24/03/2023

MANIS DAN GURIHNYA WARISAN PENJAJAH YANG JADI CEMILAN KHAS MANDAR.

Bolu Paranggi
(Sumber: sulbarkita.com)

Perjanjian Bongaya ditandatangani pada 18 November 1667 masehi, ketika aroma mesiu masih pekat menggantung di langit Makassar. Perang Makassar memang belum berhenti total saat itu, masih ada perlawanan-perlawanan sporadis yang dilakukan para pribumi yang setia nan perwira. Dan hari-hari selanjutnya pelabuhan Makassar yang sebelumnya menjadi pelabuhan internasional dan sibuk dengan perdagangan, kini hanya diisi aktifitas kepergian kapal-kapal pedagang luar negeri kecuali VOC. Perjanjian Bongaya memang mengharuskan orang Makassar berdagang hanya dengan pedagang VOC, yang lain harus angkat kaki dari Makassar. Salah satunya kapal dagang terakhir yang bertolak dikesejukan pagi itu adalah kapal Portugis.

Jauh sebelum VOC, Portugis sudah lebih dulu berinterkasi dengan orang Sulawesi. Bahkan di pertengahan tahun 1500-an, kira-kira se-zaman dengan pemerintahan I Manyambungi di kerajaan Balanipa, beberapa raja-raja di pulau berbentuk huruf "K" ini pernah dibaptis oleh agamawan yang tergabung dalam armada dagang pimpinan Antonio de Paiva. Setidaknya koneksi yang panjang tersebut telah meninggalkan bentuk tradisi, dan di Mandar di antara warisannya  adalah musik dan kuliner.

Oleh masyarakat Mandar dikenal adanya kudapan khas yang berbahan tepung terigu, gula pasir, gula merah, telur dan TBM lalu kemudian dipanggang dengan menggunakan cetakan khusus. Jajanan ini menghadirkan aroma dan warna cokelat mengkilap yang menggugah selera. Ayo, coba tebak !?.

Yes, kue yang menjadi penanda bahwa Portugis pernah ada di pelabuhan-pelabuhan dagang Sulawesi adalah bolu paranggi. Tidak mengherankan pula jika resep kue ini bisa sampai di dapur orang-orang Mandar mengingat para pelaut Mandar adalah pelaut ulung yang selalu hadir dipelabuhan-pelabuhan internasional zaman dulu. Bisa jadi, ketika salah seorang pelaut Mandar itu mencicipi bolu paranggi merasa sangat tertarik dan ingin agar istrinya di rumah bisa membuat dan turut merasakan enaknya kue itu, kemudian membawa pulang resepnya. Dan karena lupa menanyakan nama kuenya maka, ia menamai kue buatan istrinya dari resep orang asing itu dengan nama Bolu Paranggi, Bolu Portugis. Wallahu a'lam bissawab.


Zulfihadi (Tapango, 2 Ramadhan 1444 H.)

23/03/2023

PISANG DI MANDAR, ANTARA INGATAN DAN HARAPAN



Tulisan di atas adalah salah satu ungkapan pantun Galigo dikalangan masyarakat Bugis yang alih aksaranya sebagai berikut:

GEllang ri wataq majjekko. Anrena mEnrEede. Bali ulu bale.

Secara harfiah bisa diartikan:

Logam bengkok yang diangkat berarti kail/pancing, dalam bahasa Bugis disebut meng. Makanannya orang Mandar berarti pisang atau dalam loka bahasa Bugis, kebalikan dari kepala ikan yang dimaksudkan adalah ekor dalam bahasa Bugis disebut ikko. Sehingga akan terbaca meloka ri iko/ᨆᨙᨒᨚᨀ ᨑᨗᨀᨚ  yang berarti "aku mencintaimu".

Tapi saya tidak akan membahas pantun ungkapan asmara yang dulu akrab bagi muda-mudi remaja zaman kerajaan dulu itu lebih jauh, saya hanya mengutip baris kedua dari pantun itu sebagai inspirasi tulisan ini yang menunjukkan bahwa orang Mandar pada masa lalu sebelum mengenal pertanian padi, mereka sudah akrab bahkan mungkin telah menjadikan pisang sebagai makanan pokok selain singkong dan jewawut. Semoga ini bisa menjadi bahan pemantik kajian makanan tradisional Mandar ke depannya.

Pisang sebagai salah satu makanan pokok orang Mandar bisa ditemui jejaknya hingga sekarang dengan banyaknya panganan berbahan dasar pisang tidak saja berupa cemilan tapi juga makanan berat. Untuk kelas kudapan ringan bisa kita sebutkan dampoq loka, kambossol, loka janno atau jepa loka, dsb. Sementara untuk makanan berat ada loka sattai, loka toqjaq, loka peapi, lokasari dsb.

Almarhum H. Andi Syaiful Sinrang, seorang penulis, penyair sekaligus veteran perang dari Majene, juga sempat mengabadikan loka pere yang rasanya sangat manis dalam lagu legendaris Wattu Timor Di Pamboang yang diciptakannya bersama HM Abdullah.

Salah satu kecamatan di Kabupaten Polewali Mandar bahkan bernama  Luyo di mana  luyo merupakan nama lain dari pisang. Dan nama ini telah melekat sebagai nama daerah itu sejak masih menjadi bagian dari kerajaan Pasokorang yang diperkirakan eksis hampir bersamaan dengan zaman keemasan kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Jauh sebelum Balanipa, kerajaan paling tersohor di Mandar berdiri. 

Rasanya dari fakta dan realita di atas, cukuplah bisa menjadi motivasi pemuda dan masyarakat Sulawesi Barat untuk memulai upaya kreatif pengembangan pangan berbasis pisang. Selain memiliki potensi ekonomis juga sebagai upaya membantu pemerintah dalam hal ketahanan pangan, ketenaga kerjaan dan berbagai tantangan menuju masyarakat sejahtera bisa tertangani. Pisang juga diketahui mengandung tinggi kandungan vitamin, mineral dan serat sehingga sangat baik untuk pemenuhan gizi keluarga. Bisa saja nantinya akan muncul loka satta kaleng atau loka pere kaleng yang disajikan di atas meja makan orang-orang Eropa yang dikirim lansung dari Sulawesi Barat.



Zulfihadi

(Tapango, 1 Ramadhan 1444 H.)

PADI REBUS?

Beras Rakangan
(Foto: Zulfihadi)

Karena kekayaan alam dan keindahannya, Indonesia terkadang disebut sebagai serpihan surga yang jatuh ke bumi. Bukan hanya suku bangsa, bahasa dan adat istiadatnya yang majemuk. Tapi bahan pangan dan kulinernya juga yang bermacam ragam.


Sulawesi Barat sebagai bagian dari Indonesia tak ketinggalan memiliki banyak jenis pangan dan kuliner mulai loka sattai, kundo, jepa, kalumpang, nasu kadundung, doda,  serta masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Dan satu yang baru bagi saya adalah pare rakangan. Sudah pernah dengar nama pangan yang satu ini?. Saya yakin, masih banyak yang juga baru mengetahuinya. Saya sendiri baru pertama kali mendapatkan pare rakangan setelah mendapat kiriman dari salah seorang teman yang berasal dari Tutar, tidak lama sebelum tulisan ini dibuat.


Pare rakangan adalah bahan pangan berupa beras dari padi yang datangnya dari wilayah perbukitan di timur Sulawesi Barat. Daerah yang juga biasa dikenal sebagai Mandar pegunungan, tepatnya kecamatan Tubbi Taramanu, Kab. Polman berlanjut ke timur di dataran tinggi Nosu dan Pana, Kab. Mamasa.

Pare rakangan ini beras bukan sembarangan beras, sebab ada proses pengolahan yang cenderung tidak lazim dilakukan pada jenis padi lain. Dihasilkan dari padi ladang jenis beras merah. Biasanya padi lain setelah panen lansung dijemur lalu digiling hingga jadi beras. Berbeda dengan pare rakangan yang justru setelah dipanen akan melalui proses perebusan. Nah, unik kan !?. Nantilah setelah direbus lalu dijemur dan selanjutnya ditumbuk untuk memisahkan kulit sekamnya. 


Pada umumnya budidaya pare rakangan masih menggunakan cara dan alat tradisional. Buah padi dilepas dari batangnya menggunakan anai-anai yang dalam bahasa daerah disebut raapang (Mandar) atau rakkapEng (Bugis). Raapang berupa pisau kecil bertangkai kayu/bambu yang diselipkan agar tersembunyi di antara jari. Konon alat ini digunakan dengan cara itu guna menghormati Dewi Padi Sang Hyang Sri atau disebut dalam kitab I Lagaligo dengan nama Sangiang Seri.


Bahan pangan ini juga mendapatkan namanya dari proses pasca panen tersebut. Pare dalam bahasa Tutar berarti padi dan rakangan berarti rebus. Jadi pare rakangan jika dibahasa Indonesia-kan berarti padi rebus. Oh, ya. Saat memasak beras pare rakangan ini harus diberikan sedikit ekstra air dibanding memasak beras biasa ya. Karena karakter beras rakangan ini sedikit keras. Begitu tips dari teman yang memberi bahan pangan unik itu ke saya.


Zulfihadi

(Tapango, senja terakhir Sya'ban 1444 H.)


02/02/2023

ENERGY KONDOSAPATA


 

"Pitu Baqbana Binanga memmata di mangiwang, Pitu Ulunna Salu memmata di sawa".

Sebuah jargon bersejarah yang diyakini telah berusia ratusan tahun sebagai penanda kerjasama sekaligus persaudaraan antara masyarakat pesisir (baca: Mandar) dengan masyarakat pegunungan (baca: Mamasa) dan secara abadi tercantum di dalam perjanjian paling terkenal di Sulawesi Barat. Allamungang Batu Di Luyo.

Jargon ini semestinya tidak hilang bersama dihapuskannya sistem pemerintahan kerajaan namun, terus terabadikan menjadi kolaborasi modern diera digital ini.

Dizaman inilah, kolaborasi perlu dimassifkan untuk melakukan rencana-rencana masa depan yang lebih nyata, terencana, terstruktur dan, terukur.

Memperingati hari ulang tahun Mamasa yang ke-21,  gabungan pemuda dari pesisir dan pegunungan Sulawesi Barat memantapkan hati bersatu mempersembahkan kado ulang tahun yang sedianya membawa perubahan dan menjadi kenangan manis. Kado itu bernama Energy Kondosapata.

Energy Kondosapata sengaja dipilih menjadi penamaan kegiatan sebab merupakan penggabungan kata yang mencerminkan nuansa modern sekaligus tradisional dan diharapkan menjadi motor penggerak awal memajukan ekonomi dan keaejahteraan masyarakat Mamasa.

Gerakan yang dimaksud secara gamblang adalah promosi wisata dan komoditi berbasis internet serta pengembangan pemuda berbakat untuk memberdayakan ekonomi keluargan dan masyarakat lingkungannya.

Kegiatan ini akan diisi dengan kegiatan pendataan potensi, pengambilan video profesional dan pengenalan potensi daerah Mamasa untuk memasuki pasar yang lebih luas. Landasan kegiatan ini adalah ikatan kesejarahan, semangat berbagi dan semangat pemberdayaan dengan menitik beratkan potensi yang dimiliki untuk produksi kegiatan terbaik dengan melihat indikator pencapaian out-put dan out-come pada bulan ke-3 setelah kegiatan.

Ya, sengaja kegiatan ini tidak menggunakan panggung megah, sound sistem "wah" atau artis terkenal, mengingat keterbatasan anggaran yang dimiliki para pemuda yang terlibat sebagai pelaksana, sulitnya menembus prosedur birokrasi dan minimnya jaringan keperusahaan yang memiliki pembiayaan CSR. Namun demikian, kami tidak menutup kesempatan kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dengan cara mengubungi kami.

Olehnya itu, kami hanya ingin meminta restu kepada segenap masarakat demi terlaksananya kegiatan sederhana ini. 

#mamasa21 #hut #ultah #pemuda #kado

18/12/2017

Belajar Dari Super Hero


Kehadiran Super Hero yang menjadi asupan tontonan kita berlangsung sejak lama. Setidaknya sejak televisi merasuk hingga ke pedesaan kita yang aman damai gemah ripah loh jinawi toto tentram kertoraharjo. Kehadiran tokoh-tokoh super hero ini selalu dinantikan oleh anak-anak. Sebut saja Batman, Superman, Hulk, Ultraman ataupun Satria Baja Hitam. Tak ketinggalan pula super hero wanita seperti Super Girl, Xena atau Wonder Woman.

Namun dari setiap tindakan kepahlawanannya dalam menyelamatkan seseorang selalu diikuti dengan efek kerusakan bangunan atau fasilitas umum maupun pribadi. Inilah yang disebut reaktif dalam merespon sebuah kejadian. Menyelesaikan masalah hanya permukaannya saja. Lihat saja bagaimana gedung-gedung yang hancur, mobil-mobil beterbangan, menara yang roboh atau jembatan yang terputus saat mereka beraksi.

Saya tidak ingin mengkritisi alur cerita yang susah payah dibuat oleh sutrdara dan penulis skenario ataupun, tetesan keringat kerja keras para penata panggung yang bekerja di balik layar. Sebab sebuah adegan dramatis dan menegangkan memang dibutuhkan sebagai pelaris sebuah film, tentu saja di luar jampi-jampi dan asap dupa penglaris kalau ada yang pake. Hehehe....

Cara penyelesaian sebuah persoalan inilah yang menjadi perhatian saya. Bukankah cara penyelesaian permasalahan yang dilakukan oleh para super hero itu menjadi cermin penyelesaian persoalan negara kita dewasa ini. Pembangunan bandara Kulon Progo mengorbankan masyarakat pemilik lahan yang dipaksa pergi meninggalkan rumah dan tanah yang telah mereka miliki selama beberapa generasi. Di sini. Di Sulawesi Barat, pantai ditanggul untuk mengurangi pengikisan daratan oleh ombak laut sehingga para nelayan harus mencari lokasi pendaratan perahu yang aman jauh dari desanya. Baru-baru ini Liputan6.com merilis berita penambahan daya listrik hingga 40 ribu MW. oleh menteri Energi Dan Sumberdaya Manusia, yang mengharuskan penambahan daya listrik untuk masyarakat dengan menghapuskan daya 450 dan 900 watt, meski masih berupa wacana.

Kita semestinya harus bersyukur sebab, negara kita rupanya mampu memproduksi energi listrik yang cukup banyak untuk semua rakyatnya. Meskipun pada realitanya pemadaman listrik masih sangat sering terjadi dibeberapa wilayah, baik itu dengan informasi sebelumnya ataupun pemadaman mendadak. Tapi hendaknya kemajuan tidak menjadikan masyarakat umum sebagai korban.

Alasan yang dilontarkan oleh sang pejabat Menteri pada berita yang diakses pada 18 November 2017, pukul 10.28 wita. itu terkesan simpel. “Jika dengan produksi daya sebesar itu tidak dibarengi dengan penambahan daya untuk masyarakat pengguna, lalu untuk siapa daya itu akan disalurkan. Kita berharap agar nantinya semua masyarakat bisa menggunakan daya yang lebih banyak”.
Jika benar aturan ini diterapkan nantinya maka, ini adalah pemerasan dan pemaksaan yang kesekian dari pemerintah kepada rakyatnya. Barangkali anda masih ingat satu atau dua tahun lalu ketika listrik prabayar menggeser penggunaan listrik pasca bayar. Setiap pengajuan pendaftaran baru harus menggunakan Kwh. prabayar yang katanya penggunaan listriknya bisa dikontrol sendiri oleh pelanggan. Walaupun kemudian satu atau dua kasus dimasyarakat ditemui, justru pengguna listrik prabayar harus mengeluarkan biaya lebih banyak dari pengguna pasca bayar. Hal ini mendorong orang-orang ingin kembali memakai Kwh. pasca bayar, namun apa boleh buat keinginan itu tak bisa terkabulkan.

Masih perihal listrik. Ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga listrik, rakyat hanya bisa pasrah. Di rumah kami dulunya konsumsi listrik cukup Rp.103.000,-/bulan dengan rincian Rp.100.000,- untuk harga listrik dan Rp.3.000,- untuk keuntungan penjual retail. Kini, konsumsi listrik meningkat menjadi Rp.210.000,-/bulan. Sebab penjual retail juga tak ingin ketinggalan menaikkan keuntungan yang tadinya Rp.3.000,-/transaksi menjadi Rp.5.000,-/transaksi. Yang mencolok adalah ketika memasukkan kode voucher toke listrik, jika dulunya kita membeli token senilai Rp.50.000,- maka angka yang tertera pada Kwh. adalah 70,00. Namun sekarang, dengan nominal yang sama hanya akan tertera jumlah 33,7. Lagi-lagi rakyat sebagai konsumen yang kena batunya.

Semestinya pemerintah lebih bijaksana akan fenomena seperti ini. Jika memang kebutuhan listrik sudah cukup untuk semua rakyat, tak usah melakukan penambahan energi listrik. Benahi saja fasilitas yang sudah ada agar pemadaman listrik mendadak tidak terjadi lagi. Jika ada masyarakat yang membutuhkan listrik lebih banyak, tak perlu “menyuapi” konsumen yang memang sudah cukup dengan listrik 450 atau 900 Watt.


Lagi-lagi pagi ini kita harus bersorak-sorai menyambut pembangunan, untuk kemudian menangis dan meratap pada malam hari. Lalu tertidur dengan harapan, bahwa dalam mimpi kita akan hadir sesosok pahlawan super yang, akan mengirim surat tantangan pada musuhnya. “ Mas, kita tarungnya di pulau saja yah. Di sana tak ada orang, bangunan atau binatang. Jadi kita bisa bertempur sampai puas tanpa harus ada yang rusak dan terluka. Aku menunggu kedatanganmu, mas. Dari aku yang ingin berjumpa.   Pahlawan Super”.

07/12/2017

LONTARAQ SEBAGAI SUMBER SEJARAH DIRAGUKAN (?)

(Photo: Aisyah S. Ahmad)

Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat tak bisa dipungkiri menjadi sesuatu yang menakjubkan dewasa ini. Gerakan-gerakan literasi yang membooming semakin bergulir hangat ditambah dengan back-up media pemberitaan maupun media sosial semakin membuatnya semakin menggema. Tentu ini adalah sebuah hal yang menggembirakan mengingat krisis penulis hari ini sedikit banyak dipengaruhi oleh kurangnya media baca pada waktu-waktu lalu. Bagi anda generasi 70-an ke atas tentu cukup mengetahui bagaimana sulitnya menjadi seorang penulis waktu itu dengan adanya pengawasan pemerintah yang cukup ketat.

Lalu pasca reformasi 98, saat masyarakat diberikan kebebasan untuk bersuara dan menuliskan apapun yang hendak ditulisnya, media penulisan pun bermunculan bagaikan cendawan dimusim hujan. Surat kabar, majalah, tabloid, buku maupun buletin adalah contoh media fisik penulisan. Belum lagi blog dan website juga turut pula menjamur menyajikan berjuta informasi dengan beragam tema yang berbeda.  Informasi ilmu pengetahuan, sejarah, budaya maupun hal yang lainnya demikian mudah didapatkan bahkan ada pameo yang menyatakan bahwa informasi kini hadir dalam genggaman.

Dalam hal kesejarahan dan kebudayaan. Setiap penulisan sejarah membutuhkan sumber-sumber berupa artefak ataupun kisah tutur yang tersimpan dalam ingatan komunal masyarakat yang kemudian dicermati, dianalisa, diinterpretasi lalu ditulis oleh penulis. Entah oleh zaman, perang maupun bencana alam artefak-artefak yang menjadi sumber sejarah semakin sedikit. Salah satunya lontaraq. Lontaraq yang hanya sedikit semakin sulit diakses dengan adanya kepercayaan beberapa orang pemegang lontaraq yang mengharuskan pemotongan hewan kurban berupa kambing, sapi atau kerbau sebelum membuka lontaraqnya. Meskipun menurut saya, ini hanya akal-akalan saja untuk sesuatu tujuan yang tidak diketahui.

Padahal lontaraq semestinya menjadi sebuah sumber terpercaya saat akan mengkaji sejarah masa lalu. Lontarak menempati kedudukan yang unik di antara tulisan-tulisan bersejarah di Indonesia, oleh karena isinya pada umumnya dapat dipercaya dan kurang mengandung mitos, ramalan-ramalan, dan penulisnya sangat memperhatikan peristiwaperistiwa sendiri dan menulisnya secara jujur. Kronologi peristiwa ditulis secara cermat dan seobjektif mungkin. ( wawancara A.A. Cense oleh Zainal Abidin dalam buku Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan. Hal.ix).


Pengkajian lontaraq juga membutuhkan kecermatan ekstra dan penuh perhitungan. Hal ini disebabkan oleh gaya bahasa yang sudah tidak populer hari ini. Inilah yang terkadang membuat sebagian orang yang membaca lontaraq mengira bahwa antara lontaraq yang satu bertentangan dengan lontaraq yang lainnya. Apalagi lontaraq yang banyak beredar hari ini hanyalah berupa lontaraq hasil alih tulisan dan alih bahasa saja. 

Tidak bermaksud mengecilkan jasa penerjemah lontaraq masa lalu yang harus kita syukuri sebagai berkah dalam ranah intelektual lokal kita. Namun selain adanya beberapa kata yang menujukkan arti sama, memang terkadang ada beberapa penulisan kata dalam lontaraq yang tidak sesuai dengan alih tulisannya sehingga ketika dialih bahasakan ke-bahasa Indonesia akan melenceng pula artinya. Olehnya itu, pengkaji dan penulis sejarah setidaknya harus pula bisa membaca aksara lontaraq.

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...