30/09/2014

ANAK-ANAK HARAM SANG ZAMAN


Lahir dari rahim seorang ibu yang bernama pertiwi
Dibesarkan oleh ayah yang bernama sejarah
Disusui oleh kebudayaan
Berpencaran engkau bagai mencit yang mencericit

Berbulan tahun engkau nikmati saripati tradisi
Hingga kokoh kuat tubuhmu
Kini engkau gagah dalam balutan busana necis
Goyangkan kaki di balik meja
Angkuh kau kalungkan di lehermu
Sombong kau sematkan di dadamu

Kau perkosa ibu pertiwimu hingga melarat
Engkau sodomi ayah sejarahmu hingga sekarat
Kau bantai tradisi yang mulia sarat ajaran
Jadilah dirimu kanibal atas nama uang

Dan kami hanya merintih melihat tingkahmu
Berharap kebenaran segera tiba


Matakali, 220814

MASJID LAPEO NASIBMU KINI

Sebuah kebanggaan ketika memiliki sebuah ikon religi di kampung kita, sebab tidak semua daerah memiliki ikon seperti ini. Apalagi jika ikon tersebut adalah sebuah mesjid peninggalan salah seorang penganjur agama Islam sehingga bernilai sejarah. Hingga peziarah yang datang untuk menyaksikan mesjid tersebutpun datang dari segala penjuru negeri. Tentu ini adalah sebuah keuntungan dari pihak pengelola mesjid yang tidak perlu lagi serabutan untuk mencari dana sekedar renofasi kecil misalnya, bahkan renovasi totalpun mungkin tidak menjadi masalah dari sisi pendanaan.

Demikianlah kondisi mesjid Imam Lapeo yang berada di Lapeo, kecamatan Campalagian, kabupaten Polewali Mandar. Al kisah mesjid ini didirikan oleh K.H. Muhammad Tahir yang dikemudian hari digelari sebagai Imam Lapeo sebagai tempat untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Lapeo. Seiring berjalannya waktu, maka berkat jasa beliau semakin berkembanglah agama Islam di daerah itu dan semakin banyaklah murid beliau. Bahkan murid beliau ada yang datang dari pulau-pulau lain di Nusantara. Dengan demikian sampai hari ini kita akan menyaksikan banyak peziarah dari segala penjuru yang datang ke mesjid Lapeo, khususnya pada momen-momen tertentu.

Kondisi ini membuat keuangan mesjid Lapeo menjadi makmur, ini dapat dilihat dari bangunan mesjid yang begitu mewah, setidaknya untuk ukuran kota kecamatan Campalagian. Tidak ada yang salah sebenarnya dengan mesjid yang mewah, namun setidaknya perlu dipikirkan adanya perimbangan kondisi kedaerahan. Apalagi ketika mengunjungi mesjid tersebut nampak adanya eskalator dari lantai satu ke lantai dua serta dari lantai dua ke lantai tiga, menurut saya adalah sesuatu yang mubazir. Bukankah mesjid ini hanya “penuh” pada saat tertentu saja, sementara pada hari lain seperti pelaksanaan shalat Jumat misalnya, lantai dua nyaris tidak dipergunakan sebab daerah ini tidak memiliki hanya satu mesjid saja.

Demikian juga dengan interior mesjid. Entah apa yang ada didalam fikiran orang yang menangani interior mesjid sehingga memberi cat warna keemasan dan merah maron sehingga suasana terasa saat pandangan terpaku pada dinding mesjid. Demikian pula dengan pengadaan beberapa monitor TV di dalam mesjid, entah tontonan apa yang ingin disuguhkan pengelola pada jamaah, semoga saja bukan sinetron Gajah Mada atau Mahabarata yang saat ini sedang top.

Sungguh berbeda dengan mesjid Merdeka di kecamatan Wonomulyo yang berdiri pada tahun 1930an. Meskipun berdiri di pusat sentra ekonomi kabupaten Polewali Mandar, namun tidak memiliki desain interior yang “neko neko”. Penampilannya sebagai mana layaknya mesjid pada umumnya, hanya ukuran  bangunan yang cukup besar dan artistik saja yang melambangkannya sebagai mesjid kebanggaan masyarakat Wonomulyo. Pun demikian dengan mesjid Darussalam di Kecamatan Belawa, kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan yang juga menjadi ikon religi dengan peziarah yang juga datang dari daerah lain seperti halnya mesjid Lapeo. Tidak memiliki interior seperti halnya mesjid 
Lapeo yang menurut saya justru kelihatan norak.

Satu hal lagi yang tidak masuk diakal saya ketika di sudut tiang bagian atas mesjid tertulis nama-nama orang yang awalnya saya fikir adalah murid-murid Imam Lapeo angkatan pertama yang sangat berjasa dalam pengembanga agama islam di daerah ini. Namun kemudian saya mendapat beberapa nama baru, hingga saya mencapai sebuah kesimpulan bahwa nama-nama itu adalah nama para donatur yang telah berjasa dalam pembangunan mesjid. Salah seorang teman sempat mengomentari keberadaan tulisan nama-nama tersebut mengatakan jika “mesjid Lapeo sepertinya bukan mesjid umum, tapi lebih kepada mesjid keluarga”. Dan dari sekian apa yang saya lihat, mungkin tidak salah jika saya mengatakannya sebagai Mesjid Norak Lapeo.....!.

AYO KE MAMPIE....!!

Mampie sesungguhnya adalah satu daerah pedusunan yang dihuni oleh kurang lebih 250 kepala keluarga dengan masyarakat yang sehari-harinya bermata pencaharian sebagai nelayan atau petambak. Namun kita tidak akan membahas secara mendalam tentang kehidupan masyarakatnya, tetapi kita akan mengupas pantainya yang hingga hari ini mampu menyedot perhatian begitu banyak pengunjung.

Apa pasal?.
Berawal dari kekhawatiran beberapa pemuda setempat yang resah dengan adanya beberapa pemuda dari wilayah lain yang datang dan menjadikan kawasan pantai sebagai arena balap liar (baca: grass track liar). Akhirnya sekitar tahun 2006 muncul sebuah ide untuk menjadikannya sebagai tempat wisata. Dan mulailah pantai Mampie mendapat kunjungan wisatawan lokal yang datang dari berbagai wilayah terdekat seperti desa Tumpiling atau Wonomulyo. Seiring waktu, akhirnya sejak tahun 2010, kawasan pantai Mampie resmi berganti wajah dari pantai yang hanya menjadi kawasan pengembangan rumput laut menjadi kawasan wisata pantai dengan berbagai fasilitas turut ditambahkan untuk memanjakan pengunjung.Belakangan ini, pantai sejuta pesona ini selalu ramai terutama pada hari-hari libur nasional atau pada akhir pekan. Selain pengunjung yang datang secara perorangan maupun pengunjung yang datang secara berkelompok atau keluarga. Pengunjung pun tidak hanya berasal dari lokal Polewali Mandar namun adapula pengunjung yang datang jauh-jauh dari Barru, Pare-pare, Mamuju bahkan Pasang Kayu.

Sedikit gambaran arah menuju ke sana untuk anda yang belum pernah ke Mampie namun berminat untuk merasakan kenyamanan berwisata di sana. Lokasi wisata Mampie berjarak kurang lebih 6-7 km arah tenggara kota kecamatan Wonomulyo. Ada dua alternatif jalan yang bisa anda tempuh, yaitu dari arah WTC (Wonomulyo Trade Center/Pasar sentral Wonomulyo) anda mengambil arah selatan ke jalan poros Kediri desa Sidorejo, tiba dipersimpangan jalan Kediri – Bumi Ayu – Kebun Dalam, ambillah arah kiri memasuki dusun Kebun Dalam. Anda tinggal mengikuti jalan desa hingga ke desa Galeso dan anda akan menemui pertigaan di depan SDN 012, anda tempuhlah jalan lurus dan jangan ambil belokan kanan atau anda akan kembali ke desa Tumpiling. Jalan besar yang berada di samping SDN 012 itulah yang akan membawa anda  menuju ke pantai Mampie.

Alternatif kedua adalah dari arah kota kecamatan Wonomulyo, anda dapat menuju ke timur mengikuti jalan poros arah kota Polewali. Tiba di desa Tumpiling, cari dan ikutilah jalan aspal yang akan membawa anda tiba di desa Galeso hingga di pertigaan SDN 012, dari sana anda harus belok kiri dimana jalan inilah yang selanjutnya jika anda ikuti akan membawa anda ke pantai Mampie. Dari kedua alternatif jalan yang ditawarkan, kebanyakan pengunjung lebih memilih alternatif kedua. Selain karena tidak terlalu banyak persimpangan yang membingungkan, kondisi jalan juga relatif lebih baik meskipun kedua alternatif jalan tersebut  dapat dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat.

Untuk masuk di kawasan wisata, anda harus membayar tiket masuk sebesar Rp.3000,-/kepala kepada penjaga gerbang dan andapun bisa menikmati suasana pantai yang bersih.Dimana retribusi masuk ini memang dipergunakan sebagai pemberian upah kepada orang yang bertugas membersihkan pantai ini setiap harinya serta pemeliharaan fasilitas yang sudah ada. Beberapa fasilitas di dalam area wisata yang bisa dinikmati oleh pengunjung diantaranya adalah gazebo yang dapat anda gunakan untuk sekedar istirahat. Dan jika lapar mendera, anda bisa menemukan warung-warung kecil yang menyediakan cemilan, minuman atau mi instan. Atau jika anda beruntung, anda bisa menemukan penjaja ikan segar yang bisa anda beli dan bakar. Biasanya penjual ikan segar dapat ditemui saat hari Minggu atau hari libur nasional disaat pengunjung membludak. Untuk membakarnya, anda bisa mendapatkan sabut kelapa dan alat pembakaran ikan yang dijual atau disewakan.

Atau jika anda ingin merasakan sensasi banana boat, andapun bisa merasakannya selain tentu saja menikmati kegiatan berenang di pantai. Untuk anak-anak yang ingin berenang, ada pula tempat penyewaan pelampung dari ban bekas.
Pun jika memang ada waktu untuk menunggu dan anda adalah penikmat sunset, saya sarankan agar anda menyaksikan pemandangan matahari terbenam atau sunset. Sungguh alam akan menyajikan untuk anda sebuah pemandangan indah menakjubkan saat sang surya diselimuti oleh cahaya oranye atau kemerahan.

Dari rentetan keindahan dan sensasi alam pantai yang bisa anda dapatkan di pantai Mampie, sayangnya masih ada sebuah fasilitas vital yang terlupakan oleh pengurus objek wisata ini yaitu tidak adanya fasilitas air bersih yang bisa digunakan untuk mandi air tawar setelah berenang di air laut. Fasilitas MCK umum yang tersedia pun terlantar dan tidak bisa digunakan. Sehingga untuk mandi air tawar, pengunjung terpaksa harus mandi di sumur yang diberi dinding seadanya atau malah tidak berdinding sama sekali.

Melalui tulisan ini sebagai bahan pertimbangan dan persiapan bagi anda yang akan berwisata ke pantai Mampie, saya akan memberikan gambaran tentang beberapa fasilitas dan harga yang harus anda keluarkan untuk bisa meggunakannya antara lain:

1. Karcis masuk = Rp. 3.000,-/orang.

2. Gazebo = Rp. 15.000,-/satu kali pakai.
3. Banana boat = Rp. 25.000,-/orang/satu kali jalan.
4.  Penyewaan alat pembakaran ikan = Rp. 5.000,- s/d Rp. 10.000,-
5. Sabut kelapa = Rp. 3.000,- s/d Rp. 5.000,- / ikat
6. Pelampung ban bekas = Rp. 5.000/buah untuk yang kecil, Rp. 10.000,-/buah untuk yang besar.


Dan sebagai akhir dari tulisan ini, saya ingin mengajak anda untuk beramai-ramai mengunjungi pantai Mampie untuk melihat secara langsung keunikan dan pesona Mampie. Selamat berkunjung dan sampai jumpa di Pantai Mampie......

MENGENAL MANDAR DALAM NADA

Berawal dari keinginan untuk ikut melestarikan budaya mandar dalam hal ini seni musik, kami mencoba untuk mengenalkannya pada remaja tingkat SMA/SMK. Sehingga terwujudlah sebuah kegiatan berupa kunjungan ke Uwake Cultural Foundation, pada hari Minggu, 28 September 2014.
Matahari belum terlalu jauh meninggalkan titik kulminasinya ketika roda mobil angkot (angkutan kota) carteran berputar dan membawa siswa-siswi yang tergabung dalam Sanggar teater Tattanga meninggalkan pekarangan SMK Soeparman Wonomulyo atau yang dahulu lebih dikenal dengan nama STM. Selama kurang lebih 45 menit ami hanya bisa membiarkan tubuh kami terbawa oleh mobil angkot berwarna biru itu menuju ke arah barat kota Wonomulyo. Setelah  melewati perkampungan padat penduduk, hamparan sawah dan tepian pantai pasir putih Palippis kami pun tiba di daerah yang akrab dengan seni dan budaya Mandar. Yah, Tinambung. Daerah yang banyak memiliki sanggar seni tradisional Mandar dan mungkin sebentar lagi akan berpisah dengan kabupaten Polman untuk kemudian berdiri sendiri menjadi kabupaten Balanipa.  Kami sengaja datang ke daerah ini untuk mengenal alat musik tradisional Mandar seperti yang disebut di awal. Dan di sekret Uwake inilah kami disambut ramah oleh Muhammad Rahmat Muchtar sang punggawa Uwake Cultural Foundation.
Di lantai atas dari sekertariat Uwake Cultural Foundation, Muhammad Rahmat Muchtar atau yang dikalangan seniman atau budayawan Mandar dikenal dengan nama Rahmat Panggung memberikan penjelasan tentang beberapa alat musik tradisional Mandar yang sudah berhasil teridentifikasi. Menurutnya selain alat musik yang ada di sekertariat Uwake sekarang, masih ada beberapa alat musik tradisional Mandar yang sudah punah karena tidak ada lagi yang bisa memainkan, salah satunya adalah gesoq. Pada kesempatan tersebut, beliau menjelaskan delapan alat musik tradisional yang masih eksis di kalangan masyarakat Mandar saat ini yaitu rebana atau rawana, calong, sattung, keke, gonggaq lawe, gonggaq lima, kecapi atau kacaping, serta gendang. Dan berikut kita kupas satu persatu seperti apa penjelasan beliau.

RAWANA/REBANA
Rawana adalah alat musik tabuh yang terdiri dari kayu yang dibuat berbentuk lingkaran dan berongga yang kemudian disalah satu sisinya ditutup dengan sehelai kulit kambing. Para pembuat rawana biasanya memilih kayu pohon nangka dengan alasan lebih mudah dibentuk (mungkin karena memiliki serat yang searah), sedangkan untuk membrannya digunakan kulit kambing betina dengan alasan kulit kambing betina lebih lentur daripada kulit kambing jantan sehingga bisa menghasilkan suara yang lebih bagus. Rawana biasanya dipentaskan secara berkelompok pada ritual pappatammaq (khataman) yang dirangkaikan dengan messawe sayyang pattuqduq (menunggang kuda penari) atau pesta perkawinan.

Salah seorang peserta menabuh rawana. 


GENDANG/GANRANG
Ganrang Mandar hampir mirip dengan gendang dari etnis Bugis atau makassar, yang membedakan adalah bentuk bodinya yang lebih ramping hingga jika nampak sekilas antara ujung yang satu dengan ujung yang lain sama besarnya. Ganrang dibuat dari sepotong batang kayu yang lingkarannya utuh kemudian dibagian tengahnya diberi rongga. Pada kedua ujungnya kemudian ditutup dengan sehelai membran dari kulit kambing betina dan disatukan menggunakan tali rotan yang sekaligus sebagai setelan. Fungsi ganrang biasa digunakan saat pementasan tarian ataupun pagelaran silat tradisional mandar.
Muhammad Rahmat Muchtar mengajarkan 
cara menabuh gendang.


CALONG
Calong adalah alat musik pukul yang khas dan sangat sederhana. Terbuat dari buah kelapa kering lalu dipotong dan isinya dikeruk untuk membuat ruang resonansi. Lalu empat buah bilah bambu kemudian diletakkan dibagian atas buah kelapa, dan untuk mendapat getaran yang menghasilkan nada, maka bilah bambu tadi dipukul dengan 2 kayu kecil. Pada awalnya, calong dimainkan hanya sekedar untuk mengisi waktu kosong para petani yang sedang menunggui kebunnya. Calong menghasilkan nada sesuai dengan tebal tipisnya bilah bambu yang terpasang, semakin tipis bilah bambunya maka semakin nyaring bunyinya demikian pula sebaliknya semakin tebal bilah bambunya maka semakin rendah nada yang dihasilkan. Sebelum menggunakan buah kelapa sebagai ruang resonansi, mulanya bilah bambu hanya diletakkan pada paha si pemain. Namun kemudian terus berkembang hingga menemui modelnya yang sekarang. Beberapa waktu sebelumnya, saya mendapat keterangan dari Papa Isa’ salah seorang penggiat seni dari Sanggar Sossorang, Tinambung bahwa idealnya bilah bambu yang digunakan adalah berasal dari jenis bambu betung atau pattung dalam bahasa mandar.
Perkembangan terakhir bahwa sekarang para seniman telah membuat calong yang sesuai dengan urutan solmisasi moderen dengan menggunakan dua buah kelapa yang direkatkan untuk mendapat ruang yang cukup untuk meletakkan delapan bilah bambu.
Peserta sedang memainkan calong.


SATTUNG
Sattung adalah alat musik berdawai seperti halnya kecapi, namun sattung terbuat dari bambu seutuhnya. Dan yang unik sebab sattung mempunyai empat dawai yang dibuat dari sembilu (kulit bambu)nya sendiri yang dicungkil dan dipisahkan dari daging bambunya, namun harus hati-hati dalam melakukannya sebab jangan sampai sembilu tersebut putus dan tidak bisa terpakai lagi. Sattung menggunakan rongga didalam ruas bambu sebagai ruang resonansi untuk menampung nada dari getaran dawainya. Lalu untuk mengatur nada yang keluar maka salah satu tangan pemain akan menutup dan membuka ujung lain bambu yang dibolongi.
Muhammad Rahmat Muchtar memperagakan 
cara memainkan sattung.


KEKE
Keke adalah sejenis alat musik tiup yang hampir mirip suara maupun bentuknya dengan pui-pui yang berasal dari etnis makassar, dan cara membunyikannya pun sama yaitu dengan cara ditiup. Keke dibuat dari bahan bambu dari varietas “taroqda” kecil yang kemudian di beri empat buah lubang mirip dengan seruling. Kemudian pada bagian ujung yang akan ditiup diberi semacam “lidah” yang akan menghasilkan getaran suara. Sementara pada ujung depannya diberi lilitan daun kelapa yang berfungsi untuk menambah besarnya suara yang dihasilkan. Bagian yang paling rentan mengalami kerusakan pada keke adalah bagian”lidah”nya, dan sempat Rahmat memberi tips cara merawat keke. Menurutnya, “lidah” keke jangan sampai terkena ludah yang akan membuatnya basah pada saat ditiup. Jika akan dipakai, dan “lidah” tersebut melengket hingga sulit untuk bunyi maka jangan diangkat dengan kuku tapi menggunakan seutas rambut dan harus dilakukan dengan hati-hati.

KECAPI/KACAPING.
Pada dasarnya banyak etnis yang mengenal alat musik kecapi ini seperti misalnya Bugis, Makassar, Sunda, Dayak maupun masyarakat Tionghoa. Namun kecapi mandar punya kekhasan tersendiri melalui bentuknya. Sebagai perbandingan, kecapi Bugis berukuran agak kecil sementara kecapi mandar lebih besar dan pada bagian ujungnya lebih lebar yang mana biasanya diberi hiasan berupa ukiran kembang melati atau beruq-beruq. Perbedaan selanjutnya juga terletak pada bagian pembentuk nada yang ditekan dengan ujung jari. Jika pada kecapi Bugis biasanya mempunyai enam tempat tindisan maka pada kecapi Mandar hanya punya empat tindisan.
Salah seorang peserta (lk) memegang kecapi.


GONGGAQ LIMA
Gonggaq lima juga terbuat dari bambu bulat yang kemudian dihilangkan sedikit bagian sisinya sehingga berbentuk mirip penjepit atau sipiq dalam bahasa Mandar atau mirip garpu tala yang berlengan dua. Untuk mengatur nada yang dihasilkan maka dibuatlah lubang dibagian bawah dimana terletak tangan dari orang yang memainkannya. Sehingga memudahkan pemain mengatur irama dengan cara menutup lubang kecil tadi dengan jempol dan telunjuk. Selain itu terdapat pula irisan yang menghubungkan antara bagian “lengan” gonggaq lima dengan lubang tadi. Dan untuk membunyikannya sangat mudah, cukup diadu dengan tangan yang satu sementara tangan yang lain memegang gonggaq lima.
Muhammad Rahmat Muchtar menunjukkan cara 
memainkan gonggaq lima


GONGGAQ LAWE
Alat musik ini terbuat dari pelepah pohon enau dan memiliki bentuk yang tipis dan sangat unik. Sesuai dengan namanya, untuk membunyikan alat musik ini kita harus menyentak-nyentakkan tali yang sengaja diikatkan di ujungnya dan menggunakan rongga mulut sebagai ruang resonansi sehingga saat dimainkan maka harus ditempelkan diantara kedua bibir. Sumpah, untuk sekedar membunyikan beberapa alat musik tadi, gonggaq lawe yang memiliki tingkat kesulitan tertinggi disusul dengan keke. Ada hal yang menarik dari gonggaq lawe yang sempat disampaikan oleh beliau bahwa dulunya gonggaq lawe juga biasa digunakan sebagai alat komunikasi antara seorang gadis dan seorang bujang yang dilanda asmara.


Beginilah cara memainkan gonggaq lawe.

Demikianlah sedikit bahasan tentang alat musik tradisional yang sempat diperkenalkan pada peserta kegiatan kunjungan yang bertajuk”MENGENAL MANDAR DALAM NADA”. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Muhammad Rahmat Muchtar yang telah bersedia menerima, menjelaskan dan memberikan kesempatan kepada peserta untuk sedikit mengekplorasi alat-alat musik tersebut. Semoga dari kegiatan kemarin serta tulisan ini, bisa menjadi pecut yang memacu para remaja untuk lebih mengenal alat musik tradisional Mandar serta menggali kearifan lokal yang penuh dengan ajaran-ajaran moral yang agung.

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...