Berawal dari keinginan untuk ikut melestarikan budaya mandar
dalam hal ini seni musik, kami mencoba untuk mengenalkannya pada remaja tingkat
SMA/SMK. Sehingga terwujudlah sebuah kegiatan berupa kunjungan ke Uwake
Cultural Foundation, pada hari Minggu, 28 September 2014.
Matahari belum terlalu jauh meninggalkan titik kulminasinya
ketika roda mobil angkot (angkutan kota) carteran berputar dan membawa
siswa-siswi yang tergabung dalam Sanggar teater Tattanga meninggalkan
pekarangan SMK Soeparman Wonomulyo atau yang dahulu lebih dikenal dengan nama
STM. Selama kurang lebih 45 menit ami hanya bisa membiarkan tubuh kami terbawa
oleh mobil angkot berwarna biru itu menuju ke arah barat kota Wonomulyo. Setelah melewati perkampungan padat penduduk,
hamparan sawah dan tepian pantai pasir putih Palippis kami pun tiba di daerah
yang akrab dengan seni dan budaya Mandar. Yah, Tinambung. Daerah yang banyak
memiliki sanggar seni tradisional Mandar dan mungkin sebentar lagi akan
berpisah dengan kabupaten Polman untuk kemudian berdiri sendiri menjadi kabupaten
Balanipa. Kami sengaja datang ke daerah
ini untuk mengenal alat musik tradisional Mandar seperti yang disebut di awal.
Dan di sekret Uwake inilah kami disambut ramah oleh Muhammad Rahmat Muchtar
sang punggawa Uwake Cultural Foundation.
Di lantai atas dari sekertariat Uwake Cultural Foundation,
Muhammad Rahmat Muchtar atau yang dikalangan seniman atau budayawan Mandar
dikenal dengan nama Rahmat Panggung memberikan penjelasan tentang beberapa alat
musik tradisional Mandar yang sudah berhasil teridentifikasi. Menurutnya selain
alat musik yang ada di sekertariat Uwake sekarang, masih ada beberapa alat
musik tradisional Mandar yang sudah punah karena tidak ada lagi yang bisa
memainkan, salah satunya adalah gesoq. Pada kesempatan tersebut, beliau
menjelaskan delapan alat musik tradisional yang masih eksis di kalangan
masyarakat Mandar saat ini yaitu rebana atau rawana, calong, sattung, keke,
gonggaq lawe, gonggaq lima, kecapi atau kacaping, serta gendang. Dan berikut
kita kupas satu persatu seperti apa penjelasan beliau.
RAWANA/REBANA
Rawana adalah alat musik tabuh yang terdiri dari kayu yang
dibuat berbentuk lingkaran dan berongga yang kemudian disalah satu sisinya
ditutup dengan sehelai kulit kambing. Para pembuat rawana biasanya memilih kayu
pohon nangka dengan alasan lebih mudah dibentuk (mungkin karena memiliki serat
yang searah), sedangkan untuk membrannya digunakan kulit kambing betina dengan
alasan kulit kambing betina lebih lentur daripada kulit kambing jantan sehingga
bisa menghasilkan suara yang lebih bagus. Rawana biasanya dipentaskan secara
berkelompok pada ritual pappatammaq (khataman) yang dirangkaikan dengan messawe
sayyang pattuqduq (menunggang kuda penari) atau pesta perkawinan.
Salah seorang peserta menabuh rawana.
GENDANG/GANRANG
Ganrang Mandar hampir mirip dengan gendang dari etnis Bugis
atau makassar, yang membedakan adalah bentuk bodinya yang lebih ramping hingga
jika nampak sekilas antara ujung yang satu dengan ujung yang lain sama
besarnya. Ganrang dibuat dari sepotong batang kayu yang lingkarannya utuh
kemudian dibagian tengahnya diberi rongga. Pada kedua ujungnya kemudian ditutup
dengan sehelai membran dari kulit kambing betina dan disatukan menggunakan tali
rotan yang sekaligus sebagai setelan. Fungsi ganrang biasa digunakan saat
pementasan tarian ataupun pagelaran silat tradisional mandar.
Muhammad Rahmat Muchtar mengajarkan
cara menabuh gendang.
CALONG
Calong adalah alat musik pukul yang khas dan sangat
sederhana. Terbuat dari buah kelapa kering lalu dipotong dan isinya dikeruk
untuk membuat ruang resonansi. Lalu empat buah bilah bambu kemudian diletakkan
dibagian atas buah kelapa, dan untuk mendapat getaran yang menghasilkan nada, maka
bilah bambu tadi dipukul dengan 2 kayu kecil. Pada awalnya, calong dimainkan
hanya sekedar untuk mengisi waktu kosong para petani yang sedang menunggui
kebunnya. Calong menghasilkan nada sesuai dengan tebal tipisnya bilah bambu
yang terpasang, semakin tipis bilah bambunya maka semakin nyaring bunyinya
demikian pula sebaliknya semakin tebal bilah bambunya maka semakin rendah nada
yang dihasilkan. Sebelum menggunakan buah kelapa sebagai ruang resonansi,
mulanya bilah bambu hanya diletakkan pada paha si pemain. Namun kemudian terus
berkembang hingga menemui modelnya yang sekarang. Beberapa waktu sebelumnya,
saya mendapat keterangan dari Papa Isa’ salah seorang penggiat seni dari
Sanggar Sossorang, Tinambung bahwa idealnya bilah bambu yang digunakan adalah berasal
dari jenis bambu betung atau pattung dalam bahasa mandar.
Perkembangan terakhir bahwa sekarang para seniman telah
membuat calong yang sesuai dengan urutan solmisasi moderen dengan menggunakan
dua buah kelapa yang direkatkan untuk mendapat ruang yang cukup untuk
meletakkan delapan bilah bambu.
Peserta sedang memainkan calong.
SATTUNG
Sattung adalah alat musik berdawai seperti halnya kecapi,
namun sattung terbuat dari bambu seutuhnya. Dan yang unik sebab sattung
mempunyai empat dawai yang dibuat dari sembilu (kulit bambu)nya sendiri yang
dicungkil dan dipisahkan dari daging bambunya, namun harus hati-hati dalam
melakukannya sebab jangan sampai sembilu tersebut putus dan tidak bisa terpakai
lagi. Sattung menggunakan rongga didalam ruas bambu sebagai ruang resonansi
untuk menampung nada dari getaran dawainya. Lalu untuk mengatur nada yang
keluar maka salah satu tangan pemain akan menutup dan membuka ujung lain bambu
yang dibolongi.
Muhammad Rahmat Muchtar memperagakan
cara memainkan sattung.
KEKE
Keke adalah sejenis alat musik tiup yang hampir mirip suara
maupun bentuknya dengan pui-pui yang berasal dari etnis makassar, dan cara
membunyikannya pun sama yaitu dengan cara ditiup. Keke dibuat dari bahan bambu
dari varietas “taroqda” kecil yang kemudian di beri empat buah lubang mirip
dengan seruling. Kemudian pada bagian ujung yang akan ditiup diberi semacam
“lidah” yang akan menghasilkan getaran suara. Sementara pada ujung depannya
diberi lilitan daun kelapa yang berfungsi untuk menambah besarnya suara yang
dihasilkan. Bagian yang paling rentan mengalami kerusakan pada keke adalah
bagian”lidah”nya, dan sempat Rahmat memberi tips cara merawat keke. Menurutnya,
“lidah” keke jangan sampai terkena ludah yang akan membuatnya basah pada saat
ditiup. Jika akan dipakai, dan “lidah” tersebut melengket hingga sulit untuk
bunyi maka jangan diangkat dengan kuku tapi menggunakan seutas rambut dan harus
dilakukan dengan hati-hati.
KECAPI/KACAPING.
Pada dasarnya banyak etnis yang mengenal alat musik kecapi
ini seperti misalnya Bugis, Makassar, Sunda, Dayak maupun masyarakat Tionghoa.
Namun kecapi mandar punya kekhasan tersendiri melalui bentuknya. Sebagai
perbandingan, kecapi Bugis berukuran agak kecil sementara kecapi mandar lebih
besar dan pada bagian ujungnya lebih lebar yang mana biasanya diberi hiasan
berupa ukiran kembang melati atau beruq-beruq. Perbedaan selanjutnya juga
terletak pada bagian pembentuk nada yang ditekan dengan ujung jari. Jika pada
kecapi Bugis biasanya mempunyai enam tempat tindisan maka pada kecapi Mandar
hanya punya empat tindisan.
Salah seorang peserta (lk) memegang kecapi.
GONGGAQ LIMA
Gonggaq lima juga terbuat dari bambu bulat yang kemudian
dihilangkan sedikit bagian sisinya sehingga berbentuk mirip penjepit atau sipiq
dalam bahasa Mandar atau mirip garpu tala yang berlengan dua. Untuk mengatur
nada yang dihasilkan maka dibuatlah lubang dibagian bawah dimana terletak
tangan dari orang yang memainkannya. Sehingga memudahkan pemain mengatur irama
dengan cara menutup lubang kecil tadi dengan jempol dan telunjuk. Selain itu
terdapat pula irisan yang menghubungkan antara bagian “lengan” gonggaq lima
dengan lubang tadi. Dan untuk membunyikannya sangat mudah, cukup diadu dengan
tangan yang satu sementara tangan yang lain memegang gonggaq lima.
Muhammad Rahmat Muchtar menunjukkan cara
memainkan gonggaq lima
GONGGAQ LAWE
Alat musik ini terbuat dari pelepah pohon enau dan memiliki
bentuk yang tipis dan sangat unik. Sesuai dengan namanya, untuk membunyikan
alat musik ini kita harus menyentak-nyentakkan tali yang sengaja diikatkan di
ujungnya dan menggunakan rongga mulut sebagai ruang resonansi sehingga saat
dimainkan maka harus ditempelkan diantara kedua bibir. Sumpah, untuk sekedar
membunyikan beberapa alat musik tadi, gonggaq lawe yang memiliki tingkat
kesulitan tertinggi disusul dengan keke. Ada hal yang menarik dari gonggaq lawe
yang sempat disampaikan oleh beliau bahwa dulunya gonggaq lawe juga biasa
digunakan sebagai alat komunikasi antara seorang gadis dan seorang bujang yang
dilanda asmara.
Beginilah cara memainkan gonggaq lawe.
Demikianlah sedikit bahasan tentang alat musik tradisional
yang sempat diperkenalkan pada peserta kegiatan kunjungan yang
bertajuk”MENGENAL MANDAR DALAM NADA”. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
Muhammad Rahmat Muchtar yang telah bersedia menerima, menjelaskan dan
memberikan kesempatan kepada peserta untuk sedikit mengekplorasi alat-alat
musik tersebut. Semoga dari kegiatan kemarin serta tulisan ini, bisa menjadi
pecut yang memacu para remaja untuk lebih mengenal alat musik tradisional
Mandar serta menggali kearifan lokal yang penuh dengan ajaran-ajaran moral yang
agung.