11/04/2014

EKSOTISME MAKAM TOMAKAKA ALLUNG Part I


Penulis sedang mengamati
makam Tomakaka Allung


Di bawah rintik hujan yang sudah mulai reda, saya dan kawan-kawan mulai menapaki jalanan menuju Allung. Yah, kami sedang melakukan trip yang bertema sejarah dan budaya mandar dan untuk kesempatan kali ini (Rabu,090414) kami bermaksud untuk mengunjungi pamakaman Tomakaka Allung. Pertimbangan kami, sebab keterangan tentang situs makam ini amat sangat sedikit terekspos ke dunia luar. Padahal situs ini terdaftar pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar dengan nomor registrasi 228 dan bernama Allung Tomakaka di Lanja. Situs ini juga sangat penting bagi dunia sejarah khususnya sejarah Sulawesi Selatan dan Barat, serta sebagai bukti penguat persaudaraan masyarakat di jazirah mandar ditengah ancaman disintegrasi, dimana kelompok komunitas yang satu merasa berbeda dan tidak ada hubungan dengan kelompok komunitas yang lain.

Saat melakukan browsing internet menggunakan search engine google dengan mengetikkan keyword “situs makam Tomakaka Allung”, maka setidaknya ada delapan link dalam index awal yang akan muncul namun sayangnya tidak ada yang menyajikan deskripsi secara lengkap tentang posisi, sejarah dan situasi makam. Dengan demikian saya berharap agar kehadiran tulisan ini bisa menjadi bahan pelengkap untuk mendampingi data yang sudah ada.

Allung adalah sebuah lingkungan yang berada di desa Patampanua, kecamatan Matakali, kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 8 km. dari pusat kota Polewali. Makam Tomakaka Allung sendiri hanya berjarak kurang lebih 1 km. kearah utara dari tepi jalan poros Polewali – Majene dengan kondisi jalan lorong  yang relatif baik untuk ditempuh dengan kendaraan roda dua sebab sebagian jalanan sudah dibeton dan sebagian lagi sudah dalam pengerasan.
Sebelum menjelang kompleks makam, kita akan disambut dengan tumbuhan jati lokal di sisi kiri dan kanan jalan sehingga meski tidak lebat namun lingkungan alam masih lumayan asri. Diakhiri dengan jalan yang sedikit agak menanjak, kami lalu memasuki kompleks makam yang berada di kaki bukit dimana bertebaran batu cadas yang besarnya tidak tanggung-tanggung, hingga ada yang besarnya tiga kali lipat dari kerbau.   Kami kemudian memarkir kendaraan dan berjalan di antara bebatuan besar dengan memberikan kesempatan kepada pak Muhammad Salim sebagai guide untuk berjalan di depan kami.

Pak Salim, narasumber kami
sedang wawancara dengan kawan penulis.


Gara-gara pemilu
Pak Muhammad Salim adalah salah seorang masyarakat Allung yang sudah terbilang sepuh dengan usia yang saya perkirakan antara 70 – 80 tahun. Awal pertemuan saya dengan beliau dimulai ketika pagi harinya saya menunggu kedatangan  teman-teman di depan MIS DDI Rea Barat desa Patampanua sebagaimana kesepakatan hari sebelumnya, dimana kita akan berkumpul dan bersama-sama menuju lokasi tujuan. Saya tiba dilokasi titik pertemuan bersamaan dengan kesibukan para warga dalam mengikuti pesta demokrasi pemilihan para calon legislatif. Sehingga sambil menunggu teman-teman yang belum juga tiba, saya iseng-iseng mengobrol dengan salah seorang warga yang rupanya sedang menunggu anaknya yang sedang antri masuk ke bilik suara untuk mencoblos. Sementara yang bersangkutan sendiri rupanya sudah menunaikan haknya dalam memilih, ini terlihat dari jari ujung kelingkingnya yang berwarna biru keunguan akibat telah dicelup dengan tinta pemilu. Dengan sebuah kalimat pembuka disusul dengan pertanyaan “berapa jauh jarak makam Tomakaka Allung dari sini?” (tempat kami ngobrol saat itu), mengalirlah obrolan dalam suasana akrab. Dari obrolan itu saya kemudian berfikir untuk mencari narasumber dari salah satu sesepuh desa, dan beliau (sayang saya lupa menanyakan namanya)menyarankan saya untuk menemui Imam mesjid yang rumahnya hanya beberapa langkah dari tempat kami berada saat itu dengan harapan kami bisa mendapatkan penjelasan tentang sejarah makam Tomamaka Allung. Namun sayang sebab ternyata sang Imam sedang tidak di rumah, sehingga saya diberikan alternatif untuk menemui pak Muhammad Salim. Saya hanya mengiyakan, dan syukurlah sebab bapak tadi juga bersedia untuk mengantar saya kerumah pak Muhammad Salim.


Dari hasil bertemu dan berbincang dengan pak Muhammad Salim, beliau bersedia mengantar kami ke lokasi makam namun sayangnya karena beliau hanya bisa mengantar kami selepas shalat Ashar karena urusan pemilu, padahal waktu itu baru sekitar pukul 10.30 wita. Terpaksa saya pergi dulu dan berjanji untuk kembali sekitar jam 16.00 wita. saya kemudian menuju ke Manding, dan mengontak teman-teman agar berkumpul di rumah Pusvawirna saja untuk mencari apa kira-kira yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu hingga sore. Hingga kemudian disepakati untuk mengunjungi situs sumur Manurung yang berada di Lantora, kecamatan Polewali. Setelah situs sumur Manurung, kemudian dilanjutkan dengan trip ke sebuah bukit yang berada tidak jauh dari kampus UNASMAN. Dasar kami mendaki ke bukit itu karena penasaran dengan keterangan beberapa teman yang “katanya” bahwa batu-batu besar di bukit itu agak aneh karena ada yang bentuknya mirip mobil, perahu dan ikan paus. Mengenai apa yang kami temui di sumur Manurung dan di atas bukit tidak akan saya tuliskan di sini, namun insya allah akan saya tuliskan pada tulisan selanjutnya.

Demikianlah kami menghabiskan waktu siang itu hingga kemudian waktu menunjukkan pukul 16 sore, dimana saya telah berjanji pada pak Muhammad Salim untuk kembali ke rumahnya bersama teman-teman untuk menuju ke makam Tomakaka Allung.

Sebelum tiba di titik lokasi makam
kita akan melalui 3 tingkatan mirip pelataran sempit.


Berselimutkan mitos
Lokasi pemakaman yang berada ditengah lokasi kebun warga sangat eksotis menurut saya. Di mana terhampar bebatuan berukuran jumbo seperti yang saya tuliskan di awal. Begitu juga untuk sampai di titik makam kita akan melalui tiga tingkatan yang mirip dengan pelataran sempit. Untuk naik dari jalan ke pelataran tingkat awal kita bisa menginjak batu, namun untuk naik ketingkatan kedua kita harus menaiki tangga besi yang sudah disiapkan, begitu juga untuk naik ke mulut goa di mana makam itu berada harus melewati tangga besi. Sehingga sepintas lalu kita akan merasa sedang menaiki punden berundak yaitu sebuah sisa kebudayaan jaman megalitik seperti candi atau piramida namun tentu saja yang ini alami dan tidak seperti candi atau piramida yang merupakan karya manusia.


Sejenak ada aura mistis menyergap saya ketika untuk pertama kalinya menjejakkan kaki ke mulut goa dimana kedua makam itu berada, entahlah rasa ini dirasakan pula oleh teman-teman yang lain ataukah hanya saya yang merasakannya. Memang perasaan itu hanya sejenak lalu kemudian mereda, rasa itu seolah mengatakan ada yang mengucapkan kata selamat datang pada saya. Saat pak Salim, saya dan dan seorang teman duduk disamping makam (teman yang lain terpaksa menunggu di tingkat bawah sebab luas pelataran disamping makam tidak bisa menampung kami yang berjumlah 10 orang), maka mulailah beliau bercerita tentang makam yang ada di depan kami.

Makam-makam Palsu Maraqdia Balanipa di Tinambung

Oleh: Zulfihadi


Ketika saya dan teman-teman dari Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar akan menuju Sanggar Seni Sossorang di Dusun Lambe, Karama, Tinambung, Polewali Mandar, saya dan teman-teman penasaran dengan gerbang megah di kaki bukit pinggir Tinambung. Di gerbang tersebut tertulis, “Makam Raja-raja Balanipa”. Selain dalam huruf latin, juga ada dalam huruf lontar. Agar rasa penasaran terbayar, kami pun berjalan mendaki sekitar 200 meter.
Awalnya kagum. Tapi itu seakan sirna ketika masuk ke dalam makam. Ada di antara sekian makam, ada yang tertulis “Haja Andi Depu”. Bukankah makamnya ada di Makassar? Sebagaimana yang disaksikan dengan mata sendiri oleh teman-teman Kompa Dansa Makassar. Yang mana itu juga ada di dalam buku “Srikandi dari Jazirah Tipalayo” karya Ahmad Asdy atau lebih dikenal dengan nama Rappo.
Bukan hanya itu, di dalam kompleks makam tersebut juga ada makam yang di situ tertulis “Tandi Bella Kakanna I Pattang” atau Arayang Balanipa keempat yang juga dikenal dengan nama I Daetta Tommuane. Beberapa saat setelah Hari Raya Idul Fitri tahun 2013 lalu, saya dan teman Kompa Dansa mengunjungi makam dari nama yang sama di Allu. Jadi, mana makam yang benar?.


Makam "palsu" Hj. Andi Depu

Berangkat dari rasa bingung itulah, beberapa teman mencoba mengunggah beberapa foto makam tersebut ke media sosial facebook. Yang selama ini menjadi salah satu tempat kami berdiskusi dan berbagi pengetahuan tentang budaya, sejarah dan wisata Mandar. Dari salah satu sumber diketahui bahwa makam raja-raja yang berjejer rapi di sisi bagian kanan dari kompleks tersebut adalah bangunan yang baru diadakan beberapa bulan yang lalu. Makam “tandi-tandi” alias pura-pura alias replika alias tidak ada betul jenazah di bawahnya. Singkat kata, makam itu palsu.
Apakah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Polewali Mandar, yang menangani hal tentang cagar budaya di Kabupaten Polewali Mandar, tidak mengetahui hal tersebut? Atau malah terlibat didalamnya?

Saya menebak bahwa mungkin saja maksud pembuatan duplikat makam tersebut bertujuan agar generasi muda yang berkunjung ke sana dapat mengetahui beberapa nama raja yang pernah berkuasa di Balanipa. Tapi, penambahan makam baru tersebut bisa saja akan menjadi bumerang bagi pengetahuan kesejarahan generasi muda Mandar. Terlebih lagi sama sekali tidak diberikan informasi secara meluas bahwa makam baru tersebut hanyalah replika. Dan yang paling fatal adalah, secara hukum hal tersebut sebenarnya pun sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993, tentang Pelaksanaan Undang Undang No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya pasal 29 yang menjelaskan bahwa yang termasuk kegiatan yang dapat merusak benda cagar budaya dan situsnya adalah kegiatan mengurangi, menambah, mengubah, memindahkan, dan mencemari benda cagar budaya, dan melakukan hal ini dapat dikenai sanksi hukum. Bisa dipastikan, penambahan makam palsu tersebut tergolong kegiatan menambah dan mengubah bentang cagar alam. Belum lagi kesannya yang membohongi pengunjung.

Tak cukup sampai di situ keganjilan yang ditemui. Saat membaca tulisan lontar di atap tiap makam palsu, saya tersenyum geli. Bagaimana tidak, berbekal dari pengetahuan membaca aksara lontar yang turun temurun diajarkan di dalam keluarga saya, bisa saya simpulkan penulisannya salah! Dari pemberian tanda baca, menunjukkan bahwa orang yang menulisnya bukan orang yang mengerti tentang aksara lontar. Salah satu contoh, nama Haja Andi Depu ditulis dalam aksara lontar yang jika dibaca dalam huruf latin menjadi “Haya Ada Depu”, padahal seharusnya terbaca Haja Adi Depu (dalam aksara lontar tidak dikenal huruf mati, sehingga “andi” akan ditulis “adi”). Begitu juga yang ada pada makam I Laju Kanna Doro, tertulis I Lunyu Kanna Doro padahal seharusnya I Laju Kanna Doro. Memang pada beberapa bagian terdapat adanya tanda baca, namun penempatannya melenceng dari pakem penulisan aksara lontar sehingga tidak bisa dikatakan bahwa itu adalah tanda baca.

Makam "palsu" I Laju Kanna Doro
Seharusnya penyelenggara proyek menunjuk orang yang benar-benar bisa membaca aksara lontar untuk mengerjakan pekerjaan yang seperti ini. Sungguh miris perasaan saya melihat keadaan situs bersejarah yang menjadi milik orang-orang Mandar dan masyarakat Sulawesi Barat secara keseluruhan ini. Terlebih lagi jika mengingat banyaknya biaya yang digunakan untuk melakukan pekerjaan itu. Bukankah hal yang sia-sia dan sekaligus memalukan jika hasilnya hanya menambah kebingungan dan mengaburkan sejarah bagi generasi muda di daerah ini? Belum lagi tulisan aksara lontara seperti yang sudah saya terangkan sebelumnya bisa membuat wisatawan yang berkunjung, apalagi kalau mereka mengerti tulisan lontar, tentu akan tertawa geli.

Melalui tulisan ini, saya berharap kepada pemerintah atau pemerhati budaya lainnya agar sekiranya dapat memberi perhatian khusus terhadap kasus “pengerusakan” situs ini. Mengingat hal ini terkait dengan sejarah dan jati diri Mandar yang mau tidak mau atau siap tidak siap pasti akan diterima oleh generasi muda kita sebagai pelanjut tongkat estafet sejarah. Saya juga berharap agar kasus serupa tidak terjadi di masa yang akan datang, hingga dapat membantu para sejarawan untuk mengurai sejarah Mandar yang masih banyak menyimpan misteri. “Jas merah,” Jangan sekali-kali melupakan sejarah!

24/02/2014

SKETSA ASA HIDUP




Sketsa itu masih suram.
Cahaya itu masih redup.
Terlingkup oleh kenyataan.
Bertabur segala derita.
Kini duduk seorang diri.
Menatap surya menapak senja,
meninggalkan semburat sedih.
Malam gelap kini merayap.
Tanpa senyum sang dewi
Dirundung pekat awan.
Namun aku tetap duduk tak bergeming.
Memahat asa dalam kalbu.



Zulfihadi
Silambea, 120302





23/02/2014

MENYIKAPI BUDAYA SECARA BIJAK Part II

Foto Maja Anis



Budaya dan kebudayaan adalah sesuatu yang tidak pernah bisa dilepaskan dari kehidupan manusia sebagai mahluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan manusia lain, sekaligus sebagai mahluk religius yang membutuhkan ‘’obat’’ penenang jiwa setelah bergelut dengan aktifitas alam yang berada diluar jangkauan nalarnya (sesuatu yang gaib).
Budaya Menurut E.B. Taylor adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
Dalam perjalanannya manusia telah memiliki begitu banyak kebudayaan sesuai dengan cara hidup dan kondisi lingkungan masing-masing komunitas baik secara beradab maupun tidak. Pada suku Aztec, Inca di Peru atau Maya kuno di daerah semenanjung Yucatan, Amerika Tengah pada jaman dahulu dikenal sebuah upacara keagamaan untuk menyembah Dewa matahari dimana dalam upacara itu dilakukan dengan mengorbankan seorang. Di pulau Kalimantan juga dikenal kegiatan mengayau, yaitu pemenggalan kepala manusia (biasanya musuh dalam perang) sebagai bahan utama untuk ritual upacara betiwah.
Lalu di pulau Celebes bagian barat, tepatnya didaerah yang dulu dikenal sebagai kerajaan Balanipa pada jaman pra maraqdiya dikenal sebuah adanya penegakan hukum diantara dua orang yang bertikai, di mana kedua lelaki yang berperkara akan dibiarkan berduel dengan menggunakan senjata tajam di dalam arena hingga salah satu dari keduanya tewas. Kebudayaan Mandar masa lalu ini hingga sekarang masih meninggalkan sisa dengan adanya tempat sebagai arena duel yang bernama bala tau (kandang/ring manusia).


Seiring datangnya sinar agama dan kesadaran untuk saling memanusiakan ditambah dengan munculnya undang-undang dan hukum kenegaraan, akhirnya budaya yang mengandung unsur kekerasan itu kemudian dihilangkan. Sementara kebudayaan yang bisa diterima oleh agama dan hukum kenegaraan tetap dipertahankan.
Kebudayaan sebagai sebuah kebiasaan masyarakatpun kemudian berkembang dan mengalami pergeseran dengan tampilnya berbagai ide humanitas, seperti misalnya persamaan gender dan hak asasi manusia.


Wajah budaya sekarang.

Setiap pelaku budaya merasa memiliki hak untuk menjalankan budaya dan tradisi sesuai dengan keinginannya, sekali lagi dengan berlindung di balik tameng HAM. Sehingga apa yang nampak sekarang bukan lagi budaya yang bernas (berisi) keagungan. Bukan sebuah persoalan jika sekiranya dengan alasan jenuh dan monoton lalu seseorang mau dan sanggup memodifikasi sebuah bentuk kebudayaan menjadi budaya baru yang sedikit berbeda, namun hendaknya pula pemikiran itu dilandasi dengan pesan apa yang hendak disampaikan kepada masyarakat yang menjadi pengusung budaya tersebut.
Namun terlepas dari hiruk pikuk pro dan kontra kebudayaan. Kekaguman kita terhadap produk kebudayaan leluhur semestinya bukan hanya sekedar kagum pada bentuk tampilannya, namun seyogyanya kita berusaha menggali hakikat pemaknaan dari hadirnya kebudayaan tersebut.
Saat sebuah tarian tradisional mandar misalnya yang biasanya ditarikan oleh seorang wanita ingin menyampaikan sebuah pesan bagi penonton, bagaimana seorang wanita mandar yang cantik dan gemulai namun tetap bisa melakukan pekerjaan berat sebagai wanita desa. Lalu kemudian tarian ini ditarikan oleh seorang lelaki yang dimakeup selayaknya wanita, bukankah kemudian pesan moralnya tidak sampai kepada penonton.
Okelah jika beberapa orang menerima hal ini dengan alasan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengekspresikan diri ( sekali lagi bersembunyi di ketiak HAM), namun kembali lagi apakah pesan moral yang bisa didapat dari tarian yang seharusnya ditarikan oleh seorang wanita kemudian diambil alih oleh seorang lelaki.

Demikiain pula seumpamanya dengan bala suji, yang seharusnya bilah bambunya disulam timbal balik antara kulit bambu (sembilu) dan bagian dagingnya (ampu) yang melambangkan simbol keselarasan hubungan antar manusia lalu kemudian disulam hanya bagian sembilunya saja yang diposisikan di sebelah luar dengan alasan lebih cantik.
Bukankah kemudian kasusnya sama dengan tarian tadi, sama-sama kehilangan makna keagungannya hingga fungsinya pun hanya “sekedar” wadah yang bisa diganti dengan benda lain. Dan masih banyak lagi simbol-simbol kebudayaan yang perlahan mulai ditinggalkan.
Setiap seniman dan budayawan memiliki hak asasi yang sama untuk menciptakan budaya dan tradisi baru, namun hendaknya dalam penciptaan tersebut sudah pula difikirkan akibat dari kebudayaan yang akan diciptakan atau dimodifikasi tersebut dalam pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, setidaknya ada hal positif dalam substansinya dengan budaya tersebut. Setiap manusia memiliki hak masing-masing, namun hak tersebut harus pula bisa menghormati hak orang lain.
Mari berkarya untuk kebudayaan kita, mari kita gali maknanya hingga kitapun dapat memetik hikmah dari apa yang telah diwariskan oleh leluhur kita. Kita sudah kenyang dengan jargon mengembalikan kearifan lokal budaya tradisional namun terkadang kita terlupa, di mana letak kearifan itu tersimpan. Hingga akhirnya kesenian dan kebudayaan kita memang terangkat namun tanpa kualitas hakikat lagi dan ia hanya menjadi sekedar aktifitas festival dan pagelaran namun gagal dalam fungsinya sebagai pengajaran.
Simbol budaya bukan lahir hanya karena kebetulan namun sekali lagi, ada “ussul” (makna : mandar) yang berusaha diselipkan oleh leluhur kita sebagai pesan agar kita tidak lupa akan kodrat kita sebagai manusia.

19/02/2014

SANG PUTRI “YANG MENCAPLOK” SUL-BAR



Keputusan dewan juri yang terdiri dari Ketua Dewan Juri Miss Indonesia 2014, Liliana Tanoesoedibjo, Wulan Tilaar, Ferry Salim, desainer Priyo Oktaviano, dan Miss Indonesia 2012 Ines Putri Tjiptadi memutuskan Maria Esteria Sastrayu Rahajeng sebagai ratu versi Miss Indonesia 2014 sontak membuat beberapa warga Sul-Bar, paling tidak mereka yang menjadi pemerhati budaya Mandar meradang. Meski tidak sedikit juga yang ikut merasa bangga karena ada nama Sulawesi Barat yang tersemat sebab sang putri (katanya) merupakan duta dari Sulawesi Barat. Hal inipun menjadi trending topik dibeberapa media sosial, baik akun perseorangan maupun akun grup khususnya grup Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar yang memang merupakan grup sosial media yang menekunibagian kebudayaan, Mandar khususnya.


Mengangkat atau menjatuhkan?
Sebagian masyarakat merasa bangga dengan sejarah baru dimana untuk pertama kalinya utusan Sulbar menjadi pemenang dalam ajang Miss Indonesia, dan menaruh harapan besar sekiranya sang Putri nantinya dapat menjadi promotor kebudayaan dan mengharumkan nama sulbar. Hingga menjadikan sulawesi barat ikut memiliki nama di pentas dunia dalam hal kebudayaan dan pariwisata.
Lalu pasal apa yang membuat orang-orang Sul-Bar bereaksi?. Dari pengamatan pribadi terhadap diskusi yang menghangat, ada dua hal yang menjadi sorotan masyarakat.
Yang pertama adalah profil kependudukan dari sang putri yang didapat dari seorang teman jurnalis dan sempat pula dimasukkan sebagai data pribadi di sosial media instagram sama sekali tidak menunjukkan bahwa sang putri berasal atau pernah berdomisili di sul-bar. Ini memicu pertanyaan dan kegamangan sebagian masyarakat tentang pemahaman sang putri tentang budaya ke-mandar-an yang notabene merupakan suku asli dan terbesar yang menghuni provinsi Sulawesi Barat.
Yang kedua dan paling parah adalah tampilnya sang putri dengan berbagai pose poto berbikini ria di sebuah pantai, bahkan di blog dan akun instagram miliknya sang putri dengan “pede” memamerkan foto (maaf) BH dan celana dalamnya ( http://www.mariaandelizabeth.blogspot.com/ ).
Rupanya pasal kedua inilah yang lebih menyulut hati dan perasaan sebagian masyarakat pemerhati budaya. Sebab hal demikian tentu sangat jauh dari jargon budaya malaqbiq yang telah diusung oleh leluhur orang mandar sejak ratusan tahun yang lalu. Berbikini adalah produk budaya barat yang kemudian masuk menginvasi budaya ke-timur-an sejalan dengan arus globalisasi dan westernisasi yang mengalir bersama keterbukaan informasi dan transportasi. Inilah yang menjadi perhatian sebagian warga jika sekiranya sang putri yang menyandang nama utusan “Sulawesi barat” akan menciptakan image bagi warga dunia bahwa ternyata orang mandar “merestui” budaya bikini. Apalagi dengan rencana bahwa sang putrilah nanti yng akan mewakili Indonesia dalam ajang Miss Universe berikutnya di London, Inggris.


Lalu?

Dalam menyikapi persoalan selalu ada sikap reaktif dan responsif, terkadang kita terjebak dengan kata yang artinya hampir serupa ini.
Salah seorang prkatisi Ayur Hypnoteraphy yang sering dipanggil dengan nama pak Hento mengatakan, reaktif adalah sikap langsung menanggapi terjadinya suatu keadaan tanpa memikirkan akibat atau solusi lanjutan setelah solusi pertama dijalankan, sedangkan responsif sebaliknya. Beliau menyebut bahwa responsif adalah reaksi yang bertanggung jawab.
Menyikapi hal Miss Sulbar yang kontroversi inipun demikian. Beberapa teman bertindak reaktif dan ingin berunjuk rasa, dan ada pula yang lebih bertindak moderat dengan menggunakan media tulisan di media massa atau artikel lain. Tentu semuanya sah-sah saja, asal jangan saling menyerang sesama pemerhati sendiri sebab tentu hal itu tidak akan menyelesaikan masalah bahkan justru semakin memperkeruh keadaan. Terlepas dari pilihan mana yang dipilih, saya hanya ingin memberi saran agar kiranya yang memilih jalur tindakan “nyata” bisa bertemu dengan fihak terkait untuk mempertanyakan hal ini dan menggugat sang putri dengan gelarnya jika memang menginginkannya. Agar kedepannya, para calon wakil Sulbar bisa mendalami terlebih dahulu budaya yang hendak diwakilinya.
Demikian pula dengan para pihak pemberi ijin agar bisa lebih selektif memilih duta budaya.
Dukungan saya juga tetap untuk teman yang memilih jalur penulisan untuk mewakilkan suaranya, tetaplah meyakini bahwa pena adalah senjata yang tidak kalah tajam dari jambiya.....


14/02/2014

Kritik novel “GADIS PORTUGIS” karya Mappajarungi Manan, penerbit NAJAH Juli 2011.



Membaca novel ini membuat kita seolah terbawa keera meredupnya jaman keemasan kerajaan Gowa yang diakibatkan oleh Perang Makassar yang berlangsung mulai tahun 1966 hingga tahun 1969. Penggambaran jalannya peristiwa kehidupan yang dialami oleh Karaeng Caddi dan Ellis Pereira selaku pemeran utama dalam novel ini serta jalannya beberapa peristiwa perang yang terjadi seolah ikut meliuk-liuk mempermainkan rasa dan fikiran dari pembacanya.
Namun demikian, sebagai novel berlatar sejarah perang saudara berkepanjangan antara kerajaan Gowa dan kerajaan Bone yang kemudian dicampuri oleh VOC sehingga menjadi salah satu peperangan terberat yang dialami oleh VOC dalam usahanya menguasai kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara, sangat jelas bahwa penulis berdiri difihak Gowa dengan menggambarkan musuh Gowa dalam hal ini Arung Palakka La Tenri Tatta Petta Malampe Gemmeqna To ri Sompae Sultan Saaduddin dan orang-orangnya sebagai manusia biadab, kejam dan tidak berperi kemanusiaan serta pengecut dan licik.
Dalam beberapa adegan digambarkan bagaimana Karaeng Caddi beberapa kali sempat berkelahi dan melukai Arung Palakka hingga Arung Palakka hampir mati jika tidak segera diselamatkan dan dilarikan oleh pengikutnya(Bagian 9 hal.362, 387).
Penulis menyimpulkan bahwa perang antara Gowa-Bone disebabkan karena ketamakan dan iri hati yang dialami oleh Arung Palakka (Bagian 1 hal.46, Bagian 2 hal.82,), ada dugaan saya bahwa kesimpulan penulis karena dipengaruhi oleh stigma yang terdapat dimasyarakat umum saat ini bahwa Arung Palakka adalah seorang pengkhianat sementara Sultan Hasanuddin adalah seorang pahlawan tanpa didasari dengan pengetahuan kesejarahan yang cukup tentang penyebab terjadinya perang Gowa-Bone yang dimulai bahkan sejak orang tua kedua Sultan, Gowa dan Bone (Sultan Hasanuddin dan Sultan Saaduddin).
Yang membuat dugaan saya bahwa penulisan novel ini tidak didahului dengan riset yang cukup semakin kuat ketika membaca cuplikan cerita perantauan Karaeng Caddi ke Wajo untuk berguru kepada Puang Fatta, salah seorang tokoh agama Islam (menurut Mappajarungi Manan) waktu itu, dimana Karaeng Caddi berlayar dengan menggunakan perahu sandeq yang merupakan perahu khas Mandar (Bagian 4 Hal.158).
Dari keterangan Muhammad Ridwan Alimuddin (penulis buku “Sandeq, Perahu tercepat di Nusantara”) bahwa perahu Sandeq mulai dikenal sekitar tahun 1930an, hal inipun dapat dibaca beberapa blog yang menulis tentang sandeq. Jika demikian lalu bagaimana penulis bisa menuliskan bahwa Karaeng Caddi menumpang perahu sandeq atau perahu sandeq sudah digunakan sebagai kapal pengawas pantai kerajaan Gowa (bagian 4 hal.155), sementara novel ini bersetting waktu 2 abad sebelum sandeq dikenal oleh orang Mandar?.
Hal yang juga janggal menurut saya adalah nama nahkoda dari perahu sandeq yang ditumpangi Karaeng Caddi yang bernama Ambo Kagi (Bagian 4, hal.159) yang katanya bekas pejabat kerajaan Balanipa (Bagian 4, hal.161).
Sampai saat ini, saya yang lahir dibekas daerah kekuasaan kerajaan Balanipa belum pernah mendengar atau mendapati nama “Ambo” digunakan oleh masyarakat Mandar kecuali orang itu keturunan Bugis yang menetap di daerah Mandar.
Ada pula disalah satu bagian yang menggambarkan ketibaan Karaeng Caddi di Wajo yaitu ketika berada didaerah kampung Jalang dan menginap dirumah kepala kampung yang bernama Puang Lolo. Lalu pada malam harinya sesudah acara pesta penyambutan, Karaeng Caddi kemuadian masuk kekamar yang sudah disiapkan untuknya beristirahat. Pada saat tengah malam, seorang perempuan penghibur masuk kekamar Karaeng Caddi (Bagian 6, hal.233).
Entah sekedar bermaksud agar nama tokohnya benar-benar mirip dengan nama wanita Bugis atau bagaimana, namun saya merasa adanya kekontrasan antara nama dengan perilakunya. Untuk diketahui bahwa dikalangan masyarakat Bugis, nama We Tenri adalah nama yang biasa disematkan pada wanita yang memiliki garis keturunan bangsawan tinggi seperti misalnya We Tenriabeng dan We Cudai dalam epos La Galigo, We Tungke Arung Sengkang, We Tadampalie (salah seorang putri raja Luwu yang dipercaya sebagai leluhur raja-raja di Wajo).
Sehingga agak janggal jika ada wanita bangsawan tinggi yang tentunya terdidik untuk memegang prinsip Siriq na Pesseq lalu kemudian menjalani profesi sebagai wanita penghibur yang sering ditugaskan melayani kebutuhan biologis para tamu yang kebetulan menginap di rumah Puang Lolo yang hanya seorang kepala kampung.
Saya ingin menyarankan agar pada point pertama dan kedua, penggambaran sikap “salah (?)” tokoh Arung Palakka dilakukan tidak terlalu berlebihan sebab ada kemungkinan bisa memancing reaksi berlebihan pada satu golongan tertentu mengingat dalam realita sekarang ada beberapa oknum atau komunitas yang menempatkan Arung Palakka sebagai tokoh yang dianggap eksklusif.
Namun selain dari beberapa point di atas, saya menganggap bahwa novel tersebut memiliki muatan yang luar biasa. Sebab jarang ada penulis yang mengangkat sejarah tiga suku serumpun sekaligus dalam hal ini yang saya maksud Makassar, Bugis dan Mandar dan merangkainya menjadi sebuah novel.

01/02/2014

PERTEMPURAN PERTAMAKU

Malam ini hujan turun dengan deras membasahi tubuhku, dinginnya sampai mencucuk tulang.
Terasa jika gerahamku gemetar dan kubayangkan bibirku pasti sudah biru sejak tadikarena dingin.
Tapi aku harus kuat, seorang prajurit harus patuh pada perintah panglima dan seorang prajurit yang lalai adalah pangkal dari kehancuran sebuah pasukan. Setidaknya begitulah pesan andong guru pamusuq saat berpidato dalam acara pembukaan latihan prajurit, saat pertama kali aku mengajukan diri menjadi seorang prajurit di bawah pimpinan puang ta I Daeng Riosoq. Dan karena pesan itulah sehingga aku harus menahan dingin dalam menjalankan tugasku malam ini sebagai penjaga perbatasan.


Suasana kampung terasa sunyi, padahal malam belum begitu larut.
Tentu saja suasana seperti ini, orang-orang lebih suka berdiam di rumah. Atau bisa jadi karena mereka takut akan ada perang lagi.
Ya, kampung ini memang sedang tidak aman sejak pasukan Arung Palakka memulai perang dengan Balanipa ini dan berhasil masuk melewati perbatasan kerajaan. Terkadang pasukan Bone muncul tiba-tiba dan melakukan penyerangan.
Maraddiya dan para tetua kerajaan sudah kehabisan akal melawan pasukan Bone bersenjata lengkap hasil bantuan VOC dari Batavia. Hingga maraddiya membuat sayembara yang langsung disambut oleh Daeng Riosoq, pimpinanku saat ini.


Tiba-tiba dari rimbunan semak tidak jauh dari tempatku berjaga, terdengar suara gemerisik seolah diterabas oleh seseorang yang bermaksud melewatinya.
Tidak lama kemudian tampaklah sekilas kibaran bendera perang, tidak salah lagi itu pasti pasukan Bone. Darahku berdesir seolah terpompa dengan cepat dan jantungku pun berdetak hebat.
Mengingat aku yang hanya sendiri, sementara Baqdu teman patroliku belum kembali sejak ia meminta ijin untuk buang air. Maka aku memutuskan untuk menyerang mereka lebih dulu. Aku akan melakukan puputan seorang diri.
Perlahan ku raba gagang keris yang senantiasa terselip di pinggangku. Tanpa suara, perlahan keris itu aku cabut dengan tangan kiri.
Sementara tangan kananku erat menggenggam tombak.
Perlahan bibirku komat kamit membaca mantera kebal yang pernah diajari oleh kakekku, karena sudah hampir pasti bahwa mereka akan melewatiku.
Dan sebagai prajurit, sudah tugasku untuk melindungi pemimpinku.
Secepat kilat aku melompati orang pertama yang muncul dari kerimbunan semak belukar, tapi aneh aku hanya menikam angin dan dahiku benjol meninggalkan rasa sakit.



Sial, rupanya aku bermimpi dan saat melompat tadi aku terjaduh dari ranjang hingga dahiku sempat terbentur di sudut lemari.



SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...