Melanjutkan tulisan tentang sejarah desa Lambanan, kali ini kami sajikan sekelumit cerita tentang Mesjid Lambanan yang merupakan mesjid pertama di Mandar.
Mesjid Lambanan.
Setelah beberapa lama mengajarkan agama Islam, dan masyarakat
pun semakin antusias menerima pengajaran dari To Salamaq Annangguru Malolo.
Dibuatlah kemudian sebuah mesjid yang sekiranya akan dijadikan sebagai basis
dakwah agama Islam. Mesjid yang dibangun oleh To Salamaq Annangguru Malolo
bersama masyarakat inilah yang kemudian diyakini oleh para arkeolog sebagai
mesjid pertama di tanah Mandar.
Pada masa lalu ketika
masyarakat kerajaan Balanipa sudah memeluk Islam secara keseluruhan, maka
dipandang perlu untuk membangun sebuah mesjid kerajaan. Dari kesepakatan dewan
adat dan masyarakat Balanipa, maka dibangunlah sebuah mesjid di daerah
Tangnga-tangnga yang pada waktu itu menjadi ibukota kerajaan. Untuk keperluan
itu maka tiang sokoguru (posiq arriang dalam bahasa Mandar) mesjid lama dibawa
ke Tangnga-tangnga. Sehingga jika ada yang merasa simpang siur dengan berita
mesjid pertama di Mandar, maka jawabannya adalah mesjid pertama di Mandar adalah
yang ada di Lambanan sedangkan yang ada di Tangnga-Tangnga juga adalah mesjid
pertama namun sebagai mesjid pertama kerajaan Balanipa. Jadi harus dibedakan
mana mesjid pertama dan mana mesjid kerajaan.
Posisi Lambanan sendiri dalam struktur kerajaan Balanipa
bertindak sebagai Kadhi (penasehat/hakim agama Islam). Artinya setiap persoalan
yang terjadi di dalam kerajaan Balanipa yang menyangkut ihwal agama selalu
menggunakan pemimpin masyarakat Lambanan sebagai penasehat. Pemerintah dan
masyarakat kerajaan Balanipa waktu itu
sangat menghormati pemimpin agama Islam bahkan hampir mensejajarkannya
dengan jabatan raja sekalipun. Oleh karenanya, tidak dibenarkan jika orang
Lambanan diperbudak oleh bangsawan kerajaan. Demikian pula jika diadakan
pertemuan kerajaan, maka posisi pemimpin wilayah Lambanan selalu berdampingan
dengan posisi Maradia (baca:raja). Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa
sesungguhnya kedudukan manusia dimata tuhan adalah sama.
Keberadaan mesjid lama (baca: tua) ini masih dapat dilihat
hingga sekarang, namun sudah tidak terpakai sebab telah pula dibangun mesjid
yang baru. Pada awalnya masyarakat tidak lagi menggunakan mesjid lama
dikarenakan kerusakan yang terjadi akibat gempa bumi sekitar tahun 60an yang
membuat struktur bangunan dianggap berbahaya, apalagi mesjid ini berdiri di
bantaran sungai yang selalu tergerus. Meskipun telah dilakukan renovasi pertama
pada masa S. Mengga menjabat sebagai Bupati Polewali Mamasa, nama Polewali
Mandar sebelum pemekaran.
Setelah pendirian mesjid baru ini, sempat terjadi kesalah
fahaman di antara masyarakat Lambanan yang menyebabkan sekitar 70 kepala
keluarga atau 2/3 masyarakatnya waktu itu memilih untuk pergi dan berdomisili di wilayah yang
sekarang dikenal dengan nama Galung Tulu atau Kappung Tulu dan sebagian lagi
berpindah ke desa Galung Lenggoq. Perseteruan ini berlanjut kemudian dengan
rebutan bedug asli mesjid tua antara mereka yang masih menetap di Lambanan dan
mereka yang telah pndah ke Galung Tulu. Dan lagi-lagi, apa yang dinubuatkan
terjadi. Meski kedua belah fihak memanas namun tidak terjadi pertumpahan darah.
Namun saat ini, perseteruan dimasa lalu itu sudah tidak terjadi lagi. Hubungan antara
mereka yang menetap di Lambanan dan mereka yang menetap di Galung Tulu sudah
terjalin kembali dengan harmonis.
Menurut informasi yang kami dapatkan dari kepala desa
Lambanan, bahwa saat ini sedang diusahakan untuk melakukan renovasi bangunan
mesjid dengan tetap mempertahankan arsitektur lamanya.
Bersambung............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar