul nama daerah yang ada
disekitar desa Patampanua itu, seperti misalnya Buttu Lamba yang konon
menurutnya ada seorang wanita yang mempunyai dua orang suami. Rumah kedua
suaminya itu berjauhan sehingga mengharuskan wanita itu berjalan jauh dari
rumah suami yang satu ke rumah suaminya yang lain hingga akhirnya bukit yang
sering dilalui wanita itu dinamakan Buttu Lamba (Buttu=gunung/bukit. Lamba =
(ber) jalan).
Ada juga cerita tentang Tabone. Menurut cerita tutur yang
disampaikan pada kami bahwa dahulu ada orang dari Bone (Sulawesi Selatan) yang
datang dan membuka daerah itu untuk dijadikan kebun dan oleh masyarakat sekitar
orang dari Bone tadi dipanggil dengan nama Ta Bone. Setelah beberapa waktu,
maka dinamakanlah tempat itu dengan Tabone. Ketika saya tinggal di Tapango pada
era tahun 90an, saya masih sering mendapat orang yang di depan namanya diberi
awalan Ta, namun saya tidak tau apakah hal ini merujuk pada kata “tau” yang
berarti orang. Contohnya orang yang saya dapati kala itu bernama Ta Kataq, Ta
Kunding, Ta Sida, Ta Ridang, dll.
Sebenarnya rasa penasaran kami belumlah terjawab tuntas
tentang sejarah keberadaan makam Tomakaka Allung ini, namun apalah daya kondisi
hujan deras sementara tempat bernaung di sisi makam tidak sanggup menampung
kami semua sehingga beberapa teman terpaksa berbasah-basah. Ditambah lagi
dengan pengetahuan sumber kami yang diakuinya sangat terbatas sebab hanya
berasal dari cerita tutur yang kemudian kembali ia tuturkan pada kami. Sehingga
begitu sang hujan sedikit reda dan memberi kesempatan untuk pulang maka kamipun
meninggalkan situs makam Tomakaka Allung.
Menjejakkan kaki di pelataran sempit tingkat bawah, aura
mistis yang sempat menyapa saya saat pertama tiba kembali menyergap namun kali
ini rasanya seolah ada tatapan mata yang melepas kepergian saya dan
teman-teman. Mungkin saja “sang pemilik mata” ingin mengucapkan selamat jalan,
dan dalam hatipun saya mengucapkan selamat jalan pula padanya. Saya dan
teman-teman berpisah setelah mengantarkan kembali pak
Muhammad Salim ke rumah anak beliau. Dan di bawah langit yang sudah tidak lagi
meneteskan air hujan, kupacu si Beti (motor Beat matik) yang menjadi
tungganganku untuk kembali ke rumah mencari sedikit hangat dari segelas kopi
panas buatan sang istri yang tentunya sudah menanti kepulanganku.
Tumpiling, 100414. Saat hawa pemilu masih terasa hangat.
Berpose, penulis bersama para sahabat
KOMPA DANSA MANDAR dan Narasumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar