31/01/2014

DEMI CINTA




Menatap jauh ujung cakrawala
Masih ada lembayung di ufuk sana
Menutup indahnya mentari
Mentari muda diawal pagi
Saat hati menatap jauh
Terantuk hati yang meragu


Sungguh.....
Hati ini jauh dari prasangkamu kawan
Tulus seputih kapas
Ingin melihat kuncup itu berkembang
Tak terbatas oleh sekat status
Tak layu terpanggang mentari


Sungguh....
Aku kagum dengan idealismemu
Akupun punya...!
Meski yang kupunya mungkin lebih kecil
Aku bangga dengan usahamu, kawan.....
Akupun punya....!
Mungkin pun tak seberapa.

Sungguh....
Ingin kuteriakkan rasa ini
Hingga gunung kan pecah dan laut bergolak
Namun aku ragu kau kan yakin
Sebab kalbu tak berwujud

Tapi sudahlah, kawan......
Demi cinta dan cita
Biarlah ego ini hancur
Tataqmi tau malewu parriqdiq........

Bendera kita kan tetap terjaga
Meski berkibar di tiang rapuh
Panji kita kan tetap gagah
Sabaq siriq disiolai.....



Kappung jawa, 310114




30/01/2014

LELAKI SANDEQ

Sendiri tapaki gelombang
Menantang badai kehidupan
Menguak cakrawala bertabir kabut


Biru laut pendam rahasia takdir
Biru langit gantungkan harapan
Dalam kesendirian hati sisakan pilu
Terombang ambing serupa sandeq


Kerjap mata garang menerawang
Intai harap dibalik langit
Merengkuh abad yang kian biadab


Inilah dia sang lelaki zaman
Kepalkan tangan tiada gentar
Laksana nahkoda di ujung haluan
Mengantar hingga paccong mencium asa



======================
Tumpiling,2208130843.
Zulfihadi. Catatan di tahun ke 33






MENYIKAPI BUDAYA SECARA BIJAK

Beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan semakin gencar masuknya budaya luar yang masuk ke dalam negeri kita. Dimana akibatnya yang sangat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung adalah penurunan nilai moral dan etika kesusilaan yang dilakukan berbagai kalangan. Sejak dari rakyat biasa hingga pejabat, dari anak usia sekolah hingga manula yang sudah bau tanah kadang masih saja terlibat dengan perbuatan tak beradab.

Entah oleh desakan para budayawan atau karena kesadaran yang lahir dari jiwa para pemangku jabatan pemerintahan, maka penggiatan dan pelestarian budaya seolah menjadi sebuah euforia yang dalam beberapa pelaksanaannya kemudian justru terlepas dari pakem yang seharusnya. Sehingga budaya tradisional yang seharusnya menjadi sumber kearifan lokal justru bisa menjadi hal yang pelaksanaannya dibenci karena dianggap sebuah penindasan.
Sebut saja pemecahan rekor MURI untuk pembuatan kain sutera terpanjang beberapa waktu lalu yang dianggap oleh beberapa teman sebagai kegiatan yang tidak berakar dari kenyataan nyata di lapangan, dimana kita membanggakan daerah kita sebagai penghasil kain sutera terbaik padahal dimasyarakat, penenun malah lebih banyak menggunakan sutera imitasi karena memproduksi kain tenun sutera asli terasa begitu berat dan pemasarannya pun terbatas karena harga yang begitu tinggi.

Lalu masih tentang pemecahan rekor MURI untuk kategori kuda menari atau saeyyang pattuqduq terbanyak yang memang tidak sesuai aturan atau pakemnya dimana seharusnya pessawe adalah mereka yang sudah khatam Al-Qur’an.
Selain itu disela-sela pelaksanaan parade, nampak pula salah satu rombongan yang membawa perlengkapan balasuji yang sangat-sangat tidak sesuai dengan aturan dan tata cara pembuatannya. Sehingga hanya karena terbuat dari bilah bambu yang disulam segi empat saja yang membuat orang-orang tau kalau itu namanya balasuji. Sementara dari segi nilai, sungguh sangat hambar karena tidak menyimbolkan apapun.

Yang terakhir, ketika hari ini (Minggu,29 Desember 2013) salah seorang teman memberi informasi dan sebuah foto tentang pegawai SPBU Polewali yang menggunakan pakaian adat mandar dalam bertugas melayani pelanggan. Dalam fikiran saya bahwa karyawan SPBU ini tentu menggunakan pakaian adat karena perintah atasan dan bukan kemauan sendiri, apalagi ini masih dalam rangka memeriahkan ulang tahun Polewali Mandar. Bisa dibayangkan bagaimana repot dan gerahnya para karyawan yang menggunakan beskap (jas tutup) berdiri melayani pelanggan selama berjam-jam belum lagi jika panas matahari ikut menyengat. Tentu tidak kalah susahnya bagi karyawati yang diharuskan menggunakan sanggul, gallang balleq dan aksesories pakaian adat lainya. Apakah pemilik SPBU tersebut tidak berfikir manusiawi sehingga rela memperlakukan karyawan dan karyawatinya seperti itu demi sebuah kalimat “mangakuaq Polman” (saya akui Polman).

Budaya seharusnya dinilai secara bijak sebagaimana budaya itu sendiri selalu mengajarkan tentang kebijakan dan kebajikan meski hanya lewat sebuah simbol. Agar generasi muda nantinya betul-betul bisa menyatu dengan budayanya dan melaksanakannya dengan penuh keikhlasan. Bukan hanya karena perintah atasan atau adanya iming-iming tip tambahan. Sebab tentu yang kita inginkan adalah bagaimana agar budaya itu menjadi pembendung adanya pengaruh negatif yang dibawa oleh budaya luar yang tidak sesuai dengan adat ketimuran yang mengedepankan sopan santun atau dalam bahasa lokal dinyatakan sebagai sikap sipakatau, siparaya.
Pemerintah Polewali Mandar yang diakui sebagai kabupaten yang begitu sering melaksanakan event-event budaya seharusnya bisa mengajak para budayawan untuk duduk bersama dalam setiap event yang akan diadakan. Agar para budayawan bisa memberi masukan bagaimana seharusnya memperlakukan budaya.
Betapa senang dan semangatnya anak-anak mandar untuk pergi mengaji, jika menunggangi kuda pattuqduq diberikan secara istimewa hanya bagi mereka yang telah khatam Qur’an.
Betapa mesranya hubungan sesama masyarakat dan hubungan rakyat dengan pemerintah jika balasuji bisa menghadirkan simbol keselarasan pemerintahan yang mana kemudian disertai dengan pemahaman oleh segenap penghuni negeri. Meskipun pada dasarnya hal itu juga tidak bisa menjamin, namun setidaknya ada usaha untuk memperbaiki kualitas masyarakat yang dalam realitanya semakin hari semakin terpuruk karena mulai kehilangan identitas budayanya. Jika saja pelestarian budaya berangkat dari hati yang ikhlas, lalu dijalankan dengan ikhlas maka insya allah hasil yang didapatpun akan melebihi dari pada apa yang diharapkan.
Semoga dengan hadirnya tulisan ini, kita bisa sama-sama belajar untuk terus menggali pesan-pesan kebijakan dan kebajikan yang diwariskan leluhur kita. Dan tidak sekedar melaksanakannya secara serampangan hanya untuk sebuah gelar yang bernama rekor yang justru kemudian malah menenggelamkan arti dan nilai kearifan warisan leluhur.





29/01/2014

MERAH PUTIH YANG TERCABIK

Indonesia zamrut khatulistiwa
Negeri warisan para raja
Wujud dalam sukma merah putih
Dekap hangat anak negeri

Dari laut terdengar seruannya
Di gunung menggema gaungnya
Seolah bisikkan sabda
Teguh kokohkan negeri ini

Perlahan surya sadarkan aku
Mungkinkah amanah kan tertunai
Sedang aroma angin membawa resah
Sungai sampah meliuk membawa sesak

Tatap buas serigala asing
Siap koyak kandungan ibu pertiwi
Kawanan tikus pun tak tinggal diam
Berebut harta korup di sudut sudut gudang

Di bibir pantai teluk mandar
Kuukir tekad di batu karang
Sebait pinta kugoreskan
Jangan cabik merah putihku



Zulfihadi
Wonomulyo, 111113.




17/01/2014

MANUSIA, SEJARAH DAN BUDAYA MANDAR

Manusia adalah mahkluk sosial yang dalam kehidupannya selalu hidup dalam satu komunitas dimana satu individu memiliki ketergantungan dengan individu lainnya. Dan awal kehidupan manusia sendiri sudah dimulai berabad-abad yang lampau. Dalam setiap aktifitas individu inilah yang sering dinilai oleh individu lain di dalam kelompok, tentang baik dan buruknya. Aktifitas yang menurut mereka baiklah yang kemudian dipraktekkan di dalam kelompok hingga terbentuk sebuah budaya.


Apakah budaya itu?. Tiga kata berbeda yg menjadi judul tulisan ini memiliki keterkaitan erat, kenapa saya katakan demikian karena manusia adalah pencipta budaya yang kemudian terekam oleh sejarah untuk kemudian seyogyanya menjadi pedoman dan pengingat dalam berinteraksi di dalam masyarakat. Sehingga dengan demikian, manusia, budaya dan sejarah ini otomatis tidak dapat dipisah dan berdiri sendiri. Budaya menurut arti bahasa terdiri dari dua kata yakni “budi” dan “daya”. Budi adalah moralitas, akhlaq, atau tingkah laku manusia yang baik. Sedangkan daya adalah kemampuan. Maka jika digabungkan dan diartikan secara luas, bahwa budaya adalah kemampuan sebuah komunitas untuk menciptakan sebuah pengajaran yang bermakna kepada generasi penerusnya. Berisi pelajaran etika dan spiritual yang dibungkus baik barupa ritual, permainan maupun benda yang aturan pemakaiannya kemudian disepakati oleh semua atau sebagian besar anggota komunitas.


Seberapa pentingkah belajar sejarah dan budaya?. Sebagaimana yang telah saya singgung diatas, bahwa budaya berisikan pelajaran maka tentunya ini sangat penting untuk dipelajari. Dengan mempelajari sejarah dan budaya, kita tidak akan kehilangan jati diri, dan hanya mengaku sebagai bagian dari komunitas yang memiliki budaya luhur tanpa tahu sampai dimana keluhuran atau budaya apa saja yang dimiliki komunitas kita serta bagaimana sejarah mencatatnya. Dan jika kita membaca sejarah tentang penaklukan dan penjajahan sebuah bangsa terhadap bangsa lain, ada yang menarik untuk dicermati yaitu usaha si penakluk untuk menghapus budaya dan sejarah bangsa taklukannya dengan jalan menghancurkan bukti budaya atau menulis sejarah baru untuk dicekokkan kedalam otak generasi muda bangsa taklukannya. Dengan demikian bangsa taklukan tersebut akan terus merasa inferior dan pesimis karena tidak tahu bahwa sebenarnya leluhur mereka adalah bangsa yang berani, kuat dan terhormat.

Ada yang penting dalam belajar sejarah dan budaya bangsa kita yaitu kesediaan kita untuk menepiskan keegoan, dan etnosentris (kesukuan) sebab untuk mencari fakta sejarah tidak jarang kita harus menyandingkan sejarah bangsa kita dengan sejarah bangsa lain yang terkadang menyakitkan untuk diketahui namun harus dipelajari. Hal lain yang perlu dimiliki dalam belajar sejarah dan budaya kita adalah ketekunan dan terkadang daya imajinasi untuk merasakan dan membayangkan peristiwa yang terjadi dimasa lalu serta mengkait tautkan sejarah orang lain dengan sejarah kita.
Dan inilah barangkali yang menjadi faktor yang membuat remaja dan pemuda sekarang terkadang malas mempelajari budaya, dimana kondisi darah muda yang emosional terkadang sulit untuk ditaklukkan.


Lalu bagaimana dengan Mandar sekarang?
Berbicara tentang Mandar yang sekarang, tentu harus dimulai dari kehidupan manusia yang paling awal menghuni wilayah ini hingga membentuk komunitas dan budaya seperti yang kita lihat sekarang meskipun sudah banyak yang tidak nampak lagi baik karena alasan agama, hukum atau usaha penghapusan yang telah dilakukan oleh penjajah. Manusia awal yang saya maksud di sini tentu saja To Manurung seperti yang diceritakan di dalam Lontaraq Pattaudioloang, lalu masuk keperiode to makaka, kemudian masuk periode mara’dia dan berlanjut keperiode perang kemerdekaan dan berakhir pada mandar dikekinian. Untuk sejarah mandar sendiri, masih sangat sedikit sekali literatur yang mengupas hal itu. Dalam mengkaji sebuah sejarah, terkadang kita terperangkap dengan keharusan adanya bukti tertulis yang langsung menunjukkan fakta sejarah. Terkadang kita mengacuhkan cerita rakyat/ budaya tutur dan tidak berusaha mencari benang merah dari bahasa tutur itu dengan fakta sejarah. Sementara di sisi lain kita tau bahwa leluhur kita sudah ada sebelum budaya menulis dimulai.
Budaya Mandar sendiri demikian kaya dan meliputi berbagai aspek siklus hidup manusia mulai dari kelahiran, ritual kehidupan hingga kematian. Namun karena alasan kepraktisan dan efisiensi, maka beberapa budaya tradisionalpun pada gilirannya mengalami pergeseran baik model pelaksanaan maupun sehingga kemudian mempengaruhi sisi nilainya.
Mengkaji dan mengangkat budaya tradisional pada dasarnya bertujuan untuk menggali nilai-nilai kearifan lokal untuk kita terapkan dalam kehidupan keseharian pribadi, keluarga dan komunitas kita. sangat salah ketika pengkajian itu kemudian justru menumbuhkan chauvinisme dan rasa etnosentris kita sehingga membuat kita merasa bahwa hanya suku kita yang terhebat, terjago atau termulia. untuk masalah kehebatan dan kemuliaan, tak ada perbedaan antara yang bugis, yang jawa, yang mandar, yang makassar, yang papua, yang maluku, yang manado, dan semua suku lain di Nusantara bahkan di dunia ini.
Ayo semua luluareq/saudaraku, mulailah pelajari sejarah dan budaya kita sebelum sejarah dan budaya itu hilang dan tersembunyi.




12/01/2014

CERITA DARI ARENA LOMBA PEMBUATAN KERIS

Pada tanggal 30 Desember 2013 lalu di desa Pamboqborang, kelurahan Baru, kecamatan Banggae, kab. Majene berlangsung sebuah lomba yang cukup unik yaitu lomba pembuatan keris. Pamboqborang memang sudah lama dikenal sebagai sentra pembuatan senjata logam seperti keris, badik atau tombak ataupun juga peralatan pertanian seperti sabit, parang dan sebagainya. Berbekal sebuah pertanyaan yang selalu mengganjal di benak saya tentang nama seni pengetahuan tentang senjata tajam di mandar, saya berusaha hadir dan berinteraksi langsung dengan para pandai besi di desa itu. Untuk kali ini karena lombanya adalah pembuatan keris, maka sedikit akan kita kupas tentang keris.

Dalam lomba ini, panitia membekali peserta yang terdiri dari satu tim pandai besi dengan besi baja seberat 500 gram atau ½ kg. Besi itulah yang harus ditempa dan diolah menjadi sebuah keris berlekuk dengan panjang 30 Cm. atau lebih namun tak boleh kurang dari 30 Cm. dan bahan logam yang disediakan tersebut tidak boleh ditambah atau dicampur dengan logam lain dan harus selesai dalam waktu sehari.

Dalam proses pembuatan keris oleh peserta, logam tadi dipanaskan dan ditempa hingga berbentuk keris kasar. Proses penempaannya dilakukan dengan teknik khusus agar bisa membentuk urat besi yang akan menjadi motif “alami” pada bagian bilah, serta pem”baraq”an. Setelah terbentuk keris kemudian dihaluskan dengan gerinda atau kikir, dalam proses penghalusan ini pula kemudian ditambah dengan memberikan ukiran, “kanuku”, tumba layar, serta pemasangan “kancingan” yg dibuat terpisah dengan keris. Setelah proses penghalusan selesai, keris tersebut kemudian direndam beberapa lama dalam larutan asam. Perendaman atau dikenal dengan istilah “mattombang” ini berfungsi untuk menonjolkan urat besi yang telah terbentuk dari proses penempaan tadi. Perendaman dengan cairan asam ini tidak boleh terlalu lama sebab justru bisa merusak bilah keris.
Sebagaimana di daerah lain, di Mandar juga dikenal dua jenis keris atau gayang yaitu gayang lekkong (keris luk) dan sapukala (keris yang bentuknya lurus). Mengenai kedua jenis keris ini, ada ussul yang sempat kami dengar dari warga di sana bahwa gayang lekkong (keris luk) cocoknya untuk mereka yang memiliki rambut ikal atau keriting. Sedang sapukala cocoknya untuk mereka yang berambut lurus. Namun tak ada keterangan yang saya dapat kenapa mesti seperti itu.
Menurut salah seorang pandai besi yang ikut menjadi peserta dalam lomba ini, bahwa hasil keris yang dilombakan sebenarnya jauh dari hasil sempurna yang bisa dilakukan. Ini terjadi karena kurangnya bahan yang disediakan oleh panitia sehingga pandai besi tidak bisa melakukan penempaan dengan teknik lipat untuk menghasilkan urat besi yang lebih indah. Menurutnya, untuk membuat keris dengan kualitas baik setidaknya dibutuhkan logam baja seberat 2 Kg. serta sempitnya waktu pembuatan. Masih menurut beliau, bahwa para pandai besi jaman dahulu tidak menggunakan cairan asam kimia untuk “mattombang” keris, namun menggunakan cairan asam alami yang berasal dari air perasan jeruk nipis sehingga proses “mattombangnya”pun memakan waktu hingga berbulan-bulan.
Ada beberapa istilah untuk bagian-bagian keris yang ada di Mandar sebagai berikut:
1.Parewa : meliputi kelengkapan keris dari guma dan pulu.
2.Guma : sarung keris / warangka.
3.Pulu : gagang keris
4.Kancingan : bagian yang terdapat diantara pangkal keris dengan gagang.
5.Kanuku : bagian pangkal keris yang dibuat melengkung
6.Tumba layar : ornamen yang dipahatkan pada bagian pangkal keris.
7.Uraq bassi : alur-alur besi yang muncul dipermukaan bilah keris karena proses penempaan.
8.Pammor : guratan terang pada bilah senjata dari logam yang muncul akibat pencampuran dua atau lebih material logam yang berbeda.
9.Baraq : proses pembajaan pada senjata. Biasanya kadar baja pada bagian tepi yang tajam lebih tinggi dari pada bagian tengah, sehingga bagian sisi yang tajam lebih keras.
10.Mattombang : proses perendaman dengan cairan asam untuk membersihkan karat dan menonjolkan urat besi.
11.Ati : bagian keris yang masuk ke dalam pulu, agar pulu dan keris menyatu.






11/01/2014

KISAH PANETTE DAN LIPAq SAqBE

Sayup suara panette lambungkan rasa
Mengalirkan kidung-kidung syahdu labirin hati
Melukis kagum kesabaran

Kerentaan jari-jemari tua penuh lelah
Perkasa mengitung asa dan karya
Menggambar makna kesetiaan

Sepasang mata memandang lekat
Menyusuri helai saqbe terhalus
Itulah arti sebuah kekuatan

Senyum terulas di sudut bibir keriput
Menampak liukan eksotis bidadari di lautan sureq
Menyapa setiap titik keindahan seni

Lipaq saqbe, lipaq to dziolo
Membalut indah dalam wibawa
Mengantar mandar ke panggung mayapada

Lipaq saqbe, lipaq keramat
Indah kuat pemberi hangat
Pelidung siriq para Maraqdia



Zulfihadi
Tumpiling, 050813280934 11.13


=================================
Lipaq saqbe : sarung sutera khas Mandar
Panette : penenun kain.
Sureq : corak ragam pada sarung sutera mandar.
To dziolo : To=orang. Dziolo = dulu/leluhur
Maraqdia: gelar raja pada suku mandar.




HIDUP TANPA KOMA

Siang malam
Suka duka
Senang susah
Sehat sakit
Senyum sedih
Inilah hidup tanpa koma
Hanya menanti titik



Zul Elang Biru
Tumpiling, 1209130628




ELEGI SAYANG-SAYANG

Lekuk tubuh tersantap zaman
tak surutkan asa dan juang
mengalunkan melodi langit

Sayup sampai koqbi gitarmu
seirama alunan sayang sayang diashar allo
menjejak sukma, redamkan batin

Sepasang telinga tak ingin lepas
Memaku rasa di larutan syairmu
Tenangkan hati gundah gulana

Gegap gempita di sudut pesanggerahan
tak terkalahkan alunan sastera kalbu
mendayu, hingga malam menjemput surya

Hati terdiam seolah mengibas
Alunan memukau yang kian lamat
Berharap karyamu tetap lestari.


Rosmawati Mahmud / Zulfihadi
Pamboqborang, 130813061034,11.13



================================
Terjemahan bahasa mandar dalam puisi:
1. Koqbiq-koqbiq = irama petikan kecapi atau gitar.
2. Sayang-sayang = salah satu seni suara khas Mandar yang menggunakan gitar sebagai alat musik.
3. Ashar allo = sebutan orang mandar untuk menggambarkan waktu sore hari.

TEMBANG CINTA SEORANG BATUA

Kupendar pandang di balik rumpun semak
Kudapati indah kelopak beruq-beruq
Bersih, tak tersentuh nafsu kefanaan.

Setetes embun perlahan jatuh menetes dari tangkainya
Membawa kesejukan menyentuh qalbu
Memadam api gundah serakah

Sejak rasa terpatri kuat
Menggoyang hati kian meresah
Hingga ujung malam tak bertepi

Namun cinta tak seindah harap
Hanya menyisa sakit tepian hati
Bagai gayang menghujam dalam.

Engkaulah sang beruq-beruq
Suci murni bertahtakan anggun
Tercucuri darah puang agung

Aku hanya tumpukan onak di bawah tangkaimu
Terbuang, terhina mereka yang menginjak
Berharap tak pernah lahir untuk menempel di telapak kaki mereka.

Saat kelompok bittoeng dendangkan kelam
Ketika mentari merayu sang malam
Seketika tersentak hati dan raga, jika cinta sang batua takkan lestari....


Tumpiling, 050813270934,0141


============================================
Keterangan kata-kata mandar:
1. Gayang : sebutan orang mandar untuk keris.
2. Beruq-beruq : bunga melati
3. Puang : sapaan buat bangsawan mandar/orang yg dihormati
4. Bittoeng: bintang
5. Batua: hamba sahaya, (istilah ini ada pada jaman kerajaan Mandar dahulu, namun sekarang sudah dihapuskan karena alasan HAM dan kemanusiaan)

BERKENALAN DENGAN PAKKONGTAU, ALIRAN SILAT PENDEKAR MANDAR.

   Ilmu bela diri adalah sebuah kebudayaan yang sudah sangat tua, bukti tertua yang ditemukan adalah adanya relief pada dinding candi Prambanan dan Borobudur yang memperlihatkan gambar dua orang yang sedang berkelahi dengan menggunakan jurus. Ilmu bela diri pada jaman dahulu tidak bisa dilepaskan dari kehidupan seorang lelaki yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi diri, keluarga dan komunitasnya. Hal ini terjadi karena dipicu oleh keadaan yang masih akrab dengan kekerasan yang didasari oleh persaingan dalam mencari wilayah pemukiman atau kebutuhan akan makanan, belum lagi banyaknya binatang buas yang masih berkeliaran dan menuntut seseorang untuk memiliki kemampuan pertahanan diri. Di nusantara sendiri Ilmu Bela diri akrab disebut sebagai pencak silat atau hanya disebut silat dan sekarang diorganisisir oleh lembaga Ikatan Pencak Silat Indonesia atau disingkat IPSI. Dalam membuat gerakan atau jurus, pendekar silat pada awalnya kebanyakan mengadopsi gerakan-gerakan binatang seperti harimau, burung bangau, elang/garuda, ular, belalang, atau monyet.

   Di lita’ mandar (tanah mandar) sendiri yang diketahui pernah menjadi tempat berdirinya beberapa kerajaan pada jaman dulu, kepemilikan ilmu bela diri tidak bisa dipisahkan dari masyarakatnya yang dikenal memiliki temperamen keras. Sehingga kemudian berkembang sebuah aliran pencak silat yang dikenal dengan nama Pakkongtau yaitu gerakan silat yang dilakukan dengan menggunakan jurus-jurus tangan kosong. Tidak diketahui bahwa siapa orang yang pertama kali membawa aliran silat ini ke mandar. Namun dari hasil analisa penulis tentang nama pakkongtau bahwa nama ini berasal dari bahasa mandar serapan, Pa biasanya digunakan untuk menyebut subjek atau orang yang melakukan ( contohnya: patte’i anjoro = pemanjat kelapa, panette=penenun, dst.), dan kottau.

   Untuk kottau sendiri menurut analisa penulis merupakan adaptasi ucapan dari kung tao, dengan demikian pakkongtau bisa diartikan sebagai pelaku kung tao. Kung Tao adalah seni bela diri asal China yang berkembang sekitar tahun 1800an. Sementara hasil diskusi dengan pelaku pakkongtau di kecamatan Alu pada sebuah kesempatan kunjungan penulis ke daerah itu juga menegaskan bahwa aliran silat ini dibawa oleh orang China, namun sayang beliau juga tidak tahu kapan dan siapa orang yang membawanya ke mandar.

   Rasa penasaran ini yang membuat penulis iseng-iseng melakukan browsing google dan menemukan sejarah gelombang kedatangan orang china dari bangsa Hokkian ke nusantara sekitar abad ke 16 untuk berdagang, dan mereka sempat mendominasi perdagangan pala dan cengkeh di Ambon dan Tidore. Bangsa Hokkian ini dikenal sebagai bangsa pemberani dan perantaunya China, dan dalam perjalanan dari Ambon atau Tidore mereka selalu melewati pesisir pulau Sulawesi. Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya interaksi antara orang Hokkian ini dengan masyarakat pesisir bagian selatan dan barat Sulawesi, dan kemungkinan dengan interaksi inilah masyarakat pesisir mengenal Kung Tao.

       Meskipun sudah mengalami modifikasi gerakan dengan memasukkan gerakan dinamis dan lentur, namun dasar-dasar gerakan dari pakkongtau yang ada di mandar dengan Kung tao yang masih lestari di China sekarang masih memiliki kemiripan dalam kuda-kuda, langkah dan daya serang yang terfokus pada kepalan tangan. Sementara untuk tendangan ditiadakan dan lebih fokus pada gerakan langkah, sehingga aliran silat menjadi lebih efektif digunakan pada pertarungan jarak dekat.

    Namun demikian, anda jangan berfikir bahwa akan mudah menaklukkan pendekar pakkongtau ini dengan teknik pertarungan jarak jauh. Sebab gerakan langkahnya yang cepat serta tangkapannya yang khas dapat menutupi kelemahannya, dan sekali anggota tubuh anda tertangkap maka anda akan kesulitan untuk lepas dari kuncian atau kalaupun tidak tertangkap maka dijamin tubuh anda akan terkena pukulan beruntun.
 
   Menurut pengamatan penulis, selain jurus, dalam pakkongtau dikenal beberapa gerakan seperti bunga dan kuncian. Bunga adalah beberapa rangkaian gerakan awal yang bertujuan untuk menggertak lawan, dan mengincar titik lemah dari pertahanan lawan.
Kuncian adalah teknik untuk melumpuhkan lawan agar tidak berdaya, tidak dapat bergerak, atau untuk melucuti senjata musuh. Kuncian melibatkan gerakan menghindar, tipuan, dan gerakan cepat yang biasanya mengincar pergelangan tangan, lengan, leher, dagu, atau bahu musuh.

Terdapat 4 aspek utama dalam pakkongtau, yaitu:
   Aspek Mental Spiritual: Pakkongtau membangun dan mengembangkan kepribadian dan karakter mulia seseorang. Para pendekar dan maha guru pakkongtau zaman dahulu seringkali harus melewati tahapan semadi, tapa, atau aspek kebatinan lain untuk mencapai tingkat tertinggi keilmuannya.
     Aspek Seni Budaya: Budaya dan permainan "seni" pakkongtau/macca’ ialah salah satu aspek yang sangat penting. Istilah Pencak pada umumnya menggambarkan bentuk seni tarian pencak silat, dengan musik dan busana tradisional.
    Aspek Bela Diri: Kepercayaan dan ketekunan diri ialah sangat penting dalam menguasai ilmu bela diri dalam pencak silat. Istilah macca’, cenderung menekankan pada aspek kemampuan teknis bela diri pencak silat.
    Aspek Olah Raga: Ini berarti bahwa aspek fisik dalam pencak silat ialah penting. Pammacca’ mencoba menyesuaikan pikiran dengan olah tubuh.

     Sayang keberadaan silat ini sepertinya sudah kurang diminati, kalangan anak muda lebih suka belajar karate daripada pakkongtau. Semoga ke depannya, budaya silat ini bisa kembali menghadirkan pendekar-pendekar muda dari tanah mandar.
Sumber tulisan:
1. The Malay Art Of Self-defense: Silat Seni Gayong (2005) ditulis oleh Sheikh Shamsuddin
2. Terjemahan buku Weapons and fighting arts of Indonesia (1992). Ditulis oleh Donn F. Draeger
3. Diskusi langsung dengan pelaku pakkongtau di desa Mombi kec. Alu
4. Wikipedia indonesia

ALU, sebutir mutiara terpendam di Sulawesi Barat.

Kaka tuo Alu, kaka oro Balanipa. Sebuah kalimat penegas yang menggambarkan eratnya hubungan Alu dan Balanipa. Terjaga apik di balik pegunungan dan lika-liku jalan yang mengular, tersebutlah sebuah daerah asri yang memendam kesejarahan dan kebudayaan nan memikat. Itulah Alu, sebuah kecamatan hasil pemekaran dari kecamatan Tutallu. Dalam riwayat disebutkan bahwa Alu adalah sebuah Arayang (kerajaan) yang tidak masuk dalam konfederasi Pitu ulunna salu, pitu ba’bana binanga. Alu adalah salah satu kerajaan netral yang disebut Tiparttiqna wai dan dahulunya memiliki wilayah yang berbatasan dengan Batu-batu (majene), Sendana dan Campalagian, bahkan labih lanjut dikatakan sebagai kerajaan yang dituakan dari anggota konfederasi Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babbana Binanga. Itulah salah satu sebab kenapa di kerajaan Alu tidak dikenal gelar “DAENG” untuk menyebut bangsawan dari luar wilayah Alu, bahkan dipertegas oleh ucap-ucap yang mengatakan “ muaq diang allewuang, annaq andiang-i gannaq Pitu Ulunna Salu, Alu manggannaq-i. Muaq andiangi gannaq pitu Babbana Binanga, Alu manggannaq-i. Na ia mua gannaq-i Pitu Ulunna Salu annaq Pitu Babbana Binanga, manjari kamaq-i Alu”. ( kalau ada permusyawaratan dan tidak dihadiri salah satu kerajaan dari Pitu Ulunna Salu, maka Alu yang menggenapi. Atau jika salah satu kerajaan dari Babbana binanga ada yang tidak hadir, maka Alu pula yang menggenapi. Namun jika semua kerajaan pitu Ulunna Salu dan Pitu Babbana Binanga hadir lengkap, maka menjadi bapaklah Alu). Sehingga gelar raja di Alu dikenal dengan Arayang Alu dan bukan Maraqdia Alu, dan tidaklah afdhal sebuah penobatan maraqdia Balanipa tanpa kehadiran Arayang Alu. Menyimak pembicaraan pejabat sementara Paqbicara Kaiyyang Arayang Alu (Paqbicara Kayyang sendiri telah meninggal beberapa tahun yang lalu dan belum dilakukan pelantikan pejabat Paqbicara Kayyang yang baru. pen), bahwa kerajaan Alu dipimpin oleh Arayang pertama yang bernama I Saranggiang. Pada jaman kerajaan Balanipa, ada sebuah kejadian ketika Tomakaka Sajoang mencoba menentang kerajaan Balanipa. Namun karena merasa sebagai satu darah, maka Maraqdia Balanipa mencoba menempuh jalan kekeluargaan dengan menawarkan wilayah atau harta kepada Tomakaka Sajoang. Dikatakan oleh Maraqdia Balanipa, soqnaimo Balanipa ma’ala jaqbaq na, Sajoang ma’ala jangan-jangan na’’ ( biarlah bagian balanipa sangkarnya dan bagian Sajoang merpatinya/ jika diartikan, maka Balanipa memberikan tanahnya agar diisi dengan orang Sajoang. pen). Namun kedua pilihan itu ditolak oleh Tomakaka Sajoan, sehingga Maraqdia Balanipa meminta pertimbangan kepada Arayang Alu. Oleh Arayang Alu I Saranggiang, diundangnyalah Tomakaka Sajoang untuk minum arak. Maka datanglah To Makaka Sajoan untuk memenuhi undangan Arayang Alu yang sekiranya jamuan tersebut akan diadakan pada sebuah tempat di wilayah desa Mombi sekarang. Ketika Tomakaka Sajoan mulai menenggak minuman arak dari bumbung bambu, maka berkatalah Arayang Alu “ tania bassa iting mua to barani mandundu, bassai tia dzie” (bukan begitu cara orang berani minum, tapi begini caranya. Pen.) sambil ditebasnya ujung bumbung dengan parang hingga ujung bumbung arak itu menjadi runcing dan araknya ditenggak langsung oleh Arayang Alu. Setelah Arayang Alu, maka tiba juga giliran Tomakaka Sajoang menenggak arak dari bumbung tadi. Dan begitu bumbung bambu itu menempel di bibir Tomakaka Sajoang, tiba-tiba Arayang Alu memukul ujung lain dari bumbung bambu itu hingga menusuk mulut Tomakaka Sajoan hingga tembus ketengkuknya. Maka sejak saat itu, disebutlah tempat perjamuan itu sebagai “Tettengbulo” yang artinya bambu yang dipukul (ujungnya, Pen.). Di kecamatan Alu juga terdapat situs sejarah berupa kompleks makam yang biasa disebut “kuqbur kota”. Di dalam kompleks ini terdapat dua makam bersejarah yaitu makam dari Maraqdia malolo Banggae Ammana Pattolawali, seorang pahlawan besar yang gugur secara tragis dengan ditarik anggota tubuhnya hingga lepas dan tewas. Selain makam Ammana Pattolawali, terdapat juga makam yang disakralkan oleh warga setempat yaitu makam I Daeng ta. Beliau adalah Maraqdia Balanipa ke IV dan beliaulah yang pertama menuntut ilmu hingga ke Aceh dan ke Mekah sehingga pada saat meninggal beliau mendapat gelar anumerta To Mapute Ceraqna, Matindo Di Sambayang na. Maka sungguh tidak mengherankan jika di beberapa kompleks pekuburan tua seperti Ondongan, Salabose, Pamboqborang, termasuk makam beliau memiliki ornamen makam yang mirip dengan ornamen makam dari Aceh.
Kompleks makam Ammana Pattolawali
Makam I Daetta Tommuane, Maraddia Balanipa ke IV Lembaga adat di kecamatan Alu juga masih menyimpan beberapa artefak sejarah penting, seperti naskah lontara, gong arayang dan beberapa lagi yang lain. Namun untuk saat ini semua benda bersejarah itu tersimpan di atas bukit yang agak jauh dari pemukiman penduduk sehingga cukup sulit jika kita hendak melihat langsung keberadaan benda itu. Sehingga sempat tercetus gagasan yang disampaikan oleh pejabat sementara Pa’bicara Kayyang arayang Alu untuk membuat sebuah rumah adat yang sekirnya dapat menjadi tempat penyimpanan benda-benda Arayang. Besar harapan beliau agar sekiranya ada pihak yang dapat membantu terwujudnya cita-cita tersebut, mungkinkah ada perhatian dari pemerintah?. Apakah hanya itu yang bisa disuguhkan saat berkunjung ke Alu?, tentu saja tidak. Selain sejarah dan sajian pemandangan wilayah pegunungan yang asri, di Alu juga terdapat beberapa komunitas seni tradisional. Mulai dari komunitas parrawana, passayang sayang, komunitas gambus serta beberapa masyarakat yang memelihara dan melatih saeyyang pattu’du’. Semua menjanjikan pengalaman berwisata yang unik dan fantastis. Belum lagi wisata kulinernya yang menawarkan sensasi rasa yang mengundang selera. Semua menunggu kepedulian dari pemuda dan pemerintah agar permata terpendam ini dapat digosok hingga mengkilap, dengan demikian cahayanya dapat meramaikan koleksi mutu manikam nusantara Indonesia jaya. Sumber dari tulisan ini adalah dialog langsung penulis dengan pejabat sementara Pa’bicara kayyang Arayang Alu dan pertemuan langsung dengan bapak kepala desa Mombi, serta beberapa komunitas seni tradisional di kecamatan Alu dalam sebuah perjalanan wisata budaya.
Penulis bersama Paqbicara Kaiyyang Arayang Alu

MENAPAK JEJAK SEKEPING SYURGA DI TEPIAN JURANG.

Pukul 09.00, saat kaki-kaki si Beaty (si Beaty adalah kendaraan penulis, berupa sepeda motor Honda Beat) mulai berputar membawa tubuhku dan pangeran kecilku kerumah teman yang menjadi titik berkumpul untuk trip kali ini di kecamatan Tapango. Yah, sesuai kesepakatan sebelumnya bahwa pukul 09.30 kami para member Kompa dansa mandar wilayah Polman akan melihat keindahan Limbong kamandang yang konon sangat indah dan asri.

Setiba di titik pertemuan dan telah istirahat serta disuguhi teh hangat oleh teman yang menjadi tuan rumah, pukul 10.10 perjalanan ke Limbong kamandang pun dimulai dengan mengendarai 5 kendaraan roda dua. Dari keterangan guide kami, bahwa jarak dari pusat kota kecamatan Tapango ke lokasi berjarak sekitar kurang lebih 4 Km. Setelah melewati pemungkiman penduduk, hamparan sawah yang tidak begitu luas dengan sedikit teknik terasering mengganti mengawal perjalanan kami saat memasuki desa Riso kecamatan Tapango.
Menjelang desa Kalimbua, pendakian sudah mulai terasa lebih curam. Kondisi jalan berbatu dan cor beton bergantian menjadi alas roda-roda kendaraan kami, ditambah sudut kemiringan yang kian terjal dengan perkiraan saya bahwa kecuraman tapak jalan ada yang mencapai sudut 40⁰ - 45⁰ dengan tikungan tajam dibeberapa titik sedikit menyentil adrenalin berkendara.

Ada yang unik di desa Kalimbua ini, dimana beberapa rumah memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan mengalirkannya dari mata air di pegunungan melalui selang-selang palstik hingga masuk ke dalam rumah mereka. Selang – selang plastik ini melintang di atas jalan hingga sepintas lalu mirip dengan jaringan kabel listrik PLN.
Memasuki desa Kurra, jalan masih mendaki dengan kondisi jalan beton dan jalan tanah yang cukup licin dilalui saat kondisi basah. Salah seorang peserta trip terpaksa memarkir kendaraannya karena tidak sanggup lagi menjadi joki dan terpaksa pindah keboncengan kawan lain. Diharapkan pula kepada pengendara yang melalui track ini agar tidak tertipu dengan kondisi jalan beton yang halus mulus, sebab jalan seperti inipun sebenarnya mengandung bahaya yang juga tidak sedikit. Hal ini karena jalan ini masih relatif kurang sibuk ditambah dengan kondisi dingin berkepanjangan sehingga memungkinkan tumbuhnya lumut yang menyebabkan jalan menjadi licin. Bahkan penulis sempat “mencicipi” pengalaman pahit jatuh karena ban kendaraan yang slip oleh licinnya lumut saat pulang. Dengan kondisi jalan seperti ini diharapkan para pengunjung ekstra hati-hati, dan mempersiapkan kondisi kendaraan semaksimal mungkin demi lancarnya perjalanan anda.

Setiba di desa Kurra, kami sepakat untuk mengunjungi salah satu keluarga warga desa Kurra yang sering membuat kerajinan anyaman keranjang atau dalam bahasa lokal disebut baka.
Baka ini digunakan oleh warga sebagai wadah untuk membawa hasil bumi dari kebun atau hutan untuk dibawa pulang ke rumah. Baka dibuat dari bahan rautan rotan yang diambil sendiri dari kedalaman hutan oleh para warga lalu diraut dan dianyam sehingga cukup kuat untuk membawa barang dengan berat 5 kg – 10 kg.
Untuk membuat satu buah baka dibutuhkan waktu minimal satu hari dengan harga jual 80 – 100 ribu rupiah perbuah. Sebuah usaha yang cukup menjanjikan saya kira jika saja baka ini mendapat tempat yang layak di pasaran. Namun sayangnya, peminat baka ini masih terbatas pada penduduk atau warga pegunungan. Ada yang unik pada cara membawa baka ini, jika keranjang lain biasanya dibawa dengan dijinjing atau dibawa dengan bahu. Namun baka ini dibawa dengan menggantungkannya dibelakang punggung dan talinya disangkutkan di dahi. Jadi untuk membawa baka, mengandalkan kekuatan leher.
Setelah berbincang dan melihat cara membuat serta hasil baka yang sudah jadi, maka kamipun kembali untuk menuju ke lokasi utama yaitu Limbong Kamandang.

Menapaki jembatan yang melintang di atas sungai antara limbong Biliq dan Limbong Kamandang serasa membuat jiwa kami melayang oleh keindahan dan kekaguman yang begitu besar akan sebuah maha karya dari sang pencipta alam. Jembatan ini masih baru, sementara jembatan gantung tua dan tidak terpakai yang ada disebelahnya tidak terawat namun masih menyisakan papan lantai yang mulai lapuk. Penulis sempat mengintip keangkeran Limbong Biliq dari jembatan tua yang tepat berada diatasnya.
Di kanan kami ada air limbong Kamandang yang terjun bebas dari ketinggian antara 15 – 20 meter, sementara di kiri kami Limbong Biliq yang memiliki ketinggian yang lebih rendah sekitar 5 – 10 meter namun menawarkan nuansa yang agak angker dengan kolam tempat jatuhnya air yang sepertinya sangat dalam, ini terlihat dari warna permukaan air yang gelap. Yah, sebuah perpaduan unik dimana keindahan di kanan berpadu dengan kesan angker di kiri. Namun secara umum, suasana tempat ini begitu indah dan mempesona. Tak mau larut dengan suasana angker, kami segera menuju ke Limbong kamandang yang masih berjarak sekitar 40 – 50 meter, dengan berjalan kaki melewati jalan setapak yang curam dan agak licin. Maklum, karena air terjun ini berada di kawasan hutan hujan yang asri dan masih dikelilingi oleh pepohonan yang menjulang tinggi. Kondisi itu pula yang membuat jejak pertama kami di air sungai ini disambut oleh hawa dingin yang menyegarkan. Di sungai yang bertaburan bebatuan dari berbagai ukuran mulai dari yang ukuran kerikil hingga berukuran raksasa, kami lalu bersiap dan menceburkan diri dikesegaran air Limbong Kamandang. Yah, perjuangan dalam menempuh track terobati oleh keindahan dan kesegaran air Limbong kamandang.

Meninggalkan obyek wisata ini membersitkan do’a dalam hati. Semoga kiranya pemerintah atau instansi terkait mau melirik tempat ini. Setidaknya dengan membenahi akses jalan agar lebih baik hingga mudah bagi masyarakat untuk mencapainya.
Namun terlepas dari kondisi jalan yang lumayan berat, keindahan pesona Limbong Kamandang sungguh luar biasa. Inilah keindahan Indonesia yang terlupa, inilah keindahan Sulawesi barat yang terabaikan. Aku bersyukur sempat berkenalan dengan mu Limbong Kamandang.


SMK Soeparman, SMK tertua di Polewali Mandar.

Mungkin ada diantara kita yang masih bingung dan bertanya-tanya dalam hati (karena malu bertanya pada orang lain xixixixi...) “sebanarnya apa sih nama sekolah setingkat SMA yang ada dipinggir lapangan desa Tumpiling itu ??. koq, kadang disebut STM, SMK Wonomulyo, SMK Tumpiling, SMK Soeparman, bahkan ada yang mengatakan SMK 1 Wonomulyo. Sekolahan cuma satu tp koq punya banyak nama???. nah daripada kalian bingung mikir sampai kening berkerut dan dompet susut, mending saya bagikan aja informasinya. Ceritanya begini......

Alkisah pada suatu masa ( kok kaya mau baca dongeng yach xixixixi......), saat itu kondisi lembaga pendidikan sekolah khususnya Sekolah kejuruan di kota Wonomulyo (ceileee.....bahasanya. Tp dulu sich blum kota) masih belum ada bahkan belum ada sekolah kejuruan yang berdiri di wilayah yang sekarang bernama sulawesi barat. Syahdan berkumpullah tiga orang ksatria ( eh....dongeng lagi hehehehe) yaitu pak Gaib, pak Sandiman, pak Mohadi dan didirikanlah sekolah kejuruan yang diberi nama Sekolah Tehnik Menengah (STM) Wonomyulyo pada tahun 1968.
Kunjungan kepala dinas Drs. Sultan ke SMK Soeparman tahun 1998



Pada awalnya STM Wonomulyo melakukan kegiatan belajar mengajar di ST Wonomulyo yang sekarang telah berganti menjadi SMP Negeri 5 Wonomulyo hingga tahun 1989 sebelum pindah ke gedung sendiri yang berlokasi di tempat yang sekarang. Lalu pada tahun 1990an pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan nasional menghapuskan seluruh nama sekolah tehnik dan mengubahnya menjadi sekolah kejuruan, maka STM Wonomulyo pun berubah menjadi SMK Wonomulyo. Karena sekolah ini berada di desa Tumpiling, maka ada juga yang menyebutnya SMK Tumpiling. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 2000an menjamurlah sekolah kejuruan termasuk di Wonomulyo berdiri beberapa SMK. Maka untuk memudahkan pengidentifikasian oleh DikNas, SMK Wonomulyo disebut sebagai SMK Soeparman. Ada yang tau ngak siapa itu Soeparman?????. pasti ada yang bilang kalau Soeparman tuh nama pahlawan nasional, nggak apa-apa dech asal jangan ada yang bilang kalau beliau saudaranya Superman yang dari Amrik sana hehehehe. Sebenarnya beliau mempunyai nama lengkap Raden Soeparman, beliau adalah seorang terpelajar dari tanah jawa sana yang memimpin rombongan transmigrasi tahap pertama pada tahun 1930an, yang datang ke sebuah hutan dan diberi nama Wonomulyo hingga saat ini. Nah nama beliaulah yang diabadikan menjadi nama Yayasan sekaligus nama sekolah yang sekarang berdiri ditepi lapangan desa Tumpiling dan memiliki kompleks yang asri dan menyejukkan mata.

Suasana pelulusan siswa kelas XII tahun 2012



Menjelang usianya yang hampir setengah abad, SMK Soeparman telah mengalami beberapa kali pergantian kepala sekolah. Pejabat kepala sekkolah yang pertama dipegang oleh Sandiman dari tahun 1968/1976, lalu digantikan oleh Gaib S. Dari tahun 1976/1986, setelah itu tongkat estafet kepala sekolah kembali berpindah kepada H. Sandiman pada tahun 1986/1990, lalu berpindah lagi kepada Drs. J. Randan pada tahun 1990/2008, Drs. M. Suale M.pd lalu menjabat kepala sekolah dari tahun 2008/2010 namun jabatan kepala sekolah tersebut kembali diserahkan pada Drs. J. Randan pada tahun 2010/2012. Hanya dua tahun sebagai pejabat kepala sekolah untuk yang kedua kalinya, jabatan kepala sekolah diserahkan kepada Ir. Sukwanto pada tahun 2012 hingga sekarang.
Sebagai sekolah kejuruan tertua di Polewali mandar, SMK Soeparman telah mengantongi sertifikasi status DIAKUI oleh Dinas Pendidikan Nasional melalui sertifikat dengan nomor 79/C.C7/Kep/PP/2000. Untuk saat ini, SMK Soeparman telah membuka tiga jurusan kejuruan yaitu jurusan Tehnik Sipil (Bangunan gedung), Tehnik Otomotif dan Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ). Hingga tahun 2004, SMK Soeparman cukup terkenal karena keaktifannya dalam mengikuti kegiatan ekstra kurikuler khususnya Pramuka dan PMR dan berhasil mengkoleksi beberapa piala dalam berbagai lomba pada ajang PORSENI, LKS (Lomba Keterampilan Siswa) tingkat nasional ataupun ajang lomba yang lain.


Beberapa siswa dan guru yang mengikuti kegiatan
Pembukaan Porseni SMK se Polewali Mandar tahun 2012



Pelatihan Multimedia untuk tenaga pengajar bulan september 2012



Namun sayang belakangan ini, pamor SMK Soeparman sepertinya agak menurun. Dan menjadi kewajiban seluruh komponen, baik siswa, guru, pegawai, alumni maupun masyarakat sekitar untuk bahu membahu agar kejayaan SMK Soeparman kembali bisa berkibar di kalangan dunia kependidikan dan pengkaderan baik lokal Polewali mandar maupun regional Sulawesi Barat bahkan Nasional. Sekian info singkat tentang nama SMK Soeparman, smoga bermanfaat.

Lukisan keberanian manusia sulawesi dalam sastera

Manusia Sulawesi dikenal sebagai manusia berwatak keras, pemberani dan menjunjung tinggi nilai kesetiaan bahkan mungkin cenderung pendendam(?). Ini bukanlah hal yang baru, ketika jaman ini persaingan makin keras dan cenderung membuat seseorng menjadi cepat emosi. Kekerasan watak, keberanian dan kesetiaan orang Sulselbar terkenal sejak jamn dahulu dan menjadi buah bibir di belahan dunia lain. Beberapa kejadian heroik telah dicatatkan oleh sejarah, mulai dari kisah Daeng Mangalle dengan kurang lebih 200 orang pengikutnya yang melakukan perlawanan terhadap raja Siam (Thailand) yang bernama Phra Narai di tahun 1658-1659 yang dibantu oleh pasukan perancis. Dimana Daeng Mangalle dan pasukannya berhasil menewaskan hampir 2000 orang Siam dan Perancis. (Kisah ini sendiri diambil dari catatan Claude de Forbin seorang ksatria Prancis oleh Raja Louis XIV). Kemudian kisah To Salamaka Syekh Yusuf Al Makassary Al Bantany, yang membuat VOC mengalami frustasi berat. Dan hanya bisa ditangkap setelah anak perempuannya disandera oleh pasukan VOC, di Jawa barat. Dan berlanjut dengan kisah Ammana Pattolawali yang perlawanannya baru bisa dihentikan oleh Belanda setelah beliau terbunuh dengan jalan anggota tubuhnya ditarik dengan kuda kearah berlawanan hingga tercerai berai. Apakah ini kebetulan? Maka dari sudut pandang saya, saya mengambil kesimpulan bahwa semua ini bukanlah sebuah kebetulan. Orang-orang sulselbar terlatih dan terdidik oleh alam yang keras, mulai dari kerasnya perjuangan menaklukkan pegunungan dan hutan rimba hingga keganasan gelombang laut untuk mereka yang hidup di pesisir. Selain kisah sejarah, maka sebagai sebuah bangsa yang berbudaya, keberanian orang sulselbar juga tergambar dari peninggalan yang berupa sastera. Salah satu sastera yang menggambarkan keberanian dan kesetiaan orang sulselbar adalah adanya puisi perang yang menyatakan ikrar kesetiaan pada sahabat, junjungan, tanah air dan bangsanya. Ada beberpa istilah untuk puisi perang ini di sulselbar, ada yang menyebutnya mesong/osong (bugis), pangngaruq (makassar) atau pattaroalaq (mandar), dan berikut beberapa contohnya:

1.Angngaruq (Makassar)

Karaeng ku.......!
Kipamomporammaq, jai dudu karaeng....!
Ri dallekang laqbiriqna,
ri empoang matingginna,
ri sakkiri karatuanna.
Satulituli kanangku karaeng.
Pangngainna laherekku, pappatojeng na batengku,
bera niaq kunipattebbak, pangkuluq kunisoean.....
ikatte anging karaeng....na ikambe lekok ayu......
ikatte jenneq karaeng, i kambe batang mammanyuk.
Ikatte jarung karaeng.....na ikambe bannang panjaiq....

Artinya:
Junjunganku, maafkan hamba sebanyak-banyaknya...
Dari kesalahan dihadapan kedudukan tahta yang mulia
Jika pernah saya berniat tidak menghiraukan titah baginda...
Kelahiranku ditakdirkan untuk mengabdi pada tuanku....
Maka jika aku ada berkhianat
Saya siap dirubuhkan dengan pedang yang terselip di pinggang tuanku...
Baginda angin, saya cabang pohon yang ditiup angin....
Baginda air, hamba batang pohon yang menopang alirannya...
Baginda jarum, hamba benang jahitnya..

2.Mesong/osong ( Bugis )

Itaka' mai Lapuang, Djinniralana Tana Wajo !
Iya'na pakka temmalara'na Gilireng
Tomassola-solaEngngi sunge'na
Ri Lanti'E ri Tengnga Padang
Tania bElo-bElo janggo'E na bulu sadang
Tania bElo-bElo bElua' sampo gEnoE
Engkapa musuu ri tengnga padang na riyabbEso-bEsoang
Aroo malebba', pajjagguru' malibu
Olii tEa sopE', darah tEa mitti', ure' tEa pettu',,
polopi cappa' kawalikku
Mallajangpi sunge'ku ri pammasareng
Naripasoro ujuuku ri tengnga padang

Artinya:

Itaka’ mai la puang, jinniralana tana Wajo
(lihatlah aku wahai tuan ku, jenderalnya Tanah Wajo)
Iya’ na pakka temmalara’na GilirEng
(sayalah perisai tak lapuk dari GilirEng)
To massolla sollangi sunge’na
(yang menyabung nyawanya)
Ri lanti’e ri tengnga padang
(dilantik di tengah padang)
Tania belo belo, janggo’e na bulu sadang
(bukan sekedar hiasan janggut dan bulu dagu)
Tania belo belo welua’ sampo genoE
(bukan sekedar hiasan rambut sebahu)
Engkapa musu ri tengnga padang na ri ya’beso besoang
(nantilah setelah bertemu musuh kemudian diseret)
Aroo malebba’, pajjagguru malibu
(dada lebar, tinju membulat)
Olii tea sope’, dara tea mitti’, ure’ tea pettu
(kulit tak mau robek, darah tak mau menetes, urat tak mau putus)
Polopi cappa’ kawalikku
(nantilah patah ujung badikku)
Mallajanpi sunge’ku ri pammasareng
(nyawaku melayang keakhirat)
Nari pasoro ujuuku ri tengnga padang
(barulah dipulangkan mayatku dari medan juang)

3.Syair Pattaroalaq ( Mandar ):


Indi tia Passopo doena tomalaqbi
passanger kowiq lakkana tomakanang
Pattuei tirarunna todzi posiriq
muaq mupasoppoi annaq mupabullei tomaq
Harangi ulengasang muaq tania tonamatinnande
Iya malaqbi, iya makanang, iya toqo diposiriq
Artinya :


Akulah pemikul tombak orang yg jadi panutan
pengasah parang panjang orang ternama
peniup sumpit bagi orang yg punya harga diri
kalau aku diberi beban dan tanggung jawab
pantang bagiku untuk membela
kalau bukan panutan, ternama dan punya harga diri.


Indi tia betteng bayanna litaq dzi mandar
Arriang appeqna boyang dzi Tomadio
Namekkeqde dzi atonangang, meloq siasayangngi
Meloq sidamo-damo, meloq toi sipetombangan ceraq
Muaq nadiang tolandur, pasayu tigiling sokkoqna
Tiraqbiq mata gayanna.


Artinya :
Inilah benteng kokohnya tanah di mandar
tiang penyanggah empatnya rumah di Tomadio
berdiri tegak dalam kebenaran, ingin saling menyayangi
ingin saling mengasihi, dang juga ingin bersimbah darah
kalau ada yang lewat ingin menentang bertepuk dada, maka kerisnya terhunus.


Itulah beberapa syair yang menggambarkan bagaimana orang-orang sulselbar dalam hal keberanian dan kesetiaannya. Semestinyalah kita sebagai penerus mampu menjadikan peninggalan-peninggalan sastera heroisme ini sebagai pegangan dalam menegakkan kedaulatan bangsa yang bermartabat. Dan semestinyalah kita mewarisi jiwa-jiwa ksatria leluhur kita, bukan hanya sekedar berbangga sebagai keturunan namun tak mampu mengejewantahkannya dalam hidup dan kehidupan kita.

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...