31/01/2014

DEMI CINTA




Menatap jauh ujung cakrawala
Masih ada lembayung di ufuk sana
Menutup indahnya mentari
Mentari muda diawal pagi
Saat hati menatap jauh
Terantuk hati yang meragu


Sungguh.....
Hati ini jauh dari prasangkamu kawan
Tulus seputih kapas
Ingin melihat kuncup itu berkembang
Tak terbatas oleh sekat status
Tak layu terpanggang mentari


Sungguh....
Aku kagum dengan idealismemu
Akupun punya...!
Meski yang kupunya mungkin lebih kecil
Aku bangga dengan usahamu, kawan.....
Akupun punya....!
Mungkin pun tak seberapa.

Sungguh....
Ingin kuteriakkan rasa ini
Hingga gunung kan pecah dan laut bergolak
Namun aku ragu kau kan yakin
Sebab kalbu tak berwujud

Tapi sudahlah, kawan......
Demi cinta dan cita
Biarlah ego ini hancur
Tataqmi tau malewu parriqdiq........

Bendera kita kan tetap terjaga
Meski berkibar di tiang rapuh
Panji kita kan tetap gagah
Sabaq siriq disiolai.....



Kappung jawa, 310114




30/01/2014

LELAKI SANDEQ

Sendiri tapaki gelombang
Menantang badai kehidupan
Menguak cakrawala bertabir kabut


Biru laut pendam rahasia takdir
Biru langit gantungkan harapan
Dalam kesendirian hati sisakan pilu
Terombang ambing serupa sandeq


Kerjap mata garang menerawang
Intai harap dibalik langit
Merengkuh abad yang kian biadab


Inilah dia sang lelaki zaman
Kepalkan tangan tiada gentar
Laksana nahkoda di ujung haluan
Mengantar hingga paccong mencium asa



======================
Tumpiling,2208130843.
Zulfihadi. Catatan di tahun ke 33






MENYIKAPI BUDAYA SECARA BIJAK

Beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan semakin gencar masuknya budaya luar yang masuk ke dalam negeri kita. Dimana akibatnya yang sangat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung adalah penurunan nilai moral dan etika kesusilaan yang dilakukan berbagai kalangan. Sejak dari rakyat biasa hingga pejabat, dari anak usia sekolah hingga manula yang sudah bau tanah kadang masih saja terlibat dengan perbuatan tak beradab.

Entah oleh desakan para budayawan atau karena kesadaran yang lahir dari jiwa para pemangku jabatan pemerintahan, maka penggiatan dan pelestarian budaya seolah menjadi sebuah euforia yang dalam beberapa pelaksanaannya kemudian justru terlepas dari pakem yang seharusnya. Sehingga budaya tradisional yang seharusnya menjadi sumber kearifan lokal justru bisa menjadi hal yang pelaksanaannya dibenci karena dianggap sebuah penindasan.
Sebut saja pemecahan rekor MURI untuk pembuatan kain sutera terpanjang beberapa waktu lalu yang dianggap oleh beberapa teman sebagai kegiatan yang tidak berakar dari kenyataan nyata di lapangan, dimana kita membanggakan daerah kita sebagai penghasil kain sutera terbaik padahal dimasyarakat, penenun malah lebih banyak menggunakan sutera imitasi karena memproduksi kain tenun sutera asli terasa begitu berat dan pemasarannya pun terbatas karena harga yang begitu tinggi.

Lalu masih tentang pemecahan rekor MURI untuk kategori kuda menari atau saeyyang pattuqduq terbanyak yang memang tidak sesuai aturan atau pakemnya dimana seharusnya pessawe adalah mereka yang sudah khatam Al-Qur’an.
Selain itu disela-sela pelaksanaan parade, nampak pula salah satu rombongan yang membawa perlengkapan balasuji yang sangat-sangat tidak sesuai dengan aturan dan tata cara pembuatannya. Sehingga hanya karena terbuat dari bilah bambu yang disulam segi empat saja yang membuat orang-orang tau kalau itu namanya balasuji. Sementara dari segi nilai, sungguh sangat hambar karena tidak menyimbolkan apapun.

Yang terakhir, ketika hari ini (Minggu,29 Desember 2013) salah seorang teman memberi informasi dan sebuah foto tentang pegawai SPBU Polewali yang menggunakan pakaian adat mandar dalam bertugas melayani pelanggan. Dalam fikiran saya bahwa karyawan SPBU ini tentu menggunakan pakaian adat karena perintah atasan dan bukan kemauan sendiri, apalagi ini masih dalam rangka memeriahkan ulang tahun Polewali Mandar. Bisa dibayangkan bagaimana repot dan gerahnya para karyawan yang menggunakan beskap (jas tutup) berdiri melayani pelanggan selama berjam-jam belum lagi jika panas matahari ikut menyengat. Tentu tidak kalah susahnya bagi karyawati yang diharuskan menggunakan sanggul, gallang balleq dan aksesories pakaian adat lainya. Apakah pemilik SPBU tersebut tidak berfikir manusiawi sehingga rela memperlakukan karyawan dan karyawatinya seperti itu demi sebuah kalimat “mangakuaq Polman” (saya akui Polman).

Budaya seharusnya dinilai secara bijak sebagaimana budaya itu sendiri selalu mengajarkan tentang kebijakan dan kebajikan meski hanya lewat sebuah simbol. Agar generasi muda nantinya betul-betul bisa menyatu dengan budayanya dan melaksanakannya dengan penuh keikhlasan. Bukan hanya karena perintah atasan atau adanya iming-iming tip tambahan. Sebab tentu yang kita inginkan adalah bagaimana agar budaya itu menjadi pembendung adanya pengaruh negatif yang dibawa oleh budaya luar yang tidak sesuai dengan adat ketimuran yang mengedepankan sopan santun atau dalam bahasa lokal dinyatakan sebagai sikap sipakatau, siparaya.
Pemerintah Polewali Mandar yang diakui sebagai kabupaten yang begitu sering melaksanakan event-event budaya seharusnya bisa mengajak para budayawan untuk duduk bersama dalam setiap event yang akan diadakan. Agar para budayawan bisa memberi masukan bagaimana seharusnya memperlakukan budaya.
Betapa senang dan semangatnya anak-anak mandar untuk pergi mengaji, jika menunggangi kuda pattuqduq diberikan secara istimewa hanya bagi mereka yang telah khatam Qur’an.
Betapa mesranya hubungan sesama masyarakat dan hubungan rakyat dengan pemerintah jika balasuji bisa menghadirkan simbol keselarasan pemerintahan yang mana kemudian disertai dengan pemahaman oleh segenap penghuni negeri. Meskipun pada dasarnya hal itu juga tidak bisa menjamin, namun setidaknya ada usaha untuk memperbaiki kualitas masyarakat yang dalam realitanya semakin hari semakin terpuruk karena mulai kehilangan identitas budayanya. Jika saja pelestarian budaya berangkat dari hati yang ikhlas, lalu dijalankan dengan ikhlas maka insya allah hasil yang didapatpun akan melebihi dari pada apa yang diharapkan.
Semoga dengan hadirnya tulisan ini, kita bisa sama-sama belajar untuk terus menggali pesan-pesan kebijakan dan kebajikan yang diwariskan leluhur kita. Dan tidak sekedar melaksanakannya secara serampangan hanya untuk sebuah gelar yang bernama rekor yang justru kemudian malah menenggelamkan arti dan nilai kearifan warisan leluhur.





29/01/2014

MERAH PUTIH YANG TERCABIK

Indonesia zamrut khatulistiwa
Negeri warisan para raja
Wujud dalam sukma merah putih
Dekap hangat anak negeri

Dari laut terdengar seruannya
Di gunung menggema gaungnya
Seolah bisikkan sabda
Teguh kokohkan negeri ini

Perlahan surya sadarkan aku
Mungkinkah amanah kan tertunai
Sedang aroma angin membawa resah
Sungai sampah meliuk membawa sesak

Tatap buas serigala asing
Siap koyak kandungan ibu pertiwi
Kawanan tikus pun tak tinggal diam
Berebut harta korup di sudut sudut gudang

Di bibir pantai teluk mandar
Kuukir tekad di batu karang
Sebait pinta kugoreskan
Jangan cabik merah putihku



Zulfihadi
Wonomulyo, 111113.




17/01/2014

MANUSIA, SEJARAH DAN BUDAYA MANDAR

Manusia adalah mahkluk sosial yang dalam kehidupannya selalu hidup dalam satu komunitas dimana satu individu memiliki ketergantungan dengan individu lainnya. Dan awal kehidupan manusia sendiri sudah dimulai berabad-abad yang lampau. Dalam setiap aktifitas individu inilah yang sering dinilai oleh individu lain di dalam kelompok, tentang baik dan buruknya. Aktifitas yang menurut mereka baiklah yang kemudian dipraktekkan di dalam kelompok hingga terbentuk sebuah budaya.


Apakah budaya itu?. Tiga kata berbeda yg menjadi judul tulisan ini memiliki keterkaitan erat, kenapa saya katakan demikian karena manusia adalah pencipta budaya yang kemudian terekam oleh sejarah untuk kemudian seyogyanya menjadi pedoman dan pengingat dalam berinteraksi di dalam masyarakat. Sehingga dengan demikian, manusia, budaya dan sejarah ini otomatis tidak dapat dipisah dan berdiri sendiri. Budaya menurut arti bahasa terdiri dari dua kata yakni “budi” dan “daya”. Budi adalah moralitas, akhlaq, atau tingkah laku manusia yang baik. Sedangkan daya adalah kemampuan. Maka jika digabungkan dan diartikan secara luas, bahwa budaya adalah kemampuan sebuah komunitas untuk menciptakan sebuah pengajaran yang bermakna kepada generasi penerusnya. Berisi pelajaran etika dan spiritual yang dibungkus baik barupa ritual, permainan maupun benda yang aturan pemakaiannya kemudian disepakati oleh semua atau sebagian besar anggota komunitas.


Seberapa pentingkah belajar sejarah dan budaya?. Sebagaimana yang telah saya singgung diatas, bahwa budaya berisikan pelajaran maka tentunya ini sangat penting untuk dipelajari. Dengan mempelajari sejarah dan budaya, kita tidak akan kehilangan jati diri, dan hanya mengaku sebagai bagian dari komunitas yang memiliki budaya luhur tanpa tahu sampai dimana keluhuran atau budaya apa saja yang dimiliki komunitas kita serta bagaimana sejarah mencatatnya. Dan jika kita membaca sejarah tentang penaklukan dan penjajahan sebuah bangsa terhadap bangsa lain, ada yang menarik untuk dicermati yaitu usaha si penakluk untuk menghapus budaya dan sejarah bangsa taklukannya dengan jalan menghancurkan bukti budaya atau menulis sejarah baru untuk dicekokkan kedalam otak generasi muda bangsa taklukannya. Dengan demikian bangsa taklukan tersebut akan terus merasa inferior dan pesimis karena tidak tahu bahwa sebenarnya leluhur mereka adalah bangsa yang berani, kuat dan terhormat.

Ada yang penting dalam belajar sejarah dan budaya bangsa kita yaitu kesediaan kita untuk menepiskan keegoan, dan etnosentris (kesukuan) sebab untuk mencari fakta sejarah tidak jarang kita harus menyandingkan sejarah bangsa kita dengan sejarah bangsa lain yang terkadang menyakitkan untuk diketahui namun harus dipelajari. Hal lain yang perlu dimiliki dalam belajar sejarah dan budaya kita adalah ketekunan dan terkadang daya imajinasi untuk merasakan dan membayangkan peristiwa yang terjadi dimasa lalu serta mengkait tautkan sejarah orang lain dengan sejarah kita.
Dan inilah barangkali yang menjadi faktor yang membuat remaja dan pemuda sekarang terkadang malas mempelajari budaya, dimana kondisi darah muda yang emosional terkadang sulit untuk ditaklukkan.


Lalu bagaimana dengan Mandar sekarang?
Berbicara tentang Mandar yang sekarang, tentu harus dimulai dari kehidupan manusia yang paling awal menghuni wilayah ini hingga membentuk komunitas dan budaya seperti yang kita lihat sekarang meskipun sudah banyak yang tidak nampak lagi baik karena alasan agama, hukum atau usaha penghapusan yang telah dilakukan oleh penjajah. Manusia awal yang saya maksud di sini tentu saja To Manurung seperti yang diceritakan di dalam Lontaraq Pattaudioloang, lalu masuk keperiode to makaka, kemudian masuk periode mara’dia dan berlanjut keperiode perang kemerdekaan dan berakhir pada mandar dikekinian. Untuk sejarah mandar sendiri, masih sangat sedikit sekali literatur yang mengupas hal itu. Dalam mengkaji sebuah sejarah, terkadang kita terperangkap dengan keharusan adanya bukti tertulis yang langsung menunjukkan fakta sejarah. Terkadang kita mengacuhkan cerita rakyat/ budaya tutur dan tidak berusaha mencari benang merah dari bahasa tutur itu dengan fakta sejarah. Sementara di sisi lain kita tau bahwa leluhur kita sudah ada sebelum budaya menulis dimulai.
Budaya Mandar sendiri demikian kaya dan meliputi berbagai aspek siklus hidup manusia mulai dari kelahiran, ritual kehidupan hingga kematian. Namun karena alasan kepraktisan dan efisiensi, maka beberapa budaya tradisionalpun pada gilirannya mengalami pergeseran baik model pelaksanaan maupun sehingga kemudian mempengaruhi sisi nilainya.
Mengkaji dan mengangkat budaya tradisional pada dasarnya bertujuan untuk menggali nilai-nilai kearifan lokal untuk kita terapkan dalam kehidupan keseharian pribadi, keluarga dan komunitas kita. sangat salah ketika pengkajian itu kemudian justru menumbuhkan chauvinisme dan rasa etnosentris kita sehingga membuat kita merasa bahwa hanya suku kita yang terhebat, terjago atau termulia. untuk masalah kehebatan dan kemuliaan, tak ada perbedaan antara yang bugis, yang jawa, yang mandar, yang makassar, yang papua, yang maluku, yang manado, dan semua suku lain di Nusantara bahkan di dunia ini.
Ayo semua luluareq/saudaraku, mulailah pelajari sejarah dan budaya kita sebelum sejarah dan budaya itu hilang dan tersembunyi.




12/01/2014

CERITA DARI ARENA LOMBA PEMBUATAN KERIS

Pada tanggal 30 Desember 2013 lalu di desa Pamboqborang, kelurahan Baru, kecamatan Banggae, kab. Majene berlangsung sebuah lomba yang cukup unik yaitu lomba pembuatan keris. Pamboqborang memang sudah lama dikenal sebagai sentra pembuatan senjata logam seperti keris, badik atau tombak ataupun juga peralatan pertanian seperti sabit, parang dan sebagainya. Berbekal sebuah pertanyaan yang selalu mengganjal di benak saya tentang nama seni pengetahuan tentang senjata tajam di mandar, saya berusaha hadir dan berinteraksi langsung dengan para pandai besi di desa itu. Untuk kali ini karena lombanya adalah pembuatan keris, maka sedikit akan kita kupas tentang keris.

Dalam lomba ini, panitia membekali peserta yang terdiri dari satu tim pandai besi dengan besi baja seberat 500 gram atau ½ kg. Besi itulah yang harus ditempa dan diolah menjadi sebuah keris berlekuk dengan panjang 30 Cm. atau lebih namun tak boleh kurang dari 30 Cm. dan bahan logam yang disediakan tersebut tidak boleh ditambah atau dicampur dengan logam lain dan harus selesai dalam waktu sehari.

Dalam proses pembuatan keris oleh peserta, logam tadi dipanaskan dan ditempa hingga berbentuk keris kasar. Proses penempaannya dilakukan dengan teknik khusus agar bisa membentuk urat besi yang akan menjadi motif “alami” pada bagian bilah, serta pem”baraq”an. Setelah terbentuk keris kemudian dihaluskan dengan gerinda atau kikir, dalam proses penghalusan ini pula kemudian ditambah dengan memberikan ukiran, “kanuku”, tumba layar, serta pemasangan “kancingan” yg dibuat terpisah dengan keris. Setelah proses penghalusan selesai, keris tersebut kemudian direndam beberapa lama dalam larutan asam. Perendaman atau dikenal dengan istilah “mattombang” ini berfungsi untuk menonjolkan urat besi yang telah terbentuk dari proses penempaan tadi. Perendaman dengan cairan asam ini tidak boleh terlalu lama sebab justru bisa merusak bilah keris.
Sebagaimana di daerah lain, di Mandar juga dikenal dua jenis keris atau gayang yaitu gayang lekkong (keris luk) dan sapukala (keris yang bentuknya lurus). Mengenai kedua jenis keris ini, ada ussul yang sempat kami dengar dari warga di sana bahwa gayang lekkong (keris luk) cocoknya untuk mereka yang memiliki rambut ikal atau keriting. Sedang sapukala cocoknya untuk mereka yang berambut lurus. Namun tak ada keterangan yang saya dapat kenapa mesti seperti itu.
Menurut salah seorang pandai besi yang ikut menjadi peserta dalam lomba ini, bahwa hasil keris yang dilombakan sebenarnya jauh dari hasil sempurna yang bisa dilakukan. Ini terjadi karena kurangnya bahan yang disediakan oleh panitia sehingga pandai besi tidak bisa melakukan penempaan dengan teknik lipat untuk menghasilkan urat besi yang lebih indah. Menurutnya, untuk membuat keris dengan kualitas baik setidaknya dibutuhkan logam baja seberat 2 Kg. serta sempitnya waktu pembuatan. Masih menurut beliau, bahwa para pandai besi jaman dahulu tidak menggunakan cairan asam kimia untuk “mattombang” keris, namun menggunakan cairan asam alami yang berasal dari air perasan jeruk nipis sehingga proses “mattombangnya”pun memakan waktu hingga berbulan-bulan.
Ada beberapa istilah untuk bagian-bagian keris yang ada di Mandar sebagai berikut:
1.Parewa : meliputi kelengkapan keris dari guma dan pulu.
2.Guma : sarung keris / warangka.
3.Pulu : gagang keris
4.Kancingan : bagian yang terdapat diantara pangkal keris dengan gagang.
5.Kanuku : bagian pangkal keris yang dibuat melengkung
6.Tumba layar : ornamen yang dipahatkan pada bagian pangkal keris.
7.Uraq bassi : alur-alur besi yang muncul dipermukaan bilah keris karena proses penempaan.
8.Pammor : guratan terang pada bilah senjata dari logam yang muncul akibat pencampuran dua atau lebih material logam yang berbeda.
9.Baraq : proses pembajaan pada senjata. Biasanya kadar baja pada bagian tepi yang tajam lebih tinggi dari pada bagian tengah, sehingga bagian sisi yang tajam lebih keras.
10.Mattombang : proses perendaman dengan cairan asam untuk membersihkan karat dan menonjolkan urat besi.
11.Ati : bagian keris yang masuk ke dalam pulu, agar pulu dan keris menyatu.






11/01/2014

KISAH PANETTE DAN LIPAq SAqBE

Sayup suara panette lambungkan rasa
Mengalirkan kidung-kidung syahdu labirin hati
Melukis kagum kesabaran

Kerentaan jari-jemari tua penuh lelah
Perkasa mengitung asa dan karya
Menggambar makna kesetiaan

Sepasang mata memandang lekat
Menyusuri helai saqbe terhalus
Itulah arti sebuah kekuatan

Senyum terulas di sudut bibir keriput
Menampak liukan eksotis bidadari di lautan sureq
Menyapa setiap titik keindahan seni

Lipaq saqbe, lipaq to dziolo
Membalut indah dalam wibawa
Mengantar mandar ke panggung mayapada

Lipaq saqbe, lipaq keramat
Indah kuat pemberi hangat
Pelidung siriq para Maraqdia



Zulfihadi
Tumpiling, 050813280934 11.13


=================================
Lipaq saqbe : sarung sutera khas Mandar
Panette : penenun kain.
Sureq : corak ragam pada sarung sutera mandar.
To dziolo : To=orang. Dziolo = dulu/leluhur
Maraqdia: gelar raja pada suku mandar.




SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...