09/10/2014

LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKAN #3

      Melanjutkan tulisan hasil perjalanan ke Lambanan, berikut kami tuliskan keunikan lain dari desa ini. untuk mengetahui keunikan yang lain, anda dapat membaca tulisan kami sebelumnya LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKAN #1 dan LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKAN #2
      
      Artefak dan Ritual Peninggalan Tradisi.

Sebagai salah satu kampung tua, Lambanan mempunyai beberapa artefak bersejarah yang dimiliki oleh warga setempat. Beberapa yang sempat kami terangkan menurut penjelasan dari kepala desa Lambanan,  diantaranya adalah kitab tulisan tangan dari To Salamaq Annangguru Malolo. Kitab ini masih menggunakan bahan kertas dari India dan ditulis dengan tinta India pula. Tulisan dalam kitab ini menggunakan huruf arab serang berbahasa bugis serta aksara lontara. Meski secara tersamar, namun dari pennjelasan tersebut dapat kami ambil kesimpulan bahwa kitab tersebut berisi pelajaran-pelajaran tasawuf atau tarekat. Ajaran – ajaran inilah yang diturunkan oleh To Salamaq Annangguru Malolo kepada murid-muridnya.

Yang berikutnya adalah teks khutbah asli yang ditulis oleh To Salamaq Annangguru Malolo. Berbeda dari kitab yang dibahas di atas, media tulis teks khutbah ini menggunakan kertas yang masih berbahan bambu dan berbahasa arab. Sampai saat ini, teks khutbah ini masih sering dikeluarkan untuk dibacakan pada hari raya Iedul Adha termasuk hari raya tahun ini 1435 H. atau 2014 M.

Ada mitos yang lahir dari kitab ini yaitu siapa saja mengambil serpihan kertas dan menelannya maka dipercaya bahwa orang tersebut akan memperoleh kekebalan atau kulitnya tidak akan mempan terhadap senjata tajam.  Karena mitos yang diyakini sebagian masyarakat inilah sehingga perangkat mesjid begitu waspada dan berhati-hati saat mngeluarkan teks khutbah ini untuk dibacakan.

Di Lambanan terdapat pula peninggalan dari Pappuangang Luyo yaitu sebilah keris berluk 7 dan luk 13 yang disimpan oleh salah satu warga. Sayang karena keterbatasan waktu, artefak yang kami sebut di atas tidak dapat kami lihat secara langsung saat kunjungan tersebut.

Selain peninggalan berupa artefak sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, di Lambanan juga masih terdapat tradisi ritual agama yang unik dan tidak terdapat di daerah lain. Salah satunya adalah ritual baca do’a Neneta Adam yang dilaksanakan setiap malam 10 Muharram. Tidak dijelaskan oleh narasumber sejak kapan ritual ini mulai diadakan, namun beliau menjelaskan bahwa prosesi ini menyimpan suasana mistis hingga pernah mengejutkan istri salah satu mantan bupati Polman yang menyempatkan untuk menyaksikan prosesi ritual baca do’a Nene ta Adam ini.

Ritual ini dijalankan oleh tujuh orang pemuka agama Lambanan sebagai pemeran kunci acara, menggunakan tujuh macam kue tradisional yang dialasi dengan daun pisang pilihan. Daun pisang yang terpilih haruslah merupakan daun pisang yang pelepahnya terpanjang di Lambanan dan utuh alias tidak boleh cacat atau sobek. Ada berbagai makna penyimbolan dari segala property yang digunakan. Mulai dari penggunaan jumlah tujuh yang dimaknai sebagai lingkup ruang kosmos, yang terdiri dari tujuh lapis langit dan tujuh lapis tanah, pada saat melaksanakan thawaf di Ka'bah sebanyak tujuh putaran, bagain tubuh yang menandai sujud sebanyak tujuh serta banyak lagi yang tidak dapat kami sebutkan. Pemilihan waktu malam tanggal 10 Muharram pun dipilih karena diyakini bahwa pada tanggal 10 Muharram terjadi banyak peristiwa-peristiwa luar biasa yang dikenal oleh ummat Islam.
Ritual baca do'a "Nene ta Adam".
(Foto: disbudparpolman.weebly.com)


Ritual yang kedua adalah sambayang annang (shalat enam). Ritual ini biasanya dilakukan pada malam hari setelah lebaran dan menggunakan enam orang sebagai pemeran kunci yang jika tidak hadir salah satunya maka acara tidak dapat dilaksanakan. Sebagaimana ritual baca do’a nene ta Adam, sambayang annang pun memiliki kandungan makna penyimbolan yang amat dalam. Namun karena ini berkaitan dengan keyakinan dan kebatinan, maka kami tidak dapat menyebutkannya di sini.

Lalu mengapa menggunakan nama baca do'a “Nene ta Adam” yang jika diterjemahkan kebahasa Indonesia berarti Nenek kita Adam, sementara dalam bahasa Mandar sendiri, nenek disebut dengan kanneq?. Saya hanya bisa menarik menyimpulkan, bahwa dari sekian ikon simbolik yang digunakan oleh masyarakat Selebes (Sulawesi) baik yang sempat kami sebutkan di sini atau tidak. Terdapat benang merah bahwa sesungguhnya masyarakat Selebes berasal dari satu rumpun yang satu dan kemudian terpecah menjadi suku-suku seperti yang kita temui sekarang. 
Bahwa Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja sesungguhnya adalah berasal dari kesatuan “bambu” yang pecah.


Bersambung............

08/10/2014

SAJAK-SAJAK SANG ELANG

=====================
Jika cinta ini kau cerabut
Penaku takkan menangis
Jika hasratku kau hempaskan
Kertas usang di depanku takkan bersedih

Jika rinduku kau sia kan
Baris kata itu takkan bermuntahan
Sebab ia tak tertulis dalam anganku
Ia terpahat di ujung ketinggian pilar-pilar asa

Sudahlah.......
Katupkan saja kedua matamu
Agar tirtanya tak menganak sungai
Jangan tangisi sang elang yang mengabur
Sebab kodratnya terbang sendiri


Matakali, 0510142306

MANDAR

Zul Elang Biru
========

Jangan tanyakan mandar padaku
Sebab yang ku tau
Mandar itu sederhana
Mandar itu komitmen
Mandar itu kontrol diri
Mandar itu loyalitas
Mandar itu inspirasi
Mandar itu motivasi
Mandar itu mengalir dalam darah yang menjunjungnya


Tumpiling, 06102014.09.35

07/10/2014

LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKAN #2

    Melanjutkan tulisan tentang sejarah desa Lambanan, kali ini kami sajikan sekelumit cerita tentang Mesjid Lambanan yang merupakan mesjid pertama di Mandar.

      Mesjid Lambanan.

Setelah beberapa lama mengajarkan agama Islam, dan masyarakat pun semakin antusias menerima pengajaran dari To Salamaq Annangguru Malolo. Dibuatlah kemudian sebuah mesjid yang sekiranya akan dijadikan sebagai basis dakwah agama Islam. Mesjid yang dibangun oleh To Salamaq Annangguru Malolo bersama masyarakat inilah yang kemudian diyakini oleh para arkeolog sebagai mesjid pertama di tanah Mandar.

Pada masa lalu ketika masyarakat kerajaan Balanipa sudah memeluk Islam secara keseluruhan, maka dipandang perlu untuk membangun sebuah mesjid kerajaan. Dari kesepakatan dewan adat dan masyarakat Balanipa, maka dibangunlah sebuah mesjid di daerah Tangnga-tangnga yang pada waktu itu menjadi ibukota kerajaan. Untuk keperluan itu maka tiang sokoguru (posiq arriang dalam bahasa Mandar) mesjid lama dibawa ke Tangnga-tangnga. Sehingga jika ada yang merasa simpang siur dengan berita mesjid pertama di Mandar, maka jawabannya adalah mesjid pertama di Mandar adalah yang ada di Lambanan sedangkan yang ada di Tangnga-Tangnga juga adalah mesjid pertama namun sebagai mesjid pertama kerajaan Balanipa. Jadi harus dibedakan mana mesjid pertama dan mana mesjid kerajaan.

Posisi Lambanan sendiri dalam struktur kerajaan Balanipa bertindak sebagai Kadhi (penasehat/hakim agama Islam). Artinya setiap persoalan yang terjadi di dalam kerajaan Balanipa yang menyangkut ihwal agama selalu menggunakan pemimpin masyarakat Lambanan sebagai penasehat. Pemerintah dan masyarakat kerajaan Balanipa waktu itu  sangat menghormati pemimpin agama Islam bahkan hampir mensejajarkannya dengan jabatan raja sekalipun. Oleh karenanya, tidak dibenarkan jika orang Lambanan diperbudak oleh bangsawan kerajaan. Demikian pula jika diadakan pertemuan kerajaan, maka posisi pemimpin wilayah Lambanan selalu berdampingan dengan posisi Maradia (baca:raja). Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa sesungguhnya kedudukan manusia dimata tuhan adalah sama.

Keberadaan mesjid lama (baca: tua) ini masih dapat dilihat hingga sekarang, namun sudah tidak terpakai sebab telah pula dibangun mesjid yang baru. Pada awalnya masyarakat tidak lagi menggunakan mesjid lama dikarenakan kerusakan yang terjadi akibat gempa bumi sekitar tahun 60an yang membuat struktur bangunan dianggap berbahaya, apalagi mesjid ini berdiri di bantaran sungai yang selalu tergerus. Meskipun telah dilakukan renovasi pertama pada masa S. Mengga menjabat sebagai Bupati Polewali Mamasa, nama Polewali Mandar sebelum pemekaran.

Setelah pendirian mesjid baru ini, sempat terjadi kesalah fahaman di antara masyarakat Lambanan yang menyebabkan sekitar 70 kepala keluarga atau 2/3 masyarakatnya waktu itu memilih  untuk pergi dan berdomisili di wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Galung Tulu atau Kappung Tulu dan sebagian lagi berpindah ke desa Galung Lenggoq. Perseteruan ini berlanjut kemudian dengan rebutan bedug asli mesjid tua antara mereka yang masih menetap di Lambanan dan mereka yang telah pndah ke Galung Tulu. Dan lagi-lagi, apa yang dinubuatkan terjadi. Meski kedua belah fihak memanas namun tidak terjadi pertumpahan darah. Namun saat ini, perseteruan dimasa lalu itu sudah tidak terjadi lagi. Hubungan antara mereka yang menetap di Lambanan dan mereka yang menetap di Galung Tulu sudah terjalin kembali dengan harmonis.  

Menurut informasi yang kami dapatkan dari kepala desa Lambanan, bahwa saat ini sedang diusahakan untuk melakukan renovasi bangunan mesjid dengan tetap mempertahankan arsitektur lamanya.


Bersambung............

LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKAN #1

Plang lokasi Makam To Salamaq Annangguru Malolo.
(Foto: Appeq Jannangang/ARTP)

Mungkin Lambanan lah desa yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit dari sejumlah desa yang ada diwilayah kecamatan Balanipa, kabupaten Polewali Mandar. Jumlah penduduk di wilayah itu hanya sekitar kurang lebih 136 kepala keluarga dengan jumlah rumah 117 buah. Namun siapa yang menyangka bahwa ternyata Lambanan menjadi salah satu daerah yang istimewa bagi para arkeolog dan penggemar sejarah kebudayaan sebab Lambanan adalah salah satu perkampungan  tua yang ada di Mandar, dan menjadi salah satu tempat penyebaran awal agama islam di bumi Mandar. Dan ternyata pula bahwa daerah yang kehidupan sehari-hari warganya nampak bersahaja ini menyimpan berbagai tempat yang unik lengkap dengan mitosnya. Beberapa keunikannya akan saya buka dalam beberapa bagian tulisan sesuai keterangan dari bapak kepala desa Lambanan yang telah menjabat selama dua periode sebagai narasumber yang sempat kami wawancarai. Dan berikut adalah bagian pertama.

Makam To Salamaq   

Berawal dari kedatangan seorang penyebar agama islam di tanah ini pada kurun waktu 1600 masehi yang dikemudian hari digelari To Salama Annangguru Malolo yang kemudian mengajarkan agama islam kepada masyarakat setempat waktu itu yang belum bernama Lambanan. Dipercaya bahwa sebelum beliau datang ke Lambanan, beliau terlebih dahulu berada di kerajaan Gowa-Tallo. Dugaan saya, mungkin ada keterkaitan dengan Dato Ri Bandang. Pertama kali beliau mengajak kepada masyarakat dimana beliau pertama kali menginjakkan kaki di tanah Mandar, namun sayang masyarakat disana saat itu masih enggan menerima kehadiran agama Islam dan meninggalkan agama kepercayaan leluhurnya. Hingga kemudian tempat itu diberi nama Tamangalle yang berasala dari penyesuaian kata bahasa Makassar “teai ero ngalle”atau “teai ngalle” yang artinya tidak mau menerima. Suatu tempat yang kini berada dalam wilayah kecamatan Tinambung, kabupaten Polewali Mandar. 
Oleh sebab itu Tosalama Annangguru Malolo kemudian meninggalkan daerah pantai Tamangalle kearah pegunungan. Beliau sempat heran ketika pertama kali mengetahui bahwa sebagian besar kaum lelaki masyarakat Lambanan (saat itu belum bernama Lambanan) waktu itu ternyata telah melakukan sunat (khitan) yang notabene berasal dari ajaran Nabi Ibrahim AS. Sehingga disimpulkan bahwa ajaran agama tauhid telah menyentuh wilayah Mandar jauh sebelum abad ke 17, meskipun mungkin belum sesempurna sebagaimana risalah Nabi Muhammad SAW.

Kedatangan beliau disambut ramah dan banyak masyarkat yang kemudian berbondong-bondong untuk menerima ajaran beliau, dan beliau juga mendoakan kampung tersebut bahwa “tidak ada orang di daerah itu yang akan mati berdarah / berkelahi, kecuali orang dari luar yang datang dan membuat onar”. Dan do’a tersebut diijabah oleh Allah dengan tidak adanya perkelahian sesama warga, meskipun apa yang menjadi persoalan sudah betul-betul mencapai klimaks hingga kedua belah fihak sudah saling menghunuskan senjata namun selalu saja ada hal yang membuat emosi mereka menjadi reda. Pun demikian halnya ketika tanah Mandar memasuki era revolusi penjajahan atau pemberontakan-pemberontakan.

Setelah beliau wafat, beliau kemudian dimakamkan disebuah kompleks pemakaman tua. terlihat dari banyaknya makam yang masih menggunakan batu-batu sungai dan kasar yang diletakkan berdiri (mirip menhir namun dalam ukuran kecil) yang jika melihat arah makam memang diperuntukkan oleh orang Islam.


Sampai saat ini diyakini pula oleh masyarakat Lambanan bahwa kehidupan mereka saat ini juga merupakan berkah Allah dari do’a To Salamaq Annangguru Malolo. Mengingat sumber daya alam pertanian mereka sangat jauh jika dibandingkan dengan daerah lain, namun secara keseluruhan masyarakat disana tergolong cukup dalam hal sandang, pangan dan papan.

Bersambung..........
Kompleks makam di mana makam To Salamaq berada.
(Foto: Appeq Jannangang/ARTP)

Makam Tosalamaq Annangguru Malolo dan keluarganya.
(Foto: Appeq Jannangang/ARTP)


Penulis sedang memperhatikan salah satu makam
di kompleks makam To Salamaq Annangguru Malolo.
(Foto: Appeq Jannangang/ARTP)



SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...