30/10/2015

PETAKA CINTA DI BUKIT SURUANG

Berjalan dengan perasaan berkecamuk antara segan, malu, khawatir dan rasa kesetia kawanan, terpaksa kulangkahkan juga kaki ini menuju rumah I Putubunga Masagala. Yah, pemuda mana di kampung ini yang tidak mengenal I Putubunga Masagala?. Pemuda mana yang birahinya tidak terbakar dan melayang dalam fantasi liarnya melihat seorang gadis berparas cantik, bertubuh denok dengan tinggi semampai yang dari pinggulnya menggambarkan seorang wanita yang akan memberikan keturunan yang banyak seperti potongan I Putubunga Masagala. 
Setidaknya dari sisi fisik, potongan wanita demikianlah yang disarankan ayahku pada suatu malam jika aku hendak mencari pasangan hidup. 

Namun kali ini, aku menuju kerumahnya bukanlah untuk diriku namun untuk seorang sahabat yang rupanya juga memendam rasa padanya. Dan karena kedekatanku dengan kedua orang tua I Putubunga yang memang masih famili dekat denganku, membuat sahabatku itu mempercayakan padaku untuk “messisi” dengan tujuan mengetahui tanggapan keluarga sang gadis jika seumpama keluarga sahabatku itu nantinya datang melamar. 
Dan satu-satunya hal yang membuatku khawatir adalah jika ternyata keluarga I Putubunga nantinya memberikan isyarat penolakan.

Perlahan namun pasti kuketuk pintu rumah gadis itu dan kuucapkan “salam !”.

“salam, siapa itu?”, terdengar suara lelaki yang agak berat dari dalam rumah. “oh, kau Kummang. Masuklah, silahkan duduk” lelaki setengah baya yang membukakan pintu itu segera mengenali dan mempersilahkanku masuk. 

Aku pun lantas masuk dan segera duduk di lantai papan beralaskan tikar rotan yang rajutannya sangat rapi. Rumah itu cukup besar dengan arsitektur khas bangsawan Mandar. Wajar saja, pemiliknya adalah seorang bangsawan yang membawahi wilayah Suruang. Wilayah yang telah menjadi tandem kerajaan Balanipa meruntuhkan Passokkorang beberapa waktu lalu. Meskipun rumah bangsawan, namun tak nampak satupun pengawal atau dayang di rumah itu. Keluarga itu merasa cukup melayani dirinya sendiri hingga tak memerlukan bantuan pengawal atau pelayan hingga prajurit dan pelayan tetap tinggal di rumah mereka masing-masing dan hanya datang saat dibutuhkan semisal diselenggarakan acara kerajaan di rumah itu. 

“Ada apa Kummang, kenapa kau malam-malam datang ke sini?” pertanyaan Puang I Ullung Allo memecah lamunanku tentang rumah itu. 

“ah, emmm..... begini puang. Sebelumnya saya mohon maaf jika saya lancang datang ke sini. Saya ke sini datang dengan membawa sebuah maksud” jawabku mencoba mengendalikan perasaan yang tidak karuan. 

“Katakanlah, kau tidak usah ragu. Aku akan membantu jika memang aku bisa” ujar Puang I Ullung Allo. 

“Aku sebenarnya diutus oleh seseorang untuk bertanya puang, apakah adikku I Putubunga Masagala sudah mempunyai jodoh?” kalimat yang keluar dari bibirku mulai lancar. 

“Siapakah sebenarnya orang yang mengutusmu, Kummang” tanpa menjawab pertanyaanku Puang I Ullung Allo malah balik bertanya padaku. “I Capua, puang” jawabku singkat. 

“Sebenarnya aku bermaksud menjodohkan I Putubunga dengan seorang pangeran dari wilayah pesisir. Dan aku tidak melihat sebuah alasan untuk bisa menerima I Capuaq, pengembara dari Ulu Salu itu sebagai menantuku”, kalimat Puang I Ullung Allo seolah menggodam dadaku. 

Tak diragukan lagi, ini sebuah penolakan. Setelah mendengar jawaban itu, aku mengalihkan perbincangan ke arah hal lain seputar kehidupan kampung hingga akhirnya aku pamit pulang. 

Keluarga gadis manis bertubuh denok itu dengan halus menyampaikan isyarat penolakannya. Halus??. Bisa jadi halus bagi orang lain, tapi tidak bagi lelaki yang mengutusku. Dengan menahan pedih dan mata menyala, ia mendengar penuturanku dalam diam. Aku berusaha menghiburnya namun ia tetap bergeming dalam lamunannya. Pun ia tetap acuh tak acuh ketika aku pamit untuk pulang. 

Dan hal yang tidak pernah aku sangka adalah akibat dari penolakan itu, ternyata kelak berbuah duka bagi kedua keluarga. Rupanya diam-diam sahabatku itu merasa terhina dan menyimpan dendam untuk membalas penghinaan itu. Dua purnama berselang kejadian “messisi” yang gagal itu, aku mulai jarang bertemu dengan sahabatku itu. Aku hanya pernah bertemu secara kebetulan di atas puncak bukit Suruang saat aku hendak mencari kayu bakar, di mana ia hanya memandang kosong nun jauh kearah Passauang Pitu, begitulah nama yang diberikan oleh orang sekitar kampung pada mata air yang muncul secara alami di kaki bukit itu. 

Dengan perlahan dan hampir tanpa suara, kududuk di sampingnya dan mecoba mensejajarkan pandangan kami, dan kudapati obyek yang menjadi paku retina matanya. Jauh di kaki bukit Suruang, di tepi salah satu mata air Passauang Pitu nampak bayangan seseorang yang sedang mandi, sesekali terlindung oleh dedaunan yang bergoyang oleh hembusan angin. Siapa lagi orang itu kalau bukan I Putuwunga Masagala, gadis molek berpinggul subur yang menghancurkan dunia sahabat di sampingku ini. Dengan sangat perlahan kutoleh wajah sahabatku, dan aku mulai sadar jika aku telah kehilangan sesosok wajah ceria dengan sorot mata penuh semangat, yang kudapati di antara struktur kulit, daging dan tulang itu hanyalah kesan sebuah batu cadas yang keras dan dingin. 

“Maaf, aku tak berhasil menjadi dutamu dan mendapatkan I Putubunga untuk menjadi pendampingmu” bisikku perlahan, takut mengganggu lamunannya. 

“Tak apa sahabat. Setidaknya engkau telah berusaha”. Rupanya ia mendengar kalimat yang kukatakan dan menjawabnya dengan tatapan mata sendu tepat menusuk mataku. Namun binar matanya yang membuat hatiku berdegup kencang, ada pijar dendam yang begitu kuat memancar dari kedua bola lunak di dalam rongga wajahnya itu menggantikan cahaya rindu yang dulu selalu memancar saat nama sang gadis singgah di gendang telinganya. 

Akhirnya aku hanya duduk diam dan membiarkan sahabatku yang sukmanya sedang bercumbu dengan bayangan sang gadis pujaan. Hingga kemudian akhirnya aku letih sendiri menunggu ia mencapai orgasme yang aku pun tak tau kapan tibanya, letih itu pula yang membuatku lalu pergi dalam diam seperti tadi bagaimana aku datang dalam kesunyian. Kulangkahkan kakiku dengan sangat perlahan di antara padang ilalang yang menjadi permadani bukit itu, membawa setumpuk beban kayu bakar di bahuku dan seonggok tanya dalam dadaku tentang akhir dari semua ini. 

**** 

Di Passauang Pitu, seminggu sejak aku bertemu sahabatku di atas bukit Suruang yan tak jauh dari tempat kesukaan I Putu Bunga sering memanjakan tubuhnya dengan kesegaran air pegunugan itu. Sepasang muda-mudi nampak duduk berdampingan. Kemesraan yang mereka perlihatkan berpadu harmonis dengan keindahan suasana perbukitan dan hembusan angin sepoi-sepoi yang membawa wangi bunga melati yang tumbuh liar di puncak bukit. 

“Ah, jika saja suasana seperti ini benar-benar bisa kita wujudkan dalam sebuah mahligai rumah tangga. Sungguh sangat bahagia kurasakan dalam hidupku”, Capua berkata seolah ditujukan pada dirinya sendiri. 

“Aku pun demikian kiranya, kakak. Namun sayang, ayahku rupanya menolak keinginan kakak yang disampaikan oleh Kummang beberapa hari yang lalu. Dan rupanya beliau telah pula menerima lamaran seorang putra bangsawan dari daerah pesisir” timpal I Putubunga Masagala. 

“Tapi bagaimana dengan perasaanmu sendiri dinda?” tanya Capua menoleh pada I Putubunga. 

“Kakak tidak usah meragukan kesetiaanku. Aku akan selalu mencintai kakak Capua” jawab I Putu Bunga. 

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita kawin lari saja. Aku akan membawamu ke kampung halamanku di Ulu Salu sana?” tanya Capua kembali dengan menantang. 

“Apa ?, lari ?. Tidak kakak, aku tak bisa melalaikan kewajibanku sebagai seorang anak untuk selalu berbakti pada orang tuanya” balas I Putu Bunga dan melepaskan tangannya yang sejak tadi berada dalam genggaman mesra kekasihnya tersebut. 

“Berarti kamu lebih mimilih menikah dengan lelaki lain daripada aku?” kembali Capua bertanya dan kali ini suaranya mulai mengeras pertanda emosinya mulai terpancing. 

Tatap mata Capua mulai menajam dan kemesraan yang tadi mereka pertontonkan tiba-tiba berubah menjadi sebuah adu mulut yang sengit. Hingga tiba suatu ketika, Capua mengeluarkan kalimat yang sangat bertuah. 

“Jika aku tak bisa memiliki diri dan cintamu, maka tak ada siapapun yang boleh memilikimu I Putu Bunga, cam kan itu”. Kata Capua dengan wajah pitam pertanda darah sudah naik hingga ke ubun-ubunnya. 

“Lalu apa mau kakak sekarang?” tantang I Putu Bunga Masagala. 

“Aku akan mengembalikanmu kepada Sang Dewata Pencipta, tunggulah aku di sana !” seru Capua seraya mencabut sebilah badik dari pinggangnya dan langsung menusukkannya ke perut I Putu Bunga Masagala. 

Kontan I Putu Bunga Masagala mendekap perutnya yang terluka. Darah mengucur deras dari sela jemarinya hingga membasahi pakaiannya dibagian bawah. Tak berapa lama I Putu Bunga sanggup berdiri, akhirnya ia tersungkur dengan tatapan tidak percaya akan apa yang sang kekasih lakukan pada dirinya. Perlahan cahaya matanya memudar seiring kembalinya malaikat maut setelah bertugas menjemput nyawa bunga desa yang indah rupawan itu. Sementara Capua hanya bisa berdiri menyaksikan kekasih pujaan hatinya meregang nyawa. 

Badik yang digenggamnya jatuh tanpa ia sadari, sementara air mata mengalir dikedua belah pipinya. Namun tak ada isak keluar dari bibirnya, yang ada hanya senyum. Senyum penuh kepedihan. 

**** 

Hampir saja aku terjungkal dari tempat tidur saat satu teriakan murka menggelegar serta merta datang membangunkan dan merenggut paksa alam bawah sadarku yang sedang berasyik masyuk dengan bidadari alam mimpiku. 

Dengan bara api yang membakar isi dadaku, tergesa kulangkahkan kakiku keluar dan bermaksud mencari siapa yang telah mengganggu tidurku hingga membuat orgasme mimpiku tertangguh dengan menyakitkan, untuk memberinya sekedar peringatan. Namun saat tiba di halaman, aku hanya bisa berdiri mematung, kemarahanku menjadi hilang seketika saat aku tahu siapa yang berteriak. 

Nampak di tengah jalan seorang lelaki dengan “sokkoq biring” yang sekarang tanpa disadarinya telah benar-benar miring di kepalanya. 

“Di mana pemuda yang telah membunuh putriku..??. Akan kubunuh dia dan akan kupenggal kepalanya” teriakannya membelah udara kampung itu. 

Dengan wajah kelam penuh amarah dan tangannya yang gemetar menghunus-hunuskan keris yang meski bilahnya hanya nampak sekilas karena tidak hentinya bergoyang, namun aku tau jika keris itu keris pusaka nan bertuah. Itulah keris pusaka yang bernama I Rete Pitu. 

Meski namanya tak setenar keris Empu Gandring di tangan Ken Arok dalam cerita yang pernah dituturkan kakekku dulu sepulangnya dari tanah Jawa. Tapi siapa orang di serata Pitu Babbana Binanga yang tidak mengenal keampuhan keris I Rete Pitu yang bisa membuat seorang manusia langsung bertemu dengan Sang Pencipta cukup hanya dengan goresan kecil dikulit korbannya, keris yang dengan setia menemani tuannya yang kini ada di depanku saat meluluh lantakkan kerajaan Passokkorang bersama Tomepayung Sang Maraqdia dari Balanipa?. 

Sebilah keris pusaka hasil karya “pande” ternama dan dibuat dengan segala rupa laku ritual mulai saat pemilihan besi hingga kemudian pertama kali diselipkan dipinggang Puang ta I Ullung Allo yang saat ini masih berdiri di tengah jalan mencari dan meneriakkan nama sahabatku keseantero kampung kami. 

Sontak ia menoleh kepadaku ketika ia melihat aku yang sedang mengintip di balik pohon kelapa yang ada di halaman rumah ku itu. 

“Hei.... kau Kummang !. Kenapa kau mengintip, ayo katakan di mana si Capua berada. Bukankah kau bersahabat dengannya?. Kau jangan coba-coba melindunginya, atau keris I Rete Pitu juga akan mengakhiri hidupmu”. Ancam Puang I Ullung Allo sambil mengacung-acungkan kerisnya ke arahku.  
“Aku......A.....Aku tidak tahu puang. Sejak dua hari yang lalu aku tidak pernah melihatnya” kengerian menghampiriku dan aku hanya bisa tergagap menjawab. 

Ketika ia melangkah mendekat kehadapanku dengan sorot mata merah seolah ada percikan api keluar dari mata itu. Ia mencoba mencari kebenaran dari jawabanku tadi tentang keberadaan lelaki sahabatku yang rupanya telah menyulut gelora murka di dadanya. Syukurlah karena kemarahannya kemudian tidak dilampiaskan kepadaku, mungkin ia menangkap kesungguhan dalam sinar mataku yang ketakutan. Padahal lututku sudah gemetar dan mataku tidak lepas dari keris dalam genggamannya seolah-olah keris itu sesaat lagi akan menancap di antara tulang dadaku atau mungkin keris itu akan bersarang mulus diperutku. 

Kuhembuskan nafas lega sekuat-kuatnya untuk menenangkan gemuruh ketakutan didadaku ketika sekonyong-konyong Puang ta I Ullung Allo berbalik dan meninggalkanku. Untung karena ia tidak semakin marah atas jawaban ketidak tahuanku, atau mungkin juga keris pusakanya tidak berminat untuk sekedar mencicipi setetes darah dari tubuhku. Sebelum ia berjalan semakin jauh, tiba-tiba terbit ingatanku akan keselamatan sahabatku. Naluriku mengatakan akan terjadi sesuatu yang mengerikan jika sekiranya sahabatku berhasil ditemukan olehnya. 

Dan kemudian diam-diam aku mengikuti langkah tergesa dari pamanku I Ullung Allo. Di sebuah tikungan jalan, aku berhenti sejenak. Orang yang aku ikuti diam-diam rupanya telah menghilangan dari pengawasanku, entah ia melalui jalan yang mana. Akhirnya aku putuskan untuk mengambil arah mendaki ke puncak bukit Surung yang ada di ujung desaku itu. Dari atas puncak bukit aku mencoba mengedarkan pandanganku kesegenap penjuru. 

Di Timur nampak teluk Mandar berair biru dengan ombaknya yang membuih putih, nampak berkejaran dan memecah di pantai. Sedang di Barat, hamparan padang dan jejeran bukit dengan lembah-lembahnya yang curam. Di sana tak jauh dikaki bukit tepat di sisi Passauang Pitu, pandanganku terpaku. 

Tampak dua sosok lelaki sedang bertarung dengan sengitnya. Sekilas bisa kulihat seorang diantaranya memegang keris yang bilahnya kehitaman. Meski sokko biring tak ada lagi di atas kepalanya, tapi aku bisa memastikan jika lelaki itu adalah pamanku Puang I Ullung Allo. Sementara yang seorang menusukkan badik, pastilah I Capua sahabatku. 

Seorang veteran perang legendaris menghadapi pendekar perantau. 

Aku segera berlari menuruni bukit, langsung menuju ke arah mereka. Namun setibanya aku di dekat tempat mereka bertarung, aku hanya bisa terdiam dan tak tahu harus berbuat apa-apa. Mereka berdua juga rupanya tidak menyadari kehadiranku hingga terus saja berkelahi dengan penuh nafsu membunuh. Puang I Ullung Allo dan I Capuaq nampak sungguh-sungguh ingin saling membunuh. Tentu saja, ini adalah pertarungan berdasar siriq. 

I Capuaq malu karena telah ditolak lamarannya sementara Puang I Ullung Allo meminta balas atas darah putrinya. Lama juga duel berdarah itu berlangsung. Hingga dalam satu kesempatan, I Capua yang mengira jika Puang I Ullung Allo akan menusukkan keris ternyata dalam satu gerakan berhasil merubah gerakan menusuk menjadi sabetan. Hingga I Capua yang bermaksud menghindar ke samping terkena sabetan ujung keris dibagian dadanya. 

Meski lukanya tidak parah, namun rasa nyeri kontan menyergap seluruh bagian dadanya pertanda bisa yang dikandung keris I Rete Pitu sangat dahsyat. Rasa nyeri yang membuat I Capua hanya bisa mematung perlahan berubah menjadi rasa panas yang seolah membakar jantungnya. Perlahan pembuluh darahnya nampak mulai menghitam. 

Dan tidak menunggu lama tubuhnya ambruk dan tewas seketika. Puang I Ullung Allo hanya sejenak mengatur nafasnya, bebannya seolah terlepas seutuhnya, lalu ia berjalan ke arah jazad I Capua yang tergeletak. Tanpa ragu dijambaknya rambut lalu digoroknya leher jazad itu seolah tanpa beban. Di tentengnya kepala I Capua yang telah terlepas dari badannya untuk kemudian kembali pulang ke kampung. Namun saat ia berbalik, Puang I Ullung Allo baru sadar jika ternyata aku telah berdiri di sana dan melihat semua kejadian itu tanpa mampu berkedip laksana sebuah patung. 

“Baguslah, rupanya engkau ada di sini Kummang. Lihatlah aku telah berhasil menagih hutang darah I Putubunga. Sekarang kau urus jazad sahabatmu itu. Bawa ia pulang ke kampung dan makamkan dengan layak” kalimat-kalimat itu demikian menggelagar rasanya ditelingaku. Aku sontak tersadar dan hanya berkata,

“ I.... I....Iye puang”. Lalu dengan penuh perasaan haru dan sedih yang sangat dalam, aku beranjak mendekati jazad sahabatku I Capua yang kini tergeletak tanpa kepala. 

Kupapah tubuhnya yang telah menghitam akibat racun yang berasal dari keris I Rete Pitu dan kulangkahkan kakiku kembali ke kampung menyusul Puang I Ullung Allo yang berjalan semakin menjauh, masih dengan menenteng kepala dari jazad yang kupapah ini. 

Bukit Suruang seolah menangis menyaksikan tragedi cinta namun berakhir kematian dua insan yang saling mencinta. Bunga melati dari puncak bukitpun seolah kehilangan aroma. Tak ada lagi angin, semua membisu. Menulis kisah dalam kediaman. 

Ratusan tahun telah berlalu, kini hanya sebuah makam di bukit Suruang yang menjadi bukti jika di tempat itu pernah terjadi sebuah drama cinta yang luar biasa hebat. Tersusun oleh sutradara maha hebat sebagai sebuah pelajaran untuk manusia dimasa kini dan yang akan datang. 

Sekian.
Matakali, 21 Sept 14-30 Okt 15.

28/09/2015

AlarMandar

Punya hp android yang mahal kadang buat kita was-was. Amankan hp android ta dengan mengaktifkan aplikasi anti maling berciri khas mandar ini. Mungkin sudah banyak aplikasi sejenis, namun ini tentang rasa kemandaran kita. Silahkan DOWNLOAD DI SINI

27/09/2015

PolmanInAndroid, apa itu?

PolmanInAndroid merupakan aplikasi yang dapat membantu anda mengenal potensi wisata atau hal-hal lain tentang Polewali Mandar. Aplikasi ini terwujud atas dasar kecintaan kepada Polewali Mandar sebagai litaq pembolongang. Yah, berhubung kepada sudah nyut-nyut menunggu fihak Play Store mengirim konfirmasi. Tak apalah, silahkan anda download aplikasinya DI SINI. Hitung-hitung anda bisa dengar puisiku ;) :D Bagi anda yang tertarik untuk mempromosikan usaha hotel, bengkel ataupun cafe, dengan biaya murah. Anda dapat menghubungi kami melalui fasilitas "SMS ADUAN" ataupun "@EMAIL" yang telah tersemat diaplikasi PolmanInAndroid.

21/09/2015

Masihkah kita Mala’bi’ Pau

Penulis: Mursalin (Aktif di Komunitas Appeq Jannangang, Taekwondo Cabang Polman dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) cabang Sulbar)
===================

Banyak pengertian jika kita ingin mengartikan kata Mala’bi’ dari beberapa referensi saya mendapat pengertiannya seperti berikut, Mala’bi’ dalam bahasa mandar dapat diartikan sebagai nilai-nilai luhur, mulia, rendah hati dan keutamaan dalam sifat-sifat berharkat dan bermartabat, ada juga yang mengatakan bahwa Mala’bi’ adalah konsep memanusiakan manusia. Semuanya benar tetapi menurut saya Mala’bi’ adalah ketika tidak ada hati yang terluka.

Mala’bi pau adalah salah satu pembagian dalam konsep mala’bi’, mala’bi’ pau ini mencakup tindakan kita sebagai manusia mandar dalam keseharian sebagai bentuk tuturan yang baik. Dewasa ini sepertinya kita lupa akan nilai-nilai luhur yang diturunkan oleh leluhur kita dalam berucap, bukan hanya percakapan langsung, media sosial seperti facebook, twitter dll seringkali menjadi tempat dalam menuliskan tuturan kita yang “tidak banget” mencitrakan kata mala’bi, tanpa disadari bahwa media sosial tersebut menjadi cerminan diri kita dalam lingkaran khalayak luas (publik). 

Beberapa pepatah yang sering didengar seperti "Mulutmu Harimaumu", "Lidah tak bertulang" dll, yang intinya menafsirkan bahwa yang dipegang dari manusia adalah kata-katanya. Tidak berbeda dengan petuah-petuah di Mandar yang biasa disebut dengan "Pappasang" beberapa Pappasang mengenai pentingnya kita menjaga tutur sapa yang sering saya dengar adalah :
"Mua' olo-olo' gulangna ditu'galang, mua' tau pau-paunna ditu'galang" (Binatang tali kekangnya yang dipegang, dan manusia kata-katanya yang dipegang). Pappasang ini ditujukan agar manusia mandar memegang tiap-tiap perkataannya, janji, ikrar atau semacamnya.

"Da patoyo-toyo pau mua' mane sallame'i tuyu' purrusmu, palambi'i dolo' sandappa, mua' ganna'mi sandappa pacoaimi passindingmu" (Jangan keras berbicara jika ikat celanamu baru sejengkal, genapkan dulu satu depa , jika sudah sedepa nmaka kuatkan pula dinding keilmuannmu). Pappasang yang pertama diatas saya fikir tidak perlu dikaji lebih jauh lagi karena sudah jelas, Pappasang yang kedua mengandung artian yang bukan sebenarnya, jika dikaji maka hasil kajian kasarnya kira-kira seperti ini :
"Da patoyo-toyo pau" = Jangan keras/kasar berbicara
maksud dari keras berbicara bukan keras dalam artian berteriak sekencang kencangnya akan tetapi keras yang berarti bersifat pilih tanding, menghina atau tetap berdiri teguh pada ucapan walau itu salah ataupun benar.
"Mua' mane sallame' tuyu' purrusmu, palambi'i dolo' sandappa" = jika ikat celanamu baru sejengkal, genapkan dulu satu depa. 2 kalimat ini hampir tidak bisa dipisahkan karena merupakan 1 kesatuan yang mempunya makna. Tuyu' Purrus = Ikat celana yang dimaksud disini bukan ikat pinggang (selipit) tetapi tali yang memilit disekitaran celana yang membuatnya tidak kedodoran, dimasa lalu dizaman Pemerintahan I Manyambungi atau Todilaling raja pertama kerajaan Balanipa dimana hukum yang berlaku pada saat itu Jika dua orang laki-laki bersengketa dan detelah dimediasi tidak ada penyelesaian maka akan Situyu’purrus atau diadu bertikaman menggunakan Jambia (badik) dalam sebuah kandang yang terbuat dari pohon Nipa dalam bahasa mandar disebut balanipa juga merujuk pada asal mula penamaan kerajaan Balanipa. Pemaknaan tuyu’ purrus pada kalimat dipepasang ini mengandung arti simbolis. Berikutnya “mua’ ganna’mi sadappa pacoaimi passindingmu” = jika sudah sedepa maka kuatkan pula dinding keilmuannmu. Makna sebenarnya dari kalimat ini adalah jika sudah siap untuk bertikaman mempertahankan kata-kata maka dinding keilmuan kita yang diperkuat, dinding keilmuan disini yang dimaksud adalah siap menghadapi/ memblok hal-hal yang tidak baik sebut saja ilmu hitam yang dikirimkan oleh orang-orang yang tersinggung atas kata-kata yang terlontar dimulut kita.

Jika dicermati tiap-tiap kalimat dari Pappasang diatas selain merupakan pesan-pesan leluhur yang bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa diperhatikan kalimat tersebut menggunakan kata yang bukan pada artian yang sebenarnya, dalam ilmu kebahasaan biasa disebut menggunakan majas hiperbola. Ini menandakan bahwa mereka sangat berhati-hati dalam tiap-tiap pemilihan kata-katanya atau diperhalus kata-katanya. Ini yang coba ditanamkan kepada para generasi mandar dewasa ini.

“Bahasa menunjukkan bangsa” pepatah ini yang kemudian tersirat dalam benakku jika coba dihubungkan dengan zaman kekinian, Kata-kata yang kita lontarkan memang bisa menjadi pisau bermata dua jika tidak hati-hati memilah kata yang akan kita keluarkan, karena akan ada saja orang-orang yang akan tersinggung atas apa yang keluar dari bibir kita sebagai manusia, dan pemilahan kata-kata yang baik dan tidak menyinggung perasaan orang lain ini sudah masuk kedalam istilah Mala’bi’ pau. Tanggung jawab moral menjadi salah satu landasan dalam mempertahankan Nilai-nilai luhur yang ditanamkan oleh para leluhur kita orang mandar, seharusnya sebagai manusia yang bermukim di bumi Tipalayo mampu untuk melestarikan bukannya malah merusak tatanan nilai yang ditanamkan oleh mereka. Seharusnya kita malu karena seringnya kita berkoar-koar mengenai Mandar adalah hunian yang mala’bi’ akan tetapi sifat, sikap dan kata-kata kita tidak mencerminkan kata sakral tersebut. Jadi Siapkah kita ber-mala’bi’ pau ??

IKRAR DAN TERJEMAHAN ALLAMUNGANG BATU DZI LUYO


• Ta'lemi manurunna paneneang uppasambulo-bulo ana' appona di Pitu Ulunna Salu, Pitu Babana Binanga, nasa'bi dewata diaya, dewata diong, dewata di kanang, dewata dikairi, dewata diolo, dewata diboe', menjarimi passemandarang.

• Tannipasa' tanniatonang, ma' allonang mesa malatte samballa, siluang sambu-sambu, sirondong langi-langi, tassi pande peo'dong, tassi pande pelango, tassipelei di panra', tassialuppei diapiangang.

• Sipatuppu diada', sipalele dirapang, ada tuo di Pitu Ulunna Salu, ada' mate di Muane ada'na Pitu

Babana Binanga.
• Saputangan di Pitu Ulunna Salu, simbolong di Pitu Babana Binanga.
• Pitu Ulunna Salu memata di sawa, Pitu Babana Binanga memata di mangiwang.
• Sisara'pai mata malotong anna mata mapute, anna sisara' Pitu Ulunna Salu - Pitu Babana Binanga.
• Mua diang tomangipi niangidang mambattangang tommu-tommuane, iya namappasisara' Pitu      
  Ulunna Salu - Pitu Babana Binanga, pasungi ana'na anna mumanusangi sau di uai tammembali.

Artinya :
• Sudah terfakta kesaktian leluhur moyang menyatu bulatkan anak cucunya di Putu Ulunna Salu dan Pitu Babana Binanga, diatas kesaktian dewata di atas, dewata di bawah, dewata di kanan, dewata di kiri, dewata di muka, dewata di belakang, lahirlah persatuan seluruh Mandar.

• Tak berpetak tak berpembatas, bersatu tikar bertikar selembar, sepembalut tubuh, selangit-langit, saling tidak memberi makanan rusak, saling tidak memberi minuman rusak, saling tidak meninggalkan dikesusahan, saling tidak melupakan pada kebaikan.

• Saling menghormati hukum dan peraturan masing-masing, hukum hidup di Pitu Ulunna Salu, hukum mati di suami adatnya Pitu Babana Binanga.

• Pitu Ulunna Salu menjaga ular (musuh dari darat/hutan), Pitu Babana Binanga menjaga hiu (musuh dari laut).

• Bila berpisah mata hitam dan mata putih, maka dapatlah pisah Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babana Binanga.

• Bila seseorang bermimpi mengidamkan seorang anak lelaki yang bakal memisahkan Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Babana Binanga, bersepakatlah untuk segera membedah perut yang hamil itu, lalu keluarkan bayi laki-laki itu, kemudian hanyutkan ke air yang tidak mungkin kembali lagi.
(Mujahidin Musa)

Pattuqdu Sarawandang Kerajaan Sendana Hasil Akulturasi Budaya dengan Kerajaan Gowa.

Penulis: Tulisan Mursalim /Kaco Kendeq Tandiapa
(Tomakaka Pemanaq Dewan Pendiri Appeq Jannangang,
Pembina Tim Sakkaq Manarang AJ)
=========================================

Somba Sendana dikenal dengan rumah akannya berjejer di tepian pantai, makanan seafood menjadi andalan para rumah makan ini, ada dua maskan andalan yang paling sering dihidangkan adalah tumis cumi dan tuing-tuing tapa (ikan terbang bakar). Tapi kali ini kita tidak akan membahas panjang lebar mengenai kulinernya somba, tetapi mengenai  Tari Pattuqdu yang ada di wilayah somba. Tari Pattuqdu diyakini hanya ada diwilayah Mandar saja  sama halnya Paqjoge di bugis, Paqgellu di Toraja dan Pakkarena di makassar. Tetapi ada hal yang lain pada Tarian Pattuqdu yang ada di somba.

Penelitian ini dilakukan pada bulan mei 2014, yang ikut pada saat itu, Ketua Yayasan Darputri Dra.  Sri Musdikawati. M.si, Pembina sanggar OneDo Sahabuddin Mahganna spd, Ketua sanggar OneDo, muh Ulfi Mahendra, saya sendiri dan Para penari sanggar Darputri.
Tujuan dilakukannya penelitian ini selain untuk menambah wawasan  tentang Tari-tarian yang ada di Mandar, yang diketahui sudah banyak tarian yang ada di mandar hampir punah juga untuk mempererat hubungan silaturahmi antar sanggar Darputri dan komunitas OneDo untuk membuat video tari yang akan di CDkan dan akan dibawa ke Amerika serikat guna memperkenalkan budaya tarian kepada warga negeri paman Sam.
Sebut saja I Dateq nenek yang sudah tua renta ini jika dilihat sepintas lalu sama seperti nenek-nenek lain, berjalanpun susah payah untuk dapat keruang tamu, namun siapa sangka nenek I Dateq ini dulunya seorang penari Kerajaan Sendana.

Nenek I Dateq 3 kali bersuami, suami pertama bernama Manurung dan dikaruniai seorang anak, suami ke dua bernama I Kalibong, nah dari Ayah Kalibong inilah atau Ayah mertua I Dateq sebut saja mamanya I Piara dia bukanlah orang Somba asli melainkan orang makassar, tetepi dialah yang kemudian berjasa mengajarkan Dateq muda menari Pattuqdu Sarawandang, setelah suami pertama dan keduanya meninggal, Nenek Dateq masih bersuami lagi dengan Laki-laki asal Somba bernam I Kaco dan dikaruniai 4 orang anak, meski bersuami lagi, mantan mertua Nenek Dateq yakni I Piara masih tetap memanggilnya untuk ikut menari dalam acara-acara kerajaan Sendana.

Dari segi gerakan, dan nama tarian tidak ada yang berbeda dengan Gerakan Pattuqdu Sarawandang yang diyakini oleh masyarakat mandar pada umumnya, yang membedakan adalah jenis pukulan Gendangnya dan juga Syair lagunya dari beberapa jenis pukulan gendang yang diperdengarkan kanda Sahabuddin mahganna yang lumrah di dengar dalam Tari Pattuqdu hanya satu yang dikenal oleh nenek I Date yakni, pukulan Pattuqdu Pillamba pukulan gendang Pakkanjaraq makassarpun sempat diperdengarkan namun beliau katanya tidak pernah dengar. Hal ini mengindikasiakan bahwa ada beberapa jenis pukulan Gendang Pattuqdu di Sendana sudah punah. Yang kedua yang berbeda adalah syair lagunya jika dalam Pattuqdu Sarawandang yang umumnya pernah dilihat orang ia menggunakan syair yang berbahasa mandar tapi Pattuqdu Sarawandang yang berasal dari kerajaan Sendana ini menggunakan syair lagu berbahasa makassar. Berikut adalah syairnya:

Syair Pattuqdu Berbahasa Makassar
Rimawela uji pale
Larrana tana waranna
Makilaiya sumbore
Mannaso naku
Upasang tonji malaqba
Sangging karaeng  maqmempo
Sangging daeng maqjijirang
Tawe karaeng, makusoeang...
Gunturuna naji malompo
Kilaqna mallaqbang lino
Bosi sarrona, tangnga lalang lompo bangkeng

Melihat dari syair Pattuqdu Sarawandang, sebenarnya kita tidak perlu heran, kenapa kok ada bahasa makassar dalam syair Pattuqdu Sarawandang tersebut. Hubungan kekertabatan kerajaan Gowa dengan antara kerajaan yang ada di mandar terkhusus pada kerajaan Balanipa & Sendana memang sedari dulunya pernah terjalin.
Pertama hubungan kekerabatan antara kerajaan Gowa dan kerajaan Balanipa saat kawinnya Batara Gowa denga “ I Rerasi” putri Tomakaka Balanipa mandar yang melahirkan Sombaiyya Ri Gowa IX Daeng matanre Karaeng Tumaqrisi Kallonna.
Hubungan kekerabatan antara kerajaan Gowa dengan kerajaan Balanipa dengan menikahnya I manyambungi dengan Karaeng Surya. Hala ini terjadi karena I manyambungi atau sering juga disebut To di laling diketahui seagai kemanakan dari ibunda Sombaiyya Ri Gowa yang kemudian dari hasil perkawinan ini melahirkan I Billa-Billami atau Tomepayung sebagai maraqdia ke-2 Arayang Balanipa.
Nah yang ketiga ini adalah  hubungan kekerabatan antara kerajaan Gowa dan kerajaan Sendana mandar adalah dengan kawinnya I Bannaiq maraqdia ke-8 kerajaan Sendana mandar dengan karaeng Baine (putri raja Gowa) sebagai bukti sejarah dari peristiwa perkawinan I Bannang dan Karaeng Baine dari Gowa adalah Somba sebagai ibu kota kecamatan Sendana kab. Majene, dn kisahnya bahwa Somba dahulu bernama “Lamboriq” tetapi setelah menikah antara I Bannaiq dengan Baine terjadi maka Lamboriq di ubah namanya menjadi . sewaktu karaeng Baine di bawa pulang ke Sendana, supaya dimana saja Karaeng Baine menetap, maka daerah itu harus disamakan namanya dengan daerah asal Karaeng Baine tujuannya agar mudah dicari ketika orang tuanya rindu kepadanya.

Dari ketiga hubungan kerajaan-kerajaan mandar dengan kerajaan Gowa di atas, maka tidaklah mengherankan apabila adanya Asimilasi dan Akulturasi budaya yang terjadi pada tarian Pattuqdu Sarawandang yang ada di kerajaan Sendana tersebut. Bila kita membandingkan Pakaian antara penari Pattuqdu dan Pakkarena maka banyak kesamaannya terlihat, terkecuali pada sanggul, gelang dan kalung/ rantai. Juga pada kata Aule atau Lee pada Pattuqdu ada saja persamaan dengan Pakkarena makassar.

Referensi
Penuturan langsung narasumber I Dateq
Sosialisasi Siriq etika dan estetika di mandar


PENYEBARAN ISLAM DI BIRU. (Sejarah Yang Nyaris dilupakan)

Penulis: Mujahidin Musa.
(Pemuda asal Batetangnga, saat ini aktif sebagai pengurus Appeq Jannangang reg. Makassar)
=====================

Salah satu daerah yang menjadi pusat penyebaran awal islam di Sulawesi Barat adalah di wilayah Desa Batetangnga (Biru dan Penanian) Kec. Binuang. Islam masuk di daerah ini diperkirakan akhir abad XVI hingga awal abad XVII (sekitar tahun 1600-an yang dibawa oleh Aji (haji) Sande (lebih dikenal sebagai Tosalama di Penanian, Guru Bulo, dan ada sumber yang mengatakan bahwa nama beliau adalah Syekh Kamaluddin) bersama muridnya Pua Kilala (nama gelar) dari Tomadio (Campalagian).

Dalam historiografi islam di Polewali Mandar, salahsatu Tokoh penyebar islam awal yang terkenal adalah Syekh Abdurrahim Kamaluddin Tosalama di Binuang yang berhasil mengislamkan Mara'dia Balanipa ke-IV Kanna i Pattang Daetta Tommuane setelah mengislamkan Mara'dia Pallis Kanna i Cunang sekitar tahun 1610. Sezaman dengan Sippajollangi Arung Binuang (masih butuh penelitian lanjut apakah telah memeluk islam waktu itu atau tidak).

Setidaknya ada dua versi mengenai keterkaitan antara kedua Tosalama ini. versi pertama mengatakan bahwa Tosalama di Penanian adalah "partnert" dakwah dari Tosalama di Binuang. versi kedua mengatakan bahwa Tosalama di Binuang adalah anak dari Tosalama di Penanian, hasil pernikahannya dengan putri pemangku adat setempat.


(Al Quran peninggalan Syekh Kamaluddin alias Haji Sande' alias Tosalama di Penanian Yang menyebarkan islam di Wilayah Batetangnga pada akhir tahun 1500 an.)

Peninggalan dari Tosalama Penanian hingga kini masih terawat dengan baik yaitu berupa Al Quran Tulisan Tangan. Al Quran tersebut kini berada di tangan Drs. Adnan Nota, M.Si, yang merupakan pewaris Al Quran tersebut. Al Qur'an ini memang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi mulai dari Tosalama Penanian hingga Imam/Tokoh islam selanjutnya. Peninggalan lainnya berupa Kitab Tahlilan yang ditulis langsu ng oleh Pua Kilala (Murid Tosalama Penanian).
Penyebaran Islam di Batetangnga kemudian dilanjutkan oleh Tomitindo Cakkiri'na yang merupakan saudara dari Tomitindo Tondo'nga dan Tomitindo Tumbiling. hanya saja situs, catatan, tradisi lisan dan sumber sejarah dan mengenai tokoh ini masih sangat minim dan belum banyak dikaji secara ilmiah.

Sejarah islam di Batetangnga selanjutnya terputus hingga sekitar tahun 1920-1940 an. Tokoh Islam yang terkenal periode ini adalah Tongguru Rida' (KH.Rasyid Ridha, Imam Tonyamang berasal dari Campalagian), KH.Maddappungan (Qadhi Campalagian, Guru dari Imam Lapeo, dan rekan dakwah Syekh Hasan Yamani di Campalagian), Qadhi Binuang, dll.
Jika anda tahu atau pernah ke Biru (Polewali), maka sesungguhnya di sana ada bekas mesjid tua (ingat permandian Biru, Kanang, nah...lokasinya dkat2 situ. hehehe) yang skarang tinggal pondasi. mesjid ini tempat KH.Maddapungan, Qadhi Campalagian, KH. Machmuda, Qadhi Binuang yang berasal dari Soppeng, dan ulama lainya mengajarkan islam bagi Masyarakat Batetangnga akhir 1920 an hingga awal 1930. tahun 1942 KH. Rasyid Ridha (disebut juga Imang Tonyamang) dari Campalagian mendirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah disini. Walaupun pengajianya cuman di pusatkan di mesjid dan kolong rumah imam mesjid. madrasah inilah cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Al Ihsan DDI Kanang.



( Sisa pondasi bekas mesjid tua di Biru)

Salah satu tokoh bernama H.Syamsuddin Mangnganja' atau yang lebih dikenal Sebagai Tongguru Rawali. Beliau bersama H. Nota (ayah dari Drs. Adnan Nota). H. Latung, H. Cora dkk adalah generasi pertama remaja dari Batetangnga yang nyantri ke Campalagian (di bawah bimbingan KH. Maddapungan) dan beberapa daerah lain. Masa penjajahan Jepang beliau nyantri lagi di bawah bimbingan KH. Rasyid Ridha/Tongguru Rida'. Setelah Tongguru Rida' kembali ke Tonyamang, Beliau dan kawan-kawan seperjuangannya melanjutkan pengajian di Mesjid dan Madrasah Arabiyah Islamiyah di Biru. Beliau yang juga akrab dikenal sebagai Aji Keccu ( haji yang postur tubuhnya kecil.) sempat menjabat sebagai Imam Biru dan Imam Desa di Mesjid Nuruh Huda Kanang, Batetangnga. Selain itu beliau pernah menjabat sebagai Matua ada' (Pattola Ada') di Bateteangnga menggantikan ayahnya. Beliau yang lahir pada tahun 1922 meninggal di Biru tahun 2014.


( H.Syamsuddin Mangnganja' atau yang lebih dikenal Sebagai Tongguru Rawali mengenakan songkok kuning)

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...