(Sebuah catatan tentang lelaki Mandar berdarah Jerman).
================================================
Foto: Hariandi Hafid/Beritagar.id
Perkenalan saya dengan sosok lelaki jangkung berambut
pirang khas Eropa yang berprofesi sebagai antropolog maritim dan meraih gelar
Doktornya di University of Leeds, Inggris itu terbilang belum lama, sekitar 3 tahunan.
Kami saling berinteraksi ketika event Sandeq Race 2014
yang pelaksanaannya terkesan morat-marit sehingga memancing reaksi dari
beberapa pemerhati kebudayaan maritim Mandar dalam hal ini Sandeq, untuk
berkomentar. Dari situlah kami sering bertukar fikiran tentang kebudayaan
Mandar lewat media sosial.
Awal 2016 ketika ia sedang melakukan riset tentang
kerajaan-kerajaan tua di Mandar dalam kaitannya dengan dunia maritim, pada
suatu malam ia memposting di sebuah grup budaya foto lembaran salinan manuskrip
beraksara lontar dan meminta siapapun yang bisa mentranslit-nya ke dalam aksara
latin. Beberapa menit kemudian, saya
membalas postingan itu dengan komentar yang berisi hasil translate. Ia kemudian
mengirim lagi 3 lembar halaman manuskrip yang merupakan sambungan halaman
pertama tadi. Dan keesokan harinya hasilnya saya kirim kembali kepada Horst.
Lelaki sederhana bernama lengkap Horst Hiebertus
Liebner, lebih akrab dipanggil Horst ini lahir pada 28 November 1960 di
Oberhausen, Nordrhein-Westfalen, Jerman merupakan seorang yang ramah dan mudah
bergaul dengan kalangan dari kelas mana saja. Akhir tahun lalu saya bersama dua
orang kawan sempat bertandang ke rumahnya yang berlokasi di dalam kompleks
benteng Somba Opu, Makassar.
Pertemuan awal kami dan selanjutnya diikuti
pertemuan-pertemuan selanjutnya di dunia nyata membuat kami semakin akrab. Berdasarkan
hasil translate lontar yang saya ceritakan sebelumnya, ia tertarik mengunjungi
situs bukit Pasokorang dan saya memang sedang menelusuri ihwal kerajaan ini
sejak tiga tahun sebelumnya. Ini sebuah kesempatan emas dan langka bagi saya.
Turun langsung ke lapangan bersama seorang yang ahli dibidang antropologi.
Ternyata Horst bukan orang yang pelit berbagi data
mengenai sejarah dan budaya Mandar. Belasan file data ia bagikan kepada kami
yang sedang “meraba” Mandar. Saya juga beruntung dan bangga mendapat copy-an
buku Lontar Pattaudioloang yang dijilid dengan rapi yang dicopy khusus untuk
saya.
Dari interaksi langsung tersebut saya mengenal
pribadinya lebih dalam. Horst adalah orang yang disiplin, jika ia sudah
mengatakan “kita berangkat jam 7.00”. Jangan coba-coba untuk datang 7.30 atau
malah jam 8.00 karena anda pasti ditinggalkan kecuali memang ada hal-hal urgen
yang harus membuatnya menunda (bandingkan dengan yang sering kita dapati dalam
masyarakat kita saat undangan rapat atau pertemuan lain, misalnya).
Lelaki yang bibirnya selalu mengepulkan asap rokok jenis
mild merk S**p**na ini juga merupakan sosok perencana yang sangat matang saat
hendak membuat sebuah kegiatan. Ia akan menghitung pos anggaran, jumlah
personil, peralatan yang dibutuhkan hingga perkiraan waktu pelaksanaan lengkap
kemungkinan potensi, peluang, hambatan dan tantangan yang mungkin akan dihadapi
saat persiapan hingga pasca kegiatan secara tertulis dengan aplikasi ms. Excel di laptopnya. Saking detailnya, seringkali ada hal-hal
yang ia pikirkan justru luput dari pemikiran kami.
Tapi di balik kedisiplinan dan keseriusan yang
selalu tampak di wajah lelaki itu, jangan terkejut jika ternyata ia bisa
menjadi sangat jenaka ketika bercanda dengan anak-anak kecil. Ini saya saksikan sendiri di Nusa Pustaka, sebuah perpuskaan swadaya di Pambusuang ketika ia membacakan sebuah dongeng kepada beberapa anak yang ada di sana dengan aksen Eropanya yang masih terasa kental sehingga membuat anak-anak yang tidak terbiasa mendengarnya tak bisa menahan tawa. Melihat anak-anak itu tertawa, Horst malah membalasnya dengan bercanda hingga kami yang ada di sana semua ikut terbawa suasana gembira itu.
Dari sekian itu, yang paling membekas bagi pribadi
saya adalah militansi dan totalitasnya dalam pelaksanaan kegiatan. Tidak sulit
menemukan sosoknya yang berkulit terang di antara tim-nya yang rata-rata
berkulit gelap ikut berpeluh, berjuang menyukseskan hal yang diembannya. Yang
terbaru adalah ketika pria yang seyogyanya menjadi koordinator panitia Sandeq
Race 2017 (namun terdepak bersama ketua umum, ketua harian serta bendahara
panitia dan diganti oleh orang pemerintahan) ini tertangkap kamera sedang
mengangkat sendiri dus-dus air mineral untuk timnya. Belum lagi dokumentasi
pelasanaan Sandeq Race sebelum tahun 2012 yang selalu ia tangani sebelum
diambil alih oleh Pemprov Sulawesi Barat, banyak memuat wajahnya.
Apakah dengan batalnya ia bersama timnya menahkodai
Sandeq Race 2017 merupakan akhir tantangan baginya?. Ternyata tidak !.
Dari sumber terpercaya menyebutkan bahwa akibat
kucuran dana kegiatan Sandeq Race 2017 dari Pemprov Sulawesi Barat sempat
tertunda hingga event yang mestinya menjadi kebanggan kita bersama itu hampir
memasuki hari H maka ia memenuhi kebutuhan lomba untuk panitia dan calon
peserta seperti printer, poster, cat dan layar dll. dengan menggunakan dana
awal yang berasal dari salah seorang donatur dan sebagiannya lagi dengan
berutang ke toko nelayan di Pambusuang.
Belakangan kemudian diputuskan sepihak bahwa Horst dan
timnya tidak diamanahi menjadi nahkoda event lomba Sandeq Race 2017. Di sinilah ia memperlihatkan kualitasnya sebagai seorang
leader dan sekaligus profesional. Ia mengambil alih beban hutang keperluan
lomba itu pada toko nelayan dan sekaligus mengembalikan uang donasi yang telah
terlanjur digunakan tanpa bantuan tim-nya maupun orang lain.
Menurut saya, bisa jadi sikapnya ini merupakan
pembawaan lahir namun tidak menutup kemungkinan pula jika ini adalah salah satu
hasil dari pengalamannya selama belasan tahun mengurus perahu sandeq hingga ia mewarisi keberanian,
keuletan, soliditas dan, leadership yang ditanamkan leluhur orang Mandar.
Sebuah kepribadian yang belum tentu kita miliki sebagai orang yang lahir,
berdomisili dan, berdarah Mandar.
Lalu akankah kita yang selalu mengklaim diri sebagai
Mandar sejati hanya berpangku tangan melihat orang lain bahkan kerap dicap
sebagai orang asing berdiri sendiri menyelamatkan warisan yang mestinya menjadi
tanggung jawab kita?. Masihkah siriq kita miliki atau, Mandar memang sudah
harus menyerah sebagaimana penggalan syair Syuman Saeha?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar