11/01/2014

TEMBANG CINTA SEORANG BATUA

Kupendar pandang di balik rumpun semak
Kudapati indah kelopak beruq-beruq
Bersih, tak tersentuh nafsu kefanaan.

Setetes embun perlahan jatuh menetes dari tangkainya
Membawa kesejukan menyentuh qalbu
Memadam api gundah serakah

Sejak rasa terpatri kuat
Menggoyang hati kian meresah
Hingga ujung malam tak bertepi

Namun cinta tak seindah harap
Hanya menyisa sakit tepian hati
Bagai gayang menghujam dalam.

Engkaulah sang beruq-beruq
Suci murni bertahtakan anggun
Tercucuri darah puang agung

Aku hanya tumpukan onak di bawah tangkaimu
Terbuang, terhina mereka yang menginjak
Berharap tak pernah lahir untuk menempel di telapak kaki mereka.

Saat kelompok bittoeng dendangkan kelam
Ketika mentari merayu sang malam
Seketika tersentak hati dan raga, jika cinta sang batua takkan lestari....


Tumpiling, 050813270934,0141


============================================
Keterangan kata-kata mandar:
1. Gayang : sebutan orang mandar untuk keris.
2. Beruq-beruq : bunga melati
3. Puang : sapaan buat bangsawan mandar/orang yg dihormati
4. Bittoeng: bintang
5. Batua: hamba sahaya, (istilah ini ada pada jaman kerajaan Mandar dahulu, namun sekarang sudah dihapuskan karena alasan HAM dan kemanusiaan)

BERKENALAN DENGAN PAKKONGTAU, ALIRAN SILAT PENDEKAR MANDAR.

   Ilmu bela diri adalah sebuah kebudayaan yang sudah sangat tua, bukti tertua yang ditemukan adalah adanya relief pada dinding candi Prambanan dan Borobudur yang memperlihatkan gambar dua orang yang sedang berkelahi dengan menggunakan jurus. Ilmu bela diri pada jaman dahulu tidak bisa dilepaskan dari kehidupan seorang lelaki yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi diri, keluarga dan komunitasnya. Hal ini terjadi karena dipicu oleh keadaan yang masih akrab dengan kekerasan yang didasari oleh persaingan dalam mencari wilayah pemukiman atau kebutuhan akan makanan, belum lagi banyaknya binatang buas yang masih berkeliaran dan menuntut seseorang untuk memiliki kemampuan pertahanan diri. Di nusantara sendiri Ilmu Bela diri akrab disebut sebagai pencak silat atau hanya disebut silat dan sekarang diorganisisir oleh lembaga Ikatan Pencak Silat Indonesia atau disingkat IPSI. Dalam membuat gerakan atau jurus, pendekar silat pada awalnya kebanyakan mengadopsi gerakan-gerakan binatang seperti harimau, burung bangau, elang/garuda, ular, belalang, atau monyet.

   Di lita’ mandar (tanah mandar) sendiri yang diketahui pernah menjadi tempat berdirinya beberapa kerajaan pada jaman dulu, kepemilikan ilmu bela diri tidak bisa dipisahkan dari masyarakatnya yang dikenal memiliki temperamen keras. Sehingga kemudian berkembang sebuah aliran pencak silat yang dikenal dengan nama Pakkongtau yaitu gerakan silat yang dilakukan dengan menggunakan jurus-jurus tangan kosong. Tidak diketahui bahwa siapa orang yang pertama kali membawa aliran silat ini ke mandar. Namun dari hasil analisa penulis tentang nama pakkongtau bahwa nama ini berasal dari bahasa mandar serapan, Pa biasanya digunakan untuk menyebut subjek atau orang yang melakukan ( contohnya: patte’i anjoro = pemanjat kelapa, panette=penenun, dst.), dan kottau.

   Untuk kottau sendiri menurut analisa penulis merupakan adaptasi ucapan dari kung tao, dengan demikian pakkongtau bisa diartikan sebagai pelaku kung tao. Kung Tao adalah seni bela diri asal China yang berkembang sekitar tahun 1800an. Sementara hasil diskusi dengan pelaku pakkongtau di kecamatan Alu pada sebuah kesempatan kunjungan penulis ke daerah itu juga menegaskan bahwa aliran silat ini dibawa oleh orang China, namun sayang beliau juga tidak tahu kapan dan siapa orang yang membawanya ke mandar.

   Rasa penasaran ini yang membuat penulis iseng-iseng melakukan browsing google dan menemukan sejarah gelombang kedatangan orang china dari bangsa Hokkian ke nusantara sekitar abad ke 16 untuk berdagang, dan mereka sempat mendominasi perdagangan pala dan cengkeh di Ambon dan Tidore. Bangsa Hokkian ini dikenal sebagai bangsa pemberani dan perantaunya China, dan dalam perjalanan dari Ambon atau Tidore mereka selalu melewati pesisir pulau Sulawesi. Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya interaksi antara orang Hokkian ini dengan masyarakat pesisir bagian selatan dan barat Sulawesi, dan kemungkinan dengan interaksi inilah masyarakat pesisir mengenal Kung Tao.

       Meskipun sudah mengalami modifikasi gerakan dengan memasukkan gerakan dinamis dan lentur, namun dasar-dasar gerakan dari pakkongtau yang ada di mandar dengan Kung tao yang masih lestari di China sekarang masih memiliki kemiripan dalam kuda-kuda, langkah dan daya serang yang terfokus pada kepalan tangan. Sementara untuk tendangan ditiadakan dan lebih fokus pada gerakan langkah, sehingga aliran silat menjadi lebih efektif digunakan pada pertarungan jarak dekat.

    Namun demikian, anda jangan berfikir bahwa akan mudah menaklukkan pendekar pakkongtau ini dengan teknik pertarungan jarak jauh. Sebab gerakan langkahnya yang cepat serta tangkapannya yang khas dapat menutupi kelemahannya, dan sekali anggota tubuh anda tertangkap maka anda akan kesulitan untuk lepas dari kuncian atau kalaupun tidak tertangkap maka dijamin tubuh anda akan terkena pukulan beruntun.
 
   Menurut pengamatan penulis, selain jurus, dalam pakkongtau dikenal beberapa gerakan seperti bunga dan kuncian. Bunga adalah beberapa rangkaian gerakan awal yang bertujuan untuk menggertak lawan, dan mengincar titik lemah dari pertahanan lawan.
Kuncian adalah teknik untuk melumpuhkan lawan agar tidak berdaya, tidak dapat bergerak, atau untuk melucuti senjata musuh. Kuncian melibatkan gerakan menghindar, tipuan, dan gerakan cepat yang biasanya mengincar pergelangan tangan, lengan, leher, dagu, atau bahu musuh.

Terdapat 4 aspek utama dalam pakkongtau, yaitu:
   Aspek Mental Spiritual: Pakkongtau membangun dan mengembangkan kepribadian dan karakter mulia seseorang. Para pendekar dan maha guru pakkongtau zaman dahulu seringkali harus melewati tahapan semadi, tapa, atau aspek kebatinan lain untuk mencapai tingkat tertinggi keilmuannya.
     Aspek Seni Budaya: Budaya dan permainan "seni" pakkongtau/macca’ ialah salah satu aspek yang sangat penting. Istilah Pencak pada umumnya menggambarkan bentuk seni tarian pencak silat, dengan musik dan busana tradisional.
    Aspek Bela Diri: Kepercayaan dan ketekunan diri ialah sangat penting dalam menguasai ilmu bela diri dalam pencak silat. Istilah macca’, cenderung menekankan pada aspek kemampuan teknis bela diri pencak silat.
    Aspek Olah Raga: Ini berarti bahwa aspek fisik dalam pencak silat ialah penting. Pammacca’ mencoba menyesuaikan pikiran dengan olah tubuh.

     Sayang keberadaan silat ini sepertinya sudah kurang diminati, kalangan anak muda lebih suka belajar karate daripada pakkongtau. Semoga ke depannya, budaya silat ini bisa kembali menghadirkan pendekar-pendekar muda dari tanah mandar.
Sumber tulisan:
1. The Malay Art Of Self-defense: Silat Seni Gayong (2005) ditulis oleh Sheikh Shamsuddin
2. Terjemahan buku Weapons and fighting arts of Indonesia (1992). Ditulis oleh Donn F. Draeger
3. Diskusi langsung dengan pelaku pakkongtau di desa Mombi kec. Alu
4. Wikipedia indonesia

ALU, sebutir mutiara terpendam di Sulawesi Barat.

Kaka tuo Alu, kaka oro Balanipa. Sebuah kalimat penegas yang menggambarkan eratnya hubungan Alu dan Balanipa. Terjaga apik di balik pegunungan dan lika-liku jalan yang mengular, tersebutlah sebuah daerah asri yang memendam kesejarahan dan kebudayaan nan memikat. Itulah Alu, sebuah kecamatan hasil pemekaran dari kecamatan Tutallu. Dalam riwayat disebutkan bahwa Alu adalah sebuah Arayang (kerajaan) yang tidak masuk dalam konfederasi Pitu ulunna salu, pitu ba’bana binanga. Alu adalah salah satu kerajaan netral yang disebut Tiparttiqna wai dan dahulunya memiliki wilayah yang berbatasan dengan Batu-batu (majene), Sendana dan Campalagian, bahkan labih lanjut dikatakan sebagai kerajaan yang dituakan dari anggota konfederasi Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babbana Binanga. Itulah salah satu sebab kenapa di kerajaan Alu tidak dikenal gelar “DAENG” untuk menyebut bangsawan dari luar wilayah Alu, bahkan dipertegas oleh ucap-ucap yang mengatakan “ muaq diang allewuang, annaq andiang-i gannaq Pitu Ulunna Salu, Alu manggannaq-i. Muaq andiangi gannaq pitu Babbana Binanga, Alu manggannaq-i. Na ia mua gannaq-i Pitu Ulunna Salu annaq Pitu Babbana Binanga, manjari kamaq-i Alu”. ( kalau ada permusyawaratan dan tidak dihadiri salah satu kerajaan dari Pitu Ulunna Salu, maka Alu yang menggenapi. Atau jika salah satu kerajaan dari Babbana binanga ada yang tidak hadir, maka Alu pula yang menggenapi. Namun jika semua kerajaan pitu Ulunna Salu dan Pitu Babbana Binanga hadir lengkap, maka menjadi bapaklah Alu). Sehingga gelar raja di Alu dikenal dengan Arayang Alu dan bukan Maraqdia Alu, dan tidaklah afdhal sebuah penobatan maraqdia Balanipa tanpa kehadiran Arayang Alu. Menyimak pembicaraan pejabat sementara Paqbicara Kaiyyang Arayang Alu (Paqbicara Kayyang sendiri telah meninggal beberapa tahun yang lalu dan belum dilakukan pelantikan pejabat Paqbicara Kayyang yang baru. pen), bahwa kerajaan Alu dipimpin oleh Arayang pertama yang bernama I Saranggiang. Pada jaman kerajaan Balanipa, ada sebuah kejadian ketika Tomakaka Sajoang mencoba menentang kerajaan Balanipa. Namun karena merasa sebagai satu darah, maka Maraqdia Balanipa mencoba menempuh jalan kekeluargaan dengan menawarkan wilayah atau harta kepada Tomakaka Sajoang. Dikatakan oleh Maraqdia Balanipa, soqnaimo Balanipa ma’ala jaqbaq na, Sajoang ma’ala jangan-jangan na’’ ( biarlah bagian balanipa sangkarnya dan bagian Sajoang merpatinya/ jika diartikan, maka Balanipa memberikan tanahnya agar diisi dengan orang Sajoang. pen). Namun kedua pilihan itu ditolak oleh Tomakaka Sajoan, sehingga Maraqdia Balanipa meminta pertimbangan kepada Arayang Alu. Oleh Arayang Alu I Saranggiang, diundangnyalah Tomakaka Sajoang untuk minum arak. Maka datanglah To Makaka Sajoan untuk memenuhi undangan Arayang Alu yang sekiranya jamuan tersebut akan diadakan pada sebuah tempat di wilayah desa Mombi sekarang. Ketika Tomakaka Sajoan mulai menenggak minuman arak dari bumbung bambu, maka berkatalah Arayang Alu “ tania bassa iting mua to barani mandundu, bassai tia dzie” (bukan begitu cara orang berani minum, tapi begini caranya. Pen.) sambil ditebasnya ujung bumbung dengan parang hingga ujung bumbung arak itu menjadi runcing dan araknya ditenggak langsung oleh Arayang Alu. Setelah Arayang Alu, maka tiba juga giliran Tomakaka Sajoang menenggak arak dari bumbung tadi. Dan begitu bumbung bambu itu menempel di bibir Tomakaka Sajoang, tiba-tiba Arayang Alu memukul ujung lain dari bumbung bambu itu hingga menusuk mulut Tomakaka Sajoan hingga tembus ketengkuknya. Maka sejak saat itu, disebutlah tempat perjamuan itu sebagai “Tettengbulo” yang artinya bambu yang dipukul (ujungnya, Pen.). Di kecamatan Alu juga terdapat situs sejarah berupa kompleks makam yang biasa disebut “kuqbur kota”. Di dalam kompleks ini terdapat dua makam bersejarah yaitu makam dari Maraqdia malolo Banggae Ammana Pattolawali, seorang pahlawan besar yang gugur secara tragis dengan ditarik anggota tubuhnya hingga lepas dan tewas. Selain makam Ammana Pattolawali, terdapat juga makam yang disakralkan oleh warga setempat yaitu makam I Daeng ta. Beliau adalah Maraqdia Balanipa ke IV dan beliaulah yang pertama menuntut ilmu hingga ke Aceh dan ke Mekah sehingga pada saat meninggal beliau mendapat gelar anumerta To Mapute Ceraqna, Matindo Di Sambayang na. Maka sungguh tidak mengherankan jika di beberapa kompleks pekuburan tua seperti Ondongan, Salabose, Pamboqborang, termasuk makam beliau memiliki ornamen makam yang mirip dengan ornamen makam dari Aceh.
Kompleks makam Ammana Pattolawali
Makam I Daetta Tommuane, Maraddia Balanipa ke IV Lembaga adat di kecamatan Alu juga masih menyimpan beberapa artefak sejarah penting, seperti naskah lontara, gong arayang dan beberapa lagi yang lain. Namun untuk saat ini semua benda bersejarah itu tersimpan di atas bukit yang agak jauh dari pemukiman penduduk sehingga cukup sulit jika kita hendak melihat langsung keberadaan benda itu. Sehingga sempat tercetus gagasan yang disampaikan oleh pejabat sementara Pa’bicara Kayyang arayang Alu untuk membuat sebuah rumah adat yang sekirnya dapat menjadi tempat penyimpanan benda-benda Arayang. Besar harapan beliau agar sekiranya ada pihak yang dapat membantu terwujudnya cita-cita tersebut, mungkinkah ada perhatian dari pemerintah?. Apakah hanya itu yang bisa disuguhkan saat berkunjung ke Alu?, tentu saja tidak. Selain sejarah dan sajian pemandangan wilayah pegunungan yang asri, di Alu juga terdapat beberapa komunitas seni tradisional. Mulai dari komunitas parrawana, passayang sayang, komunitas gambus serta beberapa masyarakat yang memelihara dan melatih saeyyang pattu’du’. Semua menjanjikan pengalaman berwisata yang unik dan fantastis. Belum lagi wisata kulinernya yang menawarkan sensasi rasa yang mengundang selera. Semua menunggu kepedulian dari pemuda dan pemerintah agar permata terpendam ini dapat digosok hingga mengkilap, dengan demikian cahayanya dapat meramaikan koleksi mutu manikam nusantara Indonesia jaya. Sumber dari tulisan ini adalah dialog langsung penulis dengan pejabat sementara Pa’bicara kayyang Arayang Alu dan pertemuan langsung dengan bapak kepala desa Mombi, serta beberapa komunitas seni tradisional di kecamatan Alu dalam sebuah perjalanan wisata budaya.
Penulis bersama Paqbicara Kaiyyang Arayang Alu

MENAPAK JEJAK SEKEPING SYURGA DI TEPIAN JURANG.

Pukul 09.00, saat kaki-kaki si Beaty (si Beaty adalah kendaraan penulis, berupa sepeda motor Honda Beat) mulai berputar membawa tubuhku dan pangeran kecilku kerumah teman yang menjadi titik berkumpul untuk trip kali ini di kecamatan Tapango. Yah, sesuai kesepakatan sebelumnya bahwa pukul 09.30 kami para member Kompa dansa mandar wilayah Polman akan melihat keindahan Limbong kamandang yang konon sangat indah dan asri.

Setiba di titik pertemuan dan telah istirahat serta disuguhi teh hangat oleh teman yang menjadi tuan rumah, pukul 10.10 perjalanan ke Limbong kamandang pun dimulai dengan mengendarai 5 kendaraan roda dua. Dari keterangan guide kami, bahwa jarak dari pusat kota kecamatan Tapango ke lokasi berjarak sekitar kurang lebih 4 Km. Setelah melewati pemungkiman penduduk, hamparan sawah yang tidak begitu luas dengan sedikit teknik terasering mengganti mengawal perjalanan kami saat memasuki desa Riso kecamatan Tapango.
Menjelang desa Kalimbua, pendakian sudah mulai terasa lebih curam. Kondisi jalan berbatu dan cor beton bergantian menjadi alas roda-roda kendaraan kami, ditambah sudut kemiringan yang kian terjal dengan perkiraan saya bahwa kecuraman tapak jalan ada yang mencapai sudut 40⁰ - 45⁰ dengan tikungan tajam dibeberapa titik sedikit menyentil adrenalin berkendara.

Ada yang unik di desa Kalimbua ini, dimana beberapa rumah memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan mengalirkannya dari mata air di pegunungan melalui selang-selang palstik hingga masuk ke dalam rumah mereka. Selang – selang plastik ini melintang di atas jalan hingga sepintas lalu mirip dengan jaringan kabel listrik PLN.
Memasuki desa Kurra, jalan masih mendaki dengan kondisi jalan beton dan jalan tanah yang cukup licin dilalui saat kondisi basah. Salah seorang peserta trip terpaksa memarkir kendaraannya karena tidak sanggup lagi menjadi joki dan terpaksa pindah keboncengan kawan lain. Diharapkan pula kepada pengendara yang melalui track ini agar tidak tertipu dengan kondisi jalan beton yang halus mulus, sebab jalan seperti inipun sebenarnya mengandung bahaya yang juga tidak sedikit. Hal ini karena jalan ini masih relatif kurang sibuk ditambah dengan kondisi dingin berkepanjangan sehingga memungkinkan tumbuhnya lumut yang menyebabkan jalan menjadi licin. Bahkan penulis sempat “mencicipi” pengalaman pahit jatuh karena ban kendaraan yang slip oleh licinnya lumut saat pulang. Dengan kondisi jalan seperti ini diharapkan para pengunjung ekstra hati-hati, dan mempersiapkan kondisi kendaraan semaksimal mungkin demi lancarnya perjalanan anda.

Setiba di desa Kurra, kami sepakat untuk mengunjungi salah satu keluarga warga desa Kurra yang sering membuat kerajinan anyaman keranjang atau dalam bahasa lokal disebut baka.
Baka ini digunakan oleh warga sebagai wadah untuk membawa hasil bumi dari kebun atau hutan untuk dibawa pulang ke rumah. Baka dibuat dari bahan rautan rotan yang diambil sendiri dari kedalaman hutan oleh para warga lalu diraut dan dianyam sehingga cukup kuat untuk membawa barang dengan berat 5 kg – 10 kg.
Untuk membuat satu buah baka dibutuhkan waktu minimal satu hari dengan harga jual 80 – 100 ribu rupiah perbuah. Sebuah usaha yang cukup menjanjikan saya kira jika saja baka ini mendapat tempat yang layak di pasaran. Namun sayangnya, peminat baka ini masih terbatas pada penduduk atau warga pegunungan. Ada yang unik pada cara membawa baka ini, jika keranjang lain biasanya dibawa dengan dijinjing atau dibawa dengan bahu. Namun baka ini dibawa dengan menggantungkannya dibelakang punggung dan talinya disangkutkan di dahi. Jadi untuk membawa baka, mengandalkan kekuatan leher.
Setelah berbincang dan melihat cara membuat serta hasil baka yang sudah jadi, maka kamipun kembali untuk menuju ke lokasi utama yaitu Limbong Kamandang.

Menapaki jembatan yang melintang di atas sungai antara limbong Biliq dan Limbong Kamandang serasa membuat jiwa kami melayang oleh keindahan dan kekaguman yang begitu besar akan sebuah maha karya dari sang pencipta alam. Jembatan ini masih baru, sementara jembatan gantung tua dan tidak terpakai yang ada disebelahnya tidak terawat namun masih menyisakan papan lantai yang mulai lapuk. Penulis sempat mengintip keangkeran Limbong Biliq dari jembatan tua yang tepat berada diatasnya.
Di kanan kami ada air limbong Kamandang yang terjun bebas dari ketinggian antara 15 – 20 meter, sementara di kiri kami Limbong Biliq yang memiliki ketinggian yang lebih rendah sekitar 5 – 10 meter namun menawarkan nuansa yang agak angker dengan kolam tempat jatuhnya air yang sepertinya sangat dalam, ini terlihat dari warna permukaan air yang gelap. Yah, sebuah perpaduan unik dimana keindahan di kanan berpadu dengan kesan angker di kiri. Namun secara umum, suasana tempat ini begitu indah dan mempesona. Tak mau larut dengan suasana angker, kami segera menuju ke Limbong kamandang yang masih berjarak sekitar 40 – 50 meter, dengan berjalan kaki melewati jalan setapak yang curam dan agak licin. Maklum, karena air terjun ini berada di kawasan hutan hujan yang asri dan masih dikelilingi oleh pepohonan yang menjulang tinggi. Kondisi itu pula yang membuat jejak pertama kami di air sungai ini disambut oleh hawa dingin yang menyegarkan. Di sungai yang bertaburan bebatuan dari berbagai ukuran mulai dari yang ukuran kerikil hingga berukuran raksasa, kami lalu bersiap dan menceburkan diri dikesegaran air Limbong Kamandang. Yah, perjuangan dalam menempuh track terobati oleh keindahan dan kesegaran air Limbong kamandang.

Meninggalkan obyek wisata ini membersitkan do’a dalam hati. Semoga kiranya pemerintah atau instansi terkait mau melirik tempat ini. Setidaknya dengan membenahi akses jalan agar lebih baik hingga mudah bagi masyarakat untuk mencapainya.
Namun terlepas dari kondisi jalan yang lumayan berat, keindahan pesona Limbong Kamandang sungguh luar biasa. Inilah keindahan Indonesia yang terlupa, inilah keindahan Sulawesi barat yang terabaikan. Aku bersyukur sempat berkenalan dengan mu Limbong Kamandang.


SMK Soeparman, SMK tertua di Polewali Mandar.

Mungkin ada diantara kita yang masih bingung dan bertanya-tanya dalam hati (karena malu bertanya pada orang lain xixixixi...) “sebanarnya apa sih nama sekolah setingkat SMA yang ada dipinggir lapangan desa Tumpiling itu ??. koq, kadang disebut STM, SMK Wonomulyo, SMK Tumpiling, SMK Soeparman, bahkan ada yang mengatakan SMK 1 Wonomulyo. Sekolahan cuma satu tp koq punya banyak nama???. nah daripada kalian bingung mikir sampai kening berkerut dan dompet susut, mending saya bagikan aja informasinya. Ceritanya begini......

Alkisah pada suatu masa ( kok kaya mau baca dongeng yach xixixixi......), saat itu kondisi lembaga pendidikan sekolah khususnya Sekolah kejuruan di kota Wonomulyo (ceileee.....bahasanya. Tp dulu sich blum kota) masih belum ada bahkan belum ada sekolah kejuruan yang berdiri di wilayah yang sekarang bernama sulawesi barat. Syahdan berkumpullah tiga orang ksatria ( eh....dongeng lagi hehehehe) yaitu pak Gaib, pak Sandiman, pak Mohadi dan didirikanlah sekolah kejuruan yang diberi nama Sekolah Tehnik Menengah (STM) Wonomyulyo pada tahun 1968.
Kunjungan kepala dinas Drs. Sultan ke SMK Soeparman tahun 1998



Pada awalnya STM Wonomulyo melakukan kegiatan belajar mengajar di ST Wonomulyo yang sekarang telah berganti menjadi SMP Negeri 5 Wonomulyo hingga tahun 1989 sebelum pindah ke gedung sendiri yang berlokasi di tempat yang sekarang. Lalu pada tahun 1990an pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan nasional menghapuskan seluruh nama sekolah tehnik dan mengubahnya menjadi sekolah kejuruan, maka STM Wonomulyo pun berubah menjadi SMK Wonomulyo. Karena sekolah ini berada di desa Tumpiling, maka ada juga yang menyebutnya SMK Tumpiling. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 2000an menjamurlah sekolah kejuruan termasuk di Wonomulyo berdiri beberapa SMK. Maka untuk memudahkan pengidentifikasian oleh DikNas, SMK Wonomulyo disebut sebagai SMK Soeparman. Ada yang tau ngak siapa itu Soeparman?????. pasti ada yang bilang kalau Soeparman tuh nama pahlawan nasional, nggak apa-apa dech asal jangan ada yang bilang kalau beliau saudaranya Superman yang dari Amrik sana hehehehe. Sebenarnya beliau mempunyai nama lengkap Raden Soeparman, beliau adalah seorang terpelajar dari tanah jawa sana yang memimpin rombongan transmigrasi tahap pertama pada tahun 1930an, yang datang ke sebuah hutan dan diberi nama Wonomulyo hingga saat ini. Nah nama beliaulah yang diabadikan menjadi nama Yayasan sekaligus nama sekolah yang sekarang berdiri ditepi lapangan desa Tumpiling dan memiliki kompleks yang asri dan menyejukkan mata.

Suasana pelulusan siswa kelas XII tahun 2012



Menjelang usianya yang hampir setengah abad, SMK Soeparman telah mengalami beberapa kali pergantian kepala sekolah. Pejabat kepala sekkolah yang pertama dipegang oleh Sandiman dari tahun 1968/1976, lalu digantikan oleh Gaib S. Dari tahun 1976/1986, setelah itu tongkat estafet kepala sekolah kembali berpindah kepada H. Sandiman pada tahun 1986/1990, lalu berpindah lagi kepada Drs. J. Randan pada tahun 1990/2008, Drs. M. Suale M.pd lalu menjabat kepala sekolah dari tahun 2008/2010 namun jabatan kepala sekolah tersebut kembali diserahkan pada Drs. J. Randan pada tahun 2010/2012. Hanya dua tahun sebagai pejabat kepala sekolah untuk yang kedua kalinya, jabatan kepala sekolah diserahkan kepada Ir. Sukwanto pada tahun 2012 hingga sekarang.
Sebagai sekolah kejuruan tertua di Polewali mandar, SMK Soeparman telah mengantongi sertifikasi status DIAKUI oleh Dinas Pendidikan Nasional melalui sertifikat dengan nomor 79/C.C7/Kep/PP/2000. Untuk saat ini, SMK Soeparman telah membuka tiga jurusan kejuruan yaitu jurusan Tehnik Sipil (Bangunan gedung), Tehnik Otomotif dan Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ). Hingga tahun 2004, SMK Soeparman cukup terkenal karena keaktifannya dalam mengikuti kegiatan ekstra kurikuler khususnya Pramuka dan PMR dan berhasil mengkoleksi beberapa piala dalam berbagai lomba pada ajang PORSENI, LKS (Lomba Keterampilan Siswa) tingkat nasional ataupun ajang lomba yang lain.


Beberapa siswa dan guru yang mengikuti kegiatan
Pembukaan Porseni SMK se Polewali Mandar tahun 2012



Pelatihan Multimedia untuk tenaga pengajar bulan september 2012



Namun sayang belakangan ini, pamor SMK Soeparman sepertinya agak menurun. Dan menjadi kewajiban seluruh komponen, baik siswa, guru, pegawai, alumni maupun masyarakat sekitar untuk bahu membahu agar kejayaan SMK Soeparman kembali bisa berkibar di kalangan dunia kependidikan dan pengkaderan baik lokal Polewali mandar maupun regional Sulawesi Barat bahkan Nasional. Sekian info singkat tentang nama SMK Soeparman, smoga bermanfaat.

Lukisan keberanian manusia sulawesi dalam sastera

Manusia Sulawesi dikenal sebagai manusia berwatak keras, pemberani dan menjunjung tinggi nilai kesetiaan bahkan mungkin cenderung pendendam(?). Ini bukanlah hal yang baru, ketika jaman ini persaingan makin keras dan cenderung membuat seseorng menjadi cepat emosi. Kekerasan watak, keberanian dan kesetiaan orang Sulselbar terkenal sejak jamn dahulu dan menjadi buah bibir di belahan dunia lain. Beberapa kejadian heroik telah dicatatkan oleh sejarah, mulai dari kisah Daeng Mangalle dengan kurang lebih 200 orang pengikutnya yang melakukan perlawanan terhadap raja Siam (Thailand) yang bernama Phra Narai di tahun 1658-1659 yang dibantu oleh pasukan perancis. Dimana Daeng Mangalle dan pasukannya berhasil menewaskan hampir 2000 orang Siam dan Perancis. (Kisah ini sendiri diambil dari catatan Claude de Forbin seorang ksatria Prancis oleh Raja Louis XIV). Kemudian kisah To Salamaka Syekh Yusuf Al Makassary Al Bantany, yang membuat VOC mengalami frustasi berat. Dan hanya bisa ditangkap setelah anak perempuannya disandera oleh pasukan VOC, di Jawa barat. Dan berlanjut dengan kisah Ammana Pattolawali yang perlawanannya baru bisa dihentikan oleh Belanda setelah beliau terbunuh dengan jalan anggota tubuhnya ditarik dengan kuda kearah berlawanan hingga tercerai berai. Apakah ini kebetulan? Maka dari sudut pandang saya, saya mengambil kesimpulan bahwa semua ini bukanlah sebuah kebetulan. Orang-orang sulselbar terlatih dan terdidik oleh alam yang keras, mulai dari kerasnya perjuangan menaklukkan pegunungan dan hutan rimba hingga keganasan gelombang laut untuk mereka yang hidup di pesisir. Selain kisah sejarah, maka sebagai sebuah bangsa yang berbudaya, keberanian orang sulselbar juga tergambar dari peninggalan yang berupa sastera. Salah satu sastera yang menggambarkan keberanian dan kesetiaan orang sulselbar adalah adanya puisi perang yang menyatakan ikrar kesetiaan pada sahabat, junjungan, tanah air dan bangsanya. Ada beberpa istilah untuk puisi perang ini di sulselbar, ada yang menyebutnya mesong/osong (bugis), pangngaruq (makassar) atau pattaroalaq (mandar), dan berikut beberapa contohnya:

1.Angngaruq (Makassar)

Karaeng ku.......!
Kipamomporammaq, jai dudu karaeng....!
Ri dallekang laqbiriqna,
ri empoang matingginna,
ri sakkiri karatuanna.
Satulituli kanangku karaeng.
Pangngainna laherekku, pappatojeng na batengku,
bera niaq kunipattebbak, pangkuluq kunisoean.....
ikatte anging karaeng....na ikambe lekok ayu......
ikatte jenneq karaeng, i kambe batang mammanyuk.
Ikatte jarung karaeng.....na ikambe bannang panjaiq....

Artinya:
Junjunganku, maafkan hamba sebanyak-banyaknya...
Dari kesalahan dihadapan kedudukan tahta yang mulia
Jika pernah saya berniat tidak menghiraukan titah baginda...
Kelahiranku ditakdirkan untuk mengabdi pada tuanku....
Maka jika aku ada berkhianat
Saya siap dirubuhkan dengan pedang yang terselip di pinggang tuanku...
Baginda angin, saya cabang pohon yang ditiup angin....
Baginda air, hamba batang pohon yang menopang alirannya...
Baginda jarum, hamba benang jahitnya..

2.Mesong/osong ( Bugis )

Itaka' mai Lapuang, Djinniralana Tana Wajo !
Iya'na pakka temmalara'na Gilireng
Tomassola-solaEngngi sunge'na
Ri Lanti'E ri Tengnga Padang
Tania bElo-bElo janggo'E na bulu sadang
Tania bElo-bElo bElua' sampo gEnoE
Engkapa musuu ri tengnga padang na riyabbEso-bEsoang
Aroo malebba', pajjagguru' malibu
Olii tEa sopE', darah tEa mitti', ure' tEa pettu',,
polopi cappa' kawalikku
Mallajangpi sunge'ku ri pammasareng
Naripasoro ujuuku ri tengnga padang

Artinya:

Itaka’ mai la puang, jinniralana tana Wajo
(lihatlah aku wahai tuan ku, jenderalnya Tanah Wajo)
Iya’ na pakka temmalara’na GilirEng
(sayalah perisai tak lapuk dari GilirEng)
To massolla sollangi sunge’na
(yang menyabung nyawanya)
Ri lanti’e ri tengnga padang
(dilantik di tengah padang)
Tania belo belo, janggo’e na bulu sadang
(bukan sekedar hiasan janggut dan bulu dagu)
Tania belo belo welua’ sampo genoE
(bukan sekedar hiasan rambut sebahu)
Engkapa musu ri tengnga padang na ri ya’beso besoang
(nantilah setelah bertemu musuh kemudian diseret)
Aroo malebba’, pajjagguru malibu
(dada lebar, tinju membulat)
Olii tea sope’, dara tea mitti’, ure’ tea pettu
(kulit tak mau robek, darah tak mau menetes, urat tak mau putus)
Polopi cappa’ kawalikku
(nantilah patah ujung badikku)
Mallajanpi sunge’ku ri pammasareng
(nyawaku melayang keakhirat)
Nari pasoro ujuuku ri tengnga padang
(barulah dipulangkan mayatku dari medan juang)

3.Syair Pattaroalaq ( Mandar ):


Indi tia Passopo doena tomalaqbi
passanger kowiq lakkana tomakanang
Pattuei tirarunna todzi posiriq
muaq mupasoppoi annaq mupabullei tomaq
Harangi ulengasang muaq tania tonamatinnande
Iya malaqbi, iya makanang, iya toqo diposiriq
Artinya :


Akulah pemikul tombak orang yg jadi panutan
pengasah parang panjang orang ternama
peniup sumpit bagi orang yg punya harga diri
kalau aku diberi beban dan tanggung jawab
pantang bagiku untuk membela
kalau bukan panutan, ternama dan punya harga diri.


Indi tia betteng bayanna litaq dzi mandar
Arriang appeqna boyang dzi Tomadio
Namekkeqde dzi atonangang, meloq siasayangngi
Meloq sidamo-damo, meloq toi sipetombangan ceraq
Muaq nadiang tolandur, pasayu tigiling sokkoqna
Tiraqbiq mata gayanna.


Artinya :
Inilah benteng kokohnya tanah di mandar
tiang penyanggah empatnya rumah di Tomadio
berdiri tegak dalam kebenaran, ingin saling menyayangi
ingin saling mengasihi, dang juga ingin bersimbah darah
kalau ada yang lewat ingin menentang bertepuk dada, maka kerisnya terhunus.


Itulah beberapa syair yang menggambarkan bagaimana orang-orang sulselbar dalam hal keberanian dan kesetiaannya. Semestinyalah kita sebagai penerus mampu menjadikan peninggalan-peninggalan sastera heroisme ini sebagai pegangan dalam menegakkan kedaulatan bangsa yang bermartabat. Dan semestinyalah kita mewarisi jiwa-jiwa ksatria leluhur kita, bukan hanya sekedar berbangga sebagai keturunan namun tak mampu mengejewantahkannya dalam hidup dan kehidupan kita.

25/12/2013

SEHARI BERSAMA BAKAU

Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar beberapa hari yang lalu mendapat undangan dari YPMMD (Yayasan Pemuda Mitra Masyarakat Desa) dalam rangka Perkemahan Sahabat Mangrove Indonesia (PERSAMI) pada hari Sabtu-Minggu 21-22 Desember 2013, dengan bersemangat kami segera menyambut undangan itu dengan antusias. Beberapa saat setelah pendaftaran peserta untuk mengisi jatah Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar diumumkan, permintaan langsung membludak. Jatah 10 orang peserta, namun pendaftar mencapai 15 orang. Sayangnya, setelah hari H dan kontingen siap diberangkatkan maka satu persatu peserta mengundurkan diri dengan alasan masing-masing yang berbeda. Alhasil, peserta utusan KOMPA DANSA yang tiba di lokasi hanya berjumlah 8 orang, 2 orang berangkat dari Wonomulyo, setelah di Campalagian bertambah 1 orang, lalu di Majene bertambah 3 orang sehingga seluruh kontingen berjumlah 6 orang. Sementara 2 orang lagi berangkat dari Mamuju dan langsung bergabung di lokasi perkemahan, tidak jauh dari lokasi pembibitan Bakau pantai Baluno kec. Sendana, kab. Majene. Pukul 16.40 wita, kami tiba di lokasi perkemahan. Tak disangka kami mendapat sambutan yang sangat mengesankan, pak Aziil Anwar yang merupakan salah satu mantan direktur YPMMD langsung menghampiri dan menyapa rombongan kami ditempak kami memarkir kendaraan, padahal tempat kami memarkir kendaraan berjarak kurang lebih 100 m dari posko panitia ( sekedar info tentang pak Aziil Anwar, beliau adalah salah satu dari sepuluh orang dari seluruh Indonesia sebagai penerima penghargaan Satya Lancana untuk bidang lingkungan hidup dari wakil presiden Boediono saat peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2013 (HCPSN 2013) di Istana Wakil Presiden, Kamis 28 November 2013). Setelah tiba di posko panitia, pak Aziil langsung menawarkan pondok untuk tempat menginap, beliau mengajak kami untuk melihat lokasi pondok yang berjarak 97 m dari posko. Namun karena untuk pergi ke pondok tersebut harus menggunakan rakit yang hanya bisa memuat beberapa orang, maka terpaksa hanya saya dan seorang teman yang lain yang mengikuti pak Aziil. Karena pertimbangan jarak yang terpisah dari lokasi perkemahan itu pula yang membuat kami terpaksa menolak tawaran pondok tersebut. Cerita mengesankan di warung makan. Tak terasa, siang pun beranjak malam dan waktu untuk makan malampun tiba. Kami berdelapan segera mencari warung makan yang tidak jauh dari lokasi perkemahan, sebab panitia memang hanya menyiapkan bantuan konsumsi. Setiba di warung makan yang dituju dan kami menanyakan harga, ternyata makanan disana Rp.20000/porsi. Setelah berhitung, ternyata uang konsumsi tidak cukup untuk tiga kali makan dengan harga makanan yang sekian. Disinilah muncul kepiawaian Syamsul (salah seorang teman kami), dengan gesitnya ia maju dan melakukan proses tawar menawar dengan sang pemilik warung. Hingga akhirnya, kami bisa makan sampai kenyang dengan menu yang lumayan lengkap namun dengan harga cukup murah. Setelah makan malam selesai dan kami tiba kembali di lokasi perkemahan, tak lama kemudian acara malampun dimulai. Acara dimulai dengan pembukaan oleh ketua Green Vision Sulawesi Barat, lalu dilanjutkan dengan acara diskusi. Dalam diskusi yang dipandu oleh saya, diawali dengan presentasi transek atau pemetaan dasar keadaan lokasi pantai mulai dari Desa Tammeroqdo hingga ke pantai Baluno desa Puttada, kec. Sendana, kab. Majene, Sulawesi Barat. Transek ini dilakukan oleh adik-adik dari SISPALA (siswa pecinta alam) SMP 4 Sendana yang melakukan perjalanan dari lokasi sekolahnya hingga ke lokasi perkemahan pada pagi harinya (Sabtu, 21 Desember 2013). Dari pemetaan ini penulis menyimpulkan bahwa tumbuhan mangrove yang tumbuh mulai dari Tammeroqdo hingga ke Baluno hanya ada sekitar 5 ribu pohon dan tentu yang terbanyak adalah yang ada di Baluno. Sementara beberapa titik daerah lain masih kosong akan mangrove. Sesi selanjutnya adalah pengenalan mangrove dan sejarah mulainya kegiatan YPMMD di Majene yang dipaparkan langsung oleh salah seorang perintisnya bapak Aziil Anwar. Di sinilah kami mendengar banyak istilah dan nama jenis-jenis mangrove yang baru kami dengar, dan bagaimana suka duka awal kegiatan pelestarian bakau di kabupaten Majene oleh YPMMD. Sesi diskusi dan tanya jawab ini diselingi dengan lomba baca puisi, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi sempitnya waktu kegiatan dan menjaga agar sesi diskusi tidak membosankan, dan tujuan ini tercapai. Seluruh peserta diskusi antusias dan semakin menunjukkan animo. Dalam lomba baca puisi Syamsul Maarif, teman kami yang jago menawar harga makanan di warung tadi sekali lagi menunjukkan kemampuannya membaca puisi dengan memukau penonton dan dewan juri hingga berhak menjadi juara pertama dan menggondol uang hadiah sebesar ¼ juta rupiah. Hujan mengagetkan Setelah sesi diskusi selesai, teman-teman KOMPA DANSA kembali ke camp. Di camp, kami sempat sedikit diskusi tentang sejarah mandar serta bagaimana memajukan komunitas kedepannya. Setelah kantuk menyapa, teman-teman lalu menuju tempat peristirahatan terakhir....eh, peristirahatan panitia maksudnya. Sementara saya tetap tinggal karena bermaksud tidur di alam bebas beratap langit yang cerah dan berhias bintang dan ratu malamnya. Namun ternyata langit tak selamanya indah, setelah tidur kurang lebih dua jam lamanya. Saya yang sedang dibuai mimpi tiba-tiba tersiram hujan gerimis yang hanya dalam hitungan detik berubah menjadi deras. Saya langsung lari ke Camp panitia untuk menyelamatkan tas dan tubuh dari siraman hujan, sempat saya melirik jam ditangan yang rupanya menunjukkan jam 05.05 wita. Hujan deras rupanya tidak lama, berganti dengan suasana pagi yang indah. Sambil minum kopi susu hangat yang ditawarkan teman-teman dari Komunitas Kampung Kita (K3) dan sarapan sokkol (ketan) sisa pesanan dari warung semalam, saya duduk menikmati alam pantai yang menghembuskan aroma laut pagi. Suasana pagi yang indah pun tidak berlangsung lama, awan mendung mulai berarak dan menghitam dan akhirnya turun menjadi hujan. Sambil menunggu redanya hujan agar kegiatan penanaman bakau bisa dilakukan, panitia membagikan t-shirt kepada para peserta. Namun hingga semua peserta mendapat t-shirt, hujan belum juga berhenti. Hingga kemudian diputuskan bahwa penanaman tetap dilakukan meski hujan masih turun walau sudah tidak deras lagi. Dengan kompak seluruh peserta berbaris sesuai kelompok masing-masing menuju ke lokasi pembibitan untuk menerima bibit mangrove yang selanjutnya akan ditanam disebuah lokasi penanaman yang berjarak 200 meter dari lokasi pembibitan. Melintasi rawa payau yang airnya setinggi paha orang dewasa, kami lalu menjejak hamparan pantai karang mati (death coral reef), disitulah mangrove yang kami bawa dari lokasi pembibitan akan ditanam. Dalam proses penanaman bakau, keakraban yang sempat terbina pada malam harinya semakin nampak dan mengental dengan adanya canda dan senda gurau diantara peserta. Menjelang proses penanaman selesai, instruksi dari pak Aziil Anwar sempat membuat panitia koordinator penanaman bibit kebingungan. Karena beliau meminta agar peserta yang sudah terlanjur tersebar untuk didokumentasikan dengan berbaris di depan rimbunan bakau yang sudah ditanam sebelum kedatangan kami, padahal panitia tidak membawa megapone atau pengeras suara yang lain. Melihat kebingungan teman- teman panitia, saya lalu tampil kedepan dan memberikan kode barisan bersaf ala pramuka. Syukurlah, beberapa kelompok peserta yang juga berasal dari organisasi pramuka melihat dan mengerti isyarat yang saya berikan. Mereka lalu bergerak dan membentuk barisan bersaf dan diikuti oleh peserta lain. Akhirnya instruksi pendokumentasian peserta selesai dengan sukses. Sebanyak 271 peserta hanya membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk menanam 4000 bibit bakau jenis Rhizophora Apiculata. Dalam perjalanan pulang setelah penanaman bibit bakau, kami berpapasan dengan bapak dari instansi BAPEDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) yang datang untuk meninjau prose penanaman bibit bakau yang baru dilakukan dan sempat berfoto bersama beliau. Melihat pantai Baluno dari ketinggian. Tiba dari kegiatan penanaman bibit bakau, kami kembali camp. Setelah makan siang dan istirahat, jam 14.00 wita. Peserta kembali berkumpul, kegiatan kali ini adalah hicking dengan menelusuri jalan poros kearah selatan. Setelah menyusuri jalan poros sejauh sekitar 300 m, kami lalu berbelok ke kiri memasuki daerah perkebunan masyarakat. Tidak lama kemudian, pendakian dimulai. Para peserta mulai menapaki gunung yang cukup terjal jalanannya, setiba di puncak para peserta sudah mulai lelah namun jangan salah, perjalanan belum berakhir. Dengan menapaki jalan setapak diantara padang ilalang, kami terus mendaki. Di kanan dan di kiri jalan banyak tumbuh pohon-pohon jambu mete hasil tanaman rakyat. Setelah beristirahat di bukit pertama, kami lalu melanjutkan mendaki ke bukit kedua yang lebih tinggi dari bukit yang kami jejaki sekarang. Di puncak bukit kedua ini, meski masih dengan pepohonan jambu mete di antara hamparan alang-alang, namun di salah satu sisi menawarkan pemandangan yang luar biasa indahnya dengan berlatar pantai Baluno yang berpasir putih dan berair jernih, sungguh ciptaan Dzat Yang Maha Agung, Allah Azza Wa Jalla. Dimana ada pendakian, disitu ada penurunan. Begitulah kata pepatah, setelah mendaki dua buah bukit yang cukup menguras tenaga bagi para pendaki baru. Penurunan terjal pun menyambut, dan mengharuskan para pendaki untuk berhati-hati, apalagi hujan yang sempat mengguyur membuat jalan setapak yang kami lalui menjadi sedikit licin. Sekitar 2 km track hicking kami lalui, akhirnya kami tiba kembali di lokasi perkemahan. Sambil beristirahat, kami menikmati air teh kemasan dari panitia. Dan akhirnya sang waktu pula yang mengharuskan kami berpisah. Sehari semalam rasanya hanya berlalu sekian menit, dengan segudang perasaan dan kesan yang begitu mendalam untuk alam dan orang-orang yang telah mendedikasikan hidupnya untuk pelestarian bakau ini, kami ucapkan terima kasih atas ilmu dan keakraban yang luar biasa yang telah kami terima. Kami pergi untuk kembali, Insya Allah.
( Zulfihadi, 23 Desember 2013)

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...