Sebuah kebanggaan ketika memiliki sebuah
ikon religi di kampung kita, sebab tidak semua daerah memiliki ikon seperti
ini. Apalagi jika ikon tersebut adalah sebuah mesjid peninggalan salah seorang
penganjur agama Islam sehingga bernilai sejarah. Hingga peziarah yang datang
untuk menyaksikan mesjid tersebutpun datang dari segala penjuru negeri. Tentu
ini adalah sebuah keuntungan dari pihak pengelola mesjid yang tidak perlu lagi
serabutan untuk mencari dana sekedar renofasi kecil misalnya, bahkan renovasi
totalpun mungkin tidak menjadi masalah dari sisi pendanaan.
Demikianlah kondisi mesjid Imam Lapeo yang
berada di Lapeo, kecamatan Campalagian, kabupaten Polewali Mandar. Al kisah
mesjid ini didirikan oleh K.H. Muhammad Tahir yang dikemudian hari digelari
sebagai Imam Lapeo sebagai tempat untuk mengajarkan agama Islam kepada
masyarakat Lapeo. Seiring berjalannya waktu, maka berkat jasa beliau semakin
berkembanglah agama Islam di daerah itu dan semakin banyaklah murid beliau.
Bahkan murid beliau ada yang datang dari pulau-pulau lain di Nusantara. Dengan
demikian sampai hari ini kita akan menyaksikan banyak peziarah dari segala
penjuru yang datang ke mesjid Lapeo, khususnya pada momen-momen tertentu.
Kondisi ini membuat keuangan mesjid Lapeo
menjadi makmur, ini dapat dilihat dari bangunan mesjid yang begitu mewah,
setidaknya untuk ukuran kota kecamatan Campalagian. Tidak ada yang salah
sebenarnya dengan mesjid yang mewah, namun setidaknya perlu dipikirkan adanya
perimbangan kondisi kedaerahan. Apalagi ketika mengunjungi mesjid tersebut
nampak adanya eskalator dari lantai satu ke lantai dua serta dari lantai dua ke
lantai tiga, menurut saya adalah sesuatu yang mubazir. Bukankah mesjid ini
hanya “penuh” pada saat tertentu saja, sementara pada hari lain seperti
pelaksanaan shalat Jumat misalnya, lantai dua nyaris tidak dipergunakan sebab
daerah ini tidak memiliki hanya satu mesjid saja.
Demikian juga dengan interior mesjid. Entah
apa yang ada didalam fikiran orang yang menangani interior mesjid sehingga
memberi cat warna keemasan dan merah maron sehingga suasana terasa saat
pandangan terpaku pada dinding mesjid. Demikian pula dengan pengadaan beberapa
monitor TV di dalam mesjid, entah tontonan apa yang ingin disuguhkan pengelola
pada jamaah, semoga saja bukan sinetron Gajah Mada atau Mahabarata yang saat
ini sedang top.
Sungguh berbeda dengan mesjid Merdeka di
kecamatan Wonomulyo yang berdiri pada tahun 1930an. Meskipun berdiri di pusat
sentra ekonomi kabupaten Polewali Mandar, namun tidak memiliki desain interior
yang “neko neko”. Penampilannya sebagai mana layaknya mesjid pada umumnya,
hanya ukuran bangunan yang cukup besar
dan artistik saja yang melambangkannya sebagai mesjid kebanggaan masyarakat Wonomulyo.
Pun demikian dengan mesjid Darussalam di Kecamatan Belawa, kabupaten Wajo,
Sulawesi Selatan yang juga menjadi ikon religi dengan peziarah yang juga datang
dari daerah lain seperti halnya mesjid Lapeo. Tidak memiliki interior seperti
halnya mesjid
Lapeo yang menurut saya justru kelihatan norak.
Satu hal lagi yang tidak masuk diakal saya
ketika di sudut tiang bagian atas mesjid tertulis nama-nama orang yang awalnya
saya fikir adalah murid-murid Imam Lapeo angkatan pertama yang sangat berjasa
dalam pengembanga agama islam di daerah ini. Namun kemudian saya mendapat
beberapa nama baru, hingga saya mencapai sebuah kesimpulan bahwa nama-nama itu
adalah nama para donatur yang telah berjasa dalam pembangunan mesjid. Salah
seorang teman sempat mengomentari keberadaan tulisan nama-nama tersebut mengatakan
jika “mesjid Lapeo sepertinya bukan mesjid umum, tapi lebih kepada mesjid
keluarga”. Dan dari sekian apa yang saya lihat, mungkin tidak salah jika saya
mengatakannya sebagai Mesjid Norak Lapeo.....!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar