02/02/2023

ENERGY KONDOSAPATA


 

"Pitu Baqbana Binanga memmata di mangiwang, Pitu Ulunna Salu memmata di sawa".

Sebuah jargon bersejarah yang diyakini telah berusia ratusan tahun sebagai penanda kerjasama sekaligus persaudaraan antara masyarakat pesisir (baca: Mandar) dengan masyarakat pegunungan (baca: Mamasa) dan secara abadi tercantum di dalam perjanjian paling terkenal di Sulawesi Barat. Allamungang Batu Di Luyo.

Jargon ini semestinya tidak hilang bersama dihapuskannya sistem pemerintahan kerajaan namun, terus terabadikan menjadi kolaborasi modern diera digital ini.

Dizaman inilah, kolaborasi perlu dimassifkan untuk melakukan rencana-rencana masa depan yang lebih nyata, terencana, terstruktur dan, terukur.

Memperingati hari ulang tahun Mamasa yang ke-21,  gabungan pemuda dari pesisir dan pegunungan Sulawesi Barat memantapkan hati bersatu mempersembahkan kado ulang tahun yang sedianya membawa perubahan dan menjadi kenangan manis. Kado itu bernama Energy Kondosapata.

Energy Kondosapata sengaja dipilih menjadi penamaan kegiatan sebab merupakan penggabungan kata yang mencerminkan nuansa modern sekaligus tradisional dan diharapkan menjadi motor penggerak awal memajukan ekonomi dan keaejahteraan masyarakat Mamasa.

Gerakan yang dimaksud secara gamblang adalah promosi wisata dan komoditi berbasis internet serta pengembangan pemuda berbakat untuk memberdayakan ekonomi keluargan dan masyarakat lingkungannya.

Kegiatan ini akan diisi dengan kegiatan pendataan potensi, pengambilan video profesional dan pengenalan potensi daerah Mamasa untuk memasuki pasar yang lebih luas. Landasan kegiatan ini adalah ikatan kesejarahan, semangat berbagi dan semangat pemberdayaan dengan menitik beratkan potensi yang dimiliki untuk produksi kegiatan terbaik dengan melihat indikator pencapaian out-put dan out-come pada bulan ke-3 setelah kegiatan.

Ya, sengaja kegiatan ini tidak menggunakan panggung megah, sound sistem "wah" atau artis terkenal, mengingat keterbatasan anggaran yang dimiliki para pemuda yang terlibat sebagai pelaksana, sulitnya menembus prosedur birokrasi dan minimnya jaringan keperusahaan yang memiliki pembiayaan CSR. Namun demikian, kami tidak menutup kesempatan kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dengan cara mengubungi kami.

Olehnya itu, kami hanya ingin meminta restu kepada segenap masarakat demi terlaksananya kegiatan sederhana ini. 

#mamasa21 #hut #ultah #pemuda #kado

18/12/2017

Belajar Dari Super Hero


Kehadiran Super Hero yang menjadi asupan tontonan kita berlangsung sejak lama. Setidaknya sejak televisi merasuk hingga ke pedesaan kita yang aman damai gemah ripah loh jinawi toto tentram kertoraharjo. Kehadiran tokoh-tokoh super hero ini selalu dinantikan oleh anak-anak. Sebut saja Batman, Superman, Hulk, Ultraman ataupun Satria Baja Hitam. Tak ketinggalan pula super hero wanita seperti Super Girl, Xena atau Wonder Woman.

Namun dari setiap tindakan kepahlawanannya dalam menyelamatkan seseorang selalu diikuti dengan efek kerusakan bangunan atau fasilitas umum maupun pribadi. Inilah yang disebut reaktif dalam merespon sebuah kejadian. Menyelesaikan masalah hanya permukaannya saja. Lihat saja bagaimana gedung-gedung yang hancur, mobil-mobil beterbangan, menara yang roboh atau jembatan yang terputus saat mereka beraksi.

Saya tidak ingin mengkritisi alur cerita yang susah payah dibuat oleh sutrdara dan penulis skenario ataupun, tetesan keringat kerja keras para penata panggung yang bekerja di balik layar. Sebab sebuah adegan dramatis dan menegangkan memang dibutuhkan sebagai pelaris sebuah film, tentu saja di luar jampi-jampi dan asap dupa penglaris kalau ada yang pake. Hehehe....

Cara penyelesaian sebuah persoalan inilah yang menjadi perhatian saya. Bukankah cara penyelesaian permasalahan yang dilakukan oleh para super hero itu menjadi cermin penyelesaian persoalan negara kita dewasa ini. Pembangunan bandara Kulon Progo mengorbankan masyarakat pemilik lahan yang dipaksa pergi meninggalkan rumah dan tanah yang telah mereka miliki selama beberapa generasi. Di sini. Di Sulawesi Barat, pantai ditanggul untuk mengurangi pengikisan daratan oleh ombak laut sehingga para nelayan harus mencari lokasi pendaratan perahu yang aman jauh dari desanya. Baru-baru ini Liputan6.com merilis berita penambahan daya listrik hingga 40 ribu MW. oleh menteri Energi Dan Sumberdaya Manusia, yang mengharuskan penambahan daya listrik untuk masyarakat dengan menghapuskan daya 450 dan 900 watt, meski masih berupa wacana.

Kita semestinya harus bersyukur sebab, negara kita rupanya mampu memproduksi energi listrik yang cukup banyak untuk semua rakyatnya. Meskipun pada realitanya pemadaman listrik masih sangat sering terjadi dibeberapa wilayah, baik itu dengan informasi sebelumnya ataupun pemadaman mendadak. Tapi hendaknya kemajuan tidak menjadikan masyarakat umum sebagai korban.

Alasan yang dilontarkan oleh sang pejabat Menteri pada berita yang diakses pada 18 November 2017, pukul 10.28 wita. itu terkesan simpel. “Jika dengan produksi daya sebesar itu tidak dibarengi dengan penambahan daya untuk masyarakat pengguna, lalu untuk siapa daya itu akan disalurkan. Kita berharap agar nantinya semua masyarakat bisa menggunakan daya yang lebih banyak”.
Jika benar aturan ini diterapkan nantinya maka, ini adalah pemerasan dan pemaksaan yang kesekian dari pemerintah kepada rakyatnya. Barangkali anda masih ingat satu atau dua tahun lalu ketika listrik prabayar menggeser penggunaan listrik pasca bayar. Setiap pengajuan pendaftaran baru harus menggunakan Kwh. prabayar yang katanya penggunaan listriknya bisa dikontrol sendiri oleh pelanggan. Walaupun kemudian satu atau dua kasus dimasyarakat ditemui, justru pengguna listrik prabayar harus mengeluarkan biaya lebih banyak dari pengguna pasca bayar. Hal ini mendorong orang-orang ingin kembali memakai Kwh. pasca bayar, namun apa boleh buat keinginan itu tak bisa terkabulkan.

Masih perihal listrik. Ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga listrik, rakyat hanya bisa pasrah. Di rumah kami dulunya konsumsi listrik cukup Rp.103.000,-/bulan dengan rincian Rp.100.000,- untuk harga listrik dan Rp.3.000,- untuk keuntungan penjual retail. Kini, konsumsi listrik meningkat menjadi Rp.210.000,-/bulan. Sebab penjual retail juga tak ingin ketinggalan menaikkan keuntungan yang tadinya Rp.3.000,-/transaksi menjadi Rp.5.000,-/transaksi. Yang mencolok adalah ketika memasukkan kode voucher toke listrik, jika dulunya kita membeli token senilai Rp.50.000,- maka angka yang tertera pada Kwh. adalah 70,00. Namun sekarang, dengan nominal yang sama hanya akan tertera jumlah 33,7. Lagi-lagi rakyat sebagai konsumen yang kena batunya.

Semestinya pemerintah lebih bijaksana akan fenomena seperti ini. Jika memang kebutuhan listrik sudah cukup untuk semua rakyat, tak usah melakukan penambahan energi listrik. Benahi saja fasilitas yang sudah ada agar pemadaman listrik mendadak tidak terjadi lagi. Jika ada masyarakat yang membutuhkan listrik lebih banyak, tak perlu “menyuapi” konsumen yang memang sudah cukup dengan listrik 450 atau 900 Watt.


Lagi-lagi pagi ini kita harus bersorak-sorai menyambut pembangunan, untuk kemudian menangis dan meratap pada malam hari. Lalu tertidur dengan harapan, bahwa dalam mimpi kita akan hadir sesosok pahlawan super yang, akan mengirim surat tantangan pada musuhnya. “ Mas, kita tarungnya di pulau saja yah. Di sana tak ada orang, bangunan atau binatang. Jadi kita bisa bertempur sampai puas tanpa harus ada yang rusak dan terluka. Aku menunggu kedatanganmu, mas. Dari aku yang ingin berjumpa.   Pahlawan Super”.

07/12/2017

LONTARAQ SEBAGAI SUMBER SEJARAH DIRAGUKAN (?)

(Photo: Aisyah S. Ahmad)

Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat tak bisa dipungkiri menjadi sesuatu yang menakjubkan dewasa ini. Gerakan-gerakan literasi yang membooming semakin bergulir hangat ditambah dengan back-up media pemberitaan maupun media sosial semakin membuatnya semakin menggema. Tentu ini adalah sebuah hal yang menggembirakan mengingat krisis penulis hari ini sedikit banyak dipengaruhi oleh kurangnya media baca pada waktu-waktu lalu. Bagi anda generasi 70-an ke atas tentu cukup mengetahui bagaimana sulitnya menjadi seorang penulis waktu itu dengan adanya pengawasan pemerintah yang cukup ketat.

Lalu pasca reformasi 98, saat masyarakat diberikan kebebasan untuk bersuara dan menuliskan apapun yang hendak ditulisnya, media penulisan pun bermunculan bagaikan cendawan dimusim hujan. Surat kabar, majalah, tabloid, buku maupun buletin adalah contoh media fisik penulisan. Belum lagi blog dan website juga turut pula menjamur menyajikan berjuta informasi dengan beragam tema yang berbeda.  Informasi ilmu pengetahuan, sejarah, budaya maupun hal yang lainnya demikian mudah didapatkan bahkan ada pameo yang menyatakan bahwa informasi kini hadir dalam genggaman.

Dalam hal kesejarahan dan kebudayaan. Setiap penulisan sejarah membutuhkan sumber-sumber berupa artefak ataupun kisah tutur yang tersimpan dalam ingatan komunal masyarakat yang kemudian dicermati, dianalisa, diinterpretasi lalu ditulis oleh penulis. Entah oleh zaman, perang maupun bencana alam artefak-artefak yang menjadi sumber sejarah semakin sedikit. Salah satunya lontaraq. Lontaraq yang hanya sedikit semakin sulit diakses dengan adanya kepercayaan beberapa orang pemegang lontaraq yang mengharuskan pemotongan hewan kurban berupa kambing, sapi atau kerbau sebelum membuka lontaraqnya. Meskipun menurut saya, ini hanya akal-akalan saja untuk sesuatu tujuan yang tidak diketahui.

Padahal lontaraq semestinya menjadi sebuah sumber terpercaya saat akan mengkaji sejarah masa lalu. Lontarak menempati kedudukan yang unik di antara tulisan-tulisan bersejarah di Indonesia, oleh karena isinya pada umumnya dapat dipercaya dan kurang mengandung mitos, ramalan-ramalan, dan penulisnya sangat memperhatikan peristiwaperistiwa sendiri dan menulisnya secara jujur. Kronologi peristiwa ditulis secara cermat dan seobjektif mungkin. ( wawancara A.A. Cense oleh Zainal Abidin dalam buku Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan. Hal.ix).


Pengkajian lontaraq juga membutuhkan kecermatan ekstra dan penuh perhitungan. Hal ini disebabkan oleh gaya bahasa yang sudah tidak populer hari ini. Inilah yang terkadang membuat sebagian orang yang membaca lontaraq mengira bahwa antara lontaraq yang satu bertentangan dengan lontaraq yang lainnya. Apalagi lontaraq yang banyak beredar hari ini hanyalah berupa lontaraq hasil alih tulisan dan alih bahasa saja. 

Tidak bermaksud mengecilkan jasa penerjemah lontaraq masa lalu yang harus kita syukuri sebagai berkah dalam ranah intelektual lokal kita. Namun selain adanya beberapa kata yang menujukkan arti sama, memang terkadang ada beberapa penulisan kata dalam lontaraq yang tidak sesuai dengan alih tulisannya sehingga ketika dialih bahasakan ke-bahasa Indonesia akan melenceng pula artinya. Olehnya itu, pengkaji dan penulis sejarah setidaknya harus pula bisa membaca aksara lontaraq.

30/08/2017

SEJARAH KOPI MANDAR

(Sebuah Tulisan Awal Perkopian di Tanah Mandar)Part3 (selesai). Oleh: Zulfihadi. Matakali, 23 Februari 2017.
=====================================================================================

Tensi persaingan untuk mendapatkan kopi terus meningkat hingga berakibat pada pecahnya perang lokal di antara penguasa-penguasa adat yang ada di Toraja dibantu oleh sekutunya yang merupakan pedagang-pedagang luar tersebut. Perang itu dikenal sebagai Perang Kopi I dan berlangsung dari tahun 1887 dan berakhir tahun 1888.

Agak reda sesaat, lalu kemudian pada tahun 1889 pasukan kerajaan Bone dibantu oleh pasukan Gowa dan Mandar kembali memasuki Toraja mengakibatkan perlawanan orang-orang Tallu Lembangna hingga pecahlah Perang Kopi II. Perang Kopi II ini berhenti setelah La Tanro Puang Mallajange ri Buttu Mario, Raja Agung Enrekang XVI meminta agar Petta Ponggawae yang memimpin pasukan Bone untuk kembali.

Setelah Perang Kopi II berhenti, lalu La Tanro Puang Mallajange ri Buttu Mario mengatur kembali tata niaga kopi di Toraja. Dan sejak saat itu keadaan perdagangan kopi di Toraja relatif kondusif hingga 1906, Toraja didominasi oleh Belanda.

Lalu bagaimana perjalanan kopi selanjutnya hingga mencapai tanah Mandar?.   
Hingga hari ini, belum ada catatan tentang itu. Sehingga kita hanya bisa menduga bahwa tanaman kopi di Mandar kultivasinya nanti pada tahun 1900-an meskipun minuman ini kemungkinan besar telah dinikmati pula oleh para bangsawan dan ulama penyebar agama Islam jauh sebelumnya dengan diperkuat oleh adanya interaksi antar manusia serumpun di Sulawesi ini sehingga menyebabkan percampuran budaya dan ginekologi Bugis, Makassar dan Toraja.

Namun demikian, ada dugaan sementara untuk menggambarkan awal mula tanaman kopi di Mandar yaitu, pertama: tanaman kopi dibawa oleh para veteran Perang Kopi II, di mana pasukan Bone juga mendapat bantuan dari pasukan Gowa dan Mandar. Sehingga ketika perang usai pada tahun 1890, para pasukan Mandar ini ada yang membawa bibit kopi untuk dikembangkan di Mandar. 

Sayangnya tidak didapati keterangan tentang asal pasukan yang berangkat ke Toraja meski kemungkinan besar mereka adalah pasukan dari kerajaan Balanipa. Jika saja asal mereka diketahui, maka ada kemungkinan bisa ditelusuri daerah awal penanaman kopi di Mandar.

Dugaan kedua adalah adanya perluasan perkebunan rakyat untuk mencari lahan sehingga akhirnya masuk ke daerah Mandar. Hal ini mengingat sebagian wilayah Toraja dan Luwu berbatasan dengan Mandar (baca: Sulawesi Barat) sehingga sangat memungkinkan perpindahannya.

Sejauh ini, informasi tentang penanaman kopi tertua secara valid baru datang dari informasi dan kesaksian H. Yahya  yang berusia kisaran 70 tahun. Salah seorang tokoh masyarakat desa Tapango Barat yang menyebutkan bahwa pertama kali ia menanam pohon kopi saat remaja dalam jumlah banyak adalah pada tahun 1960 dan hingga kini, pohon-pohon kopi tersebut masih tumbuh dan berbuah. 

Namun, lama sebelum itu ketika ia masih kanak-kanak. H. Yahya masih sempat menyaksikan pohon-pohon kopi banyak tumbuh di sekitar rumah warga Tapango yang masih terpencil dengan akses jalan sangat sulit ketika itu. 

Salah satu artefak alat pemecah kopi dari batu andesit berbentuk  datar berukuran kurang lebih 40x30 cm. masih tersimpan di perkebunan kopi Tjap Maraqdia, Tapango, Polewali Mandar. Benda ini dulunya digunakan oleh nenek buyut penulis untuk memecah buah kopi saat beliau tiba di Tapango dari Belawa. Beliau meninggalkan daerah asalnya pada akhir tahun 1950-an akibat kekacauan oleh pemberontakan dan maraknya perampokan saat itu di kampung halamannya.
(Selesai)

Diolah kembali dari :
- Outlook kopi terbitan Pusat Data dan Informasi Pertanian Sekjen Kementan tahun 2005 (pdf)
- http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160508160635-269-129200/toraja-dan-emas-hitam-bernama-kopi
- https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_kopi
- https://www.facebook.com/657151224390172/photos/a.657719207666707.1073741828.657151224390172/657719191000042/?type=1&theater
- https://anaktator.blogspot.com/dokumen-perang-kopi-di-toraja/

28/08/2017

HORST H. LIEBNER YANG SAYA KENAL

(Sebuah catatan tentang lelaki Mandar berdarah Jerman).
================================================

Foto: Hariandi Hafid/Beritagar.id


Perkenalan saya dengan sosok lelaki jangkung berambut pirang khas Eropa yang berprofesi sebagai antropolog maritim dan meraih gelar Doktornya di University of Leeds, Inggris itu terbilang belum lama, sekitar 3 tahunan.

Kami saling berinteraksi ketika event Sandeq Race 2014 yang pelaksanaannya terkesan morat-marit sehingga memancing reaksi dari beberapa pemerhati kebudayaan maritim Mandar dalam hal ini Sandeq, untuk berkomentar. Dari situlah kami sering bertukar fikiran tentang kebudayaan Mandar lewat media sosial.

Awal 2016 ketika ia sedang melakukan riset tentang kerajaan-kerajaan tua di Mandar dalam kaitannya dengan dunia maritim, pada suatu malam ia memposting di sebuah grup budaya foto lembaran salinan manuskrip beraksara lontar dan meminta siapapun yang bisa mentranslit-nya ke dalam aksara latin.  Beberapa menit kemudian, saya membalas postingan itu dengan komentar yang berisi hasil translate. Ia kemudian mengirim lagi 3 lembar halaman manuskrip yang merupakan sambungan halaman pertama tadi. Dan keesokan harinya hasilnya saya kirim kembali kepada Horst.

Lelaki sederhana bernama lengkap Horst Hiebertus Liebner, lebih akrab dipanggil Horst ini lahir pada 28 November 1960 di Oberhausen, Nordrhein-Westfalen, Jerman merupakan seorang yang ramah dan mudah bergaul dengan kalangan dari kelas mana saja. Akhir tahun lalu saya bersama dua orang kawan sempat bertandang ke rumahnya yang berlokasi di dalam kompleks benteng Somba Opu, Makassar.

Pertemuan awal kami dan selanjutnya diikuti pertemuan-pertemuan selanjutnya di dunia nyata membuat kami semakin akrab. Berdasarkan hasil translate lontar yang saya ceritakan sebelumnya, ia tertarik mengunjungi situs bukit Pasokorang dan saya memang sedang menelusuri ihwal kerajaan ini sejak tiga tahun sebelumnya. Ini sebuah kesempatan emas dan langka bagi saya. Turun langsung ke lapangan bersama seorang yang ahli dibidang antropologi.

Ternyata Horst bukan orang yang pelit berbagi data mengenai sejarah dan budaya Mandar. Belasan file data ia bagikan kepada kami yang sedang “meraba” Mandar. Saya juga beruntung dan bangga mendapat copy-an buku Lontar Pattaudioloang yang dijilid dengan rapi yang dicopy khusus untuk saya.

Dari interaksi langsung tersebut saya mengenal pribadinya lebih dalam. Horst adalah orang yang disiplin, jika ia sudah mengatakan “kita berangkat jam 7.00”. Jangan coba-coba untuk datang 7.30 atau malah jam 8.00 karena anda pasti ditinggalkan kecuali memang ada hal-hal urgen yang harus membuatnya menunda (bandingkan dengan yang sering kita dapati dalam masyarakat kita saat undangan rapat atau pertemuan lain, misalnya).

Lelaki yang bibirnya selalu mengepulkan asap rokok jenis mild merk S**p**na ini juga merupakan sosok perencana yang sangat matang saat hendak membuat sebuah kegiatan. Ia akan menghitung pos anggaran, jumlah personil, peralatan yang dibutuhkan hingga perkiraan waktu pelaksanaan lengkap kemungkinan potensi, peluang, hambatan dan tantangan yang mungkin akan dihadapi saat persiapan hingga pasca kegiatan secara tertulis dengan aplikasi ms. Excel di laptopnya. Saking detailnya, seringkali ada hal-hal yang ia pikirkan justru luput dari pemikiran kami.

Tapi di balik kedisiplinan dan keseriusan yang selalu tampak di wajah lelaki itu, jangan terkejut jika ternyata ia bisa menjadi sangat jenaka ketika bercanda dengan anak-anak kecil. Ini saya saksikan sendiri di Nusa Pustaka, sebuah perpuskaan swadaya di Pambusuang ketika ia membacakan sebuah dongeng kepada beberapa anak yang ada di sana dengan aksen Eropanya yang masih terasa kental sehingga membuat anak-anak yang tidak terbiasa mendengarnya tak bisa menahan tawa. Melihat anak-anak itu tertawa, Horst malah membalasnya dengan bercanda hingga kami yang ada di sana semua ikut terbawa suasana gembira itu.

Dari sekian itu, yang paling membekas bagi pribadi saya adalah militansi dan totalitasnya dalam pelaksanaan kegiatan. Tidak sulit menemukan sosoknya yang berkulit terang di antara tim-nya yang rata-rata berkulit gelap ikut berpeluh, berjuang menyukseskan hal yang diembannya. Yang terbaru adalah ketika pria yang seyogyanya menjadi koordinator panitia Sandeq Race 2017 (namun terdepak bersama ketua umum, ketua harian serta bendahara panitia dan diganti oleh orang pemerintahan) ini tertangkap kamera sedang mengangkat sendiri dus-dus air mineral untuk timnya. Belum lagi dokumentasi pelasanaan Sandeq Race sebelum tahun 2012 yang selalu ia tangani sebelum diambil alih oleh Pemprov Sulawesi Barat, banyak memuat wajahnya.

Apakah dengan batalnya ia bersama timnya menahkodai Sandeq Race 2017 merupakan akhir tantangan baginya?. Ternyata tidak !.
Dari sumber terpercaya menyebutkan bahwa akibat kucuran dana kegiatan Sandeq Race 2017 dari Pemprov Sulawesi Barat sempat tertunda hingga event yang mestinya menjadi kebanggan kita bersama itu hampir memasuki hari H maka ia memenuhi kebutuhan lomba untuk panitia dan calon peserta seperti printer, poster, cat dan layar dll. dengan menggunakan dana awal yang berasal dari salah seorang donatur dan sebagiannya lagi dengan berutang ke toko nelayan di Pambusuang.

Belakangan kemudian diputuskan sepihak bahwa Horst dan timnya tidak diamanahi menjadi nahkoda event lomba Sandeq Race 2017.  Di sinilah ia memperlihatkan kualitasnya sebagai seorang leader dan sekaligus profesional. Ia mengambil alih beban hutang keperluan lomba itu pada toko nelayan dan sekaligus mengembalikan uang donasi yang telah terlanjur digunakan tanpa bantuan tim-nya maupun orang lain.

Menurut saya, bisa jadi sikapnya ini merupakan pembawaan lahir namun tidak menutup kemungkinan pula jika ini adalah salah satu hasil dari pengalamannya selama belasan tahun mengurus perahu sandeq hingga ia mewarisi keberanian, keuletan, soliditas dan, leadership yang ditanamkan leluhur orang Mandar. Sebuah kepribadian yang belum tentu kita miliki sebagai orang yang lahir, berdomisili dan, berdarah Mandar.


Lalu akankah kita yang selalu mengklaim diri sebagai Mandar sejati hanya berpangku tangan melihat orang lain bahkan kerap dicap sebagai orang asing berdiri sendiri menyelamatkan warisan yang mestinya menjadi tanggung jawab kita?. Masihkah siriq kita miliki atau, Mandar memang sudah harus menyerah sebagaimana penggalan syair Syuman Saeha?.  

24/02/2017

SEJARAH KOPI MANDAR(Sebuah Tulisan Awal Perkopian di Tanah Mandar)Part2. Oleh: Zulfihadi. Matakali, 23 Februari 2017.

Sebuah versi berbeda kemudian datang dari seorang penulis Eropa, Terance William Bigalke. Antropolog sekaligus pakar sejarah Indonesia dan Asia Tenggara modern. 

Dikutip dari http://www.cnnindonesia.com, Bigalke menuliskan fakta tersebut dalam buku berjudul Tana Toraja: A Social History of An Indonesian People (2005), merujuk pada kesaksian seorang Belanda bernama Van Dijk. Sebelum membuka perkebunan kopi di Pegunungan Rantekarua pada 1900-an, Van Dijk menemukan pohon kopi berusia sekitar 200 tahun di Desa Sa'dan, Toraja Utara.

Ini artinya bahwa masyarakat Toraja sudah mengenal kopi sejak awal tahun 1600. Hal ini cukup masuk akal mengingat pedagang-pedagang Arab telah berinteraksi dengan pedagang nusantara jauh sebelumnya dan menjadi kebih intens pasca jatuhnya bandar Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 dan bandar Sunda Kelapa menyebabkan para pedagang Arab yang senantiasa berseteru dengan pedagang Eropa terkait perang Salib, mencari bandar niaga lain yang tidak dikuasai oleh orang Eropa. Dan sejarah membuktikan bahwa pilihan itu jatuh ke bandar Makassar. 

Bahkan ada yang menyebut jika kopi telah dipertukarkan oleh pedagang Arab dari Jawa dengan emas, porselen dan kain pada abad XIV hingga memungkinkan masyarakat lokal bisa menyerap kosakata qahwa untuk menyebut kopi. Walau demikian, ha ini masih membutuhkan kajian mendalam.
Harga kopi yang melambung di pasaran dunia menyebabkan persaingan kopi di Toraja menjadi panas. Para pedagang luar bersaing untuk mendapatkan komoditi itu dengan cara mendekati dan menjalin kerjasama dengan para pemimpin lokal. 

Sebut saja para pedagang Bone dan Luwu bekerjasama dengan Pong Maramba dari Toraja bagian utara, sementara Sidenreng, Wajo, Soppeng dan pedagang-pedagang Arab membangun afiliasi dengan Danduru dan Pong Tarongko.

Dengan demikian tercipta pula dua jalur perdagagan kopi sesuai asal kedatangan pedagang-pedagang tersebut. Bone dan Luwu membawa kopi melalui jalur timur melalui Sa’dan – Balusu - Sesean - Rantepao - Rantebua - Pelabuhan Bua di Palopo. Sementara pedagang Sidenreng, Wajo, Soppeng dan Arab melewati jalur Barat melalui Pangala – Dende - Piongan - Kurra - pasar Rantetayo – pelabuhan Pare-pare.

Tensi persaingan untuk mendapatkan kopi terus meningkat hingga berakibat pada pecahnya perang lokal di antara penguasa-penguasa adat yang ada di Toraja dibantu oleh sekutunya yang merupakan pedagang-pedagang luar tersebut. 

Perang itu dikenal sebagai Perang Kopi I dan berlangsung dari tahun 1887 dan berakhir tahun 1888.
Agak reda sesaat, lalu kemudian pada tahun 1889 pasukan kerajaan Bone dibantu oleh pasukan Gowa dan Mandar ..... (Bersambung lagi....)

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...