05/06/2015

MORAL REMAJA, TANGGUNG JAWAB SIAPA ?.

Masih hangat pembicaraan tetang pelaksanaan kurikulum 2013 yang menggantikan KTSP 2006 sekitar satu semester lalu, kini datang keputusan dari Menteri Dinas Kebudayaan dan Pendidikan kabinet Indonesia Hebat yang dijabat oleh Anis Baswedan tentang penghentian pelaksanaan K-13 tersebut karena dinilai bahwa sumber daya manusia tenaga pendidik kita belum siap untuk menerapkannya. 

Respon tentang hal ini pun bermunculan, ada yang pro dengan penghentian K-13 dan ada yang menolak. Dalam masalah ini, saya tidak akan memposisikan diri disalah satu barisan tersebut namun hanya sekedar mengingatkan bahwa uji coba K-13 yang hingga hari ini masih diadakan workshop dan pelatihan bagi tenaga pengajar dibeberapa daerah tentu hanya bersifat pemborosan dan sia-sia jika memang harus dihentikan, padahal tentu dalam pelaksanaannya menggunakan biaya. Pun saya tidak akan menyoroti tentang kelanjutan penghentian pelaksanaan K-13, sebab saya berfikir bahwa kita semua telah memiliki tugas masing-masing. 

Dalam tulisan singkat kali ini, saya hanya ingin meminta sedikit perhatian anda tentang bagaimana kondisi generasi muda kita saat ini khususnya di Mandar (Sulawesi Barat).
Lalu apa sebenarnya tujuan pendidikan untuk anak-anak usia sekolah?. Tentu secara garis besar adalah untuk membentuk generasi muda pelanjut pembangunan bangsa yang berilmu pengetahuan, terampil dan berakhlak baik.

Mencermati degradasi moral masyarakat khususnya remaja belakangan ini sesungguhnya sudah tidak bisa dipandang sebelah mata namun semestinya sudah mendapat perhatian serius. Cobalah sesekali kita tinggalkan tayangan sinetron atau infotainment dan melirik tayangan berita. Kita mungkin kita tidak akan terkejut lagi disuguhkan dengan berita tentang kriminalitas yang sudah tidak lagi didominasi oleh kalangan usia dewasa. 

Namun sudah bergeser pada kejahatan seksual, perkelahian, pencurian hingga pembunuhan yang dilakukan oleh remaja yang masih dalam usia sekolah. Dalam keseharian kita baik di rumah, di jalan atau bahkan di sekolah sudah tidak asing jika menjumpai anak muda yang tidak mengenal adab kesopanan. Sudah hilang kata “tabeq” dari lidahnya saat akan lewat di depan orang yang lebih tua darinya, bahkan jika itu orang tuanya sekalipun. Sekedar membungkukkan badan pada orang yang dilaluinya pun seolah sebuah pekerjaan yang demikian beratnya.

Ada beberapa faktor yang sesungguhnya berperan dalam pembentukan watak ramaja dan pelajar ini sehingga terjadi hal demikian. Diantaranya adalah kondisi rumah tangga orang tua, lingkungan dan tontonan. Demikian juga dengan penanggung jawab yang semestinya terlibat ada beberapa namun biasanya yang terjadi adalah saling tuding antara fihak yang semestinya menjadi pengawal dalam pembentukan akhlak dan moral remaja ini.

Orang tua atau keluarga yang menjadi tempat tumbuhnya seorang anak mempunyai peran dominan dalam pembentukan watak sang anak mengingat porsi waktu yang lebih banyak dihabiskan oleh sang anak di rumah mulai dari bangun tidur hingga kemudian tidur lagi. Seyogyanya orang tua melibatkan diri dalam mengawasi anaknya mulai dari caranya mengatur waktu beraktifitas, cara berpakaian, lingkup pertemanan hingga aktifitas sang anak dalam penggunaan gadget canggih semisal komputer atau smart phone. Namun sayangnya tingkat kesibukan, pendidikan dan kepedulian orang tua terhadap perkembangan sang anak terkadang sangat minim. Mereka lebih mengutamakan untuk memenuhi kebutuhan materi sang anak dengan dalih kasih sayang daripada mengisi waktu luang mereka dengan pengajaran-pengajaran moral. Kebanyakan orang tua lebih mempercayakan sepenuhnya pendidikan moral sang anak kepada lembaga pendidikan atau sekolah. Tak jarang pula ada orang tua yang menyekolahkan anaknya hanya dengan alasan agar mereka tidak terganggu dalam mencari nafkah. Sebagian orang tua akan sedemikian marah jika sampai anak-anaknya tidak lulus sekolah dan menjadikan sekolah dan tenaga pengajarnya sebagai sasaran emosi entah itu sebatas caci maki hingga tindakan teror tanpa melihat apakah sang anak memang pantas untuk lulus atau tidak. Tingkat penguasaan teknologi dikalangan orang tua juga seringkali menjadi hambatan dalam pengawasan anak-anaknya. Sehingga pertumbuhan sang anak lebih banyak dipengaruhi oleh internet. 

Maka jadilah orang- orang tua yang kehilangan pamor dan wibawa di hadapan anak-anaknya.
Lingkungan masyarakat juga memiliki peran yang besar sebagai kontrol sosial untuk remaja. Namun yang seringkali terjadi adalah adanya sikap apatis masyarakat itu sendiri. Tidak ada jaminan jika seorang anak sekolah meninggalkan rumah dengan berpakaian seragam sekolah dan menyandang tas, kemudian ia tiba di sekolah dan masuk ke kelas untuk menerima pelajaran. Terkadang sang anak justru singgah ke rumah masyarakat yang menjadi tempat mereka biasa nongkrong bersama teman-temannya yang lain tanpa merasa risih dengan pakaian sekolah yang ia kenakan. Namun tuan rumah atau masyarakat lain tidak melakukan teguran atau memberi nasehat agar mereka masuk sekolah.

Sekolah adalah tempat bagi sang anak untuk mendapatkan ilmu dalam menempuh masa depannya kelak, selain ilmu sains tentu saja ilmu akhlak harus diberikan. Namun kemudian, porsi waktu perjumpaan yang demikian terbatas. Dengan kondisi demikian sebuah kemustahilan jika tanggung jawab pendidikan dan pengawasan remaja diserahkan sepenuhnya kepada fihak sekolah.
Dinas Pendidikan juga tentu saja tidak bisa berlepas tangan. Tugasnya untuk meneliti, meramu dan meluncurkan sistem pendidikan serta materi pembelajaran yang tepat untuk remaja mutlak diperlukan. Sudah selayaknya buku-buku materi pembelajaran khususnya mata pelajaran seni budaya atau muatan lokal disusun sesuai dengan karakter dan budaya masyarakat setempat. Tidak seperti apa yang sekarang terjadi dimana buku-buku materi seni budaya hampir semua berisi dengan uraian-uraian yang menjelaskan tentang budaya dari pulau Jawa yang dibeberapa sisi tidak sesuai dengan budaya masyarakat di pulau lain.

Sehingga dengan mudah dapat disimpulkan bahwa peran serta orang tua, masyarakat, lembaga pendidikan, pembuat sistem pendidikan serta tenaga pengajar mutlak bekerja sama dan bahu membahu dalam pembentukan generasi muda hingga akhirnya kemudian dapat menjadi penerus dalam pembangunan bangsa yang mumpuni baik dari sisi ilmu pengetahuan maupun akhlaknya.

Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi bahan masukan dalam meracik dan meramu sistem pendidikan kita di Indonesia. Sudah tiba waktunya siswa tidak hanya ditekankan memiliki keterampilan dan ilmu pengetahuan semata namun juga diarahkan agar memiliki moral dan budaya yang baik sebagai pondasi jika kelak tongkat estafet pembangunan bangsa telah tiba saatnya untuk diserahkan ke tangan mereka. 

Dan yang terakhir, saya ingin mengajak para pengajar, orang tua, dan masyarakat lain agar kiranya sejenak kita meluangkan waktu untuk kembali belajar dan sedikit memacu hasrat kita untuk mempelajari teknologi. Sungguh ironis kiranya jika kita selaku pengawas dalam perkembangan pendidikan dan akhlak anak-anak kita justru kecolongan hanya karena kita “BUTEK” atau buta teknologi.

20/02/2015

DUKU, BUAH ENAK BANYAK MANFAAT.

Siapa yang tidak tau langsat, terlebih jika ia orang Sulawesi Barat?. Buah langsat atau duku adalah salah satu buah andalan Sulawesi barat. Buah berbentuk bulat lonjong dengan kulit kekuningan saat memasuki usia matang ini memiliki kandungan air yang tinggi hingga orang yang banyak memakan buah langsat biasanya akan sering buang air kecil apalagi ditambah dengan cuaca dingin .

Beberapa daerah sentra penghasil buah duku akan mendadak menjadi ramai oleh penjual buah yang hadir sekali dalam setahun ini. Jika beberapa titik dipinggir jalan trans Sulawesi ramai dengan penjual buah langsat, maka kesibukan juga tak luput melanda bagian pedesaan dimana pohon-pohon langsat ini banyak tumbuh, sebut saja daerah binuang, kecamatan tapango dan lain sebagainya. Kesibukan itu antara lain diwarnai dengan kegiatan pemetikan atau transaksi petani dengan pedagang dari kota, bahkan banyak pula pedagang dari makassar yang datang mencari buah langsat.

Dilokasi kebun, harga buah ini tidaklah menetap. Semua tergantung dengan banyaknya buah pada musim itu, dan juga keadaan cuaca. Jika pada awal musim atau akhir musim buah, maka harga biasanya akan cenderung tinggi dengan kisaran Rp.3000 – Rp.4000 perkilogram. Sedangkan pada puncak panen saat buah sedang banyak-banyaknya, maka harga bisa jatuh hingga Rp.1000 perkilonya. Rendahnya harga terkadang juga semakin diperparah jika hujan selalu turun hingga berhari-hari.

Selain daging buahnya yang enak dimakan, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa langsat ini juga bisa dimanfaatkan sebagai obat tradisional yang mujarab. Sudah sejak dulu orang-orang tua menggunakan kulit batang pohon langsat sebagai obat malaria. Caranya, kulit batang yang sudah dilepas dari kayunya dibersihkan lalu dicuci kemudian direbus dengan air hingga mendidih. Setelah air rebusannya dingin lalu diminumkan pada orang yang malaria, air rebusan kulit pohon langsat punya rasa sangat pahit yang mungkin bisa disetarakan dengan brotowali atau kina.

Jika anda selesai makan langsat, jangan buang kulitnya. Kulit buah langsat dapat digunakan sebagai aroma terapi yang menenangkan. Salah satu tradisi keluarga yang masih saya dapati dari nenek buyut saya berlanjut pada nenek saya dari fihak ibu. Caranya, pisahkan kulit dari sampah bekas makan buah langsat seperti biji atau tangkai buah, lalu keringkan. Setelah kering, ambillah kulit langsat tadi, lalu bakar dalam sebuah wadah kaleng bekas. Anda bisa menempatkannya disudut ruangan untuk mendapatkan wangi aroma terapinya, dan tentu saja nyamuk tidak akan mendekat.

Ada tips jika hendak memilih buah langsat yang manis dan tips membawa atau menyimpan buah langsat.
1.       Pilih buah yang kulitnya berwarna kuning merata, tidak ada lagi yang berwarna hijau.
2.       Pilih yang buahnya besar dan agak panjang, dalam satu buah biasanya hanya terdapat satu biji buah atau bahkan tidak ada.
3.       Pilihlah buah yang kulitnya tidak terlalu tebal. Biasanya yang berkulit tebal masih punya turunan langsat hutan, oleh orang kaili biasa disebut dengan lampadoko.
4.       Carilah buah yang banyak dikerumuni oleh semut hitam.
5.       Saat membawa buah, gunakan wadah yang kering dan bisa memberikan sirkulasi udara agar buah tidak bonyok.
6.       Jika terpaksa membawa buah dalam wadah kantong plastik, usahakan segera dianginkan sesaat setelah tiba ditujuan agar uap air yang terjadi bisa kering dan tidak membasahi kulit buah sebab bisa mempercepat proses pembusukan.
7.       Jika anda ingin menyimpan buah langsat dalam waktu yang cukup lama, anda bisa mencoba menaburkan kapur lalu menyimpannya di dalam lemari es. Langsat akan bertahan hingga belasan hari meskipun dengan kondisi kulit berwarna kehitaman, namun tetap layak makan.

Buah duku ternyata mempunyai kandungan gizi yang rupanya cukup banyak, meliputi vitamin, mineral, protein, maupun lemak. Berikut adalah daftar kandungan gizi dari buah duku dalam per 100 gramnya:
1.       Banyaknya Buah Duku yang diteliti (Food Weight) = 100 gr
2.       Bagian Buah Duku yang dapat dikonsumsi (Bdd / Food Edible) = 64 %
3.       Jumlah Kandungan Energi Buah Duku = 63 kkal
4.       Jumlah Kandungan Protein Buah Duku = 1 gr
5.       Jumlah Kandungan Lemak Buah Duku = 0,2 gr
6.       Jumlah Kandungan Karbohidrat Buah Duku = 16,1 gr
7.       Jumlah Kandungan Kalsium Buah Duku = 18 mg
8.       Jumlah Kandungan Fosfor Buah Duku = 9 mg
9.       Jumlah Kandungan Zat Besi Buah Duku = 1 mg
1.   Jumlah Kandungan Vitamin A Buah Duku = 0 IU
1.   Jumlah Kandungan Vitamin B1 Buah Duku = 0,05 mg
1.   Jumlah Kandungan Vitamin C Buah Duku = 9 mg
(sumber: http://nangimam.blogspot.com/2013/12/kandungan-gizi-dan-manfaat-buah-duku.html)


Sayangnya selain di lokasi agrowisata rawabangun, tanaman langsat ini belum dikembangkan secara profesional. Padahal jika melihat potensi buah musiman ini, kemungkinan besar bisa mengangkat taraf perekonomian rakyat pedesaan khususnya di Sulawesi Barat. Kita bisa menambah nilai ekonomis buah duku dengan cara pengolahan lanjutan menjadi buah kaleng atau selai. Namun hingga saat ini belum ditemui adanya kelompok atau invidu masyarakat yang melakukan pengolahan lanjutan ini. Semoga ke depannya, perhatian terhadap duku atau langsat ini bisa mendapat porsi yang lebih untuk menambah kesejahteraan ekonomi rakyat Sul-Bar.

16/02/2015

SOSSORANNA TO KOMBONG DI BURAQ

Bersyukur sekali ka lahir di tanah ini
Di sinimi, hutan, sungai, gunung sama laut jadi sodara
Moyangku To Kombong di Bura, orang yang meniti ombak
Ada lagi moyangku To Ri Jeqneq, orang datang dari air.
Ini mi tanah, sossorangnya moyangku yang kayak syurga
Gunung Ganda Dewata, sungai Mandar, ingganna na buttu anna lappar
Dari Paku sampe Suremana
Itumi semua jadi satu mandar
Kayak syurga.......

Tapi itu dulu.
Sekarang, ceh mate tongang ka saya
Ributnya itu mesin senso di hutan
Kayaknya saja dia mi jadi penguasa rimba
Sedikit pi lagi hilang betulan suara penghuni rimba asli
Tidak pernahma dengar bunyi rusa melengking
Apalagi suara anoa, burung mamuang terlebih kepakan sayap alo
Tinggal babi sama burung kecil isinya hutan ta

Tambah gondol mi juga gunung-gunung ta
Maumi habis pohon besarnya
Jati, bitti, eboni sudahmi ditebang
Itu gunung yang memang sejak dulu tandus
Ditempati tanam bawang mandar yang kasi sah jadinya bau peapi
Mulai tomi ditinggalkan karena cuaca tidak menentu mi
Tinggal kota-kota pagar batunya yang ada

Sungai juga kalau marah tidak main-main mi
Mengamuk airnya kayak tiang listrik tingginya
Suaranya kayak raksasa berteriak na kasi takut ki
Na hancurkan mi rumah, kebun, ada lalo orang na kasi mati

Tapi wajar kalau marah itu sungai
Pohon-pohon di gunung habis ditebang
Na itu ji pohon tahan air sama tanah supaya tidak hanyut
Belumpi itu manusia buang sampah,
Mulai tai sampai pembungkus makanan dibuang semua ke sungai

Ee puang, daeng, kandiq, kakaq u ianasang na
Ayomi kembali ki ke sungai ta
Kita sayang i hutan ta
Kita sayang i tanah ta
Kita sayang laut ta
Supaya nasayang ki juga
Na kasi subur tanah ta
Na kasiki banyak ikan
Ada mi juga tempat mandi-mandinya anak-anak ta.



Tumpiling, 160215

31/01/2015

MENYAMBUT FESTIVAL SUNGAI MANDAR 2-2015

Sejak jaman prasejarah, sungai telah mendapat perhatian utama sekaligus menjadi urat nadi kehidupan masyarakat lampau. Demikian eratnya hubungan sungai dengan masyarakat etnis mandar sehingga salah satu kelompok masyarakat waktu itu mengambil nama sungai Mandar menjadi nama komunitasnya yang dikemudian hari dikenal sebagai etnis Mandar yang saat ini dominan menghuni provinsi Sulawesi barat.

Setelah ratusan tahun hubungan manusia mandar dengan kehadiran sebuah sungai mengalami pasang surut di mana sungai memberi penghidupan bagi masyarakat agraris maupun nelayan, terkadang sungai menampakkan pula kemarahannya, sebut saja banjir bandang di Petoosang beberapa tahun lalu yang menyebabkan korban jiwa dan korban harta sekian banyak. Meski disadari bahwa hal demikian adalah ulah manusia juga yang terkadang lupa bahwa sungai perlu perhatian setidaknya menjaga pepohonan disekitar bantarannya atau minimal tidak membuang sampahnya di sungai.

Berangkat dari kesadaran itulah maka tercetus sebuah ide untuk mengingatkan manusia akan arti pentingnya sungai bagi kehidupan. Dan ide itu terwujud dengan sebuah aksi yang akan terlaksana  insya allah pada tanggal 11/14 Maret 2015 mendatang dengan nama Festival Sungai Mandar2-2015. Seperti namanya Festival Sungai Mandar, maka even ini akan dihelat di sungai Mandar yang membelah kota kecamatan Tinambung, kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat dan membentang sepanjang 90 kilometer.

Dengan mengusung tema " Dengan Sungai Aku Mencintaimu", festival yang kedua kalinya ini diadakan maka diharapkan agar kelestarian sungai yang pada realitanya telah beralih fungsi sebagai tempat pembuangan berbagai jenis limbah manusia, akan tetap terjaga.  

Festival Sungai Mandar merupakan even kampanye pelestarian lingkungan hidup dengan menggunakan pertunjukan seni budaya baik tradisi maupun kontemporer sebagai media kampanyenya. Festival kali ini akan disemarakkan dengan penampilan sedikitnya dua puluh sanggar seni serta kurang lebih tiga puluh seniman dan sastrawan/sastrawati yang akan melakukan solo performance baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan tentu pula dari tanah Mandar sendiri.

Sudah tidak sabar lagi rasanya menunggu hari H Festival Sungai Mandar 2-2015. Sudah tidak sabar lagi rasanya ingin menyaksikan penampilan para pendekar seni dan budaya. Dan sudah tak sabar lagi rasanya melihat mereka yang “terketuk” hatinya untuk turut melestarikan sungai dan lingkungan hidu lainnya.


Sukses Festival Sungai Mandar 2 tahun 2015.


06/01/2015

KEMAH BUDAYA MANDAR 2014

Minat dan animo pemuda Mandar terhadap budayanya semakin menggeliat, setidaknya itulah yang nampak pada acara KEMAH BUDAYA MANDAR 2014 dengan tema “Refleksi Akhir Tahun Budaya Mandar” yang terselenggara atas kerja sama komunitas Apeq Jannangang dengan Uwake Cultural Foundation. Perhelatan yang terselenggara di pantai Palippis selama dua hari dari Sabtu hingga Minggu, tanggal 27 dan 28 Desember 2014 lalu itu dihadiri oleh beberapa komunitas pemuda yang concern dalam ranah budaya dan kesenian Mandar serta ada juga yang berasal dari komunitas pecinta alam (KPA). Kegiatan diisi dengan beberapa materi dan diskusi yang melibatkan beberapa seniman dan budayawan muda Mandar yang telah menorehkan prestasi terbaik mereka baik ditingkat regional, nasional bahkan internasional. Sebut saja Muhammad Ridwan Alimuddin yang telah berkiprah dibidang kebudayaan maritim mandar hingga ke Brest, Prancis atau Muhammad Ishaq atau dikenal dengan nama Ishaq Jenggot yang juga telah menorehkan prestasinya hingga ke Australia. Mereka berdua sempat hadir untuk berbagi ilmu dan wawasan tentang kebudayaan dan berkesenian pada acara ini.

Kemah budaya yang digarap secara bersahaja dan menggunakan anggaran dari hasil patungan dana antara peserta dan panitia ini diikuti oleh beberapa komunitas pemuda dari dua kabupaten yakni kabupaten Polewali Mandar dan kabupaten Majene. “Tujuan dari penyelenggaraan kegiatan KEMAH BUDAYA 2014 ini adalah mempertemukan komunitas-komunitas pelaku maupun pemerhati seni dan kebudayaan Mandar hingga kemudian terjalin komunikasi dan silaturahmi persaudaraan yang lebih erat. Selain itu ditujukan pula untuk berbagi pengalaman dan membahas wacana seni dan kebudayaan yang sekiranya sedang berkembang di masyarakat”. Demikian penyampaian punggawa Uwake Cultural Foundation sebagai salah satu penyelenggara kegiatan.

“Pelaksanaan Kemah Budaya Mandar 2014 ini sengaja mengambil lokasi di pantai Palippis juga dimaksudkan untuk membantu pemerintah dalam hal mempromosikan Palippis kembali kepada masyarakat luas”, demikian keterangan dari Abdul Rasyid yang juga termasuk salah satu panitia dari komunitas Appeq Jannangang ditemui di tempat yang sama.

Acara ini sekiranya akan dibuka pada hari Sabtu pukul 16.00 wita. Namun karena menunggu kehadiran beberapa peserta akhirnya pembukaan baru dapat dilaksanakan pada malam harinya. Setelah pembukaan berakhir lalu diisi dengan selingan hiburan musik tradisional yang sangat memukau yang dilakukan oleh remaja usia SMA yang saat ini sedang mengasah keterampilan musiknya di Uwake, berlanjut kemudian acara malam itu  diisi dengan pemaparan materi dari Muhammad Rahmat Muchtar dengan mengambil judul Antara Kesenian, Wisata, Budaya dan Daya Tumbuh Komunitas. Materi ini memberi pemahaman kepada peserta bagaimana fenomena kehadiran sebuah komunitas kesenian dan kebudayaan lahir dari adanya grup disosial media yang kemudian merasa perlu untuk menampakkan perannya.
Dan kemudian bagaimana membina komunitas tersebut dengan melakukan konsolidasi secara kontinyu. Terungkap pula bahwa keberagaman komunitas merupakan sebuah kekayaan yang harus disyukuri dan perlu untuk menyatukan semangat dalam mengangkat kesenian dan kebudayaan mandar. Tantangan lain dalam membina komunitas adalah memanage sumber daya komunitas dalam menyelenggarakan setiap kegiatan.

Pada sesi kedua yang kemudian diisi oleh Ishaq Jenggot, mengangkat judul Olah Rasa/Kepekaan. Para peserta dihimbau untuk terus mengasah kemampuan “membaca” fenomena alam serta simbol kearifan lokal mandar dalam upaya meningkatkan kualitas diri dan spiritual sebagai makhluk berbudaya. Sungguh apresiasi luar biasa dari peserta terhadap materi yang satu ini, terlihat antusias peserta menyimak semua keterangan dan penjelasan yang diberikan oleh narasumber.


Pada pagi harinya, acara kembali dilanjutkan dengan materi MANDAR TIDAK MEMUNGGUNGI LAUT. Sebuah materi berwawasan kemaritiman yang dibawa oleh Muhammad Ridwan Alimuddin dengan mengusung suasana diskusi interaktif. Kesimpulan yang menarik dari materi ini adalah bahwa Jauh sebelum presiden Joko Widodo mencetuskan ide poros maritim beberapa waktu lalu, tradisi masyarakat mandar sudah menyatu dengan tradisi kemaritiman. Namun kemudian tradisi ini nyaris tidak terekspos oleh karena kurangnya tulisan dokumentasi, namun setidaknya belakangan ini sudah mulai pula adanya geliat literasi pada anak muda yang sekiranya nanti bisa mendokumentasikan kebudayaan mandar untuk kemudian menjadi warisan kepada anak cucu kita hingga mereka tidak kehilangan jejak akar budayanya. Pada pemaparan materi tersebut oleh narasumber, sempat pula dibagikan buku masing-masing kepada tiga penanya pertama. Buku tersebut masing-masing berjudul Kenapa Kita (belum) Cinta Laut, Orang Mandar Orang Laut, dan Kabar Dari Laut yang kesemuanya merupakan hasil tulisan dari narasumber sendiri.

Sebuah harapan kiranya kemah budaya kali ini setidaknya bisa menjadi tonggak untuk kembali menggalakkan forum komunikasi antara para penggiat dan pemerhati seni dan kebudayaan mandar seperti halnya kegiatan Arisan Budaya yang dulunya pernah diadakakn dan secara bergiliran tiap komunitas akan bertindak sebagai tuan rumah. 

Seorang peserta bernama Jalaluddin yang merupakan salah satu anggota dari KPA Denker Majene meminta kepada panitia agar sekiranya kegiatan ini bisa dilaksanakan lagi lain waktu. “Bagi kami, kegiatan ini sangat bermanfaat dan tolong...tolong agar kegiatan ini dilaksanakan lagi dilain waktu. Insya Allah saya mewakili teman-teman KPA Denker berkomitmen untuk selalu hadir” ujarnya.
Tentang Palippis.

Dalam pelaksanaan Kemah Budaya Mandar 2014 kali ini, ada hal merisaukan yang masih kami dapati di bibir pantai Palippis. Apalagi kalau bukan masalah sampah. Sampah kain dan plastik yang merupakan kiriman dari luar terus membanjiri dan semakin menumpuk di bibir pantai, khususnya disekitar bangunan perahu batu. Banyak sampah non organik yang sudah setengah tertimbun pasir hingga dibutuhkan tenaga dan peralatan ekstra untuk membersihkannya. Melihat kondisi itu, sepertinya pemerintah sudah harus turun tangan sesegera mungkin sebelum sampah tersebut jadi menggunung.

Menurut saya tarif penggunaan fasilitas wisata juga ditetapkan asal-asalan. Bayangkan saja, mulai hari Sabtu sore hingga Minggu sore kami menggunakan baruga pertemuan yang sangat sederhana bahkan lantainya sudah hampir rapuh ditambah dengan listrik hanya untuk keperluan pengeras suara dan penerangan satu buah lampu neon serta tiga buah bilik WC tanpa penyediaan air bersih untuk minum maka kami harus membayar sebesar Rp. 300.000,-. Ini menurut saya terlalu fantastis jika dibandingkan dengan fasilitas yang disediakan.

Bagi kami, seharusnya pemerintah yang menangani atau pihak pengelola harus kembali berfikir dan menyesuaikan harga dengan fasilitas yang disediakan. Jangan sampai Palippis harus mati untuk kedua kalinya hanya karena keinginan untuk memenuhi ruang saku lebih besar daripada kepedulian terhadap potensi wisata daerah kita.

18/12/2014

LOST (Hilang di tepian sungai Mandar).

Menunggu sesuatu hal yang tak pasti memang membosankan, dan untuk membunuh kebosanan maka terciptalah tulisan singkat ini. Tulisan ini mungkin agak sedikit memalukan, dan entah kenapa hasratku tiba-tiba ingin menulis tentang salah satu fragmen hidupku terkait sebuah kampung yang bernama Tinambung.

Tinambung memang tidak begitu akrab dalam hidupku apalagi menjadi tanah kelahiranku. Sebab tuhan dalam keputusan kodratnya memaksa saya untuk lahir disebuah kota kecil yang bernama Wonomulyo, berjarak sekitar kurang lebih 30 Km. dari Tinambung. Tapi kota kecil ini telah menorehkan kenangan yang belum hilang dari ingatanku padahal telah terjadi lebih dari 20 tahun yang lalu.

Bermula dari adanya turnamen sepak bola di lapangan GASWON Wonomulyo yang diselenggarakan antara tahun 1985 atau 1986 (sudah agak lupa waktu tepatnya), kakak lelaki saya yang kedua bermaksud untuk menonton. Mengetahui maksud kakak lelaki saya, saya meminta agar diijinkan untuk ikut ke lapangan untuk menonton turnamen sepak bola tersebut. Namun sayang permintaan tidak diluluskan oleh sang kakak. Meski demikian keinginan untuk ikut tetap saja kuat, mungkin sudah dari sananya memang jika saya harus mendapat apa yang menjadi keinginan saya. Maka berbekal nekad, saya yang waktu itu baru berusia 3 atau 4 tahun ikut dengan diam-diam dibelakang sang kakak yang tentu saja tanpa sepengetahuannya.

Mendekati lapangan tempat turnamen yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari rumah orang tua waktu itu, orang-orang yang mempunyai tujuan yang sama dengan saya semakin banyak berdesakan dan bisa ditebak jika saya kemudian kehilangan jejak sang kakak.
Entah waktu itu apakah saya sempat menonton pertandingan sepak bola atau tidak sudah tidak jelas lagi dalam ingatan saya. Yang pasti ketika pertandingan usai dan penonton bubar, saya kemudian naik kesebuah mobil angkot dan bermaksud pulang tanpa berfikir bahwa saya hanya berjalan kaki ketika menuju ke lapangan tersebut. Singkat cerita, sang sopir yang membawa saya menyangka jika saya adalah adik atau anak dari salah seorang penumpangnya. Hingga akhirnya semua penumpang turun dan tersisa saya seorang diri. Sang sopir kemudian bertanya kemana arah tujuan saya, namun saya hanya menjawab “jauh”. Setiba di daerah Tinambung tepatnya disalah satu sudut pasar Tinambung yang terletak tidak jauh dari tepian sungai Mandar, sang supir memutuskan untuk menitipkan saya pada seorang penjual cendol dengan harapan ada seseorang yang akan datang mencari saya.

Di tempat berbeda, tepatnya disebuah rumah di jalan Kapten Jumhana no. 80 kesibukan luar biasa terjadi. Sebuah kesibukan yang terbalut kecemasan dan kepanikan, terlihat pula seorang perempuan yang hanya bisa berurai air mata duduk disalah satu tudutnya ditemani beberapa perempuan lain yang juga tak bisa menyembunyikan kesedihan. Kaum lelaki juga tak kalah sibuknya, salah seorang ABRI (saat itu belum berpisah dengan POLRI dan berganti nama menjadi TNI seperti sekarang) menghubungi penjaga pintu air dan memerintahkan untuk menutup aliran sungai Buttu Dakka yang mengarah kealiran irigasi (masyarakat sana menamainya “ledeng”) yang melintasi depan rumah itu setelah beberapa saat sebelumnya menyelam dan menyusuri ledeng tersebut hingga sejauh 300 meter. 
Beberapa orang juga bergerak mencari kesegala arah, motor dan mobil yang saat itu masih terhitung langka dimiliki dan menjadi barang mewah di Wonomulyo secara sukarela dikerahkan oleh pemiliknya untuk melakukan pencarian.

Hingga akhirnya tersiar informasi yang masih kabur namun membawa harapan, bahwa ada seorang anak yang hilang dan dititipkan disebuah warung cendol di pasar Tinambung. Mengetahui informasi itu, tim pencari segera bereaksi dengan cepat dan menelusuri kebenaran informasi. Tak lama kemudian tibalah tim pencari di warung cendol termaksud dan menemukan seorang anak yang memang sementara dicari sedang menikmati segelas cendol yang entah gelas keberapa. Yah anak itu adalah saya sebagaimana cerita sebelumnya.

Setelah mengobrol singkat dengan pemilik warung, tim pencari yang telah berhasil tadi kemudian membawa saya untuk kembali pulang. Di tengah perjalanan, mobil kami berpapasan dengan tim pencari kedua yang mengendarai sepeda motor rupanya hendak menyusul tim pencari pertama. Setelah memastikan bahwa yang ditemukan tadi adalah saya yang memang sedang dicari, kami kemudian beriringan kembali pulang ke rumah. Dan kedatangan kami langsung disambut dengan ucap syukur dan tangis bahagia, terlebih dari ibu saya yang langsung memeluk saya dengan erat.
Sejurus kemudian, ketika suasana euforia pertemuan sudah mulai terkendali. Dengan santainya saya mengeluarkan sepeda roda tigaku dan mengayuhnya berkeliling ruangan dengan menggenggam uang kertas seratus rupiah berwarna merah hadiah kepulanganku. Dengan sepeda roda tiga itulah aku berkeliling tepat di depan orang-orang yang tadi sempat panik dan sibuk, namun wajah-wajah tegang mereka tadi kini telah terganti menjadi wajah riang dan bahagia.

* Sebagian cerita ini ditulis sesuai penuturan orang-orang yang melakukan pencarian saat mengobrol setelah usaha pencarian atas saya berhasil dan kemudian diceritakan oleh orang tua saya.

** Dari cerita ini saya mengambil beberapa pelajaran. Salah satunya adalah ternyata begitu banyak perhatian orang pada saya yang terkadang saya lupakan. Semoga disisa hidup ini, saya dapat pula memberikan perhatian pada mereka yang masih hidup atau setidaknya keturunan mereka bagi mereka yang sudah tiada.

Ada Kalumpang di Tappalang (Sebuah catatan kecil dari Seminar Tapalang Menggugat)

Kecintaan dan kegelisahan generasi muda Mandar akan seni budaya dan sejarah daerahnya semakin menggeliat. Mengusung tema “ Mengangkat Kembali Sejarah, Budaya dan Seni Tapalang Yang Hilang”, komunitas pemuda Parring Bulahang Art dengan dukungan Komunitas Appeq Jannangang (AJ) dan Dalleq Creative Style (DCS) menyelenggarakan sebuah seminar budaya “Tapalang Menggugat” yang diadakan pada hari Minggu (14/12-2014) bertempat di gedung aula PKK kecamatan Tapalang.

Seminar ini dihadiri oleh beberapa tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh pemerintahan kecamatan Tapalang. Selain itu, seminar ini dihadiri pula oleh perwakilan desa antara lain Oro Batu, Tampalang, Galung, Passaqbu, Takandeang, Tamao, Kasambang, Taang, Limbeng, serta Dayangnginna. Seminar yang berlangsung hingga pukul 14.00 wita ini dihadiri dan dibuka secara resmi oleh Sekertaris kecamatan Tappalang H. Agus Abdullah BS. Hadir pula dalam acara ini pemuda-pemuda dari kabupaten Polewali Mandar dan Majene. Sekitar 20 orang pemuda yang tergabung dalam komunitas Mandar Comunity 01 dan kurang lebih 10 orang anggota dari komunitas pemerhati seni budaya, sejarah maupun wisata Mandar, Appeq Jannangang (AJ) ikut serta hadir menyemarakkan acara seminar Tapalang Menggugat ini.

Jalannya seminar.
Meskipun terbilang amat sangat sederhana, namun kegiatan seminar Tapalang Menggugat mendapat animo yang luar biasa dari peserta khususnya pemuda Tappalang. Hal ini terbukti dari peserta yang hadir berjumlah kurang lebih seratus orang dan menyesaki gedung PKK kecamatan Tappalang yang berukuran sederhana.
Yah, ibukota kecamatan Tappalang memang tampak sangat sederhana jika tidak mau dikatakan tertinggal dalam segi pembangunan infrastruktur. Bahkan salah seorang teman saya sempat berceloteh jika keadaan infrastruktur desa Pambusuang di kecamatan Balanipa lebih baik daripada ibukota kecamatan Tappalang ini. Kantor camat dan gedung PKK tempat acara berlangsung sendiri masih merupakan gedung warisan kolonial Belanda sebagaimana keterangan salah seorang panitia yang ditemui di tempat terpisah.

Secara umum kegiatan ini berlangsung semarak dalam suasana kekeluargaan meskipun saat dimulai sempat molor hingga 90 menit dari jadwal seharusnya dikarenakan menunggu kedatangan Camat Tappalang yang sekiranya hadir untuk membuka acara namun ternyata tidak sempat hingga harus mewakilkannya kepada Sekertearis kecamatan H. Agus Abdullah BS. Acara dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang berlangsung hikmat dan namun penuh penghayatan, penulis sendiri sempat merinding saat ikut menyanyikan lagu kebangsaan kita ini. Berturut kemudian sambutan ketua panitia yang dalam sambutannya sempat menyebutkan isi dari ikrar Tammejarra, sambutan dan pembukaan acara seminar Tapalang Menggugat oleh Sekcam Tappalang yang mewakili kepala kantor kecamatan Tappalang, dan kemudian istirahat sambil ditemani hiburan musik akustik dari personil Parring Bulahang Art.

Setelah acara istirahat, seminarpun memasuki acara inti yang dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama diisi dengan pemaparan sejarah Tappalang dari beberapa narasumber dan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab.

Ada banyak harapan yang tertuju pada pelaksanaan seminar Tapalang Menggugat kali ini, setidaknya itu yang saya tangkap dari keterangan beberapa nara sumber dan peserta yang mengemuka saat acara berlangsung. “Tujuan seminar adalah mengangkat kembali nilai-nilai sejarah dan budaya Tapalang yang seolah-olah terlupakan. Padahal tak bisa dipungkiri bahwa Tapalang dulunya adalah sebuah kerajaan yang menjadi bagian dari konfederasi Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babbana Binanga. Berdampingan dengan kerajaan Balanipa, Banggae, Pamboang, Sendana, Mamuju dan Binuang serta tujuh kerajaan dari mandar di pegunungan (PUS). Berdasar dari kegeliasan itulah maka diharapkan melalui seminar ini, kembali ditemukan benang merah yang menghubungkan generasi muda keturunan Nene Tambuli Bassi dengan asal usul kebudayaan dan kearifan lokalnya yang saat ini mulai terkikis. Demikian keterangan ketua panitia Ahriadi AS.dalam sambutannya.

“Seminar seperti ini seharusnya bemuara, setidaknya setelah seminar berakhir akan lahir sebuah buku yang meluruskan tentang sejarah Tappalang. Dan semoga melalui kegiatan ini, mulai difikirkan untuk kembali membentuk pemangku adat yang nantinya akan menunjuk dan melantik seorang Maraddika Tappalang. Tappalang juga seharusnya memiliki bangunan rumah adat, sebab dahulu Tappalang tidak diintervensi oleh kerajaan manapun”. Ini adalah keterangan Amran, salah seorang tokoh masyarakat dari wilayah Dayangnginna.

Dalam seminar ini sempat pula dikritisi penulisan nama Tapalang yang sering muncul, dan bahkan tertulis pada baliho kegiatan. Dan terungkap bahwa di dalam lontar yang sering menjadi acuan sejarah tertulis nama Tappalang, demikian pula dalam cerita tutur yang menyebutkan Tappalang dan bukan Tapalang. Hingga dalam tulisan ini, terpaksa penulis menuliskan dua versi. Penulisan nama Tapalang menandakan jika tulisan itu tertera pada media promosi panitia atau merupakan ucapan seorang sumber, sedang Tappalang (dengan dobel “P”) menandakan berasal dari penulis.

Mempertimbangkan waktu serta materi yang akan dibahas merupakan hal yang butuh pembahasan panjang. Maka pihak panitia memutuskan bahwa pada kesempatan kali ini hanya membahas sejarah, adapun sisi budaya dan seni daerah Tappalang akan dibahas pada seminar selanjutnya yang dijadwalkan berlangsung pada bulan Maret 2015 yang akan datang.
Yang unik dan yang mahal dari Tappalang.

Ada hal yang menarik dan sempat membuat saya penasaran pada awalnya tentang suguhan menu makan siang yang disampaikan panitia sesaat sebelum acara makan siang yaitu “kalumpang”. Kalumpang dalam pengetahuan awal saya adalah nama salah satu daerah yang diyakini sebagai daerah awal peradaban Mandar dimana pada pekan ini sedang sibuk pula dengan kegiatan budaya yang bertajuk TANAH LOTONG MEMANGGIL”. Hingga kemudian menu makan siang dibagikan, barulah saya mengetahui bahwa yang dimaksud kalumpang oleh panitia seminar adalah makanan pokok pengganti nasi yang terbuat dari sagu yang dipanggang. Pada umumnya mandar Balanipa menyebutnya dengan jepa katong atau jepa sagu. Pada kesempatan ini, menu kalumpang didampingi dengan lauk bau peapi (ikan masak kuah kuning) yang juga sedikit berbeda dengan bau peapi pada umumnya di Mandar sebab tidak menggunakan bawang mandar sebagai salah satu bumbunya. Untuk menggantikan bawang mandar, digunakan irisan bawang merah. Meskipun pada dasarnya perut saya tidak akrab dengan makanan pokok pengganti nasi dari jenis apapun yang bertujuan utuk mengenyangkan, namun tidak mengurangi minat saya menyantap menu yang satu ini.

Mengingat masih ada waktu yang tersisa setelah acara seminar, maka saya diajak oleh seorang teman untuk iseng-iseng berburu bongkahan batu permata yang menjadi salah satu kekayaan alam Tappalang. Dan berangkatlah kami berempat menuju sebuah lokasi yang ditengarai memiliki kandungan batu permata. Selama kurang lebih 1 jam kami berburu, kami berhasil menemukan kurang lebih 2 kg. bongkahan batu permata dari jenis natural calcedony atau dalam bahasa lokal dinamakan panno-panno yang menurut salah seorang yang saya hubungi merupakan batu idola yang saat ini sedang naik daun dalam kancah batu permata nasional dan Tappalang satu-satunya daerah yang memiliki kekayaan batu permata dari jenis ini. Selain natural calcedony, kami juga menemukan jenis bongkahan batu permata lainnya. Sungguh jika sumber kekayaan alam ini dikelola dengan bijaksana, maka niscaya akan menambah sumber mata pencaharian masyarakat lokal Tappalang.


Sekian tulisan singkat mengenai seminar Tapalang Menggugat bagian pertama ini, semoga seminar ini bisa menjadi pemacu dan pemicu generasi muda khususnya Tappalang untuk kembali mempelajari sejarah dan budaya yang menjadi ajaran luhur kearifan lokal. Serta pemerintah yang mungkin sudah bisa melirik daerah ini untuk melakukan progres pembangunan infra struktur agar tercipta pembangunan yang merata.

* Tulisan ini dimuat pada harian Radar Sulbar edisi Rabu, 17 Desember 2014 dengan judul Tappalang, Bukan Tapalang dan "Kalumpang" di Tappalang.

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...