31/01/2015

MENYAMBUT FESTIVAL SUNGAI MANDAR 2-2015

Sejak jaman prasejarah, sungai telah mendapat perhatian utama sekaligus menjadi urat nadi kehidupan masyarakat lampau. Demikian eratnya hubungan sungai dengan masyarakat etnis mandar sehingga salah satu kelompok masyarakat waktu itu mengambil nama sungai Mandar menjadi nama komunitasnya yang dikemudian hari dikenal sebagai etnis Mandar yang saat ini dominan menghuni provinsi Sulawesi barat.

Setelah ratusan tahun hubungan manusia mandar dengan kehadiran sebuah sungai mengalami pasang surut di mana sungai memberi penghidupan bagi masyarakat agraris maupun nelayan, terkadang sungai menampakkan pula kemarahannya, sebut saja banjir bandang di Petoosang beberapa tahun lalu yang menyebabkan korban jiwa dan korban harta sekian banyak. Meski disadari bahwa hal demikian adalah ulah manusia juga yang terkadang lupa bahwa sungai perlu perhatian setidaknya menjaga pepohonan disekitar bantarannya atau minimal tidak membuang sampahnya di sungai.

Berangkat dari kesadaran itulah maka tercetus sebuah ide untuk mengingatkan manusia akan arti pentingnya sungai bagi kehidupan. Dan ide itu terwujud dengan sebuah aksi yang akan terlaksana  insya allah pada tanggal 11/14 Maret 2015 mendatang dengan nama Festival Sungai Mandar2-2015. Seperti namanya Festival Sungai Mandar, maka even ini akan dihelat di sungai Mandar yang membelah kota kecamatan Tinambung, kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat dan membentang sepanjang 90 kilometer.

Dengan mengusung tema " Dengan Sungai Aku Mencintaimu", festival yang kedua kalinya ini diadakan maka diharapkan agar kelestarian sungai yang pada realitanya telah beralih fungsi sebagai tempat pembuangan berbagai jenis limbah manusia, akan tetap terjaga.  

Festival Sungai Mandar merupakan even kampanye pelestarian lingkungan hidup dengan menggunakan pertunjukan seni budaya baik tradisi maupun kontemporer sebagai media kampanyenya. Festival kali ini akan disemarakkan dengan penampilan sedikitnya dua puluh sanggar seni serta kurang lebih tiga puluh seniman dan sastrawan/sastrawati yang akan melakukan solo performance baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan tentu pula dari tanah Mandar sendiri.

Sudah tidak sabar lagi rasanya menunggu hari H Festival Sungai Mandar 2-2015. Sudah tidak sabar lagi rasanya ingin menyaksikan penampilan para pendekar seni dan budaya. Dan sudah tak sabar lagi rasanya melihat mereka yang “terketuk” hatinya untuk turut melestarikan sungai dan lingkungan hidu lainnya.


Sukses Festival Sungai Mandar 2 tahun 2015.


06/01/2015

KEMAH BUDAYA MANDAR 2014

Minat dan animo pemuda Mandar terhadap budayanya semakin menggeliat, setidaknya itulah yang nampak pada acara KEMAH BUDAYA MANDAR 2014 dengan tema “Refleksi Akhir Tahun Budaya Mandar” yang terselenggara atas kerja sama komunitas Apeq Jannangang dengan Uwake Cultural Foundation. Perhelatan yang terselenggara di pantai Palippis selama dua hari dari Sabtu hingga Minggu, tanggal 27 dan 28 Desember 2014 lalu itu dihadiri oleh beberapa komunitas pemuda yang concern dalam ranah budaya dan kesenian Mandar serta ada juga yang berasal dari komunitas pecinta alam (KPA). Kegiatan diisi dengan beberapa materi dan diskusi yang melibatkan beberapa seniman dan budayawan muda Mandar yang telah menorehkan prestasi terbaik mereka baik ditingkat regional, nasional bahkan internasional. Sebut saja Muhammad Ridwan Alimuddin yang telah berkiprah dibidang kebudayaan maritim mandar hingga ke Brest, Prancis atau Muhammad Ishaq atau dikenal dengan nama Ishaq Jenggot yang juga telah menorehkan prestasinya hingga ke Australia. Mereka berdua sempat hadir untuk berbagi ilmu dan wawasan tentang kebudayaan dan berkesenian pada acara ini.

Kemah budaya yang digarap secara bersahaja dan menggunakan anggaran dari hasil patungan dana antara peserta dan panitia ini diikuti oleh beberapa komunitas pemuda dari dua kabupaten yakni kabupaten Polewali Mandar dan kabupaten Majene. “Tujuan dari penyelenggaraan kegiatan KEMAH BUDAYA 2014 ini adalah mempertemukan komunitas-komunitas pelaku maupun pemerhati seni dan kebudayaan Mandar hingga kemudian terjalin komunikasi dan silaturahmi persaudaraan yang lebih erat. Selain itu ditujukan pula untuk berbagi pengalaman dan membahas wacana seni dan kebudayaan yang sekiranya sedang berkembang di masyarakat”. Demikian penyampaian punggawa Uwake Cultural Foundation sebagai salah satu penyelenggara kegiatan.

“Pelaksanaan Kemah Budaya Mandar 2014 ini sengaja mengambil lokasi di pantai Palippis juga dimaksudkan untuk membantu pemerintah dalam hal mempromosikan Palippis kembali kepada masyarakat luas”, demikian keterangan dari Abdul Rasyid yang juga termasuk salah satu panitia dari komunitas Appeq Jannangang ditemui di tempat yang sama.

Acara ini sekiranya akan dibuka pada hari Sabtu pukul 16.00 wita. Namun karena menunggu kehadiran beberapa peserta akhirnya pembukaan baru dapat dilaksanakan pada malam harinya. Setelah pembukaan berakhir lalu diisi dengan selingan hiburan musik tradisional yang sangat memukau yang dilakukan oleh remaja usia SMA yang saat ini sedang mengasah keterampilan musiknya di Uwake, berlanjut kemudian acara malam itu  diisi dengan pemaparan materi dari Muhammad Rahmat Muchtar dengan mengambil judul Antara Kesenian, Wisata, Budaya dan Daya Tumbuh Komunitas. Materi ini memberi pemahaman kepada peserta bagaimana fenomena kehadiran sebuah komunitas kesenian dan kebudayaan lahir dari adanya grup disosial media yang kemudian merasa perlu untuk menampakkan perannya.
Dan kemudian bagaimana membina komunitas tersebut dengan melakukan konsolidasi secara kontinyu. Terungkap pula bahwa keberagaman komunitas merupakan sebuah kekayaan yang harus disyukuri dan perlu untuk menyatukan semangat dalam mengangkat kesenian dan kebudayaan mandar. Tantangan lain dalam membina komunitas adalah memanage sumber daya komunitas dalam menyelenggarakan setiap kegiatan.

Pada sesi kedua yang kemudian diisi oleh Ishaq Jenggot, mengangkat judul Olah Rasa/Kepekaan. Para peserta dihimbau untuk terus mengasah kemampuan “membaca” fenomena alam serta simbol kearifan lokal mandar dalam upaya meningkatkan kualitas diri dan spiritual sebagai makhluk berbudaya. Sungguh apresiasi luar biasa dari peserta terhadap materi yang satu ini, terlihat antusias peserta menyimak semua keterangan dan penjelasan yang diberikan oleh narasumber.


Pada pagi harinya, acara kembali dilanjutkan dengan materi MANDAR TIDAK MEMUNGGUNGI LAUT. Sebuah materi berwawasan kemaritiman yang dibawa oleh Muhammad Ridwan Alimuddin dengan mengusung suasana diskusi interaktif. Kesimpulan yang menarik dari materi ini adalah bahwa Jauh sebelum presiden Joko Widodo mencetuskan ide poros maritim beberapa waktu lalu, tradisi masyarakat mandar sudah menyatu dengan tradisi kemaritiman. Namun kemudian tradisi ini nyaris tidak terekspos oleh karena kurangnya tulisan dokumentasi, namun setidaknya belakangan ini sudah mulai pula adanya geliat literasi pada anak muda yang sekiranya nanti bisa mendokumentasikan kebudayaan mandar untuk kemudian menjadi warisan kepada anak cucu kita hingga mereka tidak kehilangan jejak akar budayanya. Pada pemaparan materi tersebut oleh narasumber, sempat pula dibagikan buku masing-masing kepada tiga penanya pertama. Buku tersebut masing-masing berjudul Kenapa Kita (belum) Cinta Laut, Orang Mandar Orang Laut, dan Kabar Dari Laut yang kesemuanya merupakan hasil tulisan dari narasumber sendiri.

Sebuah harapan kiranya kemah budaya kali ini setidaknya bisa menjadi tonggak untuk kembali menggalakkan forum komunikasi antara para penggiat dan pemerhati seni dan kebudayaan mandar seperti halnya kegiatan Arisan Budaya yang dulunya pernah diadakakn dan secara bergiliran tiap komunitas akan bertindak sebagai tuan rumah. 

Seorang peserta bernama Jalaluddin yang merupakan salah satu anggota dari KPA Denker Majene meminta kepada panitia agar sekiranya kegiatan ini bisa dilaksanakan lagi lain waktu. “Bagi kami, kegiatan ini sangat bermanfaat dan tolong...tolong agar kegiatan ini dilaksanakan lagi dilain waktu. Insya Allah saya mewakili teman-teman KPA Denker berkomitmen untuk selalu hadir” ujarnya.
Tentang Palippis.

Dalam pelaksanaan Kemah Budaya Mandar 2014 kali ini, ada hal merisaukan yang masih kami dapati di bibir pantai Palippis. Apalagi kalau bukan masalah sampah. Sampah kain dan plastik yang merupakan kiriman dari luar terus membanjiri dan semakin menumpuk di bibir pantai, khususnya disekitar bangunan perahu batu. Banyak sampah non organik yang sudah setengah tertimbun pasir hingga dibutuhkan tenaga dan peralatan ekstra untuk membersihkannya. Melihat kondisi itu, sepertinya pemerintah sudah harus turun tangan sesegera mungkin sebelum sampah tersebut jadi menggunung.

Menurut saya tarif penggunaan fasilitas wisata juga ditetapkan asal-asalan. Bayangkan saja, mulai hari Sabtu sore hingga Minggu sore kami menggunakan baruga pertemuan yang sangat sederhana bahkan lantainya sudah hampir rapuh ditambah dengan listrik hanya untuk keperluan pengeras suara dan penerangan satu buah lampu neon serta tiga buah bilik WC tanpa penyediaan air bersih untuk minum maka kami harus membayar sebesar Rp. 300.000,-. Ini menurut saya terlalu fantastis jika dibandingkan dengan fasilitas yang disediakan.

Bagi kami, seharusnya pemerintah yang menangani atau pihak pengelola harus kembali berfikir dan menyesuaikan harga dengan fasilitas yang disediakan. Jangan sampai Palippis harus mati untuk kedua kalinya hanya karena keinginan untuk memenuhi ruang saku lebih besar daripada kepedulian terhadap potensi wisata daerah kita.

18/12/2014

LOST (Hilang di tepian sungai Mandar).

Menunggu sesuatu hal yang tak pasti memang membosankan, dan untuk membunuh kebosanan maka terciptalah tulisan singkat ini. Tulisan ini mungkin agak sedikit memalukan, dan entah kenapa hasratku tiba-tiba ingin menulis tentang salah satu fragmen hidupku terkait sebuah kampung yang bernama Tinambung.

Tinambung memang tidak begitu akrab dalam hidupku apalagi menjadi tanah kelahiranku. Sebab tuhan dalam keputusan kodratnya memaksa saya untuk lahir disebuah kota kecil yang bernama Wonomulyo, berjarak sekitar kurang lebih 30 Km. dari Tinambung. Tapi kota kecil ini telah menorehkan kenangan yang belum hilang dari ingatanku padahal telah terjadi lebih dari 20 tahun yang lalu.

Bermula dari adanya turnamen sepak bola di lapangan GASWON Wonomulyo yang diselenggarakan antara tahun 1985 atau 1986 (sudah agak lupa waktu tepatnya), kakak lelaki saya yang kedua bermaksud untuk menonton. Mengetahui maksud kakak lelaki saya, saya meminta agar diijinkan untuk ikut ke lapangan untuk menonton turnamen sepak bola tersebut. Namun sayang permintaan tidak diluluskan oleh sang kakak. Meski demikian keinginan untuk ikut tetap saja kuat, mungkin sudah dari sananya memang jika saya harus mendapat apa yang menjadi keinginan saya. Maka berbekal nekad, saya yang waktu itu baru berusia 3 atau 4 tahun ikut dengan diam-diam dibelakang sang kakak yang tentu saja tanpa sepengetahuannya.

Mendekati lapangan tempat turnamen yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari rumah orang tua waktu itu, orang-orang yang mempunyai tujuan yang sama dengan saya semakin banyak berdesakan dan bisa ditebak jika saya kemudian kehilangan jejak sang kakak.
Entah waktu itu apakah saya sempat menonton pertandingan sepak bola atau tidak sudah tidak jelas lagi dalam ingatan saya. Yang pasti ketika pertandingan usai dan penonton bubar, saya kemudian naik kesebuah mobil angkot dan bermaksud pulang tanpa berfikir bahwa saya hanya berjalan kaki ketika menuju ke lapangan tersebut. Singkat cerita, sang sopir yang membawa saya menyangka jika saya adalah adik atau anak dari salah seorang penumpangnya. Hingga akhirnya semua penumpang turun dan tersisa saya seorang diri. Sang sopir kemudian bertanya kemana arah tujuan saya, namun saya hanya menjawab “jauh”. Setiba di daerah Tinambung tepatnya disalah satu sudut pasar Tinambung yang terletak tidak jauh dari tepian sungai Mandar, sang supir memutuskan untuk menitipkan saya pada seorang penjual cendol dengan harapan ada seseorang yang akan datang mencari saya.

Di tempat berbeda, tepatnya disebuah rumah di jalan Kapten Jumhana no. 80 kesibukan luar biasa terjadi. Sebuah kesibukan yang terbalut kecemasan dan kepanikan, terlihat pula seorang perempuan yang hanya bisa berurai air mata duduk disalah satu tudutnya ditemani beberapa perempuan lain yang juga tak bisa menyembunyikan kesedihan. Kaum lelaki juga tak kalah sibuknya, salah seorang ABRI (saat itu belum berpisah dengan POLRI dan berganti nama menjadi TNI seperti sekarang) menghubungi penjaga pintu air dan memerintahkan untuk menutup aliran sungai Buttu Dakka yang mengarah kealiran irigasi (masyarakat sana menamainya “ledeng”) yang melintasi depan rumah itu setelah beberapa saat sebelumnya menyelam dan menyusuri ledeng tersebut hingga sejauh 300 meter. 
Beberapa orang juga bergerak mencari kesegala arah, motor dan mobil yang saat itu masih terhitung langka dimiliki dan menjadi barang mewah di Wonomulyo secara sukarela dikerahkan oleh pemiliknya untuk melakukan pencarian.

Hingga akhirnya tersiar informasi yang masih kabur namun membawa harapan, bahwa ada seorang anak yang hilang dan dititipkan disebuah warung cendol di pasar Tinambung. Mengetahui informasi itu, tim pencari segera bereaksi dengan cepat dan menelusuri kebenaran informasi. Tak lama kemudian tibalah tim pencari di warung cendol termaksud dan menemukan seorang anak yang memang sementara dicari sedang menikmati segelas cendol yang entah gelas keberapa. Yah anak itu adalah saya sebagaimana cerita sebelumnya.

Setelah mengobrol singkat dengan pemilik warung, tim pencari yang telah berhasil tadi kemudian membawa saya untuk kembali pulang. Di tengah perjalanan, mobil kami berpapasan dengan tim pencari kedua yang mengendarai sepeda motor rupanya hendak menyusul tim pencari pertama. Setelah memastikan bahwa yang ditemukan tadi adalah saya yang memang sedang dicari, kami kemudian beriringan kembali pulang ke rumah. Dan kedatangan kami langsung disambut dengan ucap syukur dan tangis bahagia, terlebih dari ibu saya yang langsung memeluk saya dengan erat.
Sejurus kemudian, ketika suasana euforia pertemuan sudah mulai terkendali. Dengan santainya saya mengeluarkan sepeda roda tigaku dan mengayuhnya berkeliling ruangan dengan menggenggam uang kertas seratus rupiah berwarna merah hadiah kepulanganku. Dengan sepeda roda tiga itulah aku berkeliling tepat di depan orang-orang yang tadi sempat panik dan sibuk, namun wajah-wajah tegang mereka tadi kini telah terganti menjadi wajah riang dan bahagia.

* Sebagian cerita ini ditulis sesuai penuturan orang-orang yang melakukan pencarian saat mengobrol setelah usaha pencarian atas saya berhasil dan kemudian diceritakan oleh orang tua saya.

** Dari cerita ini saya mengambil beberapa pelajaran. Salah satunya adalah ternyata begitu banyak perhatian orang pada saya yang terkadang saya lupakan. Semoga disisa hidup ini, saya dapat pula memberikan perhatian pada mereka yang masih hidup atau setidaknya keturunan mereka bagi mereka yang sudah tiada.

Ada Kalumpang di Tappalang (Sebuah catatan kecil dari Seminar Tapalang Menggugat)

Kecintaan dan kegelisahan generasi muda Mandar akan seni budaya dan sejarah daerahnya semakin menggeliat. Mengusung tema “ Mengangkat Kembali Sejarah, Budaya dan Seni Tapalang Yang Hilang”, komunitas pemuda Parring Bulahang Art dengan dukungan Komunitas Appeq Jannangang (AJ) dan Dalleq Creative Style (DCS) menyelenggarakan sebuah seminar budaya “Tapalang Menggugat” yang diadakan pada hari Minggu (14/12-2014) bertempat di gedung aula PKK kecamatan Tapalang.

Seminar ini dihadiri oleh beberapa tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh pemerintahan kecamatan Tapalang. Selain itu, seminar ini dihadiri pula oleh perwakilan desa antara lain Oro Batu, Tampalang, Galung, Passaqbu, Takandeang, Tamao, Kasambang, Taang, Limbeng, serta Dayangnginna. Seminar yang berlangsung hingga pukul 14.00 wita ini dihadiri dan dibuka secara resmi oleh Sekertaris kecamatan Tappalang H. Agus Abdullah BS. Hadir pula dalam acara ini pemuda-pemuda dari kabupaten Polewali Mandar dan Majene. Sekitar 20 orang pemuda yang tergabung dalam komunitas Mandar Comunity 01 dan kurang lebih 10 orang anggota dari komunitas pemerhati seni budaya, sejarah maupun wisata Mandar, Appeq Jannangang (AJ) ikut serta hadir menyemarakkan acara seminar Tapalang Menggugat ini.

Jalannya seminar.
Meskipun terbilang amat sangat sederhana, namun kegiatan seminar Tapalang Menggugat mendapat animo yang luar biasa dari peserta khususnya pemuda Tappalang. Hal ini terbukti dari peserta yang hadir berjumlah kurang lebih seratus orang dan menyesaki gedung PKK kecamatan Tappalang yang berukuran sederhana.
Yah, ibukota kecamatan Tappalang memang tampak sangat sederhana jika tidak mau dikatakan tertinggal dalam segi pembangunan infrastruktur. Bahkan salah seorang teman saya sempat berceloteh jika keadaan infrastruktur desa Pambusuang di kecamatan Balanipa lebih baik daripada ibukota kecamatan Tappalang ini. Kantor camat dan gedung PKK tempat acara berlangsung sendiri masih merupakan gedung warisan kolonial Belanda sebagaimana keterangan salah seorang panitia yang ditemui di tempat terpisah.

Secara umum kegiatan ini berlangsung semarak dalam suasana kekeluargaan meskipun saat dimulai sempat molor hingga 90 menit dari jadwal seharusnya dikarenakan menunggu kedatangan Camat Tappalang yang sekiranya hadir untuk membuka acara namun ternyata tidak sempat hingga harus mewakilkannya kepada Sekertearis kecamatan H. Agus Abdullah BS. Acara dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang berlangsung hikmat dan namun penuh penghayatan, penulis sendiri sempat merinding saat ikut menyanyikan lagu kebangsaan kita ini. Berturut kemudian sambutan ketua panitia yang dalam sambutannya sempat menyebutkan isi dari ikrar Tammejarra, sambutan dan pembukaan acara seminar Tapalang Menggugat oleh Sekcam Tappalang yang mewakili kepala kantor kecamatan Tappalang, dan kemudian istirahat sambil ditemani hiburan musik akustik dari personil Parring Bulahang Art.

Setelah acara istirahat, seminarpun memasuki acara inti yang dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama diisi dengan pemaparan sejarah Tappalang dari beberapa narasumber dan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab.

Ada banyak harapan yang tertuju pada pelaksanaan seminar Tapalang Menggugat kali ini, setidaknya itu yang saya tangkap dari keterangan beberapa nara sumber dan peserta yang mengemuka saat acara berlangsung. “Tujuan seminar adalah mengangkat kembali nilai-nilai sejarah dan budaya Tapalang yang seolah-olah terlupakan. Padahal tak bisa dipungkiri bahwa Tapalang dulunya adalah sebuah kerajaan yang menjadi bagian dari konfederasi Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babbana Binanga. Berdampingan dengan kerajaan Balanipa, Banggae, Pamboang, Sendana, Mamuju dan Binuang serta tujuh kerajaan dari mandar di pegunungan (PUS). Berdasar dari kegeliasan itulah maka diharapkan melalui seminar ini, kembali ditemukan benang merah yang menghubungkan generasi muda keturunan Nene Tambuli Bassi dengan asal usul kebudayaan dan kearifan lokalnya yang saat ini mulai terkikis. Demikian keterangan ketua panitia Ahriadi AS.dalam sambutannya.

“Seminar seperti ini seharusnya bemuara, setidaknya setelah seminar berakhir akan lahir sebuah buku yang meluruskan tentang sejarah Tappalang. Dan semoga melalui kegiatan ini, mulai difikirkan untuk kembali membentuk pemangku adat yang nantinya akan menunjuk dan melantik seorang Maraddika Tappalang. Tappalang juga seharusnya memiliki bangunan rumah adat, sebab dahulu Tappalang tidak diintervensi oleh kerajaan manapun”. Ini adalah keterangan Amran, salah seorang tokoh masyarakat dari wilayah Dayangnginna.

Dalam seminar ini sempat pula dikritisi penulisan nama Tapalang yang sering muncul, dan bahkan tertulis pada baliho kegiatan. Dan terungkap bahwa di dalam lontar yang sering menjadi acuan sejarah tertulis nama Tappalang, demikian pula dalam cerita tutur yang menyebutkan Tappalang dan bukan Tapalang. Hingga dalam tulisan ini, terpaksa penulis menuliskan dua versi. Penulisan nama Tapalang menandakan jika tulisan itu tertera pada media promosi panitia atau merupakan ucapan seorang sumber, sedang Tappalang (dengan dobel “P”) menandakan berasal dari penulis.

Mempertimbangkan waktu serta materi yang akan dibahas merupakan hal yang butuh pembahasan panjang. Maka pihak panitia memutuskan bahwa pada kesempatan kali ini hanya membahas sejarah, adapun sisi budaya dan seni daerah Tappalang akan dibahas pada seminar selanjutnya yang dijadwalkan berlangsung pada bulan Maret 2015 yang akan datang.
Yang unik dan yang mahal dari Tappalang.

Ada hal yang menarik dan sempat membuat saya penasaran pada awalnya tentang suguhan menu makan siang yang disampaikan panitia sesaat sebelum acara makan siang yaitu “kalumpang”. Kalumpang dalam pengetahuan awal saya adalah nama salah satu daerah yang diyakini sebagai daerah awal peradaban Mandar dimana pada pekan ini sedang sibuk pula dengan kegiatan budaya yang bertajuk TANAH LOTONG MEMANGGIL”. Hingga kemudian menu makan siang dibagikan, barulah saya mengetahui bahwa yang dimaksud kalumpang oleh panitia seminar adalah makanan pokok pengganti nasi yang terbuat dari sagu yang dipanggang. Pada umumnya mandar Balanipa menyebutnya dengan jepa katong atau jepa sagu. Pada kesempatan ini, menu kalumpang didampingi dengan lauk bau peapi (ikan masak kuah kuning) yang juga sedikit berbeda dengan bau peapi pada umumnya di Mandar sebab tidak menggunakan bawang mandar sebagai salah satu bumbunya. Untuk menggantikan bawang mandar, digunakan irisan bawang merah. Meskipun pada dasarnya perut saya tidak akrab dengan makanan pokok pengganti nasi dari jenis apapun yang bertujuan utuk mengenyangkan, namun tidak mengurangi minat saya menyantap menu yang satu ini.

Mengingat masih ada waktu yang tersisa setelah acara seminar, maka saya diajak oleh seorang teman untuk iseng-iseng berburu bongkahan batu permata yang menjadi salah satu kekayaan alam Tappalang. Dan berangkatlah kami berempat menuju sebuah lokasi yang ditengarai memiliki kandungan batu permata. Selama kurang lebih 1 jam kami berburu, kami berhasil menemukan kurang lebih 2 kg. bongkahan batu permata dari jenis natural calcedony atau dalam bahasa lokal dinamakan panno-panno yang menurut salah seorang yang saya hubungi merupakan batu idola yang saat ini sedang naik daun dalam kancah batu permata nasional dan Tappalang satu-satunya daerah yang memiliki kekayaan batu permata dari jenis ini. Selain natural calcedony, kami juga menemukan jenis bongkahan batu permata lainnya. Sungguh jika sumber kekayaan alam ini dikelola dengan bijaksana, maka niscaya akan menambah sumber mata pencaharian masyarakat lokal Tappalang.


Sekian tulisan singkat mengenai seminar Tapalang Menggugat bagian pertama ini, semoga seminar ini bisa menjadi pemacu dan pemicu generasi muda khususnya Tappalang untuk kembali mempelajari sejarah dan budaya yang menjadi ajaran luhur kearifan lokal. Serta pemerintah yang mungkin sudah bisa melirik daerah ini untuk melakukan progres pembangunan infra struktur agar tercipta pembangunan yang merata.

* Tulisan ini dimuat pada harian Radar Sulbar edisi Rabu, 17 Desember 2014 dengan judul Tappalang, Bukan Tapalang dan "Kalumpang" di Tappalang.

06/11/2014

LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKAN #4 (Selesai)


Negeri seribu cerita.


Sebagai negeri tua, Lambanan tentu tidak lepas dari cerita dan tempat-tempat berbau mistik. Selain dari yang telah disebutkan sebelumnya, Lambanan masih memiliki beberapa tempat dengan ceritanya masing-masing. 
Lambusang adalah tempat dimana orang-orang yang baru akan memasuki desa Lambanan harus meletakkan batu kecil. Peletakan batu kecil tersebut dianggap sebagai permohonan izin untuk memasuki perkampungan desa Lambanan, kepada sosok “penjaga” perbatasan. Menurut cerita, sungai yang berada di dekat rumah-rumahan di mana batu tersebut biasanya diletakkan, dihuni oleh sosok wanita cantik yang dulunya berprofesi sebagai penari di kerajaan Balanipa. 
Hingga suatu saat, entah bagaimana ceritanya sehingga sang penari tersebut terjatuh ke sungai hingga hanyut dan jenazahnya tidak pernah ditemukan hingga hari ini. Nah konon, arwah wanita penari ini sering menampakkan diri, ia akan mengganggu pelintas yang tidak meletakkan batu. Namun nampaknya kisah ini sudah tidak berlaku saat ini, sebab ketika kami memasuki perkampungan desa Lambanan tak satupun dari kami yang meletakkan batu kecil. Tapi alhamdulillah, tak terjadi apa-apa terhadap kami. Wallahu a’lam bissawab.
Sumur Pandaq adalah sumur tua yang juga ada di Lambanan, karena di tempat itu terdapat tiga buah sumur yang saling berdekatan, sehingga sumur tersebut juga kadang disebut dengan passauan tallu (tiga sumur). Menurut keyakinan beberapa orang, bahwa mandi atau mencuci muka di sumur ini bisa memudahkan dalam urusan jodoh, dan konon sudah terbukti pada beberapa orang. Sehingga oleh sebagian orang, sumur ini juga dinamai dengan sumur jodoh. 
Dari ketiga nama itu, mungkin passauang tallu (sumur tiga) dan sumur jodoh adalah nama yang sudah diketahui dasar penamaannya. Berikut ini adalah cerita kenapa sumur ini disebut juga passauang Pandaq. Dahulu kala ketika musim kemarau melanda desa Lambanan, oleh rapat para sesepuh maka diputuskan untuk menggali sebuah sumur yang sekiranya akan dimanfaatkan sebagai sumur umum, dan ditentukan pulalah titik lokasi penggalian sumur tersebut. Beberapa kali alat gali ditancapkan, maka keluarlah sedikit mata air. Namun kemudian semakin dalam penduduk menggali, debit air bukannya bertambah tapi malah semakin berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Kemudian titik penggalian dipindahkan ke tempat yang tidak terlalu jauh, hanya beberapa meter dari titik gali sebelumnya. Namun kejadian serupa kembali terjadi, hingga titik gali kembali dipindahkan. Sayang, kejadian yang pertama pun kembali terulang hingga ketiga kalinya. 
Melihat kejadian ini, tampillah seorang penduduk yang mencoba untuk mengadakan kembali mata air yang hilang dari sumur yang telah digali tersebut. Ia pun pergi kesungai Ulu Mandaq yang ada jauh di pedalaman Majene sekarang. Ia mengambil air sungai dengan menggunakan selembar daun yang dibentuk kerucut mirip dengan corong untuk menampung air tersebut. 
Sekembalinya di Lambanan, ia pun menuju ke tempat sumur yang sudah digali namun tidak mengeluarkan air tadi dan melakukan ritual memanggil air dari Ulu mandaq dengan sarana air sungai yang sebelumnya ia ambil. Alhasil, ketiga galian tadi pun perlahan-lahan mengeluarkan mata air dengan debit yang cukup memenuhi kebutuhuan warga lambanan. Debit air di sumur inipun tidak pernah kering meski kemarau sedang panjang. Dan dari situlah orang tadi kemudian lebih dikenal dengan nama I Pandaq, dan ketiga galian sumur tadi diberi nama sumur Pandaq atau passauang pandaq. Wallahu a’lam bissawab.

Selain itu, di lambanan juga terdapat kompleks pemakaman yang salah satu makamnya diyakini sebagai makam I Lamber Susu yang merupakan keturunan dari Pongka Padang, leluhur sekaligus cikal bakal manusia di Mandar. Konon dinamai I Lamber Susu sebab beliau memiliki (maaf) payudara yang panjang, hingga jika ia akan menyusui anaknya maka payudaranya akan diselempangkan dipundak hingga (maaf) putingnya bisa diraih dan disusui oleh anaknya dari belakang. Wallahu a’lam bissawab.

Demikianlah kisah dari Lambanan yang kami peroleh dari perjalanan singkat yang kami lakukan beberapa waktu lalu. Semoga apa yang kami tuliskan bisa membuka wawasan kita tentang keunikan salah satu yang ada di Polewali Mandar. Serta mengajak kita untuk menggali kembali beberapa kearifan lokal dalam simbol yang dihadirkan dalam beberapa ritual religius maupun cerita – cerita yang mungkin berbau mitos. 
Dengan penuh kerendahan hati kami akui jika dalam tulisan-tulisan kami masih terdapat banyak kekurangan dan besar harapan kami jika sekiranya ada yang berkenan memberi masukan kepada kami mengenai tulisan ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih.

09/10/2014

LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKAN #3

      Melanjutkan tulisan hasil perjalanan ke Lambanan, berikut kami tuliskan keunikan lain dari desa ini. untuk mengetahui keunikan yang lain, anda dapat membaca tulisan kami sebelumnya LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKAN #1 dan LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKAN #2
      
      Artefak dan Ritual Peninggalan Tradisi.

Sebagai salah satu kampung tua, Lambanan mempunyai beberapa artefak bersejarah yang dimiliki oleh warga setempat. Beberapa yang sempat kami terangkan menurut penjelasan dari kepala desa Lambanan,  diantaranya adalah kitab tulisan tangan dari To Salamaq Annangguru Malolo. Kitab ini masih menggunakan bahan kertas dari India dan ditulis dengan tinta India pula. Tulisan dalam kitab ini menggunakan huruf arab serang berbahasa bugis serta aksara lontara. Meski secara tersamar, namun dari pennjelasan tersebut dapat kami ambil kesimpulan bahwa kitab tersebut berisi pelajaran-pelajaran tasawuf atau tarekat. Ajaran – ajaran inilah yang diturunkan oleh To Salamaq Annangguru Malolo kepada murid-muridnya.

Yang berikutnya adalah teks khutbah asli yang ditulis oleh To Salamaq Annangguru Malolo. Berbeda dari kitab yang dibahas di atas, media tulis teks khutbah ini menggunakan kertas yang masih berbahan bambu dan berbahasa arab. Sampai saat ini, teks khutbah ini masih sering dikeluarkan untuk dibacakan pada hari raya Iedul Adha termasuk hari raya tahun ini 1435 H. atau 2014 M.

Ada mitos yang lahir dari kitab ini yaitu siapa saja mengambil serpihan kertas dan menelannya maka dipercaya bahwa orang tersebut akan memperoleh kekebalan atau kulitnya tidak akan mempan terhadap senjata tajam.  Karena mitos yang diyakini sebagian masyarakat inilah sehingga perangkat mesjid begitu waspada dan berhati-hati saat mngeluarkan teks khutbah ini untuk dibacakan.

Di Lambanan terdapat pula peninggalan dari Pappuangang Luyo yaitu sebilah keris berluk 7 dan luk 13 yang disimpan oleh salah satu warga. Sayang karena keterbatasan waktu, artefak yang kami sebut di atas tidak dapat kami lihat secara langsung saat kunjungan tersebut.

Selain peninggalan berupa artefak sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, di Lambanan juga masih terdapat tradisi ritual agama yang unik dan tidak terdapat di daerah lain. Salah satunya adalah ritual baca do’a Neneta Adam yang dilaksanakan setiap malam 10 Muharram. Tidak dijelaskan oleh narasumber sejak kapan ritual ini mulai diadakan, namun beliau menjelaskan bahwa prosesi ini menyimpan suasana mistis hingga pernah mengejutkan istri salah satu mantan bupati Polman yang menyempatkan untuk menyaksikan prosesi ritual baca do’a Nene ta Adam ini.

Ritual ini dijalankan oleh tujuh orang pemuka agama Lambanan sebagai pemeran kunci acara, menggunakan tujuh macam kue tradisional yang dialasi dengan daun pisang pilihan. Daun pisang yang terpilih haruslah merupakan daun pisang yang pelepahnya terpanjang di Lambanan dan utuh alias tidak boleh cacat atau sobek. Ada berbagai makna penyimbolan dari segala property yang digunakan. Mulai dari penggunaan jumlah tujuh yang dimaknai sebagai lingkup ruang kosmos, yang terdiri dari tujuh lapis langit dan tujuh lapis tanah, pada saat melaksanakan thawaf di Ka'bah sebanyak tujuh putaran, bagain tubuh yang menandai sujud sebanyak tujuh serta banyak lagi yang tidak dapat kami sebutkan. Pemilihan waktu malam tanggal 10 Muharram pun dipilih karena diyakini bahwa pada tanggal 10 Muharram terjadi banyak peristiwa-peristiwa luar biasa yang dikenal oleh ummat Islam.
Ritual baca do'a "Nene ta Adam".
(Foto: disbudparpolman.weebly.com)


Ritual yang kedua adalah sambayang annang (shalat enam). Ritual ini biasanya dilakukan pada malam hari setelah lebaran dan menggunakan enam orang sebagai pemeran kunci yang jika tidak hadir salah satunya maka acara tidak dapat dilaksanakan. Sebagaimana ritual baca do’a nene ta Adam, sambayang annang pun memiliki kandungan makna penyimbolan yang amat dalam. Namun karena ini berkaitan dengan keyakinan dan kebatinan, maka kami tidak dapat menyebutkannya di sini.

Lalu mengapa menggunakan nama baca do'a “Nene ta Adam” yang jika diterjemahkan kebahasa Indonesia berarti Nenek kita Adam, sementara dalam bahasa Mandar sendiri, nenek disebut dengan kanneq?. Saya hanya bisa menarik menyimpulkan, bahwa dari sekian ikon simbolik yang digunakan oleh masyarakat Selebes (Sulawesi) baik yang sempat kami sebutkan di sini atau tidak. Terdapat benang merah bahwa sesungguhnya masyarakat Selebes berasal dari satu rumpun yang satu dan kemudian terpecah menjadi suku-suku seperti yang kita temui sekarang. 
Bahwa Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja sesungguhnya adalah berasal dari kesatuan “bambu” yang pecah.


Bersambung............

08/10/2014

SAJAK-SAJAK SANG ELANG

=====================
Jika cinta ini kau cerabut
Penaku takkan menangis
Jika hasratku kau hempaskan
Kertas usang di depanku takkan bersedih

Jika rinduku kau sia kan
Baris kata itu takkan bermuntahan
Sebab ia tak tertulis dalam anganku
Ia terpahat di ujung ketinggian pilar-pilar asa

Sudahlah.......
Katupkan saja kedua matamu
Agar tirtanya tak menganak sungai
Jangan tangisi sang elang yang mengabur
Sebab kodratnya terbang sendiri


Matakali, 0510142306

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...