Penulis sedang mengamati
makam Tomakaka Allung
Di bawah rintik hujan yang sudah mulai reda, saya dan
kawan-kawan mulai menapaki jalanan menuju Allung. Yah,
kami sedang melakukan trip yang bertema sejarah dan budaya mandar dan untuk
kesempatan kali ini (Rabu,090414) kami bermaksud untuk mengunjungi pamakaman
Tomakaka Allung. Pertimbangan kami, sebab keterangan tentang situs makam ini
amat sangat sedikit terekspos ke dunia luar. Padahal situs ini terdaftar pada
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Balai Pelestarian
Cagar Budaya Makassar dengan nomor registrasi 228 dan bernama Allung Tomakaka
di Lanja. Situs ini juga sangat penting bagi dunia sejarah khususnya sejarah
Sulawesi Selatan dan Barat, serta sebagai bukti penguat persaudaraan masyarakat
di jazirah mandar ditengah ancaman disintegrasi, dimana kelompok komunitas yang
satu merasa berbeda dan tidak ada hubungan dengan kelompok komunitas yang lain.
Saat melakukan browsing internet menggunakan search engine
google dengan mengetikkan keyword “situs makam Tomakaka Allung”, maka
setidaknya ada delapan link dalam index awal yang akan muncul namun sayangnya
tidak ada yang menyajikan deskripsi secara lengkap tentang posisi, sejarah dan
situasi makam. Dengan demikian saya berharap agar kehadiran tulisan ini bisa
menjadi bahan pelengkap untuk mendampingi data yang sudah ada.
Allung adalah sebuah lingkungan yang berada di desa Patampanua,
kecamatan Matakali, kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Jaraknya tidak
terlalu jauh, hanya sekitar 8 km. dari pusat kota Polewali. Makam Tomakaka
Allung sendiri hanya berjarak kurang lebih 1 km. kearah utara dari tepi jalan
poros Polewali – Majene dengan kondisi jalan lorong yang relatif baik untuk ditempuh dengan
kendaraan roda dua sebab sebagian jalanan sudah dibeton dan sebagian lagi sudah
dalam pengerasan.
Sebelum menjelang kompleks makam, kita akan disambut dengan
tumbuhan jati lokal di sisi kiri dan kanan jalan sehingga meski tidak lebat
namun lingkungan alam masih lumayan asri. Diakhiri dengan jalan yang sedikit
agak menanjak, kami lalu memasuki kompleks makam yang berada di kaki bukit dimana
bertebaran batu cadas yang besarnya tidak tanggung-tanggung, hingga ada yang
besarnya tiga kali lipat dari kerbau. Kami kemudian memarkir kendaraan dan berjalan
di antara bebatuan besar dengan memberikan kesempatan kepada pak Muhammad Salim
sebagai guide untuk berjalan di depan kami.
Pak Salim, narasumber kami
sedang wawancara dengan kawan penulis.
Gara-gara pemilu
Pak Muhammad Salim adalah salah seorang masyarakat Allung
yang sudah terbilang sepuh dengan usia yang saya perkirakan antara 70 – 80
tahun. Awal pertemuan saya dengan beliau dimulai ketika pagi harinya saya
menunggu kedatangan teman-teman di depan MIS DDI Rea Barat desa Patampanua sebagaimana kesepakatan
hari sebelumnya, dimana kita akan berkumpul dan bersama-sama menuju lokasi
tujuan. Saya tiba dilokasi titik pertemuan bersamaan dengan kesibukan para
warga dalam mengikuti pesta demokrasi pemilihan para calon legislatif. Sehingga
sambil menunggu teman-teman yang belum juga tiba, saya iseng-iseng mengobrol
dengan salah seorang warga yang rupanya sedang menunggu anaknya yang sedang
antri masuk ke bilik suara untuk mencoblos. Sementara yang bersangkutan sendiri
rupanya sudah menunaikan haknya dalam memilih, ini terlihat dari jari ujung
kelingkingnya yang berwarna biru keunguan akibat telah dicelup dengan tinta
pemilu. Dengan sebuah kalimat pembuka disusul dengan pertanyaan “berapa jauh jarak
makam Tomakaka Allung dari sini?” (tempat kami ngobrol saat itu), mengalirlah
obrolan dalam suasana akrab. Dari obrolan itu saya kemudian berfikir untuk
mencari narasumber dari salah satu sesepuh desa, dan beliau (sayang saya lupa
menanyakan namanya)menyarankan saya untuk menemui Imam mesjid yang rumahnya
hanya beberapa langkah dari tempat kami berada saat itu dengan harapan kami
bisa mendapatkan penjelasan tentang sejarah makam Tomamaka Allung. Namun sayang
sebab ternyata sang Imam sedang tidak di rumah, sehingga saya diberikan
alternatif untuk menemui pak Muhammad Salim. Saya hanya mengiyakan, dan
syukurlah sebab bapak tadi juga bersedia untuk mengantar saya kerumah pak
Muhammad Salim.
Dari hasil bertemu dan berbincang dengan pak Muhammad Salim,
beliau bersedia mengantar kami ke lokasi makam namun sayangnya karena beliau
hanya bisa mengantar kami selepas shalat Ashar karena urusan pemilu, padahal
waktu itu baru sekitar pukul 10.30 wita. Terpaksa saya pergi dulu dan berjanji
untuk kembali sekitar jam 16.00 wita. saya kemudian menuju ke Manding, dan
mengontak teman-teman agar berkumpul di rumah Pusvawirna saja untuk mencari apa
kira-kira yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu hingga sore. Hingga
kemudian disepakati untuk mengunjungi situs sumur Manurung yang berada di
Lantora, kecamatan Polewali. Setelah situs sumur Manurung, kemudian dilanjutkan
dengan trip ke sebuah bukit yang berada tidak jauh dari kampus UNASMAN. Dasar
kami mendaki ke bukit itu karena penasaran dengan keterangan beberapa teman yang
“katanya” bahwa batu-batu besar di bukit itu agak aneh karena ada yang
bentuknya mirip mobil, perahu dan ikan paus. Mengenai apa yang kami temui di
sumur Manurung dan di atas bukit tidak akan saya tuliskan di sini, namun insya
allah akan saya tuliskan pada tulisan selanjutnya.
Demikianlah kami menghabiskan waktu siang itu hingga
kemudian waktu menunjukkan pukul 16 sore, dimana saya telah berjanji pada pak
Muhammad Salim untuk kembali ke rumahnya bersama teman-teman untuk menuju ke
makam Tomakaka Allung.
Sebelum tiba di titik lokasi makam
kita akan melalui 3 tingkatan mirip pelataran sempit.
Berselimutkan mitos
Lokasi pemakaman yang berada ditengah lokasi kebun warga
sangat eksotis menurut saya. Di mana terhampar bebatuan berukuran jumbo seperti
yang saya tuliskan di awal. Begitu juga untuk sampai di titik makam kita akan
melalui tiga tingkatan yang mirip dengan pelataran sempit. Untuk naik dari
jalan ke pelataran tingkat awal kita bisa menginjak batu, namun untuk naik
ketingkatan kedua kita harus menaiki tangga besi yang sudah disiapkan, begitu
juga untuk naik ke mulut goa di mana makam itu berada harus melewati tangga
besi. Sehingga sepintas lalu kita akan merasa sedang menaiki punden berundak
yaitu sebuah sisa kebudayaan jaman megalitik seperti candi atau piramida namun
tentu saja yang ini alami dan tidak seperti candi atau piramida yang merupakan
karya manusia.
Sejenak ada aura mistis menyergap saya ketika untuk pertama
kalinya menjejakkan kaki ke mulut goa dimana kedua makam itu berada, entahlah
rasa ini dirasakan pula oleh teman-teman yang lain ataukah hanya saya yang
merasakannya. Memang perasaan itu hanya sejenak lalu kemudian mereda, rasa itu
seolah mengatakan ada yang mengucapkan kata selamat datang pada saya. Saat pak
Salim, saya dan dan seorang teman duduk disamping makam (teman yang lain
terpaksa menunggu di tingkat bawah sebab luas pelataran disamping makam tidak
bisa menampung kami yang berjumlah 10 orang), maka mulailah beliau bercerita
tentang makam yang ada di depan kami.