30/09/2014

ANAK-ANAK HARAM SANG ZAMAN


Lahir dari rahim seorang ibu yang bernama pertiwi
Dibesarkan oleh ayah yang bernama sejarah
Disusui oleh kebudayaan
Berpencaran engkau bagai mencit yang mencericit

Berbulan tahun engkau nikmati saripati tradisi
Hingga kokoh kuat tubuhmu
Kini engkau gagah dalam balutan busana necis
Goyangkan kaki di balik meja
Angkuh kau kalungkan di lehermu
Sombong kau sematkan di dadamu

Kau perkosa ibu pertiwimu hingga melarat
Engkau sodomi ayah sejarahmu hingga sekarat
Kau bantai tradisi yang mulia sarat ajaran
Jadilah dirimu kanibal atas nama uang

Dan kami hanya merintih melihat tingkahmu
Berharap kebenaran segera tiba


Matakali, 220814

MASJID LAPEO NASIBMU KINI

Sebuah kebanggaan ketika memiliki sebuah ikon religi di kampung kita, sebab tidak semua daerah memiliki ikon seperti ini. Apalagi jika ikon tersebut adalah sebuah mesjid peninggalan salah seorang penganjur agama Islam sehingga bernilai sejarah. Hingga peziarah yang datang untuk menyaksikan mesjid tersebutpun datang dari segala penjuru negeri. Tentu ini adalah sebuah keuntungan dari pihak pengelola mesjid yang tidak perlu lagi serabutan untuk mencari dana sekedar renofasi kecil misalnya, bahkan renovasi totalpun mungkin tidak menjadi masalah dari sisi pendanaan.

Demikianlah kondisi mesjid Imam Lapeo yang berada di Lapeo, kecamatan Campalagian, kabupaten Polewali Mandar. Al kisah mesjid ini didirikan oleh K.H. Muhammad Tahir yang dikemudian hari digelari sebagai Imam Lapeo sebagai tempat untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Lapeo. Seiring berjalannya waktu, maka berkat jasa beliau semakin berkembanglah agama Islam di daerah itu dan semakin banyaklah murid beliau. Bahkan murid beliau ada yang datang dari pulau-pulau lain di Nusantara. Dengan demikian sampai hari ini kita akan menyaksikan banyak peziarah dari segala penjuru yang datang ke mesjid Lapeo, khususnya pada momen-momen tertentu.

Kondisi ini membuat keuangan mesjid Lapeo menjadi makmur, ini dapat dilihat dari bangunan mesjid yang begitu mewah, setidaknya untuk ukuran kota kecamatan Campalagian. Tidak ada yang salah sebenarnya dengan mesjid yang mewah, namun setidaknya perlu dipikirkan adanya perimbangan kondisi kedaerahan. Apalagi ketika mengunjungi mesjid tersebut nampak adanya eskalator dari lantai satu ke lantai dua serta dari lantai dua ke lantai tiga, menurut saya adalah sesuatu yang mubazir. Bukankah mesjid ini hanya “penuh” pada saat tertentu saja, sementara pada hari lain seperti pelaksanaan shalat Jumat misalnya, lantai dua nyaris tidak dipergunakan sebab daerah ini tidak memiliki hanya satu mesjid saja.

Demikian juga dengan interior mesjid. Entah apa yang ada didalam fikiran orang yang menangani interior mesjid sehingga memberi cat warna keemasan dan merah maron sehingga suasana terasa saat pandangan terpaku pada dinding mesjid. Demikian pula dengan pengadaan beberapa monitor TV di dalam mesjid, entah tontonan apa yang ingin disuguhkan pengelola pada jamaah, semoga saja bukan sinetron Gajah Mada atau Mahabarata yang saat ini sedang top.

Sungguh berbeda dengan mesjid Merdeka di kecamatan Wonomulyo yang berdiri pada tahun 1930an. Meskipun berdiri di pusat sentra ekonomi kabupaten Polewali Mandar, namun tidak memiliki desain interior yang “neko neko”. Penampilannya sebagai mana layaknya mesjid pada umumnya, hanya ukuran  bangunan yang cukup besar dan artistik saja yang melambangkannya sebagai mesjid kebanggaan masyarakat Wonomulyo. Pun demikian dengan mesjid Darussalam di Kecamatan Belawa, kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan yang juga menjadi ikon religi dengan peziarah yang juga datang dari daerah lain seperti halnya mesjid Lapeo. Tidak memiliki interior seperti halnya mesjid 
Lapeo yang menurut saya justru kelihatan norak.

Satu hal lagi yang tidak masuk diakal saya ketika di sudut tiang bagian atas mesjid tertulis nama-nama orang yang awalnya saya fikir adalah murid-murid Imam Lapeo angkatan pertama yang sangat berjasa dalam pengembanga agama islam di daerah ini. Namun kemudian saya mendapat beberapa nama baru, hingga saya mencapai sebuah kesimpulan bahwa nama-nama itu adalah nama para donatur yang telah berjasa dalam pembangunan mesjid. Salah seorang teman sempat mengomentari keberadaan tulisan nama-nama tersebut mengatakan jika “mesjid Lapeo sepertinya bukan mesjid umum, tapi lebih kepada mesjid keluarga”. Dan dari sekian apa yang saya lihat, mungkin tidak salah jika saya mengatakannya sebagai Mesjid Norak Lapeo.....!.

AYO KE MAMPIE....!!

Mampie sesungguhnya adalah satu daerah pedusunan yang dihuni oleh kurang lebih 250 kepala keluarga dengan masyarakat yang sehari-harinya bermata pencaharian sebagai nelayan atau petambak. Namun kita tidak akan membahas secara mendalam tentang kehidupan masyarakatnya, tetapi kita akan mengupas pantainya yang hingga hari ini mampu menyedot perhatian begitu banyak pengunjung.

Apa pasal?.
Berawal dari kekhawatiran beberapa pemuda setempat yang resah dengan adanya beberapa pemuda dari wilayah lain yang datang dan menjadikan kawasan pantai sebagai arena balap liar (baca: grass track liar). Akhirnya sekitar tahun 2006 muncul sebuah ide untuk menjadikannya sebagai tempat wisata. Dan mulailah pantai Mampie mendapat kunjungan wisatawan lokal yang datang dari berbagai wilayah terdekat seperti desa Tumpiling atau Wonomulyo. Seiring waktu, akhirnya sejak tahun 2010, kawasan pantai Mampie resmi berganti wajah dari pantai yang hanya menjadi kawasan pengembangan rumput laut menjadi kawasan wisata pantai dengan berbagai fasilitas turut ditambahkan untuk memanjakan pengunjung.Belakangan ini, pantai sejuta pesona ini selalu ramai terutama pada hari-hari libur nasional atau pada akhir pekan. Selain pengunjung yang datang secara perorangan maupun pengunjung yang datang secara berkelompok atau keluarga. Pengunjung pun tidak hanya berasal dari lokal Polewali Mandar namun adapula pengunjung yang datang jauh-jauh dari Barru, Pare-pare, Mamuju bahkan Pasang Kayu.

Sedikit gambaran arah menuju ke sana untuk anda yang belum pernah ke Mampie namun berminat untuk merasakan kenyamanan berwisata di sana. Lokasi wisata Mampie berjarak kurang lebih 6-7 km arah tenggara kota kecamatan Wonomulyo. Ada dua alternatif jalan yang bisa anda tempuh, yaitu dari arah WTC (Wonomulyo Trade Center/Pasar sentral Wonomulyo) anda mengambil arah selatan ke jalan poros Kediri desa Sidorejo, tiba dipersimpangan jalan Kediri – Bumi Ayu – Kebun Dalam, ambillah arah kiri memasuki dusun Kebun Dalam. Anda tinggal mengikuti jalan desa hingga ke desa Galeso dan anda akan menemui pertigaan di depan SDN 012, anda tempuhlah jalan lurus dan jangan ambil belokan kanan atau anda akan kembali ke desa Tumpiling. Jalan besar yang berada di samping SDN 012 itulah yang akan membawa anda  menuju ke pantai Mampie.

Alternatif kedua adalah dari arah kota kecamatan Wonomulyo, anda dapat menuju ke timur mengikuti jalan poros arah kota Polewali. Tiba di desa Tumpiling, cari dan ikutilah jalan aspal yang akan membawa anda tiba di desa Galeso hingga di pertigaan SDN 012, dari sana anda harus belok kiri dimana jalan inilah yang selanjutnya jika anda ikuti akan membawa anda ke pantai Mampie. Dari kedua alternatif jalan yang ditawarkan, kebanyakan pengunjung lebih memilih alternatif kedua. Selain karena tidak terlalu banyak persimpangan yang membingungkan, kondisi jalan juga relatif lebih baik meskipun kedua alternatif jalan tersebut  dapat dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat.

Untuk masuk di kawasan wisata, anda harus membayar tiket masuk sebesar Rp.3000,-/kepala kepada penjaga gerbang dan andapun bisa menikmati suasana pantai yang bersih.Dimana retribusi masuk ini memang dipergunakan sebagai pemberian upah kepada orang yang bertugas membersihkan pantai ini setiap harinya serta pemeliharaan fasilitas yang sudah ada. Beberapa fasilitas di dalam area wisata yang bisa dinikmati oleh pengunjung diantaranya adalah gazebo yang dapat anda gunakan untuk sekedar istirahat. Dan jika lapar mendera, anda bisa menemukan warung-warung kecil yang menyediakan cemilan, minuman atau mi instan. Atau jika anda beruntung, anda bisa menemukan penjaja ikan segar yang bisa anda beli dan bakar. Biasanya penjual ikan segar dapat ditemui saat hari Minggu atau hari libur nasional disaat pengunjung membludak. Untuk membakarnya, anda bisa mendapatkan sabut kelapa dan alat pembakaran ikan yang dijual atau disewakan.

Atau jika anda ingin merasakan sensasi banana boat, andapun bisa merasakannya selain tentu saja menikmati kegiatan berenang di pantai. Untuk anak-anak yang ingin berenang, ada pula tempat penyewaan pelampung dari ban bekas.
Pun jika memang ada waktu untuk menunggu dan anda adalah penikmat sunset, saya sarankan agar anda menyaksikan pemandangan matahari terbenam atau sunset. Sungguh alam akan menyajikan untuk anda sebuah pemandangan indah menakjubkan saat sang surya diselimuti oleh cahaya oranye atau kemerahan.

Dari rentetan keindahan dan sensasi alam pantai yang bisa anda dapatkan di pantai Mampie, sayangnya masih ada sebuah fasilitas vital yang terlupakan oleh pengurus objek wisata ini yaitu tidak adanya fasilitas air bersih yang bisa digunakan untuk mandi air tawar setelah berenang di air laut. Fasilitas MCK umum yang tersedia pun terlantar dan tidak bisa digunakan. Sehingga untuk mandi air tawar, pengunjung terpaksa harus mandi di sumur yang diberi dinding seadanya atau malah tidak berdinding sama sekali.

Melalui tulisan ini sebagai bahan pertimbangan dan persiapan bagi anda yang akan berwisata ke pantai Mampie, saya akan memberikan gambaran tentang beberapa fasilitas dan harga yang harus anda keluarkan untuk bisa meggunakannya antara lain:

1. Karcis masuk = Rp. 3.000,-/orang.

2. Gazebo = Rp. 15.000,-/satu kali pakai.
3. Banana boat = Rp. 25.000,-/orang/satu kali jalan.
4.  Penyewaan alat pembakaran ikan = Rp. 5.000,- s/d Rp. 10.000,-
5. Sabut kelapa = Rp. 3.000,- s/d Rp. 5.000,- / ikat
6. Pelampung ban bekas = Rp. 5.000/buah untuk yang kecil, Rp. 10.000,-/buah untuk yang besar.


Dan sebagai akhir dari tulisan ini, saya ingin mengajak anda untuk beramai-ramai mengunjungi pantai Mampie untuk melihat secara langsung keunikan dan pesona Mampie. Selamat berkunjung dan sampai jumpa di Pantai Mampie......

MENGENAL MANDAR DALAM NADA

Berawal dari keinginan untuk ikut melestarikan budaya mandar dalam hal ini seni musik, kami mencoba untuk mengenalkannya pada remaja tingkat SMA/SMK. Sehingga terwujudlah sebuah kegiatan berupa kunjungan ke Uwake Cultural Foundation, pada hari Minggu, 28 September 2014.
Matahari belum terlalu jauh meninggalkan titik kulminasinya ketika roda mobil angkot (angkutan kota) carteran berputar dan membawa siswa-siswi yang tergabung dalam Sanggar teater Tattanga meninggalkan pekarangan SMK Soeparman Wonomulyo atau yang dahulu lebih dikenal dengan nama STM. Selama kurang lebih 45 menit ami hanya bisa membiarkan tubuh kami terbawa oleh mobil angkot berwarna biru itu menuju ke arah barat kota Wonomulyo. Setelah  melewati perkampungan padat penduduk, hamparan sawah dan tepian pantai pasir putih Palippis kami pun tiba di daerah yang akrab dengan seni dan budaya Mandar. Yah, Tinambung. Daerah yang banyak memiliki sanggar seni tradisional Mandar dan mungkin sebentar lagi akan berpisah dengan kabupaten Polman untuk kemudian berdiri sendiri menjadi kabupaten Balanipa.  Kami sengaja datang ke daerah ini untuk mengenal alat musik tradisional Mandar seperti yang disebut di awal. Dan di sekret Uwake inilah kami disambut ramah oleh Muhammad Rahmat Muchtar sang punggawa Uwake Cultural Foundation.
Di lantai atas dari sekertariat Uwake Cultural Foundation, Muhammad Rahmat Muchtar atau yang dikalangan seniman atau budayawan Mandar dikenal dengan nama Rahmat Panggung memberikan penjelasan tentang beberapa alat musik tradisional Mandar yang sudah berhasil teridentifikasi. Menurutnya selain alat musik yang ada di sekertariat Uwake sekarang, masih ada beberapa alat musik tradisional Mandar yang sudah punah karena tidak ada lagi yang bisa memainkan, salah satunya adalah gesoq. Pada kesempatan tersebut, beliau menjelaskan delapan alat musik tradisional yang masih eksis di kalangan masyarakat Mandar saat ini yaitu rebana atau rawana, calong, sattung, keke, gonggaq lawe, gonggaq lima, kecapi atau kacaping, serta gendang. Dan berikut kita kupas satu persatu seperti apa penjelasan beliau.

RAWANA/REBANA
Rawana adalah alat musik tabuh yang terdiri dari kayu yang dibuat berbentuk lingkaran dan berongga yang kemudian disalah satu sisinya ditutup dengan sehelai kulit kambing. Para pembuat rawana biasanya memilih kayu pohon nangka dengan alasan lebih mudah dibentuk (mungkin karena memiliki serat yang searah), sedangkan untuk membrannya digunakan kulit kambing betina dengan alasan kulit kambing betina lebih lentur daripada kulit kambing jantan sehingga bisa menghasilkan suara yang lebih bagus. Rawana biasanya dipentaskan secara berkelompok pada ritual pappatammaq (khataman) yang dirangkaikan dengan messawe sayyang pattuqduq (menunggang kuda penari) atau pesta perkawinan.

Salah seorang peserta menabuh rawana. 


GENDANG/GANRANG
Ganrang Mandar hampir mirip dengan gendang dari etnis Bugis atau makassar, yang membedakan adalah bentuk bodinya yang lebih ramping hingga jika nampak sekilas antara ujung yang satu dengan ujung yang lain sama besarnya. Ganrang dibuat dari sepotong batang kayu yang lingkarannya utuh kemudian dibagian tengahnya diberi rongga. Pada kedua ujungnya kemudian ditutup dengan sehelai membran dari kulit kambing betina dan disatukan menggunakan tali rotan yang sekaligus sebagai setelan. Fungsi ganrang biasa digunakan saat pementasan tarian ataupun pagelaran silat tradisional mandar.
Muhammad Rahmat Muchtar mengajarkan 
cara menabuh gendang.


CALONG
Calong adalah alat musik pukul yang khas dan sangat sederhana. Terbuat dari buah kelapa kering lalu dipotong dan isinya dikeruk untuk membuat ruang resonansi. Lalu empat buah bilah bambu kemudian diletakkan dibagian atas buah kelapa, dan untuk mendapat getaran yang menghasilkan nada, maka bilah bambu tadi dipukul dengan 2 kayu kecil. Pada awalnya, calong dimainkan hanya sekedar untuk mengisi waktu kosong para petani yang sedang menunggui kebunnya. Calong menghasilkan nada sesuai dengan tebal tipisnya bilah bambu yang terpasang, semakin tipis bilah bambunya maka semakin nyaring bunyinya demikian pula sebaliknya semakin tebal bilah bambunya maka semakin rendah nada yang dihasilkan. Sebelum menggunakan buah kelapa sebagai ruang resonansi, mulanya bilah bambu hanya diletakkan pada paha si pemain. Namun kemudian terus berkembang hingga menemui modelnya yang sekarang. Beberapa waktu sebelumnya, saya mendapat keterangan dari Papa Isa’ salah seorang penggiat seni dari Sanggar Sossorang, Tinambung bahwa idealnya bilah bambu yang digunakan adalah berasal dari jenis bambu betung atau pattung dalam bahasa mandar.
Perkembangan terakhir bahwa sekarang para seniman telah membuat calong yang sesuai dengan urutan solmisasi moderen dengan menggunakan dua buah kelapa yang direkatkan untuk mendapat ruang yang cukup untuk meletakkan delapan bilah bambu.
Peserta sedang memainkan calong.


SATTUNG
Sattung adalah alat musik berdawai seperti halnya kecapi, namun sattung terbuat dari bambu seutuhnya. Dan yang unik sebab sattung mempunyai empat dawai yang dibuat dari sembilu (kulit bambu)nya sendiri yang dicungkil dan dipisahkan dari daging bambunya, namun harus hati-hati dalam melakukannya sebab jangan sampai sembilu tersebut putus dan tidak bisa terpakai lagi. Sattung menggunakan rongga didalam ruas bambu sebagai ruang resonansi untuk menampung nada dari getaran dawainya. Lalu untuk mengatur nada yang keluar maka salah satu tangan pemain akan menutup dan membuka ujung lain bambu yang dibolongi.
Muhammad Rahmat Muchtar memperagakan 
cara memainkan sattung.


KEKE
Keke adalah sejenis alat musik tiup yang hampir mirip suara maupun bentuknya dengan pui-pui yang berasal dari etnis makassar, dan cara membunyikannya pun sama yaitu dengan cara ditiup. Keke dibuat dari bahan bambu dari varietas “taroqda” kecil yang kemudian di beri empat buah lubang mirip dengan seruling. Kemudian pada bagian ujung yang akan ditiup diberi semacam “lidah” yang akan menghasilkan getaran suara. Sementara pada ujung depannya diberi lilitan daun kelapa yang berfungsi untuk menambah besarnya suara yang dihasilkan. Bagian yang paling rentan mengalami kerusakan pada keke adalah bagian”lidah”nya, dan sempat Rahmat memberi tips cara merawat keke. Menurutnya, “lidah” keke jangan sampai terkena ludah yang akan membuatnya basah pada saat ditiup. Jika akan dipakai, dan “lidah” tersebut melengket hingga sulit untuk bunyi maka jangan diangkat dengan kuku tapi menggunakan seutas rambut dan harus dilakukan dengan hati-hati.

KECAPI/KACAPING.
Pada dasarnya banyak etnis yang mengenal alat musik kecapi ini seperti misalnya Bugis, Makassar, Sunda, Dayak maupun masyarakat Tionghoa. Namun kecapi mandar punya kekhasan tersendiri melalui bentuknya. Sebagai perbandingan, kecapi Bugis berukuran agak kecil sementara kecapi mandar lebih besar dan pada bagian ujungnya lebih lebar yang mana biasanya diberi hiasan berupa ukiran kembang melati atau beruq-beruq. Perbedaan selanjutnya juga terletak pada bagian pembentuk nada yang ditekan dengan ujung jari. Jika pada kecapi Bugis biasanya mempunyai enam tempat tindisan maka pada kecapi Mandar hanya punya empat tindisan.
Salah seorang peserta (lk) memegang kecapi.


GONGGAQ LIMA
Gonggaq lima juga terbuat dari bambu bulat yang kemudian dihilangkan sedikit bagian sisinya sehingga berbentuk mirip penjepit atau sipiq dalam bahasa Mandar atau mirip garpu tala yang berlengan dua. Untuk mengatur nada yang dihasilkan maka dibuatlah lubang dibagian bawah dimana terletak tangan dari orang yang memainkannya. Sehingga memudahkan pemain mengatur irama dengan cara menutup lubang kecil tadi dengan jempol dan telunjuk. Selain itu terdapat pula irisan yang menghubungkan antara bagian “lengan” gonggaq lima dengan lubang tadi. Dan untuk membunyikannya sangat mudah, cukup diadu dengan tangan yang satu sementara tangan yang lain memegang gonggaq lima.
Muhammad Rahmat Muchtar menunjukkan cara 
memainkan gonggaq lima


GONGGAQ LAWE
Alat musik ini terbuat dari pelepah pohon enau dan memiliki bentuk yang tipis dan sangat unik. Sesuai dengan namanya, untuk membunyikan alat musik ini kita harus menyentak-nyentakkan tali yang sengaja diikatkan di ujungnya dan menggunakan rongga mulut sebagai ruang resonansi sehingga saat dimainkan maka harus ditempelkan diantara kedua bibir. Sumpah, untuk sekedar membunyikan beberapa alat musik tadi, gonggaq lawe yang memiliki tingkat kesulitan tertinggi disusul dengan keke. Ada hal yang menarik dari gonggaq lawe yang sempat disampaikan oleh beliau bahwa dulunya gonggaq lawe juga biasa digunakan sebagai alat komunikasi antara seorang gadis dan seorang bujang yang dilanda asmara.


Beginilah cara memainkan gonggaq lawe.

Demikianlah sedikit bahasan tentang alat musik tradisional yang sempat diperkenalkan pada peserta kegiatan kunjungan yang bertajuk”MENGENAL MANDAR DALAM NADA”. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Muhammad Rahmat Muchtar yang telah bersedia menerima, menjelaskan dan memberikan kesempatan kepada peserta untuk sedikit mengekplorasi alat-alat musik tersebut. Semoga dari kegiatan kemarin serta tulisan ini, bisa menjadi pecut yang memacu para remaja untuk lebih mengenal alat musik tradisional Mandar serta menggali kearifan lokal yang penuh dengan ajaran-ajaran moral yang agung.

27/08/2014

PELATIHAN EKOSISTEM MANGROVE YAYASAN KEHATI KERJASAMA YPMMD SUL-BAR



Isu pemanasan global masih menjadi bahan perbincangan yang hangat sampai saat ini, membuat beberapa aktifis terus bergiat melakukan penyelamatan lingkungan dengan berbagai cara.
Salah satunya Yayasan Keanekaragama Hayati (KEHATI) bekerja sama dengan Yayasan Pemuda Mitra Masyarakat (YPMMD) Sul-Bar melaksanakan kegiatan Pelatihan Ekosistem Mangrove yang dipusatkan di desa Binanga, kecamatan Sendana kabupaten Majene. Kegiatan dalam rangka Program Merajut Sabuk Hijau Pesisir Indonesia kali ini mengangkat tema Peningkatan Peran Pemuda Pada Restorasi Pada Kehidupan Pesisir Pantai mulai dibuka pada hari Jumat, 22 Agustus 2014 dan berakhir pada hari Minggu, 24 Agustus 2014. Melibatkan peserta dari berbagai komunitas pelajar dan pemuda salah satunya Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar (KOMPA DANSA MANDAR) yang mengirim 4 orang anggotanya sebagai peserta pelatihan.




Dalam kegiatan ini, panitia penyelenggara menggunakan konsep ruangan dan lapangan dimana peserta menerima teori dan kemudian mempraktekkan apa yang didapatkannya langsung di pantai Baluno, lokasi yang menjadi garapan restorasi pantai  YPPMD Sulawesi Barat.

Hari pertama panitia penyelenggara memberikan tugas kepada peserta untuk mengidentifikasi sepuluh macam mangrove (pohon bakau) yang ada di pantai Baluno. Ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana para peserta mengenal berbagai macam varietas mangrove. Peserta dibagi menjadi lima kelompok dan dibawa menyusuri pantai Baluno untuk melakukan identifikasi beberapa macam mangrove melalui perbedaan daun, bunga dan buahnya dengan masing-masing kelompok didampingi oleh satu orang panitia. Dengan antusias, para peserta melakukan tugas sesuai petunjuk modul yang diberikan meski harus hati-hati melangkahkan kaki. Pasalnya pantai Baluno merupakan kawasan karang mati atau dalam istilahnya death coral reef, sehingga banyak terdapat karang-karang tajam yang meninggalkan luka yang cukup perih jika sempat menggores kaki. Lalu peserta diberikan kesempatan untuk mempresentasikan sejauh mana pengetahuannya tentang ciri dan perbedaan dari beberapa varietas mangrove yang mereka temui.

Pada hari kedua, para peserta mendapatkan materi pengetahuan tentang pembibitan mangrove dan pada siang harinya langsung berpraktek di lapangan melakukan pembibitan mulai dari pengisian polybag, pemilihan bakal bibit yang baik, hingga cara meletakkannya  pada polybag.
Dalam penyampaiannya, Aziil Anwar selaku Direktur program pada Yayasan Pemuda Mitra Masyarakat Desa (YPMMD) mengemukakan bahwa tujuan dari kegiatan ini agar nantinya para peserta bisa menjadi pelopor dalam pelestarian ekosistem mangrove dan restorasi pantai.
Pada hari yang sama, para peserta juga mendapatkan pelajaran bagaimana fungsi  keberadaan ekosistem mangrove dalam pencegahan global warming serta manfaatnya untuk masyarakat di sekitar ekosistem tersebut.

Dihari terakhir, setelah peserta mendapat penjelasan tentang tata cara penanaman bakau yang benar, para peserta diarahkan menuju ke tempat pembibitan untuk masing-masing mengambil bibit untuk kemudian dibawa ke lokasi penanaman dan terakhir ditanam sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan fasilitator sebelumnya. Pada kegiatan kali ini, sekitar 200 pohon bibit mangrove ditanam dengan 5 varietas yang berbeda dari spesies Brugeira, Sonneratia dan Rizhopora.



Ita Nur Azizah atau akrab dipanggil Ita, salah seorang peserta dari Komunitas Pemuda Totolisi mengemukakan kesan-kesannya. “ Banyak hal tentang wawasan ekosistem mangrove dari pelatihan ini”, ungkapnya singkat.

Mangrove di pantai Baluno.

Menurut keterangan bapak Aziil Anwar yang merupakan pioneer penyelamat lingkungan pantai Baluno,  salah satu dari sepuluh orang dari seluruh Indonesia sebagai penerima penghargaan Satya Lancana untuk bidang lingkungan hidup dari wakil presiden Boediono saat peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2013 (HCPSN 2013). Penanaman mangrove di pantai Baluno dimulai pada tahun 1989, dimana kondisi hutan mangrove di tempat itu sudah kritis akibat dari eksploitasi warga sekitar. Namun setelah kurang lebih 30 tahun, saat ini kondisi mangrove di pantai tersebut sudah kembali lebat dan mulai ada penambahan luas daratan pantai. Dari lebih 200 jenis  pohon mangrove, di pantai Baluno saat ini terdapat sekitar 40 jenis dan spesies pohon mangrove, beberapa diantara belum teridentifikasi. Beberapa spesies makhluk hidup daerah pantai  yang sebelumnya tidak ada pun mulai banyak seperti ikan, udang, kepiting dan beberapa jenis burung. Ini tentu akan membawa keuntungan tersendiri bagi warga sekitar.

Menanam mangrove tidak dilakukan sembarangan, harus diperhatikan cara menanam yang benar, kondisi pantai dan cuaca. Demikian juga dengan memelihara mangrove dibutuhkan perhatian khusus, minimal hingga tanaman kecil tersebut melewati masa kritis yakni berumur 2-3 tahun setelah masa tanam. Mangrove yang masih kecil mempunyai beberapa hama diantaranya tiram yang sering menempel dan melukai batang pohon, padahal meskipun merupakan tumbuhan pantai namun jaringan di dalam batang mangrove kecil tidak boleh dimasuki air laut. Jika itu terjadi, pohon mangrove yang masih kecil tersebut akan mati.  Belum lagi sampah plastik yang sering terbawa air pasang, terkadang tersangkut dan membelit batang atau cabang pohon hingga menghambat pertumbuhannya. Olehnya itu, tanaman mangrove kecil ini harus rutin dibersihkan agar dapat tumbuh secara normal.



“diharapkan nantinya setelah mengikuti pelatihan ini, para peserta dapat memberikan penjelasan tentang pentingnya ekosistem bakau pada masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, syukur-syukur bisa menjadi pioneer pelestari hutan bakau Indonesia, khususnya di Sulawesi Barat” kata beliau, menutup penjelasannya.  

ANAK-ANAK HARAM SANG ZAMAN


Lahir dari rahim seorang ibu yang bernama pertiwi
Dibesarkan oleh ayah yang bernama sejarah
Disusui oleh kebudayaan
Berpencaran engkau bagai mencit yang mencericit
Berbulan tahun engkau nikmati saripati tradisi
Hingga kokoh kuat tubuhmu
Kini engkau gagah dalam balutan busana necis
Goyangkan kaki di balik meja
Angkuh kau kalungkan di lehermu
Sombong kau sematkan di dadamu
Kau perkosa ibu pertiwimu hingga melarat
Engkau sodomi ayah sejarahmu hingga sekarat
Kau bantai tradisi yang mulia sarat ajaran
Jadilah dirimu kanibal atas nama uang
Dan kami hanya bisa merintih melihat tingkahmu
Berharap kebenaran segera tiba


Matakali, 220814

15/05/2014

BOKAQ DI MANDAR

Tulisan ini terinspirasi dari postingan poto seorang teman di sosial media facebook yang menampilkan onggokan butiran kelapa biji yang sabutnya telah dikupas. Sulawesi Barat memang salah satu provinsi yang masuk dalam jajaran teratas penghasil kopra dan terkenal sejak jaman Belanda, memiliki jumlah pohon kelapa yang melimpah dan bisa didapati mulai dari daerah pegunungan hingga ke daerah pesisir. 
Waktu panen buah kelapa menggunakan sistem catur wulan, artinya buah kelapa dapat dipanen setiap 4 bulan sekali sepanjang tahun.

Dari gunung hingga pantai selalu ada pohon kelapa sejauh mata memandang.
(dok. kpbwm)


Penulis dan teman-teman dari KPBWM sedang menikmati segarnya kelapa muda.
(dok. kpbwm)


Jangan bingung jika mendengar kata bokaq di Mandar tidak sama dengan pengertian bokaq pada suku Bugis khususnya Bugis Wajo untuk menyebut minyak kelapa. Di  Mandar, bokaq dipakai untuk menyebut kopra. Kopra adalah hasil perkebunan yang dihasilkan dari buah kelapa yang telah dikeringkan hingga mencapai kadar air tertentu. 

Untuk mendapatkan hasil kopra, ada dua cara dan akan kita bahas sesuai dengan pengalaman penulis yang sudah belajar membuat kopra sejak kelas 2 SMP J.
Cara pertama adalah dengan metode pengasapan. Pada tahapan ini, mula-mula buah kelapa yang telah dikumpulkan dikupas sabutnya dengan menggunakan sula atau dalam bahasa Mandar disebut passukke. 

Passukke atau Sula
(foto searching internet)


Membaca kata sula, mungkin pikiran anda dan fikiran saya akan terbersit sebuah nama pulau. Benar, Sulawesi. Entah kebetulan atau kebenaran, nama Sulawesi (sula=sula, wesi =besi. Menurut KBBI) disematkan pada pulau yang warganya paling banyak menggunakan alat sula, mungkin ini tugas dari para antropolog untuk mencari awal mula penamaan Sulawesi yang belum kunjung disepakati. 

By the way, on the way, bus way, kita kembali ke topik tentang bokaq J. Harap berhati-hati jika anda adalah seorang pemula, sebab tidak jarang dalam proses massukke ini bagian lengan akan penuh luka goresan begitu pula bagian telapak tangan biasanya akan lecet dan berisi cairan. Belum lagi kemungkinan mata sula akan menembus perut jika kita tidak waspada. Dalam kacamata penulis, dari sekian tahapan pembuatan kopra proses massukke inilah yang paling berat. Dalam sehari, penulis biasanya hanya mampu mengupas kelapa maksimal 800 butir padahal teman-teman kerja penulis bisa mencapai 1000 butir/hari.

Proses mengupas kelapa dengan sula
(foto searching internet)

Setelah kelapa-kelapa tersebut dikupas, kemudian dipotong dua. Ingat yah, kelapanya dipotong bukan dibelah J. Lalu disusun di atas pengasapan (paqbokangan) dengan bagian daging menghadap ke bawah. Kelapa ini disusun sampai beberapa lapis, tp idealnya sih cukup 8-10 lapis saja biar panas api tembus hingga ke atas. Soalnya jika terlalu tebal lapisannya, biasanya yang di bagian atas masih segar sementara bagian bawah sudah hangus.
Setelah tersusun rapi, masukkan bahan bakar yang biasanya diambil dari sabut kelapa yang sudah dikupas tadi, ke bagian kolong paqbokang dan mulai lah menyalakan api di beberapa sudut lantai bawah paqbokangan ini dimaksudkan agar api cepat menyebar rata hingga ke bagian tengah area pembakaran. 


Cara menyusun kelapa yang diasapi
(foto searching internet)


Dalam tahap ini, pekerja sudah boleh agak santai namun kewaspadaan harus benar-benar disiagakan sebab tidak jarang angin akan menerbangkan bara yang selanjutnya hinggap pada sisa sabut yang masih melekat pada tempurung kelapa dan selanjutnya akan membuat kelapa di atas paqbokang akan ikut terbakar. Beberapa kali penulis mengalami kejadian seperti ini, dan benar-benar merepotkan mengatasi jika kelapa yang diasapi sudah sempat terbakar. Sehingga senantiasa perlu disiapkan alat penyemprot air pada tahapan ini. Dan pada tahapan ini juga, kita bisa melihat kondisi asap di bagian teratas dari lapisan kelapa yang disusun sebagai pertanda. 
Jika asapnya hitam, maka biasanya semua masih terkendali. Itu pertanda jika kandungan air pada kelapa sudah mulai keluar. Jika asapnya bening dan hanya berupa fatamorgana, maka biasanya kadar air pada daging kelapa sudah tinggal sedikit. Namun jika keadaan asap berwarna putih, maka itu pertanda bahwa adanya kebakaran di antara lapisan kelapa-kelapa itu dan biasanya sudah mulai gawat.

Setelah diasapi 6 – 8 jam, api kemudian dibiarkan padam dan kelapa dibiarkan menjadi dingin. Setelah kelapa agak dingin, kita masuk ditahap selanjutnya yaitu massisi atau mencungkil daging buah kelapa dari tempurungnya dengan menggunakan sebuah alat khusus yang dinamakan passisi. Inilah sebenarnya tujuan utama dari pengasapan awal ini, agar daging buah kelapa layu dan mudah disisi. Setelah itu kelapa yang kini tinggal dagingnya kembali disusun rapi untuk selanjutnya kembali diasapi untuk proses pematangan/pengeringan akhir. 

Massisi untuk mencungkil daging kelapa dari tempurungnya.
(foto searching internet)

Setelah diasapi kembali 6-8 jam, dan daging kelapa sudah kering yang ditandai dengan warna daging kelapa berubah menjadi bening dan berminyak, buah kelapa kemudian didinginkan dan dimasukkan ke dalam karung. 
Dalam proses packing ini, biasanya petani menumbuk kopra di dalam karung dengan tujuan agar karungnya padat. Ini untuk mensiasati banyaknya karung yang digunakan, agar terhindar dari pemotongan timbangan yang dilakukan para pedagang. Terakhir yang penulis dapati para pedagang melakukan pemotongan 1 kg./karung.
Kopra yang telah diasapi
(foto searching internet)

Cara pengeringan yang kedua adalah dengan menggunakan sinar matahari. Pengeringan dengan proses ini relatif aman, sebab tidak lagi mengkhawatirkan masalah api dan hasil koprapun bersih. Namun dengan proses ini membutuhkan waktu lebih lama sebab untuk proses pengeringannya saja butuh waktu 3-5 hari tergantung dari teriknya sinar matahari. Dan tentu saja sulit dilakukan pada musim penghujan. Selain itu diperlukan pula area pengeringan yang lebih luas, umpamanya saja untuk mengeringkan 600 butir kelapa dibutuhkan lapangan dengan ukuran 35 m2, sementara dengan metode pengasapan untuk 3000 butir kelapa cukup dengan paqbokangan berukuran 10m2.

Pembuatan kopra dengan sistem jemur
(foto searching internet)

Demikianlah proses pembuatan kopra dari awal hingga akhir, sebelum kemudian dimasukkan ke pabrik untuk diolah lebih lanjut menjadi bahan kosmetik maupun bahan pangan atau bahan bakar. Semoga dengan mengetahui proses pembuatan kopra yang membutuhkan waktu dan tenaga yang luar biasa dari petani dan buruh tani bisa menghadirkan kesadaran pada diri kita untuk lebih menghargai petani. Demikian juga pemerintah agar kiranya mulai dapat memikirkan kebijakan-kebijakan yang berfihak pada petani kita. PETANIKU PAHLAWANKU........

Penulis saat membuat kopra. Nampak onggokan kelapa di belakang (sudut kiri bawah)
(dok. pribadi)

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...