15/05/2014

BOKAQ DI MANDAR

Tulisan ini terinspirasi dari postingan poto seorang teman di sosial media facebook yang menampilkan onggokan butiran kelapa biji yang sabutnya telah dikupas. Sulawesi Barat memang salah satu provinsi yang masuk dalam jajaran teratas penghasil kopra dan terkenal sejak jaman Belanda, memiliki jumlah pohon kelapa yang melimpah dan bisa didapati mulai dari daerah pegunungan hingga ke daerah pesisir. 
Waktu panen buah kelapa menggunakan sistem catur wulan, artinya buah kelapa dapat dipanen setiap 4 bulan sekali sepanjang tahun.

Dari gunung hingga pantai selalu ada pohon kelapa sejauh mata memandang.
(dok. kpbwm)


Penulis dan teman-teman dari KPBWM sedang menikmati segarnya kelapa muda.
(dok. kpbwm)


Jangan bingung jika mendengar kata bokaq di Mandar tidak sama dengan pengertian bokaq pada suku Bugis khususnya Bugis Wajo untuk menyebut minyak kelapa. Di  Mandar, bokaq dipakai untuk menyebut kopra. Kopra adalah hasil perkebunan yang dihasilkan dari buah kelapa yang telah dikeringkan hingga mencapai kadar air tertentu. 

Untuk mendapatkan hasil kopra, ada dua cara dan akan kita bahas sesuai dengan pengalaman penulis yang sudah belajar membuat kopra sejak kelas 2 SMP J.
Cara pertama adalah dengan metode pengasapan. Pada tahapan ini, mula-mula buah kelapa yang telah dikumpulkan dikupas sabutnya dengan menggunakan sula atau dalam bahasa Mandar disebut passukke. 

Passukke atau Sula
(foto searching internet)


Membaca kata sula, mungkin pikiran anda dan fikiran saya akan terbersit sebuah nama pulau. Benar, Sulawesi. Entah kebetulan atau kebenaran, nama Sulawesi (sula=sula, wesi =besi. Menurut KBBI) disematkan pada pulau yang warganya paling banyak menggunakan alat sula, mungkin ini tugas dari para antropolog untuk mencari awal mula penamaan Sulawesi yang belum kunjung disepakati. 

By the way, on the way, bus way, kita kembali ke topik tentang bokaq J. Harap berhati-hati jika anda adalah seorang pemula, sebab tidak jarang dalam proses massukke ini bagian lengan akan penuh luka goresan begitu pula bagian telapak tangan biasanya akan lecet dan berisi cairan. Belum lagi kemungkinan mata sula akan menembus perut jika kita tidak waspada. Dalam kacamata penulis, dari sekian tahapan pembuatan kopra proses massukke inilah yang paling berat. Dalam sehari, penulis biasanya hanya mampu mengupas kelapa maksimal 800 butir padahal teman-teman kerja penulis bisa mencapai 1000 butir/hari.

Proses mengupas kelapa dengan sula
(foto searching internet)

Setelah kelapa-kelapa tersebut dikupas, kemudian dipotong dua. Ingat yah, kelapanya dipotong bukan dibelah J. Lalu disusun di atas pengasapan (paqbokangan) dengan bagian daging menghadap ke bawah. Kelapa ini disusun sampai beberapa lapis, tp idealnya sih cukup 8-10 lapis saja biar panas api tembus hingga ke atas. Soalnya jika terlalu tebal lapisannya, biasanya yang di bagian atas masih segar sementara bagian bawah sudah hangus.
Setelah tersusun rapi, masukkan bahan bakar yang biasanya diambil dari sabut kelapa yang sudah dikupas tadi, ke bagian kolong paqbokang dan mulai lah menyalakan api di beberapa sudut lantai bawah paqbokangan ini dimaksudkan agar api cepat menyebar rata hingga ke bagian tengah area pembakaran. 


Cara menyusun kelapa yang diasapi
(foto searching internet)


Dalam tahap ini, pekerja sudah boleh agak santai namun kewaspadaan harus benar-benar disiagakan sebab tidak jarang angin akan menerbangkan bara yang selanjutnya hinggap pada sisa sabut yang masih melekat pada tempurung kelapa dan selanjutnya akan membuat kelapa di atas paqbokang akan ikut terbakar. Beberapa kali penulis mengalami kejadian seperti ini, dan benar-benar merepotkan mengatasi jika kelapa yang diasapi sudah sempat terbakar. Sehingga senantiasa perlu disiapkan alat penyemprot air pada tahapan ini. Dan pada tahapan ini juga, kita bisa melihat kondisi asap di bagian teratas dari lapisan kelapa yang disusun sebagai pertanda. 
Jika asapnya hitam, maka biasanya semua masih terkendali. Itu pertanda jika kandungan air pada kelapa sudah mulai keluar. Jika asapnya bening dan hanya berupa fatamorgana, maka biasanya kadar air pada daging kelapa sudah tinggal sedikit. Namun jika keadaan asap berwarna putih, maka itu pertanda bahwa adanya kebakaran di antara lapisan kelapa-kelapa itu dan biasanya sudah mulai gawat.

Setelah diasapi 6 – 8 jam, api kemudian dibiarkan padam dan kelapa dibiarkan menjadi dingin. Setelah kelapa agak dingin, kita masuk ditahap selanjutnya yaitu massisi atau mencungkil daging buah kelapa dari tempurungnya dengan menggunakan sebuah alat khusus yang dinamakan passisi. Inilah sebenarnya tujuan utama dari pengasapan awal ini, agar daging buah kelapa layu dan mudah disisi. Setelah itu kelapa yang kini tinggal dagingnya kembali disusun rapi untuk selanjutnya kembali diasapi untuk proses pematangan/pengeringan akhir. 

Massisi untuk mencungkil daging kelapa dari tempurungnya.
(foto searching internet)

Setelah diasapi kembali 6-8 jam, dan daging kelapa sudah kering yang ditandai dengan warna daging kelapa berubah menjadi bening dan berminyak, buah kelapa kemudian didinginkan dan dimasukkan ke dalam karung. 
Dalam proses packing ini, biasanya petani menumbuk kopra di dalam karung dengan tujuan agar karungnya padat. Ini untuk mensiasati banyaknya karung yang digunakan, agar terhindar dari pemotongan timbangan yang dilakukan para pedagang. Terakhir yang penulis dapati para pedagang melakukan pemotongan 1 kg./karung.
Kopra yang telah diasapi
(foto searching internet)

Cara pengeringan yang kedua adalah dengan menggunakan sinar matahari. Pengeringan dengan proses ini relatif aman, sebab tidak lagi mengkhawatirkan masalah api dan hasil koprapun bersih. Namun dengan proses ini membutuhkan waktu lebih lama sebab untuk proses pengeringannya saja butuh waktu 3-5 hari tergantung dari teriknya sinar matahari. Dan tentu saja sulit dilakukan pada musim penghujan. Selain itu diperlukan pula area pengeringan yang lebih luas, umpamanya saja untuk mengeringkan 600 butir kelapa dibutuhkan lapangan dengan ukuran 35 m2, sementara dengan metode pengasapan untuk 3000 butir kelapa cukup dengan paqbokangan berukuran 10m2.

Pembuatan kopra dengan sistem jemur
(foto searching internet)

Demikianlah proses pembuatan kopra dari awal hingga akhir, sebelum kemudian dimasukkan ke pabrik untuk diolah lebih lanjut menjadi bahan kosmetik maupun bahan pangan atau bahan bakar. Semoga dengan mengetahui proses pembuatan kopra yang membutuhkan waktu dan tenaga yang luar biasa dari petani dan buruh tani bisa menghadirkan kesadaran pada diri kita untuk lebih menghargai petani. Demikian juga pemerintah agar kiranya mulai dapat memikirkan kebijakan-kebijakan yang berfihak pada petani kita. PETANIKU PAHLAWANKU........

Penulis saat membuat kopra. Nampak onggokan kelapa di belakang (sudut kiri bawah)
(dok. pribadi)

14/05/2014

PETAKA CINTA I PUTUWUNGA MASAGALA

Berjalan dengan perasaan berkecamuk antara segan, malu, kekhawatiran  dan rasa kesetia kawanan, terpaksa kulangkahkan juga kaki ini menuju rumah I Putuwunga Masagala.
Yah, pemuda mana di kampung ini yang tidak mengenal I Putuwunga Masagala?. Pemuda mana yang birahinya tidak terbakar dan melayang dengan fantasi liar melihat seorang gadis berparas cantik, bertubuh denok dengan tinggi semampai yang dari pinggulnya menggambarkan seorang wanita yang akan memberikan keturunan yang banyak seperti potongan I Putuwunga Masagala. 
Setidaknya dari sisi fisik, potongan wanita demikianlah yang disarankan ayahku pada suatu malam padaku jika aku hendak mencari pasangan hidup. Namun kali ini, aku menuju kerumahnya bukanlah untuk diriku namun untuk seorang teman yang rupanya juga memendam rasa padanya.

Dan karena kedekatanku dengan kedua orang tuanya yang memang masih famili dekat denganku, membuat sahabatku itu mempercayakan padaku untuk “missisi” dengan tujuan mengetahui tanggapan keluarga sang gadis jika seumpama keluarga sahabatku itu nantinya datang melamar.
Namun satu-satunya hal yang membuatku khawatir adalah jika ternyata keluarga I Putuwunga nantinya memberikan isyarat  penolakan.

Singkat cerita, kekhawatiranku terbukti. Keluarga gadis manis bertubuh denok itu dengan halus menyampaikan isyarat penolakannya.
Halus??. Bisa jadi halus bagi orang lain, tapi tidak bagi lelaki yang mengutusku.
Dengan menahan pedih dan mata menyala, ia mendengar penuturanku dalam diam. Aku berusaha menghiburnya namun ia tetap bergeming dalam lamunannya. Pun ia tetap acuh tak acuh ketika aku pamit untuk pulang.

Dan hal yang tidak pernah aku sangka adalah akibat dari penolakan itu, ternyata kelak berbuah duka bagi kedua keluarga. Rupanya diam-diam sahabatku itu merasa terhina dan menyimpan dendam untuk membalas penghinaan itu.

Dua purnama berselang kejadian “messisi” yang gagal itu, aku mulai jarang bertemu dengan sahabatku itu. Aku hanya pernah bertemu secara kebetulan di atas puncak sebuah bukit saat aku hendak mencari kayu bakar, di mana ia hanya memandang kosong nun jauh kearah passauang pitu, begitulah nama yang diberikan oleh orang sekitar kampung pada mata air yang muncul secara alami di kaki bukit itu.
Dengan perlahan dan hampir tanpa suara, kududuk disampingnya dan mecoba mensejajarkan pandangan kami, dan kudapati obyek yang menjadi paku retina matanya.
Jauh di kaki bukit, di tepi salah satu mata air passauang pitu nampak bayangan seseorang yang sedang mandi, sesekali terlindung oleh dedaunan yang bergoyang oleh hembusan angin. Siapa lagi orang itu kalau bukan I Putuwunga Masagala, gadis molek berpinggul subur yang menghancurkan dunia sahabat di sampingku ini.

Dengan sangat perlahan kutoleh wajah sahabatku, dan aku mulai sadar jika aku telah kehilangan sesosok wajah ceria dengan sorot mata penuh semangat, yang kudapati di antara struktur kulit, daging dan tulang itu hanyalah kesan sebuah batu cadas yang keras dan dingin.
Namun binar matanya yang membuat hatiku berdegup kencang, ada pijar dendam yang begitu kuat memancar dari kedua bola lunak di dalam rongga wajahnya itu menggantikan cahaya rindu yang dulu selalu memancar saat nama sang gadis singgah di gendang telinganya.

Aku hanya duduk diam dan membiarkan sahabatku yang sukmanya sedang bercumbu dengan bayangan sang gadis pujaan. Hingga kemudian akhirnya aku letih sendiri menunggu ia mencapai orgasme yang aku pun tak tau kapan tibanya, letih itu pula yang membuatku lalu pergi dalam diam seperti tadi bagaimana aku datang dalam kesunyian. Kulangkahkan kakiku dengan sangat perlahan di antara padang ilalang yang menjadi permadani bukit itu, membawa setumpuk beban kayu bakar di bahuku dan seonggok tanya dalam dadaku tentang akhir dari semua ini.

Hampir saja aku terjungkal dari tempat tidur, saat satu teriakan murka menggelegar,  serta merta datang membangunkan dan merenggut paksa alam bawah sadarku yang sedang berasyik masyuk dengan bidadari alam mimpiku. Dengan bara api yang membakar isi dadaku, tergesa kulangkahkan kakiku keluar dan bermaksud mencari siapa yang telah mengganggu tidurku hingga membuat orgasme mimpiku tertangguh dengan menyakitkan, untuk memberinya sekedar peringatan.

Namun saat tiba di halaman, aku hanya bisa berdiri mematung, kemarahanku menjadi hilang seketika saat aku tahu siapa yang berteriak. Nampak di tengah jalan seorang lelaki dengan “sokkoq biring” yang sekarang tanpa disadarinya telah benar-benar miring di kepalanya.
Dengan wajah kelam penuh amarah dan tangannya yang gemetar menghunus-hunuskan keris yang meski bilahnya hanya nampak sekilas karena tidak hentinya bergoyang, namun aku tau jika keris itu keris pusaka nan bertuah. Itulah keris pusaka yang bernama I Rete Pitu. Meski namanya tak setenar keris Empu Gandring di tangan Ken Arok dalam cerita yang pernah dituturkan kakekku dulu sepulangnya dari tanah Jawa. Tapi siapa orang di serata Pitu Babbana Binanga yang tidak mengenal keampuhan keris I Rete Pitu yang bisa membuat seorang manusia langsung bertemu dengan Sang Pencipta cukup hanya dengan goresan kecil di kulit korbannya, keris yang dengan setia menemani tuannya yang kini ada di depanku saat meluluh lantakkan kerajaan Passokkorang bersama Tomepayung Sang Maraqdia dari Balanipa?. Sebilah keris pusaka hasil karya “pande” ternama dan dibuat dengan segala rupa laku ritual mulai saat pemilihan besi  hingga kemudian pertama kali diselipkan di pinggang Puang ta I Ullung Allo yang saat ini masih berdiri di tengah jalan mencari dan meneriakkan nama sahabatku keseantero kampung kami.

Aku hanya bisa tergagap menjawab tidak tau, ketika ia melangkah mendekat kehadapanku dengan sorot mata merah seolah ada percikan api keluar dari mata itu dan lalu bertanya dengan suara yang berat tentang keberadaan lelaki sahabatku yang rupanya telah menyulut gelora murka di dadanya. Syukurlah karena kemarahannya kemudian tidak dilampiaskan kepadaku, padahal lututku sudah gemetar dan mataku tidak lepas dari keris dalam genggamannya seolah-olah keris itu sesaat lagi akan menancap di antara tulang dadaku atau mungkin keris itu akan bersarang mulus di perutku. Kuhembuskan nafas lega sekuat-kuatnya untuk menenangkan gemuruh ketakutan di dadaku ketika sekonyong-konyong puang ta I Ullung Allo berbalik dan meninggalkanku. Untung karena ia tidak semakin marah atas jawaban ketidak tahuanku, atau mungkin juga keris pusakanya tidak berminat untuk sekedar mencicipi setetes darah dari tubuhku.

Sebelum ia berjalan semakin jauh, tiba-tiba terbit ingatanku akan keselamatan sahabatku. Naluriku mengatakan akan terjadi sesuatu yang mengerikan jika sekiranya sahabatku berhasil ditemukan olehnya. Dan kemudian diam-diam aku mengikuti langkah tergesa dari pamanku I Ullung Allo.

# bersambung.........

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...