Berjalan dengan perasaan berkecamuk antara segan, malu, kekhawatiran dan rasa kesetia kawanan, terpaksa
kulangkahkan juga kaki ini menuju rumah I Putuwunga Masagala.
Yah, pemuda mana
di kampung ini yang tidak mengenal I Putuwunga Masagala?. Pemuda mana yang
birahinya tidak terbakar dan melayang dengan fantasi liar melihat seorang gadis
berparas cantik, bertubuh denok dengan tinggi semampai yang dari pinggulnya
menggambarkan seorang wanita yang akan memberikan keturunan yang banyak seperti
potongan I Putuwunga Masagala.
Setidaknya
dari sisi fisik, potongan wanita demikianlah yang disarankan ayahku pada suatu
malam padaku jika aku hendak mencari pasangan hidup. Namun kali ini, aku menuju
kerumahnya bukanlah untuk diriku namun untuk seorang teman yang rupanya juga
memendam rasa padanya.
Dan karena kedekatanku dengan kedua orang tuanya yang
memang masih famili dekat denganku, membuat sahabatku itu mempercayakan padaku
untuk “missisi” dengan tujuan mengetahui tanggapan keluarga sang gadis jika
seumpama keluarga sahabatku itu nantinya datang melamar.
Namun satu-satunya hal
yang membuatku khawatir adalah jika ternyata keluarga I Putuwunga nantinya
memberikan isyarat penolakan.
Singkat cerita, kekhawatiranku terbukti. Keluarga gadis
manis bertubuh denok itu dengan halus menyampaikan isyarat penolakannya.
Halus??. Bisa jadi halus bagi orang lain, tapi tidak bagi lelaki yang
mengutusku.
Dengan menahan pedih dan mata menyala, ia mendengar penuturanku
dalam diam. Aku berusaha menghiburnya namun ia tetap bergeming dalam
lamunannya. Pun ia tetap acuh tak acuh ketika aku pamit untuk pulang.
Dan hal yang tidak pernah aku sangka adalah akibat dari
penolakan itu, ternyata kelak berbuah duka bagi kedua keluarga. Rupanya
diam-diam sahabatku itu merasa terhina dan menyimpan dendam untuk membalas
penghinaan itu.
Dua purnama berselang kejadian “messisi” yang gagal itu, aku
mulai jarang bertemu dengan sahabatku itu. Aku hanya pernah bertemu secara
kebetulan di atas puncak sebuah bukit saat aku hendak mencari kayu bakar, di
mana ia hanya memandang kosong nun jauh kearah passauang pitu, begitulah nama
yang diberikan oleh orang sekitar kampung pada mata air yang muncul secara
alami di kaki bukit itu.
Dengan perlahan dan hampir tanpa suara, kududuk
disampingnya dan mecoba mensejajarkan pandangan kami, dan kudapati obyek yang
menjadi paku retina matanya.
Jauh di kaki bukit, di tepi salah satu mata air passauang
pitu nampak bayangan seseorang yang sedang mandi, sesekali terlindung oleh
dedaunan yang bergoyang oleh hembusan angin. Siapa lagi orang itu kalau bukan I
Putuwunga Masagala, gadis molek berpinggul subur yang menghancurkan dunia
sahabat di sampingku ini.
Dengan sangat perlahan kutoleh wajah sahabatku, dan
aku mulai sadar jika aku telah kehilangan sesosok wajah ceria dengan sorot mata
penuh semangat, yang kudapati di antara struktur kulit, daging dan tulang itu
hanyalah kesan sebuah batu cadas yang keras dan dingin.
Namun binar matanya
yang membuat hatiku berdegup kencang, ada pijar dendam yang begitu kuat
memancar dari kedua bola lunak di dalam rongga wajahnya itu menggantikan cahaya
rindu yang dulu selalu memancar saat nama sang gadis singgah di gendang
telinganya.
Aku hanya duduk diam dan membiarkan sahabatku yang sukmanya
sedang bercumbu dengan bayangan sang gadis pujaan. Hingga kemudian akhirnya aku
letih sendiri menunggu ia mencapai orgasme yang aku pun tak tau kapan tibanya,
letih itu pula yang membuatku lalu pergi dalam diam seperti tadi bagaimana aku
datang dalam kesunyian. Kulangkahkan kakiku dengan sangat perlahan di antara
padang ilalang yang menjadi permadani bukit itu, membawa setumpuk beban kayu
bakar di bahuku dan seonggok tanya dalam dadaku tentang akhir dari semua ini.
Hampir saja aku terjungkal dari tempat tidur, saat satu
teriakan murka menggelegar, serta merta
datang membangunkan dan merenggut paksa alam bawah sadarku yang sedang berasyik
masyuk dengan bidadari alam mimpiku. Dengan bara api yang membakar isi dadaku,
tergesa kulangkahkan kakiku keluar dan bermaksud mencari siapa yang telah mengganggu
tidurku hingga membuat orgasme mimpiku tertangguh dengan menyakitkan, untuk
memberinya sekedar peringatan.
Namun saat tiba di halaman, aku hanya bisa berdiri mematung,
kemarahanku menjadi hilang seketika saat aku tahu siapa yang berteriak. Nampak
di tengah jalan seorang lelaki dengan “sokkoq biring” yang sekarang tanpa
disadarinya telah benar-benar miring di kepalanya.
Dengan wajah kelam penuh
amarah dan tangannya yang gemetar menghunus-hunuskan keris yang meski bilahnya
hanya nampak sekilas karena tidak hentinya bergoyang, namun aku tau jika keris
itu keris pusaka nan bertuah. Itulah keris pusaka yang bernama I Rete Pitu. Meski
namanya tak setenar keris Empu Gandring di tangan Ken Arok dalam cerita yang
pernah dituturkan kakekku dulu sepulangnya dari tanah Jawa. Tapi siapa orang di
serata Pitu Babbana Binanga yang tidak mengenal keampuhan keris I Rete Pitu
yang bisa membuat seorang manusia langsung bertemu dengan Sang Pencipta cukup
hanya dengan goresan kecil di kulit korbannya, keris yang dengan setia menemani
tuannya yang kini ada di depanku saat meluluh lantakkan kerajaan Passokkorang
bersama Tomepayung Sang Maraqdia dari Balanipa?. Sebilah keris pusaka hasil
karya “pande” ternama dan dibuat dengan segala rupa laku ritual mulai saat
pemilihan besi hingga kemudian pertama
kali diselipkan di pinggang Puang ta I Ullung Allo yang saat ini masih berdiri
di tengah jalan mencari dan meneriakkan nama sahabatku keseantero kampung kami.
Aku hanya bisa tergagap menjawab tidak tau, ketika ia
melangkah mendekat kehadapanku dengan sorot mata merah seolah ada percikan api
keluar dari mata itu dan lalu bertanya dengan suara yang berat tentang keberadaan
lelaki sahabatku yang rupanya telah menyulut gelora murka di dadanya. Syukurlah
karena kemarahannya kemudian tidak dilampiaskan kepadaku, padahal lututku sudah
gemetar dan mataku tidak lepas dari keris dalam genggamannya seolah-olah keris
itu sesaat lagi akan menancap di antara tulang dadaku atau mungkin keris itu
akan bersarang mulus di perutku. Kuhembuskan nafas lega sekuat-kuatnya untuk
menenangkan gemuruh ketakutan di dadaku ketika sekonyong-konyong puang ta I
Ullung Allo berbalik dan meninggalkanku. Untung karena ia tidak semakin marah
atas jawaban ketidak tahuanku, atau mungkin juga keris pusakanya tidak berminat
untuk sekedar mencicipi setetes darah dari tubuhku.
Sebelum ia berjalan semakin jauh, tiba-tiba terbit ingatanku
akan keselamatan sahabatku. Naluriku mengatakan akan terjadi sesuatu yang
mengerikan jika sekiranya sahabatku berhasil ditemukan olehnya. Dan kemudian
diam-diam aku mengikuti langkah tergesa dari pamanku I Ullung Allo.
# bersambung.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar