24/02/2017

SEJARAH KOPI MANDAR(Sebuah Tulisan Awal Perkopian di Tanah Mandar)Part2. Oleh: Zulfihadi. Matakali, 23 Februari 2017.

Sebuah versi berbeda kemudian datang dari seorang penulis Eropa, Terance William Bigalke. Antropolog sekaligus pakar sejarah Indonesia dan Asia Tenggara modern. 

Dikutip dari http://www.cnnindonesia.com, Bigalke menuliskan fakta tersebut dalam buku berjudul Tana Toraja: A Social History of An Indonesian People (2005), merujuk pada kesaksian seorang Belanda bernama Van Dijk. Sebelum membuka perkebunan kopi di Pegunungan Rantekarua pada 1900-an, Van Dijk menemukan pohon kopi berusia sekitar 200 tahun di Desa Sa'dan, Toraja Utara.

Ini artinya bahwa masyarakat Toraja sudah mengenal kopi sejak awal tahun 1600. Hal ini cukup masuk akal mengingat pedagang-pedagang Arab telah berinteraksi dengan pedagang nusantara jauh sebelumnya dan menjadi kebih intens pasca jatuhnya bandar Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 dan bandar Sunda Kelapa menyebabkan para pedagang Arab yang senantiasa berseteru dengan pedagang Eropa terkait perang Salib, mencari bandar niaga lain yang tidak dikuasai oleh orang Eropa. Dan sejarah membuktikan bahwa pilihan itu jatuh ke bandar Makassar. 

Bahkan ada yang menyebut jika kopi telah dipertukarkan oleh pedagang Arab dari Jawa dengan emas, porselen dan kain pada abad XIV hingga memungkinkan masyarakat lokal bisa menyerap kosakata qahwa untuk menyebut kopi. Walau demikian, ha ini masih membutuhkan kajian mendalam.
Harga kopi yang melambung di pasaran dunia menyebabkan persaingan kopi di Toraja menjadi panas. Para pedagang luar bersaing untuk mendapatkan komoditi itu dengan cara mendekati dan menjalin kerjasama dengan para pemimpin lokal. 

Sebut saja para pedagang Bone dan Luwu bekerjasama dengan Pong Maramba dari Toraja bagian utara, sementara Sidenreng, Wajo, Soppeng dan pedagang-pedagang Arab membangun afiliasi dengan Danduru dan Pong Tarongko.

Dengan demikian tercipta pula dua jalur perdagagan kopi sesuai asal kedatangan pedagang-pedagang tersebut. Bone dan Luwu membawa kopi melalui jalur timur melalui Sa’dan – Balusu - Sesean - Rantepao - Rantebua - Pelabuhan Bua di Palopo. Sementara pedagang Sidenreng, Wajo, Soppeng dan Arab melewati jalur Barat melalui Pangala – Dende - Piongan - Kurra - pasar Rantetayo – pelabuhan Pare-pare.

Tensi persaingan untuk mendapatkan kopi terus meningkat hingga berakibat pada pecahnya perang lokal di antara penguasa-penguasa adat yang ada di Toraja dibantu oleh sekutunya yang merupakan pedagang-pedagang luar tersebut. 

Perang itu dikenal sebagai Perang Kopi I dan berlangsung dari tahun 1887 dan berakhir tahun 1888.
Agak reda sesaat, lalu kemudian pada tahun 1889 pasukan kerajaan Bone dibantu oleh pasukan Gowa dan Mandar ..... (Bersambung lagi....)

23/02/2017

SEJARAH KOPI MANDAR (Sebuah Tulisan Awal Perkopian di Tanah Mandar) Oleh: Zulfihadi. Matakali, 23 Februari 2017.


Manusia mengenal beragam minuman dengan ciri khas dan khasiatnya masing-masing. Dari sekian banyak minuman itu, saya memilih untuk menuliskan cerita singkat tentang kopi.

Alasannya simpel, selain kopi adalah minuman rakyat yang mendunia, perjalanan sejarah kopi juga lebih menarik dengan banyak bumbu, mulai dari legenda, perang, perbudakan, agama maupun wanita. Alasan lainnya adalah karena tulisan tentang kopi masih sangat minim, jikapun ada buku tentang kopi, harganya masih selangit. Terkhusus tulisan tentang sejarah kopi Mandar, bisa dibilang belum ada.

Minuman kopi yang belakangan ini sedang tenar berasal dari tanaman kopi dengan cara mengolah buahnya yang berdaging manis.

Ada perbedaan tentang waktu penemuan kopi ini dibeberapa sumber. Dikutip dari buku Outlook Kopi terbitan Pusat Data dan Informasi Pertanian Sekjen Kementrian Pertanian tahun 2015 (ebook pdf) bahwa dalam buku the Coffee Book: Anatomy of an Industry from Crop to the Last Drop disebutkan jika kopi pertama kali ditemukan antara tahun 575-850 M. oleh suku Galla di Ethiopia yang memanfaatkan kopi sebagai sejenis makanan penambah energi “energy bar”.

Sementara itu, situs wikipedia menyebut bahwa sebuah legenda menyatakan bahwa kopi pertama kali ditemukan oleh seorang pria penggembala kambing dari suku Galla di pedalaman Ethiopia, Afrika sekitar tahun 1000 SM. Konsumsi kopi cukup lama terisolasi dan terbatas hanya oleh masyarakat Ethiopia. Nantilah pada abad V atau lebih minuman ini dikenal orang Arab.

Sekitar abad VIII M. seiring dengan perkembangan agama Islam, kopi juga menyebar dengan pesat. Kopi disebarkan melalui Mocha, pelabuhan ternama di Yaman pada masa itu.

Meski minuman kopi telah menyebar luas hingga ke Eropa, pembudidayaannya sangat terbatas hingga berabad-abad kemudian. Hal ini disebabkan oleh pedagang Arab hanya memperdagangkan biji kopi yang sudah di-infertil sehingga tidak memungkinkan untuk ditumbuhkan.

Semasa hidupnya, seorang muslim ahli kedokteran ternama bernama Ibnu Sina yang oleh orang Eropa dikenal sebgai Avicena meneliti zat kimia yang terkandung dalam kopi. Dalam catatannya, Ibnu Sina menyebut kata “bunn” dan mempunyai deskripsi sama persis dengan kopi pada masa sekarang.

Tahun 1600, untuk pertamakalinya biji kopi fertil dibawa pulang oleh seorang India bernama Baba Budan setelah melaksanakan ibadah haji di Mekah. Tahun 1616 hingga tahun 1696 merupakan golden age penyebaran tanaman kopi. Italia, Inggris, Amerika Utara, Prancis dan Sri Lanka serta Hindia Belanda (Indonesia) menjadi tujuan-tujuan awal penyebaran kopi.

Sebuah versi menyebutkan bahwa Indonesia pertama kali mengenal kopi pada tahun 1696 saat Gubernur Hindia Belanda mendapat kiriman kopi dari Gubernur Belanda di Malabar. Sayangnya kopi pertama ini tidak berhasil panen setelah terbawa banjir, hingga tahun 1699 Gubernur Hindia Belanda kembali mendapat kiriman kopi. Bibit kopi ini berhasil tumbuh dan panen pada tahun 1711 dan terus meningkat hingga mencapai volume ekspor 60 ton/tahun. VOC juga menguasai monopoli perdagangan kopi di luar Arab sejak tahun 1725-1780.

Bibit-bibit kopi dari Batavia itu kemudian dibawa ke seluruh nusantara termasuk Sulawesi. Secara kebetulan pada waktu itu suasana perang Makassar sudah mereda (tidak benar-benar aman sebab selalu saja ada pertempuran yang pecah di banyak penjuru Sulawesi) dengan kemenangan kerajaan Bone yang bersekutu dengan VOC.

Dari kemenangan itu VOC kemudian memanfaatkan kerjasamanya dengan kerajaan Bone untuk menyebarkan tanaman kopi hingga kepedalaman Tanah Toraja.

Tapi versi ini menyisakan sebuah pertanyaan, jika VOC yang menyebarkan tanaman ini ke Toraja tentu masyarakat Toraja lebih mengenal minuman ini dalam bahasa Belanda yakni “koffi”. Nyatanya, orang Toraja dahulu, bahkan hingga sekarang sebagiannya justru menyebut minuman ini dengan “kaa” ada juga yang menyebutnya “qahwa”. Sebuah terminologi Arab untuk menyebut kopi. Ini mengindikasikan bahwa minuman ini sudah dikenal oleh masyarakat secara meluas sebelum VOC membawanya untuk dibudidayakan secara luas.

Sebuah versi berbeda kemudian datang dari seorang penulis Eropa, bernama...(bersambung...)

Diolah kembali dari :
- Outlook Kopi terbitan Pusat Data dan Informasi Pertanian Sekjen Kementrian Pertanian tahun 2015 (ebook pdf)
- http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160508160635-269-129200/toraja-dan-emas-hitam-bernama-kopi/
- https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_kopi
- https://www.facebook.com/657151224390172/photos/a.657719207666707.1073741828.657151224390172/657719191000042/?type=1&theater
- https://anaktator.blogspot.com/dokumen-perang-kopi-di-toraja/

21/02/2017

EKSPEDISI KUNYI

Matakali, 18 Februari 2017, berawal dari postingan facebook tentang sebuah mesjid tua di dusun Kunyi, kelurahan Anre Api. Saya dan Yusri, seorang kawan yang berprofesi sebagai jurnalis ingin menjajaki seberapa tua kira-kira mesjid tersebut. Namun kesibukan sebagai penyelenggara pemilihan gubernur Sulawesi Barat periode 2017-2022 tidak memberi kesempatan untuk segera menindak lanjuti temuan tersebut. Olehnya itu, barulah pada hari Sabtu tanggal 18 Februari 2017 menjadi waktu perjanjian kami untuk bertemu dan bersama-sama menuju ke lokasi. Mujahidin Musa yang juga rencananya ikut berekspedisi, batal karena sesuatu hal teknis, maka perjalanan itu kami lakukan berdua saja

Sinar mentari cukup panas memanggang mengantar perjalanan kami menyusuri jalan poros Polewali-Mamasa yang relatif bagus. Namun hal itu tak berlangsung lama sebab hawa sejuk pedesaan segera menyambut kami begitu memasuki wilayah kelurahan Anre Api yang jaraknya memang tidak begitu jauh dari kota Polewali. Jalanan yang meski agak sedikit menanjak namun cukup mulus dan tidak menyulitkan si Sushi (Suzuki Smash Hitam.....hehehe) tua yang kukendarai untuk melewatinya. Jalan poros yang diapit oleh bukit berhutan di sisi kanan dan sungai Lantora di sisi kirinya menyajikan kesejukan dan kedamaian.

Tidak berapa lama kemudian kami sampai di rumah kepala dusun Kunyi. Kami mendapatinya sedang memperbaiki pagar pekarangan, jadilah kami berbincang di depan rumah beliau yang berada persis di tepian sungai dengan banyak bebatuan. Dalam fikirku, pasti asyik jika di sungai ini ada wisata olah raga arung jeramnya. Tepat di seberang sungai depan rumah pak kepala dusun itulah, mesjid yang diduga berusia paling tidak 3 atau 4 abad itu berada. Namun ternyata struktur dan bangunan mesjid tidaklah setua dugaan saya. Meskipun arsitekturnya masih menyisakan gaya lokal dengan atap bersusun, namun bahan yang digunakan menunjukkan jika bangunan itu belumlah mencapai usia seabad. Menurutnya, mesjid tersebut pada awalnya dibangun oleh kakek dari imam terakhir mesjid yang diberi nama “Mesjid Alauddin”  dan telah meninggal sekitar tahun 1988. Dari informasi itulah saya mencoba menebak dengan perhitungan generasi bahwa mesjid tersebut dibangun sekitar awal 1900. Dan dugaan itu kemudian dikuatkan dengan cerita pak dusun bahwa bangunan itu telah dipugar pada tahun 70-an dan tidak menyisakan struktur asli. Mengetahui kenyataan, kami berdua tak berlama-lama lagi berada di lokasi dan bermaksud pulang ke rumah masing-masing.

Di tengah perjalanan, Yusri memberitahu bahwa di belakang PUSTU (Puskesmas Pembantu) Anre Api ada juga bekas bangunan yang menurutnya sudah tua. Sisa bangunan itu sempat ia lihat ketika meliput kebakaran hutan pada bulan Oktober tahun 2015 lalu. Ia meminta pendapat saya, apakah saya mau melihatnya atau tidak. Dan tanpa pikir panjang saya meng-ia-kannya. Jadilah kami melewati jalan setapak di samping rumah penduduk menuju kaki bukit. Berjarak sekitar 50 meter dari rumah penduduk kami memarkir kendaraan, sementara di depan kami nampak bangunan-bangunan mirip pilar tersembunyi oleh semak-semak dan rerumputan liar.

Pada mulanya saya menyangka bahwa bangunan yang berada di titik koordinat -3.387986, 119.355877 itu adalah bekas pintu gerbang, sebab awalnya hanya dua yang nampak oleh saya. Nantilah beberapa saat baru Yusri menunjukkan bahwa “pilar-pilar” tersebut rupanya berjejer, termasuk dua yang sudah tumbang. Segera saya turun ke bagian tengah yang memang agak rendah, meneliti pilar-pilar itu satu persatu. Mengamati barisan pilar yang makin ketepi makin pendek sementara bagian atasnya masih sama tinggi, dan juga salah satu sisi lokasi tidak terdapat barisan pilar. Saya berasumsi bahwa bagian dinding timur serta sebagian bangunan lainnya itu telah tertutup oleh longsoran tanah perbukitan yang ada di sampingnya.

Pilar yang berbentuk segi empat itu pada bagian ujung atasnya berukuran 60 cm.x50 cm. dan makin ke bawah makin besar. Jumlah keseluruhan pilar adalah 25 dengan jarak antar pilar adalah 250 cm. 5 pilar di antaranya berada di sisi selatan, 5 di utara dan 15 di sisi barat yang merupakan bagian memanjang dari struktur bangunan. Pilar-pilar itu dihubungkan dengan sebuah dinding batu dengan ketebalan 30 cm. dan sebagiannya sudah hancur. Pilar yang saya ukur dari sisi luar yang berada di sebelah utara dan berdiri tepat di tepi sungai kecil (selokan air) mempunyai ketinggian 280 cm. sementara yang paling pendek di sebelah selatan setinggi 150 cm. dari permukaan tanah. Dari situ saya berasumsi jika dinding bangunan itu dulunya berketinggian 3 meter, cukup tinggi untuk disebut benteng. Bisa juga arsenal atau gudang senjata bahkan bisa pula keduanya. Konon di samping struktur itu pernah pula ditemukan beberapa pucuk senjata api ketika masyarakat melakukan penggalian untuk sumur umum.

Di bagian dalam, nampak sebuah barisan batu yang direkatkan yang jika benar tersambung hingga ke bawah tanah, bisa jadi merupakan sebuah dinding yang membentuk sebuah ruangan dalam, mungkin kamar?.

Mengukur tinggi dinding dari permukaan tanah yang masih nampak

(Photo: Yusri)

Yang membuat saya tidak habis pikir kemudian adalah, kenapa struktur bangunan itu dibuat dari batu karang?. Sementara di daerah tersebut ketersediaan batu kali yang sangat bagus untuk bangunan cukup melimpah dan mudah didapati. Pertanyaan itu terus berputar di dalam kepala saya hingga tulisan ini saya buat tanpa sedikitpun kemungkinan jawaban saya dapati. Dan rasa penasaran itu pula yang mengantarkan saya hingga pulang dan menyelesaikan ekspedisi Kunyi bagian pertama ini bersama sebuah harapan bahwa semoga gubernur Sulawesi Barat yang baru bisa memperhatikan keberadaan bangunan tua ini dan bangunan-bangunan tua yang lain hingga Mandar tak kehilangan sejarahnya kelak.
Salah satu pilar, dibuat dari konstruksi batu karang.
(Photo: Yusri)
Ilustrasi sederhana denah situs

15/10/2016

TRAGEDI KEBUDAYAAN. TERJADI LAGI..!!





 Plang petunjuk yang pernah dipasang oleh pihak DisBudPar Pol-Man

(foto: Dalip) 

Sudah cukup banyak rasanya perusakan terhadap cagar budaya dan sejarah terjadi. Penambahan makam palsu di kompleks makam Pallabuang  (Tinambung, Polman), Allamungan Batu Dzi Luyo, peristiwa Balla Lompoa di Makassar (Su-Sel). 

Kini kembali sebuah tragedi menyambut kami di desa Lambanan Kab. Polman saat kami dari Tim Pendata Cagar Budaya dan Sejarah Kab. Polman, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Polman dan tim dari BPCB Makassar (Wilayah kerja Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara) melakukan kunjungan sebagai tindak lanjut validasi situs dan benda cagar budaya. Kaget, marah dan sedih bercampur dalam dada ketika saya yang saat itu duduk di jok paling belakang mobil dinas DISBUDPAR Polman yang kami tumpangi bertujuh. Saya melongok lewat jendela melihat bagaimana lokasi mesjid Abadan desa Lambanan hanya tinggal empat tiang kayu yang sekelilingnya telah digali untuk pembuatan pondasi baru. Dengan tergesa kami turun sebelum mobil yang kami tumpangi berhenti sempurna lalu bergegas langsung ke tempat yang beberapa waktu lalu masih menjadi pekarangan mesjid.

Mesjid Abadan merupakan mesjid yang pertama kali didirikan di Mandar (versi lain menyebutkan bahwa mesjid pertama ada di Tangnga-Tangnga yang ada antara Lambanan dan Pallis sebagai mesjid pertama. Namun situs ini sudah tak terlihat dari permukaan saat ini) yang didirikan oleh K.H. Musyafta Bullah atau lebih dikenal dengan gelar Annangguru Malolo dan makamnya berada tidak jauh dari situs mesjid Abadan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa mesjid ini dibangun sekitar tahun 1600-an.

Beberapa orang yang kebetulan berada di dekat lokasi melihat dengan heran akan kedatangan kami, kemudian datang mendekat. Dari merekalah kami mendapat informasi bahwa pekerjan pembongkaran mesjid itu adalah perintah dari kepala desa Lambanan dan baru sekitar dua bulan lalu pengerjaannya (pertengan bulan Agustus ?) . menggunakan jasa skavator yang kebetulan sedang bekerja untuk pembangunan jembatan di dekat situ. 

Mendapat informasi tersebut, Ka.Bid. Kebudayaan DisBudPar Polman dan beberapa staf segera menuju rumah kepala desa. Sementara saya, tim BPCB Makassar dan beberapa staf yang lain tetap berada di lokasi dan menyisir lokasi.
Saat berdiri di tepi galian itulah kami melihat struktur asli bangunan mesjid yang telah tertimbun selama berabad-abad, kembali tersingkap oleh proses pembongkaran yang dilakukan dengan alat berat itu. 

Dalam pandangannya tim BPCB menyimpulkan bahwa material yang digunakan dalam pembangunan itu sangat mirip dengan material yang digunakan dalam pembangunan mesjid tua Palopo, Sulawesi Selatan. Sturktur batu alam yang dipahat dengan cukup presisi lalu disusun menjadi sebuah pondasi lalu diatasnya diletakkan ubin lantai. Dari singkapan itu juga terlihat adanya lapisan arang dan abu bekas pembakaran yang cukup luas dan berada tepat di atas material ubin terakota ditemukan. Sehingga ada kesimpulan bahwa pembuatan terakota yang digunakan untuk lantai mesjid itu dulunya dibuat dilokasi itu. Dari tinggalannya, tidak diragukan lagi bahwa mesjid Abadan adalah peninggalan Islam masa lalu dari abad 17.

Setelah selesai melakukan pengamatan disekitar lokasi, akhirnya kami pun menyusul ke rumah kepala desa. Khaerullah. Di sana kami mendengar langsung penuturan dari kepala desa bahwa pembongkaran itu dilakukan atas dasar janji dari pengelola Yayasa ASA. Yayasan yang dimiliki oleh salah seorang anggota DPR RI, Asri Anas. Menurutnya, ia sudah menyampaikan niat untuk membangun situs itu kepada beberapa pejabat yang pernah datang ke desa Lambanan. Perlu diketahui bahwa desa Lambanan memang kerap dikunjungi oleh pejabat Pol-Man dan Sul-Bar sebab memiliki ritual religi yang khas dan dipercaya sebagai salah satu kampung tua. Bahkan tidak ada wilayah di Polewali Mandar yang boleh melakukan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. yang dirayakan setiap tahunnya sebelum Lambanan melakukannya.

Namun dari sekian pejabat yang menjanjikan bantuan, hanya Asri Anas yang kemudian benar-benar mewujudkan janjinya meskipun agak tersendat dan dilakukan dengan agak memaksa untuk menunaikan janjinya tersebut. Masih menurut keterangan Khaerullah, jumlah bantuan yang dijanjikan sebesar 1,2 M. yang dikucurkan baru 40 juta rupiah dan berangsur. Katanya bangunan yang nantinya akan didirikan itu hanya tempat ibadah tirakat atau semacamnya, bukan sebagai mesjid. Namun gambar rencana pembangunan yang diperlihatkan pada kami justru memang sebuah mesjid lengkap dengan menara.


                                       
Pertemuan kepala desa Lambanan bersama Tim BPCB Makassar, Tim Pendata Cagar Budaya Pol-Man, Disbudpar Polman.
(foto: Dalip)

Dikonfirmasi oleh kepala dinas kebudayaan Polewali Mandar. Bahwa sesungguhnya Yayasan ASA yang menyumbang untuk pembangunan itu telah melaporkan keinginannya kepada pemerintah, dan pemerintah pun telah melayangkan surat balasan dengan nomor B-191/Disbudpar/Bid.Budaya/430/02/2016, bertanggal 15 Februari 2016 yang isinya secara garis besar adalah meminta pihak ASA untuk menunda keinginannya sampai ada petunjuk dari Balai tentang mesjid Lambanan yang telah didaftarkan ke BPCB Makassar.

Apapun yang terjadi, nasi sudah menjadi bubur. Alat berat sudah terlanjur melakukan penggalian dan pembongkaran. Tinggal kita semua harus memikirkan cara untuk menyelamatkan apa yang tersisa sekalipun tinggal sedikit. Namun demikian hukum tetap mesti ditegakkan sebab bagaimanapun situs mesjid Abadan telah masuk dalam database cagar budaya kabupaten Polewali Mandar. Papan petunjuk dengan tulisan yang cukup besar dan jelas pun telah dipasang di pintu gerbang situs. Ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap undang-undang no.5 tahun 1993 dan PP. No. 10 tahun 1992 pasal 26 yang bunyinya:
“Barangsiapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).  “.

Untuk itu amat sangat diminta perhatian pemerintah dan penegak hukum untuk mengusut dan menyelesaikan masalah ini. Sebab ini adalah bencana. Ini adalah tragedi. Bencana dan tragedi kebudayaan dan kemanusiaan. Selamatkan sejarah dan budaya kita !. 
Mesjid pertama di Mandar tinggal rangka.
(foto: Dalip)

 


02/08/2016

Download aplikasi android Lontar Digital v.2.2.0

Sdah cukup lama sebenarnya sejak aplikasi lontaraq digital mengalami revisi, dan sudah berkali-kali pula revisi itu kami lakukan. Publikasi yang kami lakukan dengan melalui fihak ketiga google play sudah tiga kali namun selalu dibanned secara sefihak. Olehnya itu kami memutuskan untuk menggunakan jasa blog sebagai media penyebaran aplikasi ini. Lalu apa yang baru pada versi terakhir ini?. Pada aplikasi ini, anda dapat mengenal aksara lontar Mandar, belajar penggunaannya dengan melihat pepatah Mandar, latihan mengalihtuliskan aksara lontar ke aksara latin, dan jika anda terhubung ke jaringan internet maka anda dapat langsung mengakses situs media sosial kesayangan anda dengan mengklik tombol "media cocial". Untuk mendapatkan aplikasi lontaraq digital terbaru kami, silahkan klik link berikut UNDUH DI SINI

04/07/2016

KOPI. DARI MINUMAN, OBAT HINGGA PERANG

Siapa yang hari ini tidak mengenal kopi, minuman sejuta umat. Ia menjadi minuman sejak dari kelas  rakyat jelata di teras gubug hingga ke resto-resto terkenal yang disambangi oleh kaum jet set. Jika anda berfikir bahwa kopi baru terkenal belakangan setelah Dee menulis sebuah novel berjudul Philosofi Kopi, atau setelah usaha warkop dan cafe menjamur bagai cendawan dimusim hujan, maka anda keliru.

Kopi memang sudah menorehkan sejarahnya bahkan jauh sebelum kita yang bernafas hari ini belumlah berupa orok. Sejarah kopi telah menapaki perjalanan panjang kesejarahan dalam peradaban manusia, terkadang kisahnya sepahit rasa seduhan bijinya, terkadang pula semanis daging buahnya. Kopi sebagai salah satu komoditi potensial pada masa pemerintahan VOC telah memberikan keuntungan besar bagi mereka, sementara di sisi lain justru menyebabkan penderitaan masyarakat di nusantara melalui penerapan cultivation cultuur stelseel. 

Efek keberadaan kopi di Mandar juga mebawa perubahan luar biasa dari satu segi. Kalau kita mengkaji sejarah, maka kita akan menemukan bahwa kopi telah menjadi pencetus utama hingga kemudian orang Mandar mengenal dan menggunakan sokkoq biring sebagai penutup kepala pakaian adat resmi masyarakat Mandar khususnya kaum bangsawan lelakinya (penutup kepala yang lain untuk laki-laki adalah destar atau passapu, ada juga yang menyebutnya tombo paduang). Maka tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa dengan panjangnya sejarah perkopian dengan berbagai peristiwa yang mengiringinya kopi telah membentuk pula lahirnya sebuah kebudayaan luhur anak bangsa ini.  

Selain Aceh atau Bandung, Tana Toraja di Sulawesi juga cukup terkenal di dunia sebagai penghasil kopi yang berkualitas bahkan menurut sebuah informasi bahwa kini kopi Toraja menduduki peringkat kelima sebagai kopi paling enak sedunia.  Sementara untuk daerah Sulawesi bagian barat, penghasil kopi yang cukup dikenal bahkan sampai di Eropa adalah kabupaten Mamasa dengan luas areal 23.419 ha.

Masuknya kopi di Nusantara.
Bersumber dari sebuah blog menyebutkan bahwa kopi pertama kali didatangkan ke Batavia (sekarang bernama Jakarta) adalah jenis arabika yang dibawa oleh komandan pasukan VOC bernama Adnan Van Ommen dari Malabar pada tahun 1696. Sayangnya tanaman-tanaman itu kemudian musnah oleh peristiwa banjir hingga pada tahun 1699, didatangkan lagi bibit-bibit tanaman baru. Pada awal-awal tahun 1700-an itulah kopi sebagai komoditi dagang benar-benar mencapai puncak keemasan. Bagaimana tidak, pada masa itu kopi dihargai sampai 3 guilder perkilogramnya yang jika dikurskan ke dalam rupiah pada masa sekarang sama dengan 100 US dollar perkilogram atau setara Rp. 1.300.000/kg. Sungguh suatu harga yang luar biasa, hal ini menyebabkan hanya kalangan-kalangan konglomerat kaya saja yang dapat menikmati secangkir kopi. Harga selangit ini terus bertahan hingga memasuki akhir abad XVIII harga kopi kemudian jatuh dengan drastis hanya 0,6 guilder/kg. sehingga kopi kemudian bisa dinikmati oleh kalangan yang lebih luas.

Sekitar akhir abad XIX kejayaan kopi arabika mengalami kemunduran hebat oleh adanya serangan hama karat daun yang diduga masuk ke nusantara pada tahun 1876 yang menyebabkan keberadaan perkebunan kopi nusantara nyaris musnah. Hanya perkebunan-perkebunan kopi yang berada di ketinggian 1000 mdpl. saja yang masih mampu bertahan dari hama ini. Lalu kemudian pemerintah Belanda mendatangkan lagi kopi varietas lain yakni liberika. Kopi jenis liberika ini rupanya juga tidak memiliki daya tahan yang lebih baik dari jenis arabika. Selain itu kopi jenis ini tidak mendapat sambutan yang begitu hangat di pasaran mengingat rasanya yang lebih asam. Untuk mengatasi permasalahan ini, kembali didatangkan jenis kopi baru yaitu jenis robusta. Jenis ini rupanya lebih tahan penyakit dan perawatannya relatif lebih mudah serta rasanya yang bisa diterima oleh kebanyakan konsumen kopi.


Selain sumber informasi mengenai awal keberadaan sejarah masuknya kopi di Tana Toraja seperti disebutkan sebelumnya, ada pula informasi yang datang dari Tempo.co.id yang menyebut bahwa kopi dibawa oleh para pedagang Arab pada abad XIV. Hal ini mungkin cukup bisa diterima mengingat orang Toraja menyebut kopi dengan kawaq (kawa’), sangat mirip dengan sebutan orang Arab untuk objek yang sama yakni kahwa. Seorang teman penulis yang orang Toraja juga sempat membagi informasi bahwa salah seorang kakeknya pernah menyebutkan jika orang Toraja sudah mengenal kopi jauh sebelum kedatangan orang Eropa di Tana Toraja.

Demikianlah sekilas sejarah kopi di Sulawesi, mengenai manfaatnya selain sebagai minuman serta bagaimana pengolahan pasca panen akan kita bahas dalam tulisan Kopi. Dari Minuman, Obat Hingga Perang #2.

08/04/2016

SEPAK TERJANG 710 DI TULUNG AGUNG

Andi Selle. Mungkin banyak yang tidak kenal dengan sosoknya, namun mantan komandan tentara 710 ini menjadi terkenal setelah memimpin anak bahnya melakukan pemberontakan terhadap pemerintah resmi Republik Indonesia. Sebagian orang menyebut bahwa pemberontakan 710 pimpinan Andi Selle merupakan sebuah aksi protes atas ketidak adilan pemerintah waktu itu yang bermaksud untuk merasionalisasi tentara nasional. 

Terlepas dari latar belakang yang menyebabkan terjadinya pemberontakan, namun yang pasti bahwa sisa-sisa kekejaman 710 masih terekam di dalam memori sebagian masyarakat khususnya di Polewali Mandar yang sempat mengalami masa suram itu. Hampir serupa di daerah lain di Polewali Mandar, masyarakat desa Sumberjo yang berada di kecamatan Wonomulyo kabupaten Polewali Mandar juga mengalami suasana yang mencekam. Seperti yang dialami oleh Sorok Martonadi (80 tahun), warga dusun Tulung Agung, desa Sumberjo. 

Dalam ingatannya bahwa kejadian itu terjadi sekitar tahun 1963 atau 1964 (ia tak begitu ingat lagi tahun persisnya), saat ia berumur 27 tahun. Dengan suara sengau karena tak satupun lagi gigi yang bertengger di dalam mulutnya, ia bercerita tentang bagaimana 710 masuk ke kampung melakukan perampokan dan penculikan. Jika mereka melihat ayam atau kambing, maka mereka akan menyuruh pemiliknya untuk menangkap untuk mereka bawa, jika tidak maka mereka akan menangkapnya sendiri. Tentara 710 juga menurutnya sangat suka dengan ayam trondol atau manu kalondo dalam bahasa Mandar, entah apa alasannya. 

Pernah sekali waktu seorang tentara datang ke Tulung Agung, di sana ia bertemu dengan seorang gadis yang kemudian diperkosa oleh si serdadu. Oleh keluarga si gadis, tentara itu kemudian dikejar. Ia ternyata lari ke markasnya dan memanggil beberapa kawan serdadunya. Dengan menenteng senjata, ia dan kawan-kawannya kembali ke dusun itu dan menembak orang-orang yang tadi mengejarnya. Tujuh orang penduduk desa keluarga gadis korban perkosaan itu yang terpaksa meregang nyawa ditembak oleh para serdadu 710. 

Tentara 710 pimpinan Andi Selle bukan hanya sekedar menyatroni perkampungan, tapi juga diketahui sering melakukan pengadangan. Lokasi utama mereka melakukan pengadangan adalah pertigaan Labasang (jalur Wonomulyo – Polewali – Tonro Lima). 

Perampokan, penculikan dan pemerkosaan para anggota 710 waktu itu diperparah lagi dengan adanya upeti berkedok sumbangan yang dibebankan kepada setiap kepala keluarga sebesar Rp.2500 / bulan. Sebagai perbandingan untu menilai mata uang waktu itu, tahun 1990an penulis masih bisa membeli sepiring nasi kuning dengan harga Rp.25. Sehingga bisa dibayangkan bahwa jumlah Rp.2500 yang harus dibayar sebagai upeti waktu itu sangat mencekik warga masyarakat. 

Selain 710, keadaan diperkeruh pula dengan munculnya gerombolan-gerombolan liar yang lebih dikenal dengan sebutan Gurilla. Kelompok-kelompok liar bersenjata ini juga melakukan perampokan, penculikan dan pemerkosaan. Penculikan mereka lakukan untuk dijadikan sebagai pekerja paksa atau bahkan dijual. Termasuk teman Sorok yang bernama Kabul dan Kusman yang keduanya merupakan warga Sugihwaras diculik dan hingga kini tak diketahui nasibnya. 

Satu catatan, bahwa untuk meminimalisasi gangguan para serdadu 710 maupun tentara Gurilla. Warga terpaksa menikahkan anak-anak gadisnya sedini mungkin agar tidak menjadi korban pemerkosaan. Sorok juga sempat mengisahkan bahwa dulu, tidak jauh dari rumahnya pernah tumbuh sebatang pohon kayu putih yang tinggi menjulang hingga ujung pohonnya dapat terlihat dari arah WTC (Wonomulyo Trade Centre) alias pasar induk Wonomulyo. Namun belasan tahun lalu, pohon tersebut sudah tumbang. Pohon itu menurutnya adalah saksi bisu akan sejarah dusunnya yang penuh suka dan duka. Ia hanya berharap agar sejarah kelam yang pernah ia dan kampungnya alami menjadi sebuah pembelajaran berharga oleh generasi selanjutnya agar tidak pernah terulang lagi. Ucapnya mengakhiri obrolan kami pada hari Jum’at, 1 April 2016.

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...