28/09/2015

AlarMandar

Punya hp android yang mahal kadang buat kita was-was. Amankan hp android ta dengan mengaktifkan aplikasi anti maling berciri khas mandar ini. Mungkin sudah banyak aplikasi sejenis, namun ini tentang rasa kemandaran kita. Silahkan DOWNLOAD DI SINI

27/09/2015

PolmanInAndroid, apa itu?

PolmanInAndroid merupakan aplikasi yang dapat membantu anda mengenal potensi wisata atau hal-hal lain tentang Polewali Mandar. Aplikasi ini terwujud atas dasar kecintaan kepada Polewali Mandar sebagai litaq pembolongang. Yah, berhubung kepada sudah nyut-nyut menunggu fihak Play Store mengirim konfirmasi. Tak apalah, silahkan anda download aplikasinya DI SINI. Hitung-hitung anda bisa dengar puisiku ;) :D Bagi anda yang tertarik untuk mempromosikan usaha hotel, bengkel ataupun cafe, dengan biaya murah. Anda dapat menghubungi kami melalui fasilitas "SMS ADUAN" ataupun "@EMAIL" yang telah tersemat diaplikasi PolmanInAndroid.

21/09/2015

Masihkah kita Mala’bi’ Pau

Penulis: Mursalin (Aktif di Komunitas Appeq Jannangang, Taekwondo Cabang Polman dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) cabang Sulbar)
===================

Banyak pengertian jika kita ingin mengartikan kata Mala’bi’ dari beberapa referensi saya mendapat pengertiannya seperti berikut, Mala’bi’ dalam bahasa mandar dapat diartikan sebagai nilai-nilai luhur, mulia, rendah hati dan keutamaan dalam sifat-sifat berharkat dan bermartabat, ada juga yang mengatakan bahwa Mala’bi’ adalah konsep memanusiakan manusia. Semuanya benar tetapi menurut saya Mala’bi’ adalah ketika tidak ada hati yang terluka.

Mala’bi pau adalah salah satu pembagian dalam konsep mala’bi’, mala’bi’ pau ini mencakup tindakan kita sebagai manusia mandar dalam keseharian sebagai bentuk tuturan yang baik. Dewasa ini sepertinya kita lupa akan nilai-nilai luhur yang diturunkan oleh leluhur kita dalam berucap, bukan hanya percakapan langsung, media sosial seperti facebook, twitter dll seringkali menjadi tempat dalam menuliskan tuturan kita yang “tidak banget” mencitrakan kata mala’bi, tanpa disadari bahwa media sosial tersebut menjadi cerminan diri kita dalam lingkaran khalayak luas (publik). 

Beberapa pepatah yang sering didengar seperti "Mulutmu Harimaumu", "Lidah tak bertulang" dll, yang intinya menafsirkan bahwa yang dipegang dari manusia adalah kata-katanya. Tidak berbeda dengan petuah-petuah di Mandar yang biasa disebut dengan "Pappasang" beberapa Pappasang mengenai pentingnya kita menjaga tutur sapa yang sering saya dengar adalah :
"Mua' olo-olo' gulangna ditu'galang, mua' tau pau-paunna ditu'galang" (Binatang tali kekangnya yang dipegang, dan manusia kata-katanya yang dipegang). Pappasang ini ditujukan agar manusia mandar memegang tiap-tiap perkataannya, janji, ikrar atau semacamnya.

"Da patoyo-toyo pau mua' mane sallame'i tuyu' purrusmu, palambi'i dolo' sandappa, mua' ganna'mi sandappa pacoaimi passindingmu" (Jangan keras berbicara jika ikat celanamu baru sejengkal, genapkan dulu satu depa , jika sudah sedepa nmaka kuatkan pula dinding keilmuannmu). Pappasang yang pertama diatas saya fikir tidak perlu dikaji lebih jauh lagi karena sudah jelas, Pappasang yang kedua mengandung artian yang bukan sebenarnya, jika dikaji maka hasil kajian kasarnya kira-kira seperti ini :
"Da patoyo-toyo pau" = Jangan keras/kasar berbicara
maksud dari keras berbicara bukan keras dalam artian berteriak sekencang kencangnya akan tetapi keras yang berarti bersifat pilih tanding, menghina atau tetap berdiri teguh pada ucapan walau itu salah ataupun benar.
"Mua' mane sallame' tuyu' purrusmu, palambi'i dolo' sandappa" = jika ikat celanamu baru sejengkal, genapkan dulu satu depa. 2 kalimat ini hampir tidak bisa dipisahkan karena merupakan 1 kesatuan yang mempunya makna. Tuyu' Purrus = Ikat celana yang dimaksud disini bukan ikat pinggang (selipit) tetapi tali yang memilit disekitaran celana yang membuatnya tidak kedodoran, dimasa lalu dizaman Pemerintahan I Manyambungi atau Todilaling raja pertama kerajaan Balanipa dimana hukum yang berlaku pada saat itu Jika dua orang laki-laki bersengketa dan detelah dimediasi tidak ada penyelesaian maka akan Situyu’purrus atau diadu bertikaman menggunakan Jambia (badik) dalam sebuah kandang yang terbuat dari pohon Nipa dalam bahasa mandar disebut balanipa juga merujuk pada asal mula penamaan kerajaan Balanipa. Pemaknaan tuyu’ purrus pada kalimat dipepasang ini mengandung arti simbolis. Berikutnya “mua’ ganna’mi sadappa pacoaimi passindingmu” = jika sudah sedepa maka kuatkan pula dinding keilmuannmu. Makna sebenarnya dari kalimat ini adalah jika sudah siap untuk bertikaman mempertahankan kata-kata maka dinding keilmuan kita yang diperkuat, dinding keilmuan disini yang dimaksud adalah siap menghadapi/ memblok hal-hal yang tidak baik sebut saja ilmu hitam yang dikirimkan oleh orang-orang yang tersinggung atas kata-kata yang terlontar dimulut kita.

Jika dicermati tiap-tiap kalimat dari Pappasang diatas selain merupakan pesan-pesan leluhur yang bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa diperhatikan kalimat tersebut menggunakan kata yang bukan pada artian yang sebenarnya, dalam ilmu kebahasaan biasa disebut menggunakan majas hiperbola. Ini menandakan bahwa mereka sangat berhati-hati dalam tiap-tiap pemilihan kata-katanya atau diperhalus kata-katanya. Ini yang coba ditanamkan kepada para generasi mandar dewasa ini.

“Bahasa menunjukkan bangsa” pepatah ini yang kemudian tersirat dalam benakku jika coba dihubungkan dengan zaman kekinian, Kata-kata yang kita lontarkan memang bisa menjadi pisau bermata dua jika tidak hati-hati memilah kata yang akan kita keluarkan, karena akan ada saja orang-orang yang akan tersinggung atas apa yang keluar dari bibir kita sebagai manusia, dan pemilahan kata-kata yang baik dan tidak menyinggung perasaan orang lain ini sudah masuk kedalam istilah Mala’bi’ pau. Tanggung jawab moral menjadi salah satu landasan dalam mempertahankan Nilai-nilai luhur yang ditanamkan oleh para leluhur kita orang mandar, seharusnya sebagai manusia yang bermukim di bumi Tipalayo mampu untuk melestarikan bukannya malah merusak tatanan nilai yang ditanamkan oleh mereka. Seharusnya kita malu karena seringnya kita berkoar-koar mengenai Mandar adalah hunian yang mala’bi’ akan tetapi sifat, sikap dan kata-kata kita tidak mencerminkan kata sakral tersebut. Jadi Siapkah kita ber-mala’bi’ pau ??

IKRAR DAN TERJEMAHAN ALLAMUNGANG BATU DZI LUYO


• Ta'lemi manurunna paneneang uppasambulo-bulo ana' appona di Pitu Ulunna Salu, Pitu Babana Binanga, nasa'bi dewata diaya, dewata diong, dewata di kanang, dewata dikairi, dewata diolo, dewata diboe', menjarimi passemandarang.

• Tannipasa' tanniatonang, ma' allonang mesa malatte samballa, siluang sambu-sambu, sirondong langi-langi, tassi pande peo'dong, tassi pande pelango, tassipelei di panra', tassialuppei diapiangang.

• Sipatuppu diada', sipalele dirapang, ada tuo di Pitu Ulunna Salu, ada' mate di Muane ada'na Pitu

Babana Binanga.
• Saputangan di Pitu Ulunna Salu, simbolong di Pitu Babana Binanga.
• Pitu Ulunna Salu memata di sawa, Pitu Babana Binanga memata di mangiwang.
• Sisara'pai mata malotong anna mata mapute, anna sisara' Pitu Ulunna Salu - Pitu Babana Binanga.
• Mua diang tomangipi niangidang mambattangang tommu-tommuane, iya namappasisara' Pitu      
  Ulunna Salu - Pitu Babana Binanga, pasungi ana'na anna mumanusangi sau di uai tammembali.

Artinya :
• Sudah terfakta kesaktian leluhur moyang menyatu bulatkan anak cucunya di Putu Ulunna Salu dan Pitu Babana Binanga, diatas kesaktian dewata di atas, dewata di bawah, dewata di kanan, dewata di kiri, dewata di muka, dewata di belakang, lahirlah persatuan seluruh Mandar.

• Tak berpetak tak berpembatas, bersatu tikar bertikar selembar, sepembalut tubuh, selangit-langit, saling tidak memberi makanan rusak, saling tidak memberi minuman rusak, saling tidak meninggalkan dikesusahan, saling tidak melupakan pada kebaikan.

• Saling menghormati hukum dan peraturan masing-masing, hukum hidup di Pitu Ulunna Salu, hukum mati di suami adatnya Pitu Babana Binanga.

• Pitu Ulunna Salu menjaga ular (musuh dari darat/hutan), Pitu Babana Binanga menjaga hiu (musuh dari laut).

• Bila berpisah mata hitam dan mata putih, maka dapatlah pisah Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babana Binanga.

• Bila seseorang bermimpi mengidamkan seorang anak lelaki yang bakal memisahkan Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Babana Binanga, bersepakatlah untuk segera membedah perut yang hamil itu, lalu keluarkan bayi laki-laki itu, kemudian hanyutkan ke air yang tidak mungkin kembali lagi.
(Mujahidin Musa)

Pattuqdu Sarawandang Kerajaan Sendana Hasil Akulturasi Budaya dengan Kerajaan Gowa.

Penulis: Tulisan Mursalim /Kaco Kendeq Tandiapa
(Tomakaka Pemanaq Dewan Pendiri Appeq Jannangang,
Pembina Tim Sakkaq Manarang AJ)
=========================================

Somba Sendana dikenal dengan rumah akannya berjejer di tepian pantai, makanan seafood menjadi andalan para rumah makan ini, ada dua maskan andalan yang paling sering dihidangkan adalah tumis cumi dan tuing-tuing tapa (ikan terbang bakar). Tapi kali ini kita tidak akan membahas panjang lebar mengenai kulinernya somba, tetapi mengenai  Tari Pattuqdu yang ada di wilayah somba. Tari Pattuqdu diyakini hanya ada diwilayah Mandar saja  sama halnya Paqjoge di bugis, Paqgellu di Toraja dan Pakkarena di makassar. Tetapi ada hal yang lain pada Tarian Pattuqdu yang ada di somba.

Penelitian ini dilakukan pada bulan mei 2014, yang ikut pada saat itu, Ketua Yayasan Darputri Dra.  Sri Musdikawati. M.si, Pembina sanggar OneDo Sahabuddin Mahganna spd, Ketua sanggar OneDo, muh Ulfi Mahendra, saya sendiri dan Para penari sanggar Darputri.
Tujuan dilakukannya penelitian ini selain untuk menambah wawasan  tentang Tari-tarian yang ada di Mandar, yang diketahui sudah banyak tarian yang ada di mandar hampir punah juga untuk mempererat hubungan silaturahmi antar sanggar Darputri dan komunitas OneDo untuk membuat video tari yang akan di CDkan dan akan dibawa ke Amerika serikat guna memperkenalkan budaya tarian kepada warga negeri paman Sam.
Sebut saja I Dateq nenek yang sudah tua renta ini jika dilihat sepintas lalu sama seperti nenek-nenek lain, berjalanpun susah payah untuk dapat keruang tamu, namun siapa sangka nenek I Dateq ini dulunya seorang penari Kerajaan Sendana.

Nenek I Dateq 3 kali bersuami, suami pertama bernama Manurung dan dikaruniai seorang anak, suami ke dua bernama I Kalibong, nah dari Ayah Kalibong inilah atau Ayah mertua I Dateq sebut saja mamanya I Piara dia bukanlah orang Somba asli melainkan orang makassar, tetepi dialah yang kemudian berjasa mengajarkan Dateq muda menari Pattuqdu Sarawandang, setelah suami pertama dan keduanya meninggal, Nenek Dateq masih bersuami lagi dengan Laki-laki asal Somba bernam I Kaco dan dikaruniai 4 orang anak, meski bersuami lagi, mantan mertua Nenek Dateq yakni I Piara masih tetap memanggilnya untuk ikut menari dalam acara-acara kerajaan Sendana.

Dari segi gerakan, dan nama tarian tidak ada yang berbeda dengan Gerakan Pattuqdu Sarawandang yang diyakini oleh masyarakat mandar pada umumnya, yang membedakan adalah jenis pukulan Gendangnya dan juga Syair lagunya dari beberapa jenis pukulan gendang yang diperdengarkan kanda Sahabuddin mahganna yang lumrah di dengar dalam Tari Pattuqdu hanya satu yang dikenal oleh nenek I Date yakni, pukulan Pattuqdu Pillamba pukulan gendang Pakkanjaraq makassarpun sempat diperdengarkan namun beliau katanya tidak pernah dengar. Hal ini mengindikasiakan bahwa ada beberapa jenis pukulan Gendang Pattuqdu di Sendana sudah punah. Yang kedua yang berbeda adalah syair lagunya jika dalam Pattuqdu Sarawandang yang umumnya pernah dilihat orang ia menggunakan syair yang berbahasa mandar tapi Pattuqdu Sarawandang yang berasal dari kerajaan Sendana ini menggunakan syair lagu berbahasa makassar. Berikut adalah syairnya:

Syair Pattuqdu Berbahasa Makassar
Rimawela uji pale
Larrana tana waranna
Makilaiya sumbore
Mannaso naku
Upasang tonji malaqba
Sangging karaeng  maqmempo
Sangging daeng maqjijirang
Tawe karaeng, makusoeang...
Gunturuna naji malompo
Kilaqna mallaqbang lino
Bosi sarrona, tangnga lalang lompo bangkeng

Melihat dari syair Pattuqdu Sarawandang, sebenarnya kita tidak perlu heran, kenapa kok ada bahasa makassar dalam syair Pattuqdu Sarawandang tersebut. Hubungan kekertabatan kerajaan Gowa dengan antara kerajaan yang ada di mandar terkhusus pada kerajaan Balanipa & Sendana memang sedari dulunya pernah terjalin.
Pertama hubungan kekerabatan antara kerajaan Gowa dan kerajaan Balanipa saat kawinnya Batara Gowa denga “ I Rerasi” putri Tomakaka Balanipa mandar yang melahirkan Sombaiyya Ri Gowa IX Daeng matanre Karaeng Tumaqrisi Kallonna.
Hubungan kekerabatan antara kerajaan Gowa dengan kerajaan Balanipa dengan menikahnya I manyambungi dengan Karaeng Surya. Hala ini terjadi karena I manyambungi atau sering juga disebut To di laling diketahui seagai kemanakan dari ibunda Sombaiyya Ri Gowa yang kemudian dari hasil perkawinan ini melahirkan I Billa-Billami atau Tomepayung sebagai maraqdia ke-2 Arayang Balanipa.
Nah yang ketiga ini adalah  hubungan kekerabatan antara kerajaan Gowa dan kerajaan Sendana mandar adalah dengan kawinnya I Bannaiq maraqdia ke-8 kerajaan Sendana mandar dengan karaeng Baine (putri raja Gowa) sebagai bukti sejarah dari peristiwa perkawinan I Bannang dan Karaeng Baine dari Gowa adalah Somba sebagai ibu kota kecamatan Sendana kab. Majene, dn kisahnya bahwa Somba dahulu bernama “Lamboriq” tetapi setelah menikah antara I Bannaiq dengan Baine terjadi maka Lamboriq di ubah namanya menjadi . sewaktu karaeng Baine di bawa pulang ke Sendana, supaya dimana saja Karaeng Baine menetap, maka daerah itu harus disamakan namanya dengan daerah asal Karaeng Baine tujuannya agar mudah dicari ketika orang tuanya rindu kepadanya.

Dari ketiga hubungan kerajaan-kerajaan mandar dengan kerajaan Gowa di atas, maka tidaklah mengherankan apabila adanya Asimilasi dan Akulturasi budaya yang terjadi pada tarian Pattuqdu Sarawandang yang ada di kerajaan Sendana tersebut. Bila kita membandingkan Pakaian antara penari Pattuqdu dan Pakkarena maka banyak kesamaannya terlihat, terkecuali pada sanggul, gelang dan kalung/ rantai. Juga pada kata Aule atau Lee pada Pattuqdu ada saja persamaan dengan Pakkarena makassar.

Referensi
Penuturan langsung narasumber I Dateq
Sosialisasi Siriq etika dan estetika di mandar


PENYEBARAN ISLAM DI BIRU. (Sejarah Yang Nyaris dilupakan)

Penulis: Mujahidin Musa.
(Pemuda asal Batetangnga, saat ini aktif sebagai pengurus Appeq Jannangang reg. Makassar)
=====================

Salah satu daerah yang menjadi pusat penyebaran awal islam di Sulawesi Barat adalah di wilayah Desa Batetangnga (Biru dan Penanian) Kec. Binuang. Islam masuk di daerah ini diperkirakan akhir abad XVI hingga awal abad XVII (sekitar tahun 1600-an yang dibawa oleh Aji (haji) Sande (lebih dikenal sebagai Tosalama di Penanian, Guru Bulo, dan ada sumber yang mengatakan bahwa nama beliau adalah Syekh Kamaluddin) bersama muridnya Pua Kilala (nama gelar) dari Tomadio (Campalagian).

Dalam historiografi islam di Polewali Mandar, salahsatu Tokoh penyebar islam awal yang terkenal adalah Syekh Abdurrahim Kamaluddin Tosalama di Binuang yang berhasil mengislamkan Mara'dia Balanipa ke-IV Kanna i Pattang Daetta Tommuane setelah mengislamkan Mara'dia Pallis Kanna i Cunang sekitar tahun 1610. Sezaman dengan Sippajollangi Arung Binuang (masih butuh penelitian lanjut apakah telah memeluk islam waktu itu atau tidak).

Setidaknya ada dua versi mengenai keterkaitan antara kedua Tosalama ini. versi pertama mengatakan bahwa Tosalama di Penanian adalah "partnert" dakwah dari Tosalama di Binuang. versi kedua mengatakan bahwa Tosalama di Binuang adalah anak dari Tosalama di Penanian, hasil pernikahannya dengan putri pemangku adat setempat.


(Al Quran peninggalan Syekh Kamaluddin alias Haji Sande' alias Tosalama di Penanian Yang menyebarkan islam di Wilayah Batetangnga pada akhir tahun 1500 an.)

Peninggalan dari Tosalama Penanian hingga kini masih terawat dengan baik yaitu berupa Al Quran Tulisan Tangan. Al Quran tersebut kini berada di tangan Drs. Adnan Nota, M.Si, yang merupakan pewaris Al Quran tersebut. Al Qur'an ini memang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi mulai dari Tosalama Penanian hingga Imam/Tokoh islam selanjutnya. Peninggalan lainnya berupa Kitab Tahlilan yang ditulis langsu ng oleh Pua Kilala (Murid Tosalama Penanian).
Penyebaran Islam di Batetangnga kemudian dilanjutkan oleh Tomitindo Cakkiri'na yang merupakan saudara dari Tomitindo Tondo'nga dan Tomitindo Tumbiling. hanya saja situs, catatan, tradisi lisan dan sumber sejarah dan mengenai tokoh ini masih sangat minim dan belum banyak dikaji secara ilmiah.

Sejarah islam di Batetangnga selanjutnya terputus hingga sekitar tahun 1920-1940 an. Tokoh Islam yang terkenal periode ini adalah Tongguru Rida' (KH.Rasyid Ridha, Imam Tonyamang berasal dari Campalagian), KH.Maddappungan (Qadhi Campalagian, Guru dari Imam Lapeo, dan rekan dakwah Syekh Hasan Yamani di Campalagian), Qadhi Binuang, dll.
Jika anda tahu atau pernah ke Biru (Polewali), maka sesungguhnya di sana ada bekas mesjid tua (ingat permandian Biru, Kanang, nah...lokasinya dkat2 situ. hehehe) yang skarang tinggal pondasi. mesjid ini tempat KH.Maddapungan, Qadhi Campalagian, KH. Machmuda, Qadhi Binuang yang berasal dari Soppeng, dan ulama lainya mengajarkan islam bagi Masyarakat Batetangnga akhir 1920 an hingga awal 1930. tahun 1942 KH. Rasyid Ridha (disebut juga Imang Tonyamang) dari Campalagian mendirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah disini. Walaupun pengajianya cuman di pusatkan di mesjid dan kolong rumah imam mesjid. madrasah inilah cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Al Ihsan DDI Kanang.



( Sisa pondasi bekas mesjid tua di Biru)

Salah satu tokoh bernama H.Syamsuddin Mangnganja' atau yang lebih dikenal Sebagai Tongguru Rawali. Beliau bersama H. Nota (ayah dari Drs. Adnan Nota). H. Latung, H. Cora dkk adalah generasi pertama remaja dari Batetangnga yang nyantri ke Campalagian (di bawah bimbingan KH. Maddapungan) dan beberapa daerah lain. Masa penjajahan Jepang beliau nyantri lagi di bawah bimbingan KH. Rasyid Ridha/Tongguru Rida'. Setelah Tongguru Rida' kembali ke Tonyamang, Beliau dan kawan-kawan seperjuangannya melanjutkan pengajian di Mesjid dan Madrasah Arabiyah Islamiyah di Biru. Beliau yang juga akrab dikenal sebagai Aji Keccu ( haji yang postur tubuhnya kecil.) sempat menjabat sebagai Imam Biru dan Imam Desa di Mesjid Nuruh Huda Kanang, Batetangnga. Selain itu beliau pernah menjabat sebagai Matua ada' (Pattola Ada') di Bateteangnga menggantikan ayahnya. Beliau yang lahir pada tahun 1922 meninggal di Biru tahun 2014.


( H.Syamsuddin Mangnganja' atau yang lebih dikenal Sebagai Tongguru Rawali mengenakan songkok kuning)

20/09/2015

BISSU, dari sebutan hingga kehormatan.



Pelaksanaan tata laksana pemerintahan kerajaan dimasa lalu cukup kompleks dan untuk itu diperlukan adanya petugas atau pemangku jabatan sebagai aparatur kerajaan.  Dan salah satu profesi bergengsi kala itu bahkan mungkin hingga dijaman modern ini adalah kehadiran seseorang yang berprofesi sebagai Bissu. 
( Dalam foto di samping nampak Pemimpin Ritual upacara adat (Bissu) di Bone,tahun 1929 Sumber fotoleren.nl)

Apakah Bissu itu?. 
Berikut hasil dari salah satu diskusi online yang dapat saya sajikan sebagai bacaan kita semua.
Bissu adalah orang yang dianggap memiliki kemampuan berkomunikasi dengan Dewata, karna kelebihan yang dimilikinya itu ia menjadi penghubung antara manusia dengan Dewata. Dewata sendiri adalah sebutan untuk mendeskripsikan sesembahan manusia di Sulawesi pada jaman dahulu yang berarti tuhan semesta alam, pencipta langit bumi dan segala isinya.

Ada beberapa pendapat tentang asal kata BISSU, dan berikut adalah pendapat Andi Rahmat Munawar, seorang pemerhati budaya Bugis yang saat ini berdomisili di Sengkang, kabupaten Wajo.
1. Dari kata BESSI (yang berarti bersih) kemudian menjadi BISSU
2. Dari kata BISMILLAH kemudian menjadi BISSU
3. Dari kata BIKSU (serapan dari india) kemudian menjadi BISSU

kalau pendapat pertama.
1.a) Bessi dalam bahasa bugis artinya Besi (sejenis logam) dan Tombak (misalnya bessi pakka artinya tombak bercabang)

1.b) Tak pernah ada kosa kata bugis BESSI yang diartikan bersih...selalunya PACCING...kosa kata klasik Bugis tentang bersih yang masih digunakan hingga hari ini.
1.c) Sepertinya, bahasa Indonesia (Bersih) dipaksa untuk menjadi bahasa Bugis.
1.d) Saya kurang paham linguistik...tetapi sependek pengetahuan saya, dalam proses "pelidah bugisan" misalnya Abdul --> Beddu...Razaq --> Razzake....Anwar --> La Naware'...jadi huruf vokal tetap...kalau Bessi tiba tiba menjadi Bissu belum pernah saya temukan proses perubahan seperti itu.

Kalau pendapat kedua, Bissu telah ada sebelum Islam secara resmi dianut masyarakat Bugis, otomatis kosa kata serapan Arab mestinya belum ada.

Kalau pendapat ketiga bahwa, pengaruh bahasa India banyak dalam kosa kata Bugis kuno seperti sangiang (Sang Hyang), sangkuru (Sang Guru), Batara, dewa, dst...meski agama yang dianut, bukan hindu atau budha. Jelasnya.

Bissu pertama dalam sejarah adalah We Tenriabeng, saudara kembar Sawerigading. We Tenriabeng tidak menikah di dunia, tapi ada suaminya di "langit" yaitu Remmang ri Langi, yang membantu Sawerigading dalam beberapa perang lautnya.  Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno yang syarat kesempurnaan ilmunya adalah I REBBA yaitu dikubur hidup2 selama 7 hari 7 malam, tanpa makan dan minum serta hanya bernapas dengan bulo/bambu di mulut. Menurut keyakinan masyarakat dahulu bahwa jika calon Bissu yang menjalani ujian I Parebba ternyata tidak suci atau tulus dalam ujiannya maka calon bissu tersebut akan mati dalam proses ujiannya. Hanya 1 orang Bissu yang diangkat dari komunitasnya dengan prosesi di Rebba tadi. Namun syarat utama sebelum diangkat tentu ada uji kelayakan, dengan melihat kompetensi dari pemahaman tentang Ade' Pangadereng-nya, seperti yang disinggung di atas bahwa Bissu sudah bukan lagi Waria/CaLabai melainkan telah melepaskan nafsu duniawi yang konotasinya mungkin disebut Suci. Untuk melangkah ke jenjang lebih tinggi lagi dalam hal menjadi Ammatoa, adalah kewenangan dari Dewan Adat dengan kembali melihat perilaku/adab serta pencapaian pemahamannya (Untuk di Bone sendiri, Ammatoa saat ini dalam kekosongan posisi). Pungkasnya.

Sedangkan menurut Abdul Hamid, salah seorang pemerhati budaya Bugis dari Sidrap mengungkapkan catatan B.F. Mattes dari buku ” La Galigo,menelusuri jejak warisan sastra dunia” (hal 520.), Bissu adalah pendeta Bugis kuno pra Islam. Ketua para Bissu adalah seorang yang diberi gelar Puang Matowa/Puang Towa. Dia adalah figur feminim dengan wajah yang licin seperti seorang kasim. Para Bissu lain adalah lelaki dengan keadaan jasmaniahnya abnormal. Bissu dan tradisi transvestites (lelaki yg berperan sebagai perempuan). Pada halaman 522 pada buku yang sama tertulis, Bissu umumnya wadam (wanita adam) atau wanita dari kalangan putri bangsawan tinggi. Kata bissu berasal dari kata bessi (bugis) yang berarti bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah (haid), suci, tidak ada tetek dsb. B.F. Matthes menyebut bissu sebagai priesters en pristeresse. Matthes menggambarkan Bissu sebagai pendeta pria-wanita.

Bahwa sebagian "Bissu" adalah "Non Gender" dan bukan pula calabai atau calalai. Bissu memiliki fungsi ritual sebagai "mediator" Dewata yang hendak menyampaikan pesannya kepada manusia (Tau). Namun Dewata "tidak tahan dengan bau manusia", maka mereka memilih "mediatornya" yang bukan "manusia" (tau). Sementara itu, manusia diidentifikasi dengan "gender" (laki atau perempuan). Olehnya itu, Bissu sesungguhnya bukan lagi laki-laki ataupun perempuan dan bukan calabai atau calalai. Adapun sebagian lainnya adalah tetap mempertahankan "gender" namun melepaskan sebutan "manusia' (tau) bagi dirinya. Salah seorang "Bissu" yang bergender "perempuan" adalah : We TenriabEng LaloElona BISSU RI LANGI DaEng Manutte' (saudara kembar Sawerigading). Setelah menjadi Bissu, beliau tidak lagi tinggal di Attawareng (dunia) dan berubah menjadi "Batari Sangiang" (Dewata). Hingga sekarang masih ada Bissu yang mempertahankan "gender", namun dikalangan Bissu sendiri mereka ini disebut : Larukkodo Bissu.


Mereka sangat dihormati. Setelah memasuki masa Islam, di mana hampir semua Kerajaan di Sulawesi Selatan mengakui Islam sebagai Agama Kerajaan, peran Bissu semakin istimewa, yakni : menjadi "Angkuru Arajang" (penjaga dan perawat regalia). Bahkan Datu sendiri tidak berwenang untuk mengeluarkan atau sekedar menyentuh Arajang itu jika tanpa diperkenankan Bissu. Selain itu pada beberapa Kerajaan, Bissu diberi jabatan selaku "AnrEguru Attoriolong". Kaum merekalah yang mengatur segala ritual menyangkut Attoriolong dan juga pelestari Sure' Galigo. Tidak jarang seorang Bissu menjadi guru khusus bagi "Passure'" dalam Istana dan banyak pula yang menggubah Sure' SEllEang. Lebih dari itu, mereka pula secara rahasia menerapkan bahasa Bissu dalam kalangan internal mereka sendiri.

Lalu bagaimana dengan peran Bissu di tanah Mandar?. 
Catatan mengenai Bissu dan aktifitasnya di tanah mandar bisa dikatakan hampir nihil. Sejauh ini tak ada dalam catatan lontaraq Mandar tentang hal ini, setidaknya lontaraq yang telah terpublikasi. Keberadaan tentang Bissu di Mandar mungkin hanya bisa dikaitkan dengan adanya “paleko bissu”. Pada prosesi perkawinan adat di Mandar, paleko bissu adalah ornamen pelengkap berupa kain putih yang ditata sedemikian rupa dan diletakkan dibagian atas “lamming”. Tidak sembarang orang yang bisa menggunakan paleko bissu ini, yakni mereka yang punya darah bangsawan tinggi dan dibuktikan dengan silsilah atau lontaraq peruqdusang yang dipunyainya. Jejak selanjutnya hanyalah berupa keterangan bahwa di daerah sekitar Pambusuang yang merupakan daerah penyangga kerajaan Balanipa dahulu pernah ada seorang Bissu. Keterangan ini didapat dari Muhammad Ridwan Alimuddin, seorang pemerhati budaya Mandar dalam diskusi serupa dengan tema yang sama pada medio Maret tahun 2015. Namun ia tidaklah menjelaskan tentang fungsi Bissu tersebut selama di Mandar sekaitan dengan pelaksanaan adat, ataupun asal sang Bissu yang dimaksud.



ditulis oleh Zulfihadi
(Ketua dewan pendiri Appeq Jannangang)
===============================


 

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...