Melanjutkan tulisan hasil perjalanan ke Lambanan, berikut kami tuliskan keunikan lain dari desa ini. untuk mengetahui keunikan yang lain, anda dapat membaca tulisan kami sebelumnya LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKAN #1 dan LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKAN #2
Artefak
dan Ritual Peninggalan Tradisi.
Sebagai salah satu kampung tua,
Lambanan mempunyai beberapa artefak bersejarah yang dimiliki oleh warga
setempat. Beberapa yang sempat kami terangkan menurut penjelasan dari kepala
desa Lambanan, diantaranya adalah kitab
tulisan tangan dari To Salamaq Annangguru Malolo. Kitab ini masih menggunakan
bahan kertas dari India dan ditulis dengan tinta India pula. Tulisan dalam
kitab ini menggunakan huruf arab serang berbahasa bugis serta aksara lontara.
Meski secara tersamar, namun dari pennjelasan tersebut dapat kami ambil
kesimpulan bahwa kitab tersebut berisi pelajaran-pelajaran tasawuf atau
tarekat. Ajaran – ajaran inilah yang diturunkan oleh To Salamaq Annangguru
Malolo kepada murid-muridnya.
Yang berikutnya adalah teks
khutbah asli yang ditulis oleh To Salamaq Annangguru Malolo. Berbeda dari kitab
yang dibahas di atas, media tulis teks khutbah ini menggunakan kertas yang
masih berbahan bambu dan berbahasa arab. Sampai saat ini, teks khutbah ini
masih sering dikeluarkan untuk dibacakan pada hari raya Iedul Adha termasuk
hari raya tahun ini 1435 H. atau 2014 M.
Ada mitos yang lahir dari kitab
ini yaitu siapa saja mengambil serpihan kertas dan menelannya maka dipercaya
bahwa orang tersebut akan memperoleh kekebalan atau kulitnya tidak akan mempan
terhadap senjata tajam. Karena mitos
yang diyakini sebagian masyarakat inilah sehingga perangkat mesjid begitu
waspada dan berhati-hati saat mngeluarkan teks khutbah ini untuk dibacakan.
Di Lambanan terdapat pula
peninggalan dari Pappuangang Luyo yaitu sebilah keris berluk 7 dan luk 13 yang
disimpan oleh salah satu warga. Sayang karena keterbatasan waktu, artefak yang
kami sebut di atas tidak dapat kami lihat secara langsung saat kunjungan
tersebut.
Selain peninggalan berupa artefak
sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, di Lambanan juga masih terdapat
tradisi ritual agama yang unik dan tidak terdapat di daerah lain. Salah satunya
adalah ritual baca do’a Neneta Adam yang dilaksanakan setiap malam 10 Muharram.
Tidak dijelaskan oleh narasumber sejak kapan ritual ini mulai diadakan, namun
beliau menjelaskan bahwa prosesi ini menyimpan suasana mistis hingga pernah
mengejutkan istri salah satu mantan bupati Polman yang menyempatkan untuk menyaksikan
prosesi ritual baca do’a Nene ta Adam ini.
Ritual ini dijalankan oleh tujuh
orang pemuka agama Lambanan sebagai pemeran kunci acara, menggunakan tujuh
macam kue tradisional yang dialasi dengan daun pisang pilihan. Daun pisang yang
terpilih haruslah merupakan daun pisang yang pelepahnya terpanjang di Lambanan
dan utuh alias tidak boleh cacat atau sobek. Ada berbagai makna penyimbolan
dari segala property yang digunakan. Mulai dari penggunaan jumlah tujuh yang
dimaknai sebagai lingkup ruang kosmos, yang terdiri dari tujuh lapis langit dan
tujuh lapis tanah, pada saat melaksanakan thawaf di Ka'bah sebanyak tujuh
putaran, bagain tubuh yang menandai sujud sebanyak tujuh serta banyak lagi yang
tidak dapat kami sebutkan. Pemilihan waktu malam tanggal 10 Muharram pun
dipilih karena diyakini bahwa pada tanggal 10 Muharram terjadi banyak
peristiwa-peristiwa luar biasa yang dikenal oleh ummat Islam.
Ritual baca do'a "Nene ta Adam".
(Foto: disbudparpolman.weebly.com)
(Foto: disbudparpolman.weebly.com)
Ritual yang kedua adalah
sambayang annang (shalat enam). Ritual ini biasanya dilakukan pada malam hari
setelah lebaran dan menggunakan enam orang sebagai pemeran kunci yang jika
tidak hadir salah satunya maka acara tidak dapat dilaksanakan. Sebagaimana ritual
baca do’a nene ta Adam, sambayang annang pun memiliki kandungan makna
penyimbolan yang amat dalam. Namun karena ini berkaitan dengan keyakinan dan
kebatinan, maka kami tidak dapat menyebutkannya di sini.
Lalu mengapa menggunakan nama baca do'a “Nene ta Adam” yang jika diterjemahkan kebahasa Indonesia berarti Nenek kita Adam, sementara dalam bahasa Mandar sendiri, nenek disebut dengan kanneq?. Saya hanya bisa menarik menyimpulkan, bahwa dari sekian ikon simbolik yang digunakan oleh masyarakat Selebes (Sulawesi) baik yang sempat kami sebutkan di sini atau tidak. Terdapat benang merah bahwa sesungguhnya masyarakat Selebes berasal dari satu rumpun yang satu dan kemudian terpecah menjadi suku-suku seperti yang kita temui sekarang.
Bahwa Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja sesungguhnya adalah berasal dari kesatuan “bambu” yang pecah.
Bersambung............