18/12/2017

Belajar Dari Super Hero


Kehadiran Super Hero yang menjadi asupan tontonan kita berlangsung sejak lama. Setidaknya sejak televisi merasuk hingga ke pedesaan kita yang aman damai gemah ripah loh jinawi toto tentram kertoraharjo. Kehadiran tokoh-tokoh super hero ini selalu dinantikan oleh anak-anak. Sebut saja Batman, Superman, Hulk, Ultraman ataupun Satria Baja Hitam. Tak ketinggalan pula super hero wanita seperti Super Girl, Xena atau Wonder Woman.

Namun dari setiap tindakan kepahlawanannya dalam menyelamatkan seseorang selalu diikuti dengan efek kerusakan bangunan atau fasilitas umum maupun pribadi. Inilah yang disebut reaktif dalam merespon sebuah kejadian. Menyelesaikan masalah hanya permukaannya saja. Lihat saja bagaimana gedung-gedung yang hancur, mobil-mobil beterbangan, menara yang roboh atau jembatan yang terputus saat mereka beraksi.

Saya tidak ingin mengkritisi alur cerita yang susah payah dibuat oleh sutrdara dan penulis skenario ataupun, tetesan keringat kerja keras para penata panggung yang bekerja di balik layar. Sebab sebuah adegan dramatis dan menegangkan memang dibutuhkan sebagai pelaris sebuah film, tentu saja di luar jampi-jampi dan asap dupa penglaris kalau ada yang pake. Hehehe....

Cara penyelesaian sebuah persoalan inilah yang menjadi perhatian saya. Bukankah cara penyelesaian permasalahan yang dilakukan oleh para super hero itu menjadi cermin penyelesaian persoalan negara kita dewasa ini. Pembangunan bandara Kulon Progo mengorbankan masyarakat pemilik lahan yang dipaksa pergi meninggalkan rumah dan tanah yang telah mereka miliki selama beberapa generasi. Di sini. Di Sulawesi Barat, pantai ditanggul untuk mengurangi pengikisan daratan oleh ombak laut sehingga para nelayan harus mencari lokasi pendaratan perahu yang aman jauh dari desanya. Baru-baru ini Liputan6.com merilis berita penambahan daya listrik hingga 40 ribu MW. oleh menteri Energi Dan Sumberdaya Manusia, yang mengharuskan penambahan daya listrik untuk masyarakat dengan menghapuskan daya 450 dan 900 watt, meski masih berupa wacana.

Kita semestinya harus bersyukur sebab, negara kita rupanya mampu memproduksi energi listrik yang cukup banyak untuk semua rakyatnya. Meskipun pada realitanya pemadaman listrik masih sangat sering terjadi dibeberapa wilayah, baik itu dengan informasi sebelumnya ataupun pemadaman mendadak. Tapi hendaknya kemajuan tidak menjadikan masyarakat umum sebagai korban.

Alasan yang dilontarkan oleh sang pejabat Menteri pada berita yang diakses pada 18 November 2017, pukul 10.28 wita. itu terkesan simpel. “Jika dengan produksi daya sebesar itu tidak dibarengi dengan penambahan daya untuk masyarakat pengguna, lalu untuk siapa daya itu akan disalurkan. Kita berharap agar nantinya semua masyarakat bisa menggunakan daya yang lebih banyak”.
Jika benar aturan ini diterapkan nantinya maka, ini adalah pemerasan dan pemaksaan yang kesekian dari pemerintah kepada rakyatnya. Barangkali anda masih ingat satu atau dua tahun lalu ketika listrik prabayar menggeser penggunaan listrik pasca bayar. Setiap pengajuan pendaftaran baru harus menggunakan Kwh. prabayar yang katanya penggunaan listriknya bisa dikontrol sendiri oleh pelanggan. Walaupun kemudian satu atau dua kasus dimasyarakat ditemui, justru pengguna listrik prabayar harus mengeluarkan biaya lebih banyak dari pengguna pasca bayar. Hal ini mendorong orang-orang ingin kembali memakai Kwh. pasca bayar, namun apa boleh buat keinginan itu tak bisa terkabulkan.

Masih perihal listrik. Ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga listrik, rakyat hanya bisa pasrah. Di rumah kami dulunya konsumsi listrik cukup Rp.103.000,-/bulan dengan rincian Rp.100.000,- untuk harga listrik dan Rp.3.000,- untuk keuntungan penjual retail. Kini, konsumsi listrik meningkat menjadi Rp.210.000,-/bulan. Sebab penjual retail juga tak ingin ketinggalan menaikkan keuntungan yang tadinya Rp.3.000,-/transaksi menjadi Rp.5.000,-/transaksi. Yang mencolok adalah ketika memasukkan kode voucher toke listrik, jika dulunya kita membeli token senilai Rp.50.000,- maka angka yang tertera pada Kwh. adalah 70,00. Namun sekarang, dengan nominal yang sama hanya akan tertera jumlah 33,7. Lagi-lagi rakyat sebagai konsumen yang kena batunya.

Semestinya pemerintah lebih bijaksana akan fenomena seperti ini. Jika memang kebutuhan listrik sudah cukup untuk semua rakyat, tak usah melakukan penambahan energi listrik. Benahi saja fasilitas yang sudah ada agar pemadaman listrik mendadak tidak terjadi lagi. Jika ada masyarakat yang membutuhkan listrik lebih banyak, tak perlu “menyuapi” konsumen yang memang sudah cukup dengan listrik 450 atau 900 Watt.


Lagi-lagi pagi ini kita harus bersorak-sorai menyambut pembangunan, untuk kemudian menangis dan meratap pada malam hari. Lalu tertidur dengan harapan, bahwa dalam mimpi kita akan hadir sesosok pahlawan super yang, akan mengirim surat tantangan pada musuhnya. “ Mas, kita tarungnya di pulau saja yah. Di sana tak ada orang, bangunan atau binatang. Jadi kita bisa bertempur sampai puas tanpa harus ada yang rusak dan terluka. Aku menunggu kedatanganmu, mas. Dari aku yang ingin berjumpa.   Pahlawan Super”.

07/12/2017

LONTARAQ SEBAGAI SUMBER SEJARAH DIRAGUKAN (?)

(Photo: Aisyah S. Ahmad)

Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat tak bisa dipungkiri menjadi sesuatu yang menakjubkan dewasa ini. Gerakan-gerakan literasi yang membooming semakin bergulir hangat ditambah dengan back-up media pemberitaan maupun media sosial semakin membuatnya semakin menggema. Tentu ini adalah sebuah hal yang menggembirakan mengingat krisis penulis hari ini sedikit banyak dipengaruhi oleh kurangnya media baca pada waktu-waktu lalu. Bagi anda generasi 70-an ke atas tentu cukup mengetahui bagaimana sulitnya menjadi seorang penulis waktu itu dengan adanya pengawasan pemerintah yang cukup ketat.

Lalu pasca reformasi 98, saat masyarakat diberikan kebebasan untuk bersuara dan menuliskan apapun yang hendak ditulisnya, media penulisan pun bermunculan bagaikan cendawan dimusim hujan. Surat kabar, majalah, tabloid, buku maupun buletin adalah contoh media fisik penulisan. Belum lagi blog dan website juga turut pula menjamur menyajikan berjuta informasi dengan beragam tema yang berbeda.  Informasi ilmu pengetahuan, sejarah, budaya maupun hal yang lainnya demikian mudah didapatkan bahkan ada pameo yang menyatakan bahwa informasi kini hadir dalam genggaman.

Dalam hal kesejarahan dan kebudayaan. Setiap penulisan sejarah membutuhkan sumber-sumber berupa artefak ataupun kisah tutur yang tersimpan dalam ingatan komunal masyarakat yang kemudian dicermati, dianalisa, diinterpretasi lalu ditulis oleh penulis. Entah oleh zaman, perang maupun bencana alam artefak-artefak yang menjadi sumber sejarah semakin sedikit. Salah satunya lontaraq. Lontaraq yang hanya sedikit semakin sulit diakses dengan adanya kepercayaan beberapa orang pemegang lontaraq yang mengharuskan pemotongan hewan kurban berupa kambing, sapi atau kerbau sebelum membuka lontaraqnya. Meskipun menurut saya, ini hanya akal-akalan saja untuk sesuatu tujuan yang tidak diketahui.

Padahal lontaraq semestinya menjadi sebuah sumber terpercaya saat akan mengkaji sejarah masa lalu. Lontarak menempati kedudukan yang unik di antara tulisan-tulisan bersejarah di Indonesia, oleh karena isinya pada umumnya dapat dipercaya dan kurang mengandung mitos, ramalan-ramalan, dan penulisnya sangat memperhatikan peristiwaperistiwa sendiri dan menulisnya secara jujur. Kronologi peristiwa ditulis secara cermat dan seobjektif mungkin. ( wawancara A.A. Cense oleh Zainal Abidin dalam buku Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan. Hal.ix).


Pengkajian lontaraq juga membutuhkan kecermatan ekstra dan penuh perhitungan. Hal ini disebabkan oleh gaya bahasa yang sudah tidak populer hari ini. Inilah yang terkadang membuat sebagian orang yang membaca lontaraq mengira bahwa antara lontaraq yang satu bertentangan dengan lontaraq yang lainnya. Apalagi lontaraq yang banyak beredar hari ini hanyalah berupa lontaraq hasil alih tulisan dan alih bahasa saja. 

Tidak bermaksud mengecilkan jasa penerjemah lontaraq masa lalu yang harus kita syukuri sebagai berkah dalam ranah intelektual lokal kita. Namun selain adanya beberapa kata yang menujukkan arti sama, memang terkadang ada beberapa penulisan kata dalam lontaraq yang tidak sesuai dengan alih tulisannya sehingga ketika dialih bahasakan ke-bahasa Indonesia akan melenceng pula artinya. Olehnya itu, pengkaji dan penulis sejarah setidaknya harus pula bisa membaca aksara lontaraq.

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...