30/08/2017

SEJARAH KOPI MANDAR

(Sebuah Tulisan Awal Perkopian di Tanah Mandar)Part3 (selesai). Oleh: Zulfihadi. Matakali, 23 Februari 2017.
=====================================================================================

Tensi persaingan untuk mendapatkan kopi terus meningkat hingga berakibat pada pecahnya perang lokal di antara penguasa-penguasa adat yang ada di Toraja dibantu oleh sekutunya yang merupakan pedagang-pedagang luar tersebut. Perang itu dikenal sebagai Perang Kopi I dan berlangsung dari tahun 1887 dan berakhir tahun 1888.

Agak reda sesaat, lalu kemudian pada tahun 1889 pasukan kerajaan Bone dibantu oleh pasukan Gowa dan Mandar kembali memasuki Toraja mengakibatkan perlawanan orang-orang Tallu Lembangna hingga pecahlah Perang Kopi II. Perang Kopi II ini berhenti setelah La Tanro Puang Mallajange ri Buttu Mario, Raja Agung Enrekang XVI meminta agar Petta Ponggawae yang memimpin pasukan Bone untuk kembali.

Setelah Perang Kopi II berhenti, lalu La Tanro Puang Mallajange ri Buttu Mario mengatur kembali tata niaga kopi di Toraja. Dan sejak saat itu keadaan perdagangan kopi di Toraja relatif kondusif hingga 1906, Toraja didominasi oleh Belanda.

Lalu bagaimana perjalanan kopi selanjutnya hingga mencapai tanah Mandar?.   
Hingga hari ini, belum ada catatan tentang itu. Sehingga kita hanya bisa menduga bahwa tanaman kopi di Mandar kultivasinya nanti pada tahun 1900-an meskipun minuman ini kemungkinan besar telah dinikmati pula oleh para bangsawan dan ulama penyebar agama Islam jauh sebelumnya dengan diperkuat oleh adanya interaksi antar manusia serumpun di Sulawesi ini sehingga menyebabkan percampuran budaya dan ginekologi Bugis, Makassar dan Toraja.

Namun demikian, ada dugaan sementara untuk menggambarkan awal mula tanaman kopi di Mandar yaitu, pertama: tanaman kopi dibawa oleh para veteran Perang Kopi II, di mana pasukan Bone juga mendapat bantuan dari pasukan Gowa dan Mandar. Sehingga ketika perang usai pada tahun 1890, para pasukan Mandar ini ada yang membawa bibit kopi untuk dikembangkan di Mandar. 

Sayangnya tidak didapati keterangan tentang asal pasukan yang berangkat ke Toraja meski kemungkinan besar mereka adalah pasukan dari kerajaan Balanipa. Jika saja asal mereka diketahui, maka ada kemungkinan bisa ditelusuri daerah awal penanaman kopi di Mandar.

Dugaan kedua adalah adanya perluasan perkebunan rakyat untuk mencari lahan sehingga akhirnya masuk ke daerah Mandar. Hal ini mengingat sebagian wilayah Toraja dan Luwu berbatasan dengan Mandar (baca: Sulawesi Barat) sehingga sangat memungkinkan perpindahannya.

Sejauh ini, informasi tentang penanaman kopi tertua secara valid baru datang dari informasi dan kesaksian H. Yahya  yang berusia kisaran 70 tahun. Salah seorang tokoh masyarakat desa Tapango Barat yang menyebutkan bahwa pertama kali ia menanam pohon kopi saat remaja dalam jumlah banyak adalah pada tahun 1960 dan hingga kini, pohon-pohon kopi tersebut masih tumbuh dan berbuah. 

Namun, lama sebelum itu ketika ia masih kanak-kanak. H. Yahya masih sempat menyaksikan pohon-pohon kopi banyak tumbuh di sekitar rumah warga Tapango yang masih terpencil dengan akses jalan sangat sulit ketika itu. 

Salah satu artefak alat pemecah kopi dari batu andesit berbentuk  datar berukuran kurang lebih 40x30 cm. masih tersimpan di perkebunan kopi Tjap Maraqdia, Tapango, Polewali Mandar. Benda ini dulunya digunakan oleh nenek buyut penulis untuk memecah buah kopi saat beliau tiba di Tapango dari Belawa. Beliau meninggalkan daerah asalnya pada akhir tahun 1950-an akibat kekacauan oleh pemberontakan dan maraknya perampokan saat itu di kampung halamannya.
(Selesai)

Diolah kembali dari :
- Outlook kopi terbitan Pusat Data dan Informasi Pertanian Sekjen Kementan tahun 2005 (pdf)
- http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160508160635-269-129200/toraja-dan-emas-hitam-bernama-kopi
- https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_kopi
- https://www.facebook.com/657151224390172/photos/a.657719207666707.1073741828.657151224390172/657719191000042/?type=1&theater
- https://anaktator.blogspot.com/dokumen-perang-kopi-di-toraja/

28/08/2017

HORST H. LIEBNER YANG SAYA KENAL

(Sebuah catatan tentang lelaki Mandar berdarah Jerman).
================================================

Foto: Hariandi Hafid/Beritagar.id


Perkenalan saya dengan sosok lelaki jangkung berambut pirang khas Eropa yang berprofesi sebagai antropolog maritim dan meraih gelar Doktornya di University of Leeds, Inggris itu terbilang belum lama, sekitar 3 tahunan.

Kami saling berinteraksi ketika event Sandeq Race 2014 yang pelaksanaannya terkesan morat-marit sehingga memancing reaksi dari beberapa pemerhati kebudayaan maritim Mandar dalam hal ini Sandeq, untuk berkomentar. Dari situlah kami sering bertukar fikiran tentang kebudayaan Mandar lewat media sosial.

Awal 2016 ketika ia sedang melakukan riset tentang kerajaan-kerajaan tua di Mandar dalam kaitannya dengan dunia maritim, pada suatu malam ia memposting di sebuah grup budaya foto lembaran salinan manuskrip beraksara lontar dan meminta siapapun yang bisa mentranslit-nya ke dalam aksara latin.  Beberapa menit kemudian, saya membalas postingan itu dengan komentar yang berisi hasil translate. Ia kemudian mengirim lagi 3 lembar halaman manuskrip yang merupakan sambungan halaman pertama tadi. Dan keesokan harinya hasilnya saya kirim kembali kepada Horst.

Lelaki sederhana bernama lengkap Horst Hiebertus Liebner, lebih akrab dipanggil Horst ini lahir pada 28 November 1960 di Oberhausen, Nordrhein-Westfalen, Jerman merupakan seorang yang ramah dan mudah bergaul dengan kalangan dari kelas mana saja. Akhir tahun lalu saya bersama dua orang kawan sempat bertandang ke rumahnya yang berlokasi di dalam kompleks benteng Somba Opu, Makassar.

Pertemuan awal kami dan selanjutnya diikuti pertemuan-pertemuan selanjutnya di dunia nyata membuat kami semakin akrab. Berdasarkan hasil translate lontar yang saya ceritakan sebelumnya, ia tertarik mengunjungi situs bukit Pasokorang dan saya memang sedang menelusuri ihwal kerajaan ini sejak tiga tahun sebelumnya. Ini sebuah kesempatan emas dan langka bagi saya. Turun langsung ke lapangan bersama seorang yang ahli dibidang antropologi.

Ternyata Horst bukan orang yang pelit berbagi data mengenai sejarah dan budaya Mandar. Belasan file data ia bagikan kepada kami yang sedang “meraba” Mandar. Saya juga beruntung dan bangga mendapat copy-an buku Lontar Pattaudioloang yang dijilid dengan rapi yang dicopy khusus untuk saya.

Dari interaksi langsung tersebut saya mengenal pribadinya lebih dalam. Horst adalah orang yang disiplin, jika ia sudah mengatakan “kita berangkat jam 7.00”. Jangan coba-coba untuk datang 7.30 atau malah jam 8.00 karena anda pasti ditinggalkan kecuali memang ada hal-hal urgen yang harus membuatnya menunda (bandingkan dengan yang sering kita dapati dalam masyarakat kita saat undangan rapat atau pertemuan lain, misalnya).

Lelaki yang bibirnya selalu mengepulkan asap rokok jenis mild merk S**p**na ini juga merupakan sosok perencana yang sangat matang saat hendak membuat sebuah kegiatan. Ia akan menghitung pos anggaran, jumlah personil, peralatan yang dibutuhkan hingga perkiraan waktu pelaksanaan lengkap kemungkinan potensi, peluang, hambatan dan tantangan yang mungkin akan dihadapi saat persiapan hingga pasca kegiatan secara tertulis dengan aplikasi ms. Excel di laptopnya. Saking detailnya, seringkali ada hal-hal yang ia pikirkan justru luput dari pemikiran kami.

Tapi di balik kedisiplinan dan keseriusan yang selalu tampak di wajah lelaki itu, jangan terkejut jika ternyata ia bisa menjadi sangat jenaka ketika bercanda dengan anak-anak kecil. Ini saya saksikan sendiri di Nusa Pustaka, sebuah perpuskaan swadaya di Pambusuang ketika ia membacakan sebuah dongeng kepada beberapa anak yang ada di sana dengan aksen Eropanya yang masih terasa kental sehingga membuat anak-anak yang tidak terbiasa mendengarnya tak bisa menahan tawa. Melihat anak-anak itu tertawa, Horst malah membalasnya dengan bercanda hingga kami yang ada di sana semua ikut terbawa suasana gembira itu.

Dari sekian itu, yang paling membekas bagi pribadi saya adalah militansi dan totalitasnya dalam pelaksanaan kegiatan. Tidak sulit menemukan sosoknya yang berkulit terang di antara tim-nya yang rata-rata berkulit gelap ikut berpeluh, berjuang menyukseskan hal yang diembannya. Yang terbaru adalah ketika pria yang seyogyanya menjadi koordinator panitia Sandeq Race 2017 (namun terdepak bersama ketua umum, ketua harian serta bendahara panitia dan diganti oleh orang pemerintahan) ini tertangkap kamera sedang mengangkat sendiri dus-dus air mineral untuk timnya. Belum lagi dokumentasi pelasanaan Sandeq Race sebelum tahun 2012 yang selalu ia tangani sebelum diambil alih oleh Pemprov Sulawesi Barat, banyak memuat wajahnya.

Apakah dengan batalnya ia bersama timnya menahkodai Sandeq Race 2017 merupakan akhir tantangan baginya?. Ternyata tidak !.
Dari sumber terpercaya menyebutkan bahwa akibat kucuran dana kegiatan Sandeq Race 2017 dari Pemprov Sulawesi Barat sempat tertunda hingga event yang mestinya menjadi kebanggan kita bersama itu hampir memasuki hari H maka ia memenuhi kebutuhan lomba untuk panitia dan calon peserta seperti printer, poster, cat dan layar dll. dengan menggunakan dana awal yang berasal dari salah seorang donatur dan sebagiannya lagi dengan berutang ke toko nelayan di Pambusuang.

Belakangan kemudian diputuskan sepihak bahwa Horst dan timnya tidak diamanahi menjadi nahkoda event lomba Sandeq Race 2017.  Di sinilah ia memperlihatkan kualitasnya sebagai seorang leader dan sekaligus profesional. Ia mengambil alih beban hutang keperluan lomba itu pada toko nelayan dan sekaligus mengembalikan uang donasi yang telah terlanjur digunakan tanpa bantuan tim-nya maupun orang lain.

Menurut saya, bisa jadi sikapnya ini merupakan pembawaan lahir namun tidak menutup kemungkinan pula jika ini adalah salah satu hasil dari pengalamannya selama belasan tahun mengurus perahu sandeq hingga ia mewarisi keberanian, keuletan, soliditas dan, leadership yang ditanamkan leluhur orang Mandar. Sebuah kepribadian yang belum tentu kita miliki sebagai orang yang lahir, berdomisili dan, berdarah Mandar.


Lalu akankah kita yang selalu mengklaim diri sebagai Mandar sejati hanya berpangku tangan melihat orang lain bahkan kerap dicap sebagai orang asing berdiri sendiri menyelamatkan warisan yang mestinya menjadi tanggung jawab kita?. Masihkah siriq kita miliki atau, Mandar memang sudah harus menyerah sebagaimana penggalan syair Syuman Saeha?.  

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...