07/12/2017

LONTARAQ SEBAGAI SUMBER SEJARAH DIRAGUKAN (?)

(Photo: Aisyah S. Ahmad)

Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat tak bisa dipungkiri menjadi sesuatu yang menakjubkan dewasa ini. Gerakan-gerakan literasi yang membooming semakin bergulir hangat ditambah dengan back-up media pemberitaan maupun media sosial semakin membuatnya semakin menggema. Tentu ini adalah sebuah hal yang menggembirakan mengingat krisis penulis hari ini sedikit banyak dipengaruhi oleh kurangnya media baca pada waktu-waktu lalu. Bagi anda generasi 70-an ke atas tentu cukup mengetahui bagaimana sulitnya menjadi seorang penulis waktu itu dengan adanya pengawasan pemerintah yang cukup ketat.

Lalu pasca reformasi 98, saat masyarakat diberikan kebebasan untuk bersuara dan menuliskan apapun yang hendak ditulisnya, media penulisan pun bermunculan bagaikan cendawan dimusim hujan. Surat kabar, majalah, tabloid, buku maupun buletin adalah contoh media fisik penulisan. Belum lagi blog dan website juga turut pula menjamur menyajikan berjuta informasi dengan beragam tema yang berbeda.  Informasi ilmu pengetahuan, sejarah, budaya maupun hal yang lainnya demikian mudah didapatkan bahkan ada pameo yang menyatakan bahwa informasi kini hadir dalam genggaman.

Dalam hal kesejarahan dan kebudayaan. Setiap penulisan sejarah membutuhkan sumber-sumber berupa artefak ataupun kisah tutur yang tersimpan dalam ingatan komunal masyarakat yang kemudian dicermati, dianalisa, diinterpretasi lalu ditulis oleh penulis. Entah oleh zaman, perang maupun bencana alam artefak-artefak yang menjadi sumber sejarah semakin sedikit. Salah satunya lontaraq. Lontaraq yang hanya sedikit semakin sulit diakses dengan adanya kepercayaan beberapa orang pemegang lontaraq yang mengharuskan pemotongan hewan kurban berupa kambing, sapi atau kerbau sebelum membuka lontaraqnya. Meskipun menurut saya, ini hanya akal-akalan saja untuk sesuatu tujuan yang tidak diketahui.

Padahal lontaraq semestinya menjadi sebuah sumber terpercaya saat akan mengkaji sejarah masa lalu. Lontarak menempati kedudukan yang unik di antara tulisan-tulisan bersejarah di Indonesia, oleh karena isinya pada umumnya dapat dipercaya dan kurang mengandung mitos, ramalan-ramalan, dan penulisnya sangat memperhatikan peristiwaperistiwa sendiri dan menulisnya secara jujur. Kronologi peristiwa ditulis secara cermat dan seobjektif mungkin. ( wawancara A.A. Cense oleh Zainal Abidin dalam buku Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan. Hal.ix).


Pengkajian lontaraq juga membutuhkan kecermatan ekstra dan penuh perhitungan. Hal ini disebabkan oleh gaya bahasa yang sudah tidak populer hari ini. Inilah yang terkadang membuat sebagian orang yang membaca lontaraq mengira bahwa antara lontaraq yang satu bertentangan dengan lontaraq yang lainnya. Apalagi lontaraq yang banyak beredar hari ini hanyalah berupa lontaraq hasil alih tulisan dan alih bahasa saja. 

Tidak bermaksud mengecilkan jasa penerjemah lontaraq masa lalu yang harus kita syukuri sebagai berkah dalam ranah intelektual lokal kita. Namun selain adanya beberapa kata yang menujukkan arti sama, memang terkadang ada beberapa penulisan kata dalam lontaraq yang tidak sesuai dengan alih tulisannya sehingga ketika dialih bahasakan ke-bahasa Indonesia akan melenceng pula artinya. Olehnya itu, pengkaji dan penulis sejarah setidaknya harus pula bisa membaca aksara lontaraq.

30/08/2017

SEJARAH KOPI MANDAR

(Sebuah Tulisan Awal Perkopian di Tanah Mandar)Part3 (selesai). Oleh: Zulfihadi. Matakali, 23 Februari 2017.
=====================================================================================

Tensi persaingan untuk mendapatkan kopi terus meningkat hingga berakibat pada pecahnya perang lokal di antara penguasa-penguasa adat yang ada di Toraja dibantu oleh sekutunya yang merupakan pedagang-pedagang luar tersebut. Perang itu dikenal sebagai Perang Kopi I dan berlangsung dari tahun 1887 dan berakhir tahun 1888.

Agak reda sesaat, lalu kemudian pada tahun 1889 pasukan kerajaan Bone dibantu oleh pasukan Gowa dan Mandar kembali memasuki Toraja mengakibatkan perlawanan orang-orang Tallu Lembangna hingga pecahlah Perang Kopi II. Perang Kopi II ini berhenti setelah La Tanro Puang Mallajange ri Buttu Mario, Raja Agung Enrekang XVI meminta agar Petta Ponggawae yang memimpin pasukan Bone untuk kembali.

Setelah Perang Kopi II berhenti, lalu La Tanro Puang Mallajange ri Buttu Mario mengatur kembali tata niaga kopi di Toraja. Dan sejak saat itu keadaan perdagangan kopi di Toraja relatif kondusif hingga 1906, Toraja didominasi oleh Belanda.

Lalu bagaimana perjalanan kopi selanjutnya hingga mencapai tanah Mandar?.   
Hingga hari ini, belum ada catatan tentang itu. Sehingga kita hanya bisa menduga bahwa tanaman kopi di Mandar kultivasinya nanti pada tahun 1900-an meskipun minuman ini kemungkinan besar telah dinikmati pula oleh para bangsawan dan ulama penyebar agama Islam jauh sebelumnya dengan diperkuat oleh adanya interaksi antar manusia serumpun di Sulawesi ini sehingga menyebabkan percampuran budaya dan ginekologi Bugis, Makassar dan Toraja.

Namun demikian, ada dugaan sementara untuk menggambarkan awal mula tanaman kopi di Mandar yaitu, pertama: tanaman kopi dibawa oleh para veteran Perang Kopi II, di mana pasukan Bone juga mendapat bantuan dari pasukan Gowa dan Mandar. Sehingga ketika perang usai pada tahun 1890, para pasukan Mandar ini ada yang membawa bibit kopi untuk dikembangkan di Mandar. 

Sayangnya tidak didapati keterangan tentang asal pasukan yang berangkat ke Toraja meski kemungkinan besar mereka adalah pasukan dari kerajaan Balanipa. Jika saja asal mereka diketahui, maka ada kemungkinan bisa ditelusuri daerah awal penanaman kopi di Mandar.

Dugaan kedua adalah adanya perluasan perkebunan rakyat untuk mencari lahan sehingga akhirnya masuk ke daerah Mandar. Hal ini mengingat sebagian wilayah Toraja dan Luwu berbatasan dengan Mandar (baca: Sulawesi Barat) sehingga sangat memungkinkan perpindahannya.

Sejauh ini, informasi tentang penanaman kopi tertua secara valid baru datang dari informasi dan kesaksian H. Yahya  yang berusia kisaran 70 tahun. Salah seorang tokoh masyarakat desa Tapango Barat yang menyebutkan bahwa pertama kali ia menanam pohon kopi saat remaja dalam jumlah banyak adalah pada tahun 1960 dan hingga kini, pohon-pohon kopi tersebut masih tumbuh dan berbuah. 

Namun, lama sebelum itu ketika ia masih kanak-kanak. H. Yahya masih sempat menyaksikan pohon-pohon kopi banyak tumbuh di sekitar rumah warga Tapango yang masih terpencil dengan akses jalan sangat sulit ketika itu. 

Salah satu artefak alat pemecah kopi dari batu andesit berbentuk  datar berukuran kurang lebih 40x30 cm. masih tersimpan di perkebunan kopi Tjap Maraqdia, Tapango, Polewali Mandar. Benda ini dulunya digunakan oleh nenek buyut penulis untuk memecah buah kopi saat beliau tiba di Tapango dari Belawa. Beliau meninggalkan daerah asalnya pada akhir tahun 1950-an akibat kekacauan oleh pemberontakan dan maraknya perampokan saat itu di kampung halamannya.
(Selesai)

Diolah kembali dari :
- Outlook kopi terbitan Pusat Data dan Informasi Pertanian Sekjen Kementan tahun 2005 (pdf)
- http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160508160635-269-129200/toraja-dan-emas-hitam-bernama-kopi
- https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_kopi
- https://www.facebook.com/657151224390172/photos/a.657719207666707.1073741828.657151224390172/657719191000042/?type=1&theater
- https://anaktator.blogspot.com/dokumen-perang-kopi-di-toraja/

28/08/2017

HORST H. LIEBNER YANG SAYA KENAL

(Sebuah catatan tentang lelaki Mandar berdarah Jerman).
================================================

Foto: Hariandi Hafid/Beritagar.id


Perkenalan saya dengan sosok lelaki jangkung berambut pirang khas Eropa yang berprofesi sebagai antropolog maritim dan meraih gelar Doktornya di University of Leeds, Inggris itu terbilang belum lama, sekitar 3 tahunan.

Kami saling berinteraksi ketika event Sandeq Race 2014 yang pelaksanaannya terkesan morat-marit sehingga memancing reaksi dari beberapa pemerhati kebudayaan maritim Mandar dalam hal ini Sandeq, untuk berkomentar. Dari situlah kami sering bertukar fikiran tentang kebudayaan Mandar lewat media sosial.

Awal 2016 ketika ia sedang melakukan riset tentang kerajaan-kerajaan tua di Mandar dalam kaitannya dengan dunia maritim, pada suatu malam ia memposting di sebuah grup budaya foto lembaran salinan manuskrip beraksara lontar dan meminta siapapun yang bisa mentranslit-nya ke dalam aksara latin.  Beberapa menit kemudian, saya membalas postingan itu dengan komentar yang berisi hasil translate. Ia kemudian mengirim lagi 3 lembar halaman manuskrip yang merupakan sambungan halaman pertama tadi. Dan keesokan harinya hasilnya saya kirim kembali kepada Horst.

Lelaki sederhana bernama lengkap Horst Hiebertus Liebner, lebih akrab dipanggil Horst ini lahir pada 28 November 1960 di Oberhausen, Nordrhein-Westfalen, Jerman merupakan seorang yang ramah dan mudah bergaul dengan kalangan dari kelas mana saja. Akhir tahun lalu saya bersama dua orang kawan sempat bertandang ke rumahnya yang berlokasi di dalam kompleks benteng Somba Opu, Makassar.

Pertemuan awal kami dan selanjutnya diikuti pertemuan-pertemuan selanjutnya di dunia nyata membuat kami semakin akrab. Berdasarkan hasil translate lontar yang saya ceritakan sebelumnya, ia tertarik mengunjungi situs bukit Pasokorang dan saya memang sedang menelusuri ihwal kerajaan ini sejak tiga tahun sebelumnya. Ini sebuah kesempatan emas dan langka bagi saya. Turun langsung ke lapangan bersama seorang yang ahli dibidang antropologi.

Ternyata Horst bukan orang yang pelit berbagi data mengenai sejarah dan budaya Mandar. Belasan file data ia bagikan kepada kami yang sedang “meraba” Mandar. Saya juga beruntung dan bangga mendapat copy-an buku Lontar Pattaudioloang yang dijilid dengan rapi yang dicopy khusus untuk saya.

Dari interaksi langsung tersebut saya mengenal pribadinya lebih dalam. Horst adalah orang yang disiplin, jika ia sudah mengatakan “kita berangkat jam 7.00”. Jangan coba-coba untuk datang 7.30 atau malah jam 8.00 karena anda pasti ditinggalkan kecuali memang ada hal-hal urgen yang harus membuatnya menunda (bandingkan dengan yang sering kita dapati dalam masyarakat kita saat undangan rapat atau pertemuan lain, misalnya).

Lelaki yang bibirnya selalu mengepulkan asap rokok jenis mild merk S**p**na ini juga merupakan sosok perencana yang sangat matang saat hendak membuat sebuah kegiatan. Ia akan menghitung pos anggaran, jumlah personil, peralatan yang dibutuhkan hingga perkiraan waktu pelaksanaan lengkap kemungkinan potensi, peluang, hambatan dan tantangan yang mungkin akan dihadapi saat persiapan hingga pasca kegiatan secara tertulis dengan aplikasi ms. Excel di laptopnya. Saking detailnya, seringkali ada hal-hal yang ia pikirkan justru luput dari pemikiran kami.

Tapi di balik kedisiplinan dan keseriusan yang selalu tampak di wajah lelaki itu, jangan terkejut jika ternyata ia bisa menjadi sangat jenaka ketika bercanda dengan anak-anak kecil. Ini saya saksikan sendiri di Nusa Pustaka, sebuah perpuskaan swadaya di Pambusuang ketika ia membacakan sebuah dongeng kepada beberapa anak yang ada di sana dengan aksen Eropanya yang masih terasa kental sehingga membuat anak-anak yang tidak terbiasa mendengarnya tak bisa menahan tawa. Melihat anak-anak itu tertawa, Horst malah membalasnya dengan bercanda hingga kami yang ada di sana semua ikut terbawa suasana gembira itu.

Dari sekian itu, yang paling membekas bagi pribadi saya adalah militansi dan totalitasnya dalam pelaksanaan kegiatan. Tidak sulit menemukan sosoknya yang berkulit terang di antara tim-nya yang rata-rata berkulit gelap ikut berpeluh, berjuang menyukseskan hal yang diembannya. Yang terbaru adalah ketika pria yang seyogyanya menjadi koordinator panitia Sandeq Race 2017 (namun terdepak bersama ketua umum, ketua harian serta bendahara panitia dan diganti oleh orang pemerintahan) ini tertangkap kamera sedang mengangkat sendiri dus-dus air mineral untuk timnya. Belum lagi dokumentasi pelasanaan Sandeq Race sebelum tahun 2012 yang selalu ia tangani sebelum diambil alih oleh Pemprov Sulawesi Barat, banyak memuat wajahnya.

Apakah dengan batalnya ia bersama timnya menahkodai Sandeq Race 2017 merupakan akhir tantangan baginya?. Ternyata tidak !.
Dari sumber terpercaya menyebutkan bahwa akibat kucuran dana kegiatan Sandeq Race 2017 dari Pemprov Sulawesi Barat sempat tertunda hingga event yang mestinya menjadi kebanggan kita bersama itu hampir memasuki hari H maka ia memenuhi kebutuhan lomba untuk panitia dan calon peserta seperti printer, poster, cat dan layar dll. dengan menggunakan dana awal yang berasal dari salah seorang donatur dan sebagiannya lagi dengan berutang ke toko nelayan di Pambusuang.

Belakangan kemudian diputuskan sepihak bahwa Horst dan timnya tidak diamanahi menjadi nahkoda event lomba Sandeq Race 2017.  Di sinilah ia memperlihatkan kualitasnya sebagai seorang leader dan sekaligus profesional. Ia mengambil alih beban hutang keperluan lomba itu pada toko nelayan dan sekaligus mengembalikan uang donasi yang telah terlanjur digunakan tanpa bantuan tim-nya maupun orang lain.

Menurut saya, bisa jadi sikapnya ini merupakan pembawaan lahir namun tidak menutup kemungkinan pula jika ini adalah salah satu hasil dari pengalamannya selama belasan tahun mengurus perahu sandeq hingga ia mewarisi keberanian, keuletan, soliditas dan, leadership yang ditanamkan leluhur orang Mandar. Sebuah kepribadian yang belum tentu kita miliki sebagai orang yang lahir, berdomisili dan, berdarah Mandar.


Lalu akankah kita yang selalu mengklaim diri sebagai Mandar sejati hanya berpangku tangan melihat orang lain bahkan kerap dicap sebagai orang asing berdiri sendiri menyelamatkan warisan yang mestinya menjadi tanggung jawab kita?. Masihkah siriq kita miliki atau, Mandar memang sudah harus menyerah sebagaimana penggalan syair Syuman Saeha?.  

24/02/2017

SEJARAH KOPI MANDAR(Sebuah Tulisan Awal Perkopian di Tanah Mandar)Part2. Oleh: Zulfihadi. Matakali, 23 Februari 2017.

Sebuah versi berbeda kemudian datang dari seorang penulis Eropa, Terance William Bigalke. Antropolog sekaligus pakar sejarah Indonesia dan Asia Tenggara modern. 

Dikutip dari http://www.cnnindonesia.com, Bigalke menuliskan fakta tersebut dalam buku berjudul Tana Toraja: A Social History of An Indonesian People (2005), merujuk pada kesaksian seorang Belanda bernama Van Dijk. Sebelum membuka perkebunan kopi di Pegunungan Rantekarua pada 1900-an, Van Dijk menemukan pohon kopi berusia sekitar 200 tahun di Desa Sa'dan, Toraja Utara.

Ini artinya bahwa masyarakat Toraja sudah mengenal kopi sejak awal tahun 1600. Hal ini cukup masuk akal mengingat pedagang-pedagang Arab telah berinteraksi dengan pedagang nusantara jauh sebelumnya dan menjadi kebih intens pasca jatuhnya bandar Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 dan bandar Sunda Kelapa menyebabkan para pedagang Arab yang senantiasa berseteru dengan pedagang Eropa terkait perang Salib, mencari bandar niaga lain yang tidak dikuasai oleh orang Eropa. Dan sejarah membuktikan bahwa pilihan itu jatuh ke bandar Makassar. 

Bahkan ada yang menyebut jika kopi telah dipertukarkan oleh pedagang Arab dari Jawa dengan emas, porselen dan kain pada abad XIV hingga memungkinkan masyarakat lokal bisa menyerap kosakata qahwa untuk menyebut kopi. Walau demikian, ha ini masih membutuhkan kajian mendalam.
Harga kopi yang melambung di pasaran dunia menyebabkan persaingan kopi di Toraja menjadi panas. Para pedagang luar bersaing untuk mendapatkan komoditi itu dengan cara mendekati dan menjalin kerjasama dengan para pemimpin lokal. 

Sebut saja para pedagang Bone dan Luwu bekerjasama dengan Pong Maramba dari Toraja bagian utara, sementara Sidenreng, Wajo, Soppeng dan pedagang-pedagang Arab membangun afiliasi dengan Danduru dan Pong Tarongko.

Dengan demikian tercipta pula dua jalur perdagagan kopi sesuai asal kedatangan pedagang-pedagang tersebut. Bone dan Luwu membawa kopi melalui jalur timur melalui Sa’dan – Balusu - Sesean - Rantepao - Rantebua - Pelabuhan Bua di Palopo. Sementara pedagang Sidenreng, Wajo, Soppeng dan Arab melewati jalur Barat melalui Pangala – Dende - Piongan - Kurra - pasar Rantetayo – pelabuhan Pare-pare.

Tensi persaingan untuk mendapatkan kopi terus meningkat hingga berakibat pada pecahnya perang lokal di antara penguasa-penguasa adat yang ada di Toraja dibantu oleh sekutunya yang merupakan pedagang-pedagang luar tersebut. 

Perang itu dikenal sebagai Perang Kopi I dan berlangsung dari tahun 1887 dan berakhir tahun 1888.
Agak reda sesaat, lalu kemudian pada tahun 1889 pasukan kerajaan Bone dibantu oleh pasukan Gowa dan Mandar ..... (Bersambung lagi....)

23/02/2017

SEJARAH KOPI MANDAR (Sebuah Tulisan Awal Perkopian di Tanah Mandar) Oleh: Zulfihadi. Matakali, 23 Februari 2017.


Manusia mengenal beragam minuman dengan ciri khas dan khasiatnya masing-masing. Dari sekian banyak minuman itu, saya memilih untuk menuliskan cerita singkat tentang kopi.

Alasannya simpel, selain kopi adalah minuman rakyat yang mendunia, perjalanan sejarah kopi juga lebih menarik dengan banyak bumbu, mulai dari legenda, perang, perbudakan, agama maupun wanita. Alasan lainnya adalah karena tulisan tentang kopi masih sangat minim, jikapun ada buku tentang kopi, harganya masih selangit. Terkhusus tulisan tentang sejarah kopi Mandar, bisa dibilang belum ada.

Minuman kopi yang belakangan ini sedang tenar berasal dari tanaman kopi dengan cara mengolah buahnya yang berdaging manis.

Ada perbedaan tentang waktu penemuan kopi ini dibeberapa sumber. Dikutip dari buku Outlook Kopi terbitan Pusat Data dan Informasi Pertanian Sekjen Kementrian Pertanian tahun 2015 (ebook pdf) bahwa dalam buku the Coffee Book: Anatomy of an Industry from Crop to the Last Drop disebutkan jika kopi pertama kali ditemukan antara tahun 575-850 M. oleh suku Galla di Ethiopia yang memanfaatkan kopi sebagai sejenis makanan penambah energi “energy bar”.

Sementara itu, situs wikipedia menyebut bahwa sebuah legenda menyatakan bahwa kopi pertama kali ditemukan oleh seorang pria penggembala kambing dari suku Galla di pedalaman Ethiopia, Afrika sekitar tahun 1000 SM. Konsumsi kopi cukup lama terisolasi dan terbatas hanya oleh masyarakat Ethiopia. Nantilah pada abad V atau lebih minuman ini dikenal orang Arab.

Sekitar abad VIII M. seiring dengan perkembangan agama Islam, kopi juga menyebar dengan pesat. Kopi disebarkan melalui Mocha, pelabuhan ternama di Yaman pada masa itu.

Meski minuman kopi telah menyebar luas hingga ke Eropa, pembudidayaannya sangat terbatas hingga berabad-abad kemudian. Hal ini disebabkan oleh pedagang Arab hanya memperdagangkan biji kopi yang sudah di-infertil sehingga tidak memungkinkan untuk ditumbuhkan.

Semasa hidupnya, seorang muslim ahli kedokteran ternama bernama Ibnu Sina yang oleh orang Eropa dikenal sebgai Avicena meneliti zat kimia yang terkandung dalam kopi. Dalam catatannya, Ibnu Sina menyebut kata “bunn” dan mempunyai deskripsi sama persis dengan kopi pada masa sekarang.

Tahun 1600, untuk pertamakalinya biji kopi fertil dibawa pulang oleh seorang India bernama Baba Budan setelah melaksanakan ibadah haji di Mekah. Tahun 1616 hingga tahun 1696 merupakan golden age penyebaran tanaman kopi. Italia, Inggris, Amerika Utara, Prancis dan Sri Lanka serta Hindia Belanda (Indonesia) menjadi tujuan-tujuan awal penyebaran kopi.

Sebuah versi menyebutkan bahwa Indonesia pertama kali mengenal kopi pada tahun 1696 saat Gubernur Hindia Belanda mendapat kiriman kopi dari Gubernur Belanda di Malabar. Sayangnya kopi pertama ini tidak berhasil panen setelah terbawa banjir, hingga tahun 1699 Gubernur Hindia Belanda kembali mendapat kiriman kopi. Bibit kopi ini berhasil tumbuh dan panen pada tahun 1711 dan terus meningkat hingga mencapai volume ekspor 60 ton/tahun. VOC juga menguasai monopoli perdagangan kopi di luar Arab sejak tahun 1725-1780.

Bibit-bibit kopi dari Batavia itu kemudian dibawa ke seluruh nusantara termasuk Sulawesi. Secara kebetulan pada waktu itu suasana perang Makassar sudah mereda (tidak benar-benar aman sebab selalu saja ada pertempuran yang pecah di banyak penjuru Sulawesi) dengan kemenangan kerajaan Bone yang bersekutu dengan VOC.

Dari kemenangan itu VOC kemudian memanfaatkan kerjasamanya dengan kerajaan Bone untuk menyebarkan tanaman kopi hingga kepedalaman Tanah Toraja.

Tapi versi ini menyisakan sebuah pertanyaan, jika VOC yang menyebarkan tanaman ini ke Toraja tentu masyarakat Toraja lebih mengenal minuman ini dalam bahasa Belanda yakni “koffi”. Nyatanya, orang Toraja dahulu, bahkan hingga sekarang sebagiannya justru menyebut minuman ini dengan “kaa” ada juga yang menyebutnya “qahwa”. Sebuah terminologi Arab untuk menyebut kopi. Ini mengindikasikan bahwa minuman ini sudah dikenal oleh masyarakat secara meluas sebelum VOC membawanya untuk dibudidayakan secara luas.

Sebuah versi berbeda kemudian datang dari seorang penulis Eropa, bernama...(bersambung...)

Diolah kembali dari :
- Outlook Kopi terbitan Pusat Data dan Informasi Pertanian Sekjen Kementrian Pertanian tahun 2015 (ebook pdf)
- http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160508160635-269-129200/toraja-dan-emas-hitam-bernama-kopi/
- https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_kopi
- https://www.facebook.com/657151224390172/photos/a.657719207666707.1073741828.657151224390172/657719191000042/?type=1&theater
- https://anaktator.blogspot.com/dokumen-perang-kopi-di-toraja/

21/02/2017

EKSPEDISI KUNYI

Matakali, 18 Februari 2017, berawal dari postingan facebook tentang sebuah mesjid tua di dusun Kunyi, kelurahan Anre Api. Saya dan Yusri, seorang kawan yang berprofesi sebagai jurnalis ingin menjajaki seberapa tua kira-kira mesjid tersebut. Namun kesibukan sebagai penyelenggara pemilihan gubernur Sulawesi Barat periode 2017-2022 tidak memberi kesempatan untuk segera menindak lanjuti temuan tersebut. Olehnya itu, barulah pada hari Sabtu tanggal 18 Februari 2017 menjadi waktu perjanjian kami untuk bertemu dan bersama-sama menuju ke lokasi. Mujahidin Musa yang juga rencananya ikut berekspedisi, batal karena sesuatu hal teknis, maka perjalanan itu kami lakukan berdua saja

Sinar mentari cukup panas memanggang mengantar perjalanan kami menyusuri jalan poros Polewali-Mamasa yang relatif bagus. Namun hal itu tak berlangsung lama sebab hawa sejuk pedesaan segera menyambut kami begitu memasuki wilayah kelurahan Anre Api yang jaraknya memang tidak begitu jauh dari kota Polewali. Jalanan yang meski agak sedikit menanjak namun cukup mulus dan tidak menyulitkan si Sushi (Suzuki Smash Hitam.....hehehe) tua yang kukendarai untuk melewatinya. Jalan poros yang diapit oleh bukit berhutan di sisi kanan dan sungai Lantora di sisi kirinya menyajikan kesejukan dan kedamaian.

Tidak berapa lama kemudian kami sampai di rumah kepala dusun Kunyi. Kami mendapatinya sedang memperbaiki pagar pekarangan, jadilah kami berbincang di depan rumah beliau yang berada persis di tepian sungai dengan banyak bebatuan. Dalam fikirku, pasti asyik jika di sungai ini ada wisata olah raga arung jeramnya. Tepat di seberang sungai depan rumah pak kepala dusun itulah, mesjid yang diduga berusia paling tidak 3 atau 4 abad itu berada. Namun ternyata struktur dan bangunan mesjid tidaklah setua dugaan saya. Meskipun arsitekturnya masih menyisakan gaya lokal dengan atap bersusun, namun bahan yang digunakan menunjukkan jika bangunan itu belumlah mencapai usia seabad. Menurutnya, mesjid tersebut pada awalnya dibangun oleh kakek dari imam terakhir mesjid yang diberi nama “Mesjid Alauddin”  dan telah meninggal sekitar tahun 1988. Dari informasi itulah saya mencoba menebak dengan perhitungan generasi bahwa mesjid tersebut dibangun sekitar awal 1900. Dan dugaan itu kemudian dikuatkan dengan cerita pak dusun bahwa bangunan itu telah dipugar pada tahun 70-an dan tidak menyisakan struktur asli. Mengetahui kenyataan, kami berdua tak berlama-lama lagi berada di lokasi dan bermaksud pulang ke rumah masing-masing.

Di tengah perjalanan, Yusri memberitahu bahwa di belakang PUSTU (Puskesmas Pembantu) Anre Api ada juga bekas bangunan yang menurutnya sudah tua. Sisa bangunan itu sempat ia lihat ketika meliput kebakaran hutan pada bulan Oktober tahun 2015 lalu. Ia meminta pendapat saya, apakah saya mau melihatnya atau tidak. Dan tanpa pikir panjang saya meng-ia-kannya. Jadilah kami melewati jalan setapak di samping rumah penduduk menuju kaki bukit. Berjarak sekitar 50 meter dari rumah penduduk kami memarkir kendaraan, sementara di depan kami nampak bangunan-bangunan mirip pilar tersembunyi oleh semak-semak dan rerumputan liar.

Pada mulanya saya menyangka bahwa bangunan yang berada di titik koordinat -3.387986, 119.355877 itu adalah bekas pintu gerbang, sebab awalnya hanya dua yang nampak oleh saya. Nantilah beberapa saat baru Yusri menunjukkan bahwa “pilar-pilar” tersebut rupanya berjejer, termasuk dua yang sudah tumbang. Segera saya turun ke bagian tengah yang memang agak rendah, meneliti pilar-pilar itu satu persatu. Mengamati barisan pilar yang makin ketepi makin pendek sementara bagian atasnya masih sama tinggi, dan juga salah satu sisi lokasi tidak terdapat barisan pilar. Saya berasumsi bahwa bagian dinding timur serta sebagian bangunan lainnya itu telah tertutup oleh longsoran tanah perbukitan yang ada di sampingnya.

Pilar yang berbentuk segi empat itu pada bagian ujung atasnya berukuran 60 cm.x50 cm. dan makin ke bawah makin besar. Jumlah keseluruhan pilar adalah 25 dengan jarak antar pilar adalah 250 cm. 5 pilar di antaranya berada di sisi selatan, 5 di utara dan 15 di sisi barat yang merupakan bagian memanjang dari struktur bangunan. Pilar-pilar itu dihubungkan dengan sebuah dinding batu dengan ketebalan 30 cm. dan sebagiannya sudah hancur. Pilar yang saya ukur dari sisi luar yang berada di sebelah utara dan berdiri tepat di tepi sungai kecil (selokan air) mempunyai ketinggian 280 cm. sementara yang paling pendek di sebelah selatan setinggi 150 cm. dari permukaan tanah. Dari situ saya berasumsi jika dinding bangunan itu dulunya berketinggian 3 meter, cukup tinggi untuk disebut benteng. Bisa juga arsenal atau gudang senjata bahkan bisa pula keduanya. Konon di samping struktur itu pernah pula ditemukan beberapa pucuk senjata api ketika masyarakat melakukan penggalian untuk sumur umum.

Di bagian dalam, nampak sebuah barisan batu yang direkatkan yang jika benar tersambung hingga ke bawah tanah, bisa jadi merupakan sebuah dinding yang membentuk sebuah ruangan dalam, mungkin kamar?.

Mengukur tinggi dinding dari permukaan tanah yang masih nampak

(Photo: Yusri)

Yang membuat saya tidak habis pikir kemudian adalah, kenapa struktur bangunan itu dibuat dari batu karang?. Sementara di daerah tersebut ketersediaan batu kali yang sangat bagus untuk bangunan cukup melimpah dan mudah didapati. Pertanyaan itu terus berputar di dalam kepala saya hingga tulisan ini saya buat tanpa sedikitpun kemungkinan jawaban saya dapati. Dan rasa penasaran itu pula yang mengantarkan saya hingga pulang dan menyelesaikan ekspedisi Kunyi bagian pertama ini bersama sebuah harapan bahwa semoga gubernur Sulawesi Barat yang baru bisa memperhatikan keberadaan bangunan tua ini dan bangunan-bangunan tua yang lain hingga Mandar tak kehilangan sejarahnya kelak.
Salah satu pilar, dibuat dari konstruksi batu karang.
(Photo: Yusri)
Ilustrasi sederhana denah situs

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...