SULAWESI atau CELEBES, terserah anda mau menyebutnya.... tapi inilah pulau tempat aku lahir dan merasakan nikmatnya alam subur dan indah. Setiap malamku dibuai dengan pesan leluhur yang menyejukkan dan menguatkan jiwa dan semangat ku sebagai anak celebes.....
Celebess adalah blogspot yang berisi informasi unik sekitar sejarah dan budaya masyarakat Sulawesi
13/04/2014
11/04/2014
EKSOTISME MAKAM TOMAKAKA ALLUNG Part II
Seorang kawan penulis sedang berpose
disamping makam.
Maka tersebutlah sepasang suami istri yang tidak diketahui
namanya namun diyakini berasal dari tanah Bugis hendak mengunjungi saudaranya
di Mandar (entah di mana daerah di mandar yang dimaksud) pun tidak diketahui
tahun berapa waktu kedatangan mereka, setelah menempuh perjalanan tibalah
mereka di daerah yang sekarang bernama Bunga-Bunga (masih termasuk dalam kecamatan
Matakali). Disanalah mereka bertempat untuk sementara waktu sambil
beristirahat, namun tidak lama kemudian salah satu dari suami istri itu
meninggal dan oleh orang bunga-bunga dimakamkan di Allung. Dan karena peristiwa
tersebut sehingga pasangannya yang masih hidup terpaksa tinggal dan tidak lagi
melanjutkan perjalanan sebagaimana maksudnya semula hingga kemudian meninggal
pula di tempat itu. Menurut keterangan pak Salim, dahulu kedua makam tersebut
disimpan jauh di dalam goa, namun kemudian dikeluarkan diposisinya saat ini
yaitu di mulut goa. Ada dugaan jika mereka berdua berasal dari keluarga
bangsawan, sebab masih menurut pak Salim, ketika mereka datang, mereka memiliki
perhiasan lengkap mulai dari cincin, gelang, anting dan sebagainya sehingga
saking banyaknya perhiasan yang mereka miliki sehingga tempat itu penuh
warna-warni mirip dengan taman bunga, maka disebutlah tempat itu dengan
Bunga-Bunga.
Konon kabarnya saat baru dipindahkan dari dalam goa ke mulut
goa, batu yang ada dibagian atas belum selebar saat ini. Dahulu, saat hujan
turun maka sebagian makam ini akan basah namun kemudian setelah sekian waktu.
Batu yang ada di bagian atas goa tersebut tumbuh melebar dan menaungi makam
hingga saat ini jika hujan maka kedua makam tersebut tetap kering.
Mitos lainnya adalah dahulu jika ada orang yang membutuhkan
piring dan peralatan makan lainnya untuk hajatan maka yang bersangkutan biasa
datang ke makam itu untuk “meminjam” barang yang dimaksud dan melakukan ritual
tertentu. Konon jika permohonan peminjaman disetujui maka pada malam harinya
barang yang dimaksud akan muncul di samping makam sehingga yang punya hajatan
bisa datang keesokan harinya untuk mengambil dan harus mengembalikan saat
barang tersebut sudah tidak dipakai lagi, tentu dengan membawa sesajen sebagai
tanda terima kasih. Namun kemudian ada beberapa pemilik hajatan yang tidak
mengembalikan barang pinjaman, maka saat ini “si empunya” tidak lagi mau
meminjamkan jika ada yang melakukan ritual untuk meminjam peralatan makan.
Satu lagi mitos tentang makam Tomakaka Allung adalah, konon
bahan pembuatan makam tersebut adalah
batang pohon kayu “sinaguri”. Sinaguri adalah sejenis tanaman perdu dengan
tinggi 50 Cm.-100 Cm., bercabang banyak, kulit batang agak kemerahan, berkayu
relatif keras dan memiliki bulu halus pada daunnya, biasanya tumbuhan ini
terdapat dikebun-kebun atau daerah stepa. Sebelum mendapat kutukan, konon
tumbuhan ini adalah pohon kayu yang besar dan kuat hingga sering digunakan
untuk bahan pembuatan rumah. Mitos tentang pohon ini dapat juga kita temui
dalam sejarah berdirinya mesjid tua Palopo, dengan nama kayu cinaguri.
Penulis sedang mencatat penuturan
narasumber tentang makam Tomakaka Allung.
Kondisi makam saat ini.
Kondisi terakhir dari makam Tomakaka Allung saat kami
berkunjung relatif masih cukup baik, meski lantai disalah satu ujung makam
sudah berlubang cukup besar karena sudah lapuk dan membuat kita bisa melihat
kebagian dalam makam. Makam Tomakaka Allung adalah sistem pemakaman dengan
menggunakan peti kayu sebagai wadah makam, ini sangat mirip dengan sistem pemakaman
yang ada di Tanah Toraya yang dipercaya sebagai peninggalan zaman megalitik. Makam
senantiasa dalam kondisi kering meski hujan deras, dinding kiri dan kanan
adalah batu demikian juga bagian atas terlindungi batu yang cukup unik sebab
menyerupai atap seolah-olah memang dibuat khusus untuk menaungi makam. Ada dua
makam di tempat ini, makam pertama yang diyakini sebagai sang suami memiliki
ukuran panjang kira-kira 2,5 meter, lebar 0,5 meter dan tinggi 0,5 meter.
Sedangkan pada makam kedua berukuran panjang kira-kira 2 meter, sedangkan lebar
dan tingginya sama dengan makam yang pertama. Di samping makam terdapat
pendupaan yang menandakan jika sering ada orang yang datang kesana untuk
berdo’a atau meminta. Hal ini juga ditegaskan dengan banyaknya ikatan tali
rafia disisi makam yang menurut pak Salim diikatkan oleh mereka yang datang
bernazar.
Saat kedatangan kami, juga terlihat jika kain kafan yang
menutp makam masih dalam kondisi baru. Ini diakui oleh sumber kami yang katanya
beberapa minggu sebelum kedatangan kami, ada satu rombongan keluarga dari
daerah Barru (Sulawesi Selatan) yang datang ke lokasi itu untuk melepas nazar
dengan memotong seekor kerbau hitam.
Perpisahan.
Ada rasa kecewa dan prihatin atas perilaku mereka yang
sering datang ke tempat ini dengan maksud untuk meminta-minta. Bukankah mereka
yang dimakamkan di tempat ini adalah mahluk, sementara tempat kita meminta
seharusnya adalah Sang Khalik yang telah menciptakan segenap makhluk yang ada
di bumi. Ditambah lagi mereka yang dimakamkan di sini belum diketahui dengan
jelas agama dan keyakinannya bahkan sangat kuat dugaan jika mereka bukanlah
muslim sementara yang datang untuk bernazar dan meminta hampir semua adalah
muslim. Tentu ini adalah sesuatu yang bisa berbahaya jika ditinjau dari sisi
aqidah sebagai seorang muslim, belum lagi upaya mengikatkan tali rafia ditepi
makam yang tentu saja mengganggu pemandangan. Seyogyanya sebuah tempat
bersejarah bisa dijadikan sebagai pengingat dan pembelajaran, bukan justru
menjadi tempat pemujaan. Namun itu kembali lagi kepada prinsip diri kita
masing-masing.
Selain kisah tentang Tomakaka Allung, kami juga mendapat
bonus dari penuturan pak Salim berupa kisah asal usul nama daerah yang ada
disekitar desa Patampanua itu, seperti misalnya Buttu Lamba yang konon
menurutnya ada seorang wanita yang mempunyai dua orang suami. Rumah kedua
suaminya itu berjauhan sehingga mengharuskan wanita itu berjalan jauh dari
rumah suami yang satu ke rumah suaminya yang lain hingga akhirnya bukit yang
sering dilalui wanita itu dinamakan Buttu Lamba (Buttu=gunung/bukit. Lamba =
(ber) jalan).
Ada juga cerita tentang Tabone. Menurut cerita tutur yang
disampaikan pada kami bahwa dahulu ada orang dari Bone (Sulawesi Selatan) yang
datang dan membuka daerah itu untuk dijadikan kebun dan oleh masyarakat sekitar
orang dari Bone tadi dipanggil dengan nama Ta Bone. Setelah beberapa waktu,
maka dinamakanlah tempat itu dengan Tabone. Ketika saya tinggal di Tapango pada
era tahun 90an, saya masih sering mendapat orang yang di depan namanya diberi
awalan Ta, namun saya tidak tau apakah hal ini merujuk pada kata “tau” yang
berarti orang. Contohnya orang yang saya dapati kala itu bernama Ta Kataq, Ta
Kunding, Ta Sida, Ta Ridang, dll.
Sebenarnya rasa penasaran kami belumlah terjawab tuntas
tentang sejarah keberadaan makam Tomakaka Allung ini, namun apalah daya kondisi
hujan deras sementara tempat bernaung di sisi makam tidak sanggup menampung
kami semua sehingga beberapa teman terpaksa berbasah-basah. Ditambah lagi
dengan pengetahuan sumber kami yang diakuinya sangat terbatas sebab hanya
berasal dari cerita tutur yang kemudian kembali ia tuturkan pada kami. Sehingga
begitu sang hujan sedikit reda dan memberi kesempatan untuk pulang maka kamipun
meninggalkan situs makam Tomakaka Allung.
Menjejakkan kaki di pelataran sempit tingkat bawah, aura
mistis yang sempat menyapa saya saat pertama tiba kembali menyergap namun kali
ini rasanya seolah ada tatapan mata yang melepas kepergian saya dan
teman-teman. Mungkin saja “sang pemilik mata” ingin mengucapkan selamat jalan,
dan dalam hatipun saya mengucapkan selamat jalan pula padanya. Saya dan
teman-teman berpisah setelah mengantarkan kembali pak
Muhammad Salim ke rumah anak beliau. Dan di bawah langit yang sudah tidak lagi
meneteskan air hujan, kupacu si Beti (motor Beat matik) yang menjadi
tungganganku untuk kembali ke rumah mencari sedikit hangat dari segelas kopi
panas buatan sang istri yang tentunya sudah menanti kepulanganku.
Tumpiling, 100414. Saat hawa pemilu masih terasa hangat.
Berpose, penulis bersama para sahabat
KOMPA DANSA MANDAR dan Narasumber
EKSOTISME MAKAM TOMAKAKA ALLUNG Part I
Penulis sedang mengamati
makam Tomakaka Allung
Di bawah rintik hujan yang sudah mulai reda, saya dan
kawan-kawan mulai menapaki jalanan menuju Allung. Yah,
kami sedang melakukan trip yang bertema sejarah dan budaya mandar dan untuk
kesempatan kali ini (Rabu,090414) kami bermaksud untuk mengunjungi pamakaman
Tomakaka Allung. Pertimbangan kami, sebab keterangan tentang situs makam ini
amat sangat sedikit terekspos ke dunia luar. Padahal situs ini terdaftar pada
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Balai Pelestarian
Cagar Budaya Makassar dengan nomor registrasi 228 dan bernama Allung Tomakaka
di Lanja. Situs ini juga sangat penting bagi dunia sejarah khususnya sejarah
Sulawesi Selatan dan Barat, serta sebagai bukti penguat persaudaraan masyarakat
di jazirah mandar ditengah ancaman disintegrasi, dimana kelompok komunitas yang
satu merasa berbeda dan tidak ada hubungan dengan kelompok komunitas yang lain.
Saat melakukan browsing internet menggunakan search engine
google dengan mengetikkan keyword “situs makam Tomakaka Allung”, maka
setidaknya ada delapan link dalam index awal yang akan muncul namun sayangnya
tidak ada yang menyajikan deskripsi secara lengkap tentang posisi, sejarah dan
situasi makam. Dengan demikian saya berharap agar kehadiran tulisan ini bisa
menjadi bahan pelengkap untuk mendampingi data yang sudah ada.
Allung adalah sebuah lingkungan yang berada di desa Patampanua,
kecamatan Matakali, kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Jaraknya tidak
terlalu jauh, hanya sekitar 8 km. dari pusat kota Polewali. Makam Tomakaka
Allung sendiri hanya berjarak kurang lebih 1 km. kearah utara dari tepi jalan
poros Polewali – Majene dengan kondisi jalan lorong yang relatif baik untuk ditempuh dengan
kendaraan roda dua sebab sebagian jalanan sudah dibeton dan sebagian lagi sudah
dalam pengerasan.
Sebelum menjelang kompleks makam, kita akan disambut dengan
tumbuhan jati lokal di sisi kiri dan kanan jalan sehingga meski tidak lebat
namun lingkungan alam masih lumayan asri. Diakhiri dengan jalan yang sedikit
agak menanjak, kami lalu memasuki kompleks makam yang berada di kaki bukit dimana
bertebaran batu cadas yang besarnya tidak tanggung-tanggung, hingga ada yang
besarnya tiga kali lipat dari kerbau. Kami kemudian memarkir kendaraan dan berjalan
di antara bebatuan besar dengan memberikan kesempatan kepada pak Muhammad Salim
sebagai guide untuk berjalan di depan kami.
Pak Salim, narasumber kami
sedang wawancara dengan kawan penulis.
Gara-gara pemilu
Pak Muhammad Salim adalah salah seorang masyarakat Allung
yang sudah terbilang sepuh dengan usia yang saya perkirakan antara 70 – 80
tahun. Awal pertemuan saya dengan beliau dimulai ketika pagi harinya saya
menunggu kedatangan teman-teman di depan MIS DDI Rea Barat desa Patampanua sebagaimana kesepakatan
hari sebelumnya, dimana kita akan berkumpul dan bersama-sama menuju lokasi
tujuan. Saya tiba dilokasi titik pertemuan bersamaan dengan kesibukan para
warga dalam mengikuti pesta demokrasi pemilihan para calon legislatif. Sehingga
sambil menunggu teman-teman yang belum juga tiba, saya iseng-iseng mengobrol
dengan salah seorang warga yang rupanya sedang menunggu anaknya yang sedang
antri masuk ke bilik suara untuk mencoblos. Sementara yang bersangkutan sendiri
rupanya sudah menunaikan haknya dalam memilih, ini terlihat dari jari ujung
kelingkingnya yang berwarna biru keunguan akibat telah dicelup dengan tinta
pemilu. Dengan sebuah kalimat pembuka disusul dengan pertanyaan “berapa jauh jarak
makam Tomakaka Allung dari sini?” (tempat kami ngobrol saat itu), mengalirlah
obrolan dalam suasana akrab. Dari obrolan itu saya kemudian berfikir untuk
mencari narasumber dari salah satu sesepuh desa, dan beliau (sayang saya lupa
menanyakan namanya)menyarankan saya untuk menemui Imam mesjid yang rumahnya
hanya beberapa langkah dari tempat kami berada saat itu dengan harapan kami
bisa mendapatkan penjelasan tentang sejarah makam Tomamaka Allung. Namun sayang
sebab ternyata sang Imam sedang tidak di rumah, sehingga saya diberikan
alternatif untuk menemui pak Muhammad Salim. Saya hanya mengiyakan, dan
syukurlah sebab bapak tadi juga bersedia untuk mengantar saya kerumah pak
Muhammad Salim.
Dari hasil bertemu dan berbincang dengan pak Muhammad Salim,
beliau bersedia mengantar kami ke lokasi makam namun sayangnya karena beliau
hanya bisa mengantar kami selepas shalat Ashar karena urusan pemilu, padahal
waktu itu baru sekitar pukul 10.30 wita. Terpaksa saya pergi dulu dan berjanji
untuk kembali sekitar jam 16.00 wita. saya kemudian menuju ke Manding, dan
mengontak teman-teman agar berkumpul di rumah Pusvawirna saja untuk mencari apa
kira-kira yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu hingga sore. Hingga
kemudian disepakati untuk mengunjungi situs sumur Manurung yang berada di
Lantora, kecamatan Polewali. Setelah situs sumur Manurung, kemudian dilanjutkan
dengan trip ke sebuah bukit yang berada tidak jauh dari kampus UNASMAN. Dasar
kami mendaki ke bukit itu karena penasaran dengan keterangan beberapa teman yang
“katanya” bahwa batu-batu besar di bukit itu agak aneh karena ada yang
bentuknya mirip mobil, perahu dan ikan paus. Mengenai apa yang kami temui di
sumur Manurung dan di atas bukit tidak akan saya tuliskan di sini, namun insya
allah akan saya tuliskan pada tulisan selanjutnya.
Demikianlah kami menghabiskan waktu siang itu hingga
kemudian waktu menunjukkan pukul 16 sore, dimana saya telah berjanji pada pak
Muhammad Salim untuk kembali ke rumahnya bersama teman-teman untuk menuju ke
makam Tomakaka Allung.
Sebelum tiba di titik lokasi makam
kita akan melalui 3 tingkatan mirip pelataran sempit.
Berselimutkan mitos
Lokasi pemakaman yang berada ditengah lokasi kebun warga
sangat eksotis menurut saya. Di mana terhampar bebatuan berukuran jumbo seperti
yang saya tuliskan di awal. Begitu juga untuk sampai di titik makam kita akan
melalui tiga tingkatan yang mirip dengan pelataran sempit. Untuk naik dari
jalan ke pelataran tingkat awal kita bisa menginjak batu, namun untuk naik
ketingkatan kedua kita harus menaiki tangga besi yang sudah disiapkan, begitu
juga untuk naik ke mulut goa di mana makam itu berada harus melewati tangga
besi. Sehingga sepintas lalu kita akan merasa sedang menaiki punden berundak
yaitu sebuah sisa kebudayaan jaman megalitik seperti candi atau piramida namun
tentu saja yang ini alami dan tidak seperti candi atau piramida yang merupakan
karya manusia.
Sejenak ada aura mistis menyergap saya ketika untuk pertama
kalinya menjejakkan kaki ke mulut goa dimana kedua makam itu berada, entahlah
rasa ini dirasakan pula oleh teman-teman yang lain ataukah hanya saya yang
merasakannya. Memang perasaan itu hanya sejenak lalu kemudian mereda, rasa itu
seolah mengatakan ada yang mengucapkan kata selamat datang pada saya. Saat pak
Salim, saya dan dan seorang teman duduk disamping makam (teman yang lain
terpaksa menunggu di tingkat bawah sebab luas pelataran disamping makam tidak
bisa menampung kami yang berjumlah 10 orang), maka mulailah beliau bercerita
tentang makam yang ada di depan kami.
Makam-makam Palsu Maraqdia Balanipa di Tinambung
Oleh: Zulfihadi
Ketika saya dan teman-teman dari Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar akan menuju Sanggar Seni Sossorang di Dusun Lambe, Karama, Tinambung, Polewali Mandar, saya dan teman-teman penasaran dengan gerbang megah di kaki bukit pinggir Tinambung. Di gerbang tersebut tertulis, “Makam Raja-raja Balanipa”. Selain dalam huruf latin, juga ada dalam huruf lontar.
Agar rasa penasaran terbayar, kami pun berjalan mendaki sekitar 200 meter.
Awalnya kagum. Tapi itu seakan sirna ketika masuk ke dalam makam. Ada di antara sekian makam, ada yang tertulis “Haja Andi Depu”. Bukankah makamnya ada di Makassar? Sebagaimana yang disaksikan dengan mata sendiri oleh teman-teman Kompa Dansa Makassar. Yang mana itu juga ada di dalam buku “Srikandi dari Jazirah Tipalayo” karya Ahmad Asdy atau lebih dikenal dengan nama Rappo.
Bukan hanya itu, di dalam kompleks makam tersebut juga ada makam yang di situ tertulis “Tandi Bella Kakanna I Pattang” atau Arayang Balanipa keempat yang juga dikenal dengan nama I Daetta Tommuane. Beberapa saat setelah Hari Raya Idul Fitri tahun 2013 lalu, saya dan teman Kompa Dansa mengunjungi makam dari nama yang sama di Allu. Jadi, mana makam yang benar?.
Makam "palsu" Hj. Andi Depu
Berangkat dari rasa bingung itulah, beberapa teman mencoba mengunggah beberapa foto makam tersebut ke media sosial facebook. Yang selama ini menjadi salah satu tempat kami berdiskusi dan berbagi pengetahuan tentang budaya, sejarah dan wisata Mandar. Dari salah satu sumber diketahui bahwa makam raja-raja yang berjejer rapi di sisi bagian kanan dari kompleks tersebut adalah bangunan yang baru diadakan beberapa bulan yang lalu. Makam “tandi-tandi” alias pura-pura alias replika alias tidak ada betul jenazah di bawahnya. Singkat kata, makam itu palsu.
Apakah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Polewali Mandar, yang menangani hal tentang cagar budaya di Kabupaten Polewali Mandar, tidak mengetahui hal tersebut? Atau malah terlibat didalamnya?
Saya menebak bahwa mungkin saja maksud pembuatan duplikat makam tersebut bertujuan agar generasi muda yang berkunjung ke sana dapat mengetahui beberapa nama raja yang pernah berkuasa di Balanipa. Tapi, penambahan makam baru tersebut bisa saja akan menjadi bumerang bagi pengetahuan kesejarahan generasi muda Mandar. Terlebih lagi sama sekali tidak diberikan informasi secara meluas bahwa makam baru tersebut hanyalah replika.
Dan yang paling fatal adalah, secara hukum hal tersebut sebenarnya pun sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993, tentang Pelaksanaan Undang Undang No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya pasal 29 yang menjelaskan bahwa yang termasuk kegiatan yang dapat merusak benda cagar budaya dan situsnya adalah kegiatan mengurangi, menambah, mengubah, memindahkan, dan mencemari benda cagar budaya, dan melakukan hal ini dapat dikenai sanksi hukum.
Bisa dipastikan, penambahan makam palsu tersebut tergolong kegiatan menambah dan mengubah bentang cagar alam. Belum lagi kesannya yang membohongi pengunjung.
Tak cukup sampai di situ keganjilan yang ditemui. Saat membaca tulisan lontar di atap tiap makam palsu, saya tersenyum geli. Bagaimana tidak, berbekal dari pengetahuan membaca aksara lontar yang turun temurun diajarkan di dalam keluarga saya, bisa saya simpulkan penulisannya salah!
Dari pemberian tanda baca, menunjukkan bahwa orang yang menulisnya bukan orang yang mengerti tentang aksara lontar. Salah satu contoh, nama Haja Andi Depu ditulis dalam aksara lontar yang jika dibaca dalam huruf latin menjadi “Haya Ada Depu”, padahal seharusnya terbaca Haja Adi Depu (dalam aksara lontar tidak dikenal huruf mati, sehingga “andi” akan ditulis “adi”).
Begitu juga yang ada pada makam I Laju Kanna Doro, tertulis I Lunyu Kanna Doro padahal seharusnya I Laju Kanna Doro. Memang pada beberapa bagian terdapat adanya tanda baca, namun penempatannya melenceng dari pakem penulisan aksara lontar sehingga tidak bisa dikatakan bahwa itu adalah tanda baca.
Makam "palsu" I Laju Kanna Doro
Seharusnya penyelenggara proyek menunjuk orang yang benar-benar bisa membaca aksara lontar untuk mengerjakan pekerjaan yang seperti ini.
Sungguh miris perasaan saya melihat keadaan situs bersejarah yang menjadi milik orang-orang Mandar dan masyarakat Sulawesi Barat secara keseluruhan ini. Terlebih lagi jika mengingat banyaknya biaya yang digunakan untuk melakukan pekerjaan itu. Bukankah hal yang sia-sia dan sekaligus memalukan jika hasilnya hanya menambah kebingungan dan mengaburkan sejarah bagi generasi muda di daerah ini?
Belum lagi tulisan aksara lontara seperti yang sudah saya terangkan sebelumnya bisa membuat wisatawan yang berkunjung, apalagi kalau mereka mengerti tulisan lontar, tentu akan tertawa geli.
Melalui tulisan ini, saya berharap kepada pemerintah atau pemerhati budaya lainnya agar sekiranya dapat memberi perhatian khusus terhadap kasus “pengerusakan” situs ini. Mengingat hal ini terkait dengan sejarah dan jati diri Mandar yang mau tidak mau atau siap tidak siap pasti akan diterima oleh generasi muda kita sebagai pelanjut tongkat estafet sejarah.
Saya juga berharap agar kasus serupa tidak terjadi di masa yang akan datang, hingga dapat membantu para sejarawan untuk mengurai sejarah Mandar yang masih banyak menyimpan misteri.
“Jas merah,” Jangan sekali-kali melupakan sejarah!
24/02/2014
SKETSA ASA HIDUP
Sketsa itu masih suram.
Cahaya itu masih redup.
Terlingkup oleh kenyataan.
Bertabur segala derita.
Kini duduk seorang diri.
Menatap surya menapak senja,
meninggalkan semburat sedih.
Malam gelap kini merayap.
Tanpa senyum sang dewi
Dirundung pekat awan.
Namun aku tetap duduk tak bergeming.
Memahat asa dalam kalbu.
Zulfihadi
Silambea, 120302
23/02/2014
MENYIKAPI BUDAYA SECARA BIJAK Part II
Foto Maja Anis
Budaya dan kebudayaan adalah sesuatu yang tidak pernah bisa dilepaskan dari kehidupan manusia sebagai mahluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan manusia lain, sekaligus sebagai mahluk religius yang membutuhkan ‘’obat’’ penenang jiwa setelah bergelut dengan aktifitas alam yang berada diluar jangkauan nalarnya (sesuatu yang gaib).
Budaya Menurut E.B. Taylor adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
Dalam perjalanannya manusia telah memiliki begitu banyak kebudayaan sesuai dengan cara hidup dan kondisi lingkungan masing-masing komunitas baik secara beradab maupun tidak. Pada suku Aztec, Inca di Peru atau Maya kuno di daerah semenanjung Yucatan, Amerika Tengah pada jaman dahulu dikenal sebuah upacara keagamaan untuk menyembah Dewa matahari dimana dalam upacara itu dilakukan dengan mengorbankan seorang. Di pulau Kalimantan juga dikenal kegiatan mengayau, yaitu pemenggalan kepala manusia (biasanya musuh dalam perang) sebagai bahan utama untuk ritual upacara betiwah.
Lalu di pulau Celebes bagian barat, tepatnya didaerah yang dulu dikenal sebagai kerajaan Balanipa pada jaman pra maraqdiya dikenal sebuah adanya penegakan hukum diantara dua orang yang bertikai, di mana kedua lelaki yang berperkara akan dibiarkan berduel dengan menggunakan senjata tajam di dalam arena hingga salah satu dari keduanya tewas. Kebudayaan Mandar masa lalu ini hingga sekarang masih meninggalkan sisa dengan adanya tempat sebagai arena duel yang bernama bala tau (kandang/ring manusia).
Seiring datangnya sinar agama dan kesadaran untuk saling memanusiakan ditambah dengan munculnya undang-undang dan hukum kenegaraan, akhirnya budaya yang mengandung unsur kekerasan itu kemudian dihilangkan. Sementara kebudayaan yang bisa diterima oleh agama dan hukum kenegaraan tetap dipertahankan.
Kebudayaan sebagai sebuah kebiasaan masyarakatpun kemudian berkembang dan mengalami pergeseran dengan tampilnya berbagai ide humanitas, seperti misalnya persamaan gender dan hak asasi manusia.
Wajah budaya sekarang.
Setiap pelaku budaya merasa memiliki hak untuk menjalankan budaya dan tradisi sesuai dengan keinginannya, sekali lagi dengan berlindung di balik tameng HAM. Sehingga apa yang nampak sekarang bukan lagi budaya yang bernas (berisi) keagungan. Bukan sebuah persoalan jika sekiranya dengan alasan jenuh dan monoton lalu seseorang mau dan sanggup memodifikasi sebuah bentuk kebudayaan menjadi budaya baru yang sedikit berbeda, namun hendaknya pula pemikiran itu dilandasi dengan pesan apa yang hendak disampaikan kepada masyarakat yang menjadi pengusung budaya tersebut.
Namun terlepas dari hiruk pikuk pro dan kontra kebudayaan. Kekaguman kita terhadap produk kebudayaan leluhur semestinya bukan hanya sekedar kagum pada bentuk tampilannya, namun seyogyanya kita berusaha menggali hakikat pemaknaan dari hadirnya kebudayaan tersebut.
Saat sebuah tarian tradisional mandar misalnya yang biasanya ditarikan oleh seorang wanita ingin menyampaikan sebuah pesan bagi penonton, bagaimana seorang wanita mandar yang cantik dan gemulai namun tetap bisa melakukan pekerjaan berat sebagai wanita desa. Lalu kemudian tarian ini ditarikan oleh seorang lelaki yang dimakeup selayaknya wanita, bukankah kemudian pesan moralnya tidak sampai kepada penonton.
Okelah jika beberapa orang menerima hal ini dengan alasan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengekspresikan diri ( sekali lagi bersembunyi di ketiak HAM), namun kembali lagi apakah pesan moral yang bisa didapat dari tarian yang seharusnya ditarikan oleh seorang wanita kemudian diambil alih oleh seorang lelaki.
Demikiain pula seumpamanya dengan bala suji, yang seharusnya bilah bambunya disulam timbal balik antara kulit bambu (sembilu) dan bagian dagingnya (ampu) yang melambangkan simbol keselarasan hubungan antar manusia lalu kemudian disulam hanya bagian sembilunya saja yang diposisikan di sebelah luar dengan alasan lebih cantik.
Bukankah kemudian kasusnya sama dengan tarian tadi, sama-sama kehilangan makna keagungannya hingga fungsinya pun hanya “sekedar” wadah yang bisa diganti dengan benda lain. Dan masih banyak lagi simbol-simbol kebudayaan yang perlahan mulai ditinggalkan.
Setiap seniman dan budayawan memiliki hak asasi yang sama untuk menciptakan budaya dan tradisi baru, namun hendaknya dalam penciptaan tersebut sudah pula difikirkan akibat dari kebudayaan yang akan diciptakan atau dimodifikasi tersebut dalam pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, setidaknya ada hal positif dalam substansinya dengan budaya tersebut. Setiap manusia memiliki hak masing-masing, namun hak tersebut harus pula bisa menghormati hak orang lain.
Mari berkarya untuk kebudayaan kita, mari kita gali maknanya hingga kitapun dapat memetik hikmah dari apa yang telah diwariskan oleh leluhur kita. Kita sudah kenyang dengan jargon mengembalikan kearifan lokal budaya tradisional namun terkadang kita terlupa, di mana letak kearifan itu tersimpan. Hingga akhirnya kesenian dan kebudayaan kita memang terangkat namun tanpa kualitas hakikat lagi dan ia hanya menjadi sekedar aktifitas festival dan pagelaran namun gagal dalam fungsinya sebagai pengajaran.
Simbol budaya bukan lahir hanya karena kebetulan namun sekali lagi, ada “ussul” (makna : mandar) yang berusaha diselipkan oleh leluhur kita sebagai pesan agar kita tidak lupa akan kodrat kita sebagai manusia.
19/02/2014
SANG PUTRI “YANG MENCAPLOK” SUL-BAR
Keputusan dewan juri yang terdiri dari Ketua Dewan Juri Miss Indonesia 2014, Liliana Tanoesoedibjo, Wulan Tilaar, Ferry Salim, desainer Priyo Oktaviano, dan Miss Indonesia 2012 Ines Putri Tjiptadi memutuskan Maria Esteria Sastrayu Rahajeng sebagai ratu versi Miss Indonesia 2014 sontak membuat beberapa warga Sul-Bar, paling tidak mereka yang menjadi pemerhati budaya Mandar meradang. Meski tidak sedikit juga yang ikut merasa bangga karena ada nama Sulawesi Barat yang tersemat sebab sang putri (katanya) merupakan duta dari Sulawesi Barat. Hal inipun menjadi trending topik dibeberapa media sosial, baik akun perseorangan maupun akun grup khususnya grup Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar yang memang merupakan grup sosial media yang menekunibagian kebudayaan, Mandar khususnya.
Mengangkat atau menjatuhkan?
Sebagian masyarakat merasa bangga dengan sejarah baru dimana untuk pertama kalinya utusan Sulbar menjadi pemenang dalam ajang Miss Indonesia, dan menaruh harapan besar sekiranya sang Putri nantinya dapat menjadi promotor kebudayaan dan mengharumkan nama sulbar. Hingga menjadikan sulawesi barat ikut memiliki nama di pentas dunia dalam hal kebudayaan dan pariwisata.
Lalu pasal apa yang membuat orang-orang Sul-Bar bereaksi?. Dari pengamatan pribadi terhadap diskusi yang menghangat, ada dua hal yang menjadi sorotan masyarakat.
Yang pertama adalah profil kependudukan dari sang putri yang didapat dari seorang teman jurnalis dan sempat pula dimasukkan sebagai data pribadi di sosial media instagram sama sekali tidak menunjukkan bahwa sang putri berasal atau pernah berdomisili di sul-bar. Ini memicu pertanyaan dan kegamangan sebagian masyarakat tentang pemahaman sang putri tentang budaya ke-mandar-an yang notabene merupakan suku asli dan terbesar yang menghuni provinsi Sulawesi Barat.
Yang kedua dan paling parah adalah tampilnya sang putri dengan berbagai pose poto berbikini ria di sebuah pantai, bahkan di blog dan akun instagram miliknya sang putri dengan “pede” memamerkan foto (maaf) BH dan celana dalamnya ( http://www.mariaandelizabeth.blogspot.com/ ).
Rupanya pasal kedua inilah yang lebih menyulut hati dan perasaan sebagian masyarakat pemerhati budaya. Sebab hal demikian tentu sangat jauh dari jargon budaya malaqbiq yang telah diusung oleh leluhur orang mandar sejak ratusan tahun yang lalu. Berbikini adalah produk budaya barat yang kemudian masuk menginvasi budaya ke-timur-an sejalan dengan arus globalisasi dan westernisasi yang mengalir bersama keterbukaan informasi dan transportasi. Inilah yang menjadi perhatian sebagian warga jika sekiranya sang putri yang menyandang nama utusan “Sulawesi barat” akan menciptakan image bagi warga dunia bahwa ternyata orang mandar “merestui” budaya bikini. Apalagi dengan rencana bahwa sang putrilah nanti yng akan mewakili Indonesia dalam ajang Miss Universe berikutnya di London, Inggris.
Lalu?
Dalam menyikapi persoalan selalu ada sikap reaktif dan responsif, terkadang kita terjebak dengan kata yang artinya hampir serupa ini.
Salah seorang prkatisi Ayur Hypnoteraphy yang sering dipanggil dengan nama pak Hento mengatakan, reaktif adalah sikap langsung menanggapi terjadinya suatu keadaan tanpa memikirkan akibat atau solusi lanjutan setelah solusi pertama dijalankan, sedangkan responsif sebaliknya. Beliau menyebut bahwa responsif adalah reaksi yang bertanggung jawab.
Menyikapi hal Miss Sulbar yang kontroversi inipun demikian. Beberapa teman bertindak reaktif dan ingin berunjuk rasa, dan ada pula yang lebih bertindak moderat dengan menggunakan media tulisan di media massa atau artikel lain. Tentu semuanya sah-sah saja, asal jangan saling menyerang sesama pemerhati sendiri sebab tentu hal itu tidak akan menyelesaikan masalah bahkan justru semakin memperkeruh keadaan. Terlepas dari pilihan mana yang dipilih, saya hanya ingin memberi saran agar kiranya yang memilih jalur tindakan “nyata” bisa bertemu dengan fihak terkait untuk mempertanyakan hal ini dan menggugat sang putri dengan gelarnya jika memang menginginkannya. Agar kedepannya, para calon wakil Sulbar bisa mendalami terlebih dahulu budaya yang hendak diwakilinya.
Demikian pula dengan para pihak pemberi ijin agar bisa lebih selektif memilih duta budaya.
Dukungan saya juga tetap untuk teman yang memilih jalur penulisan untuk mewakilkan suaranya, tetaplah meyakini bahwa pena adalah senjata yang tidak kalah tajam dari jambiya.....
Langganan:
Postingan (Atom)
SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA
Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...

-
Bawa di arangan (mellullung kaeng lotong) 2x Mattattangai ToPole Dzi Balitung Apamo puti-putiqna (topole Dzi Balitung) 2x Tuppuang ...