Kehadiran Super Hero yang menjadi
asupan tontonan kita berlangsung sejak lama. Setidaknya sejak televisi merasuk
hingga ke pedesaan kita yang aman damai gemah ripah loh jinawi toto tentram
kertoraharjo. Kehadiran tokoh-tokoh super hero ini selalu dinantikan oleh
anak-anak. Sebut saja Batman, Superman, Hulk, Ultraman ataupun Satria Baja
Hitam. Tak ketinggalan pula super hero wanita seperti Super Girl, Xena atau
Wonder Woman.
Namun dari setiap tindakan
kepahlawanannya dalam menyelamatkan seseorang selalu diikuti dengan efek
kerusakan bangunan atau fasilitas umum maupun pribadi. Inilah yang disebut
reaktif dalam merespon sebuah kejadian. Menyelesaikan masalah hanya
permukaannya saja. Lihat saja bagaimana gedung-gedung yang hancur, mobil-mobil
beterbangan, menara yang roboh atau jembatan yang terputus saat mereka beraksi.
Saya tidak ingin mengkritisi alur
cerita yang susah payah dibuat oleh sutrdara dan penulis skenario ataupun,
tetesan keringat kerja keras para penata panggung yang bekerja di balik layar. Sebab
sebuah adegan dramatis dan menegangkan memang dibutuhkan sebagai pelaris sebuah
film, tentu saja di luar jampi-jampi dan asap dupa penglaris kalau ada yang
pake. Hehehe....
Cara penyelesaian sebuah
persoalan inilah yang menjadi perhatian saya. Bukankah cara penyelesaian
permasalahan yang dilakukan oleh para super hero itu menjadi cermin
penyelesaian persoalan negara kita dewasa ini. Pembangunan bandara Kulon Progo
mengorbankan masyarakat pemilik lahan yang dipaksa pergi meninggalkan rumah dan
tanah yang telah mereka miliki selama beberapa generasi. Di sini. Di Sulawesi
Barat, pantai ditanggul untuk mengurangi pengikisan daratan oleh ombak laut
sehingga para nelayan harus mencari lokasi pendaratan perahu yang aman jauh
dari desanya. Baru-baru ini Liputan6.com merilis berita penambahan daya listrik
hingga 40 ribu MW. oleh menteri Energi Dan Sumberdaya Manusia, yang
mengharuskan penambahan daya listrik untuk masyarakat dengan menghapuskan daya
450 dan 900 watt, meski masih berupa wacana.
Kita semestinya harus bersyukur
sebab, negara kita rupanya mampu memproduksi energi listrik yang cukup banyak
untuk semua rakyatnya. Meskipun pada realitanya pemadaman listrik masih sangat
sering terjadi dibeberapa wilayah, baik itu dengan informasi sebelumnya ataupun
pemadaman mendadak. Tapi hendaknya kemajuan tidak menjadikan masyarakat umum
sebagai korban.
Alasan yang dilontarkan oleh sang
pejabat Menteri pada berita yang diakses pada 18 November 2017, pukul 10.28
wita. itu terkesan simpel. “Jika dengan produksi daya sebesar itu tidak
dibarengi dengan penambahan daya untuk masyarakat pengguna, lalu untuk siapa
daya itu akan disalurkan. Kita berharap agar nantinya semua masyarakat bisa
menggunakan daya yang lebih banyak”.
Jika benar aturan ini diterapkan
nantinya maka, ini adalah pemerasan dan pemaksaan yang kesekian dari pemerintah
kepada rakyatnya. Barangkali anda masih ingat satu atau dua tahun lalu ketika
listrik prabayar menggeser penggunaan listrik pasca bayar. Setiap pengajuan
pendaftaran baru harus menggunakan Kwh. prabayar yang katanya penggunaan
listriknya bisa dikontrol sendiri oleh pelanggan. Walaupun kemudian satu atau
dua kasus dimasyarakat ditemui, justru pengguna listrik prabayar harus
mengeluarkan biaya lebih banyak dari pengguna pasca bayar. Hal ini mendorong
orang-orang ingin kembali memakai Kwh. pasca bayar, namun apa boleh buat
keinginan itu tak bisa terkabulkan.
Masih perihal listrik. Ketika pemerintah
memutuskan untuk menaikkan harga listrik, rakyat hanya bisa pasrah. Di rumah
kami dulunya konsumsi listrik cukup Rp.103.000,-/bulan dengan rincian
Rp.100.000,- untuk harga listrik dan Rp.3.000,- untuk keuntungan penjual
retail. Kini, konsumsi listrik meningkat menjadi Rp.210.000,-/bulan. Sebab penjual
retail juga tak ingin ketinggalan menaikkan keuntungan yang tadinya
Rp.3.000,-/transaksi menjadi Rp.5.000,-/transaksi. Yang mencolok adalah ketika
memasukkan kode voucher toke listrik, jika dulunya kita membeli token senilai
Rp.50.000,- maka angka yang tertera pada Kwh. adalah 70,00. Namun sekarang,
dengan nominal yang sama hanya akan tertera jumlah 33,7. Lagi-lagi rakyat
sebagai konsumen yang kena batunya.
Semestinya pemerintah lebih
bijaksana akan fenomena seperti ini. Jika memang kebutuhan listrik sudah cukup
untuk semua rakyat, tak usah melakukan penambahan energi listrik. Benahi saja
fasilitas yang sudah ada agar pemadaman listrik mendadak tidak terjadi lagi.
Jika ada masyarakat yang membutuhkan listrik lebih banyak, tak perlu “menyuapi”
konsumen yang memang sudah cukup dengan listrik 450 atau 900 Watt.
Lagi-lagi pagi ini kita harus
bersorak-sorai menyambut pembangunan, untuk kemudian menangis dan meratap pada
malam hari. Lalu tertidur dengan harapan, bahwa dalam mimpi kita akan hadir
sesosok pahlawan super yang, akan mengirim surat tantangan pada musuhnya. “
Mas, kita tarungnya di pulau saja yah. Di sana tak ada orang, bangunan atau
binatang. Jadi kita bisa bertempur sampai puas tanpa harus ada yang rusak dan
terluka. Aku menunggu kedatanganmu, mas. Dari aku yang ingin berjumpa. Pahlawan
Super”.