24/02/2017

SEJARAH KOPI MANDAR(Sebuah Tulisan Awal Perkopian di Tanah Mandar)Part2. Oleh: Zulfihadi. Matakali, 23 Februari 2017.

Sebuah versi berbeda kemudian datang dari seorang penulis Eropa, Terance William Bigalke. Antropolog sekaligus pakar sejarah Indonesia dan Asia Tenggara modern. 

Dikutip dari http://www.cnnindonesia.com, Bigalke menuliskan fakta tersebut dalam buku berjudul Tana Toraja: A Social History of An Indonesian People (2005), merujuk pada kesaksian seorang Belanda bernama Van Dijk. Sebelum membuka perkebunan kopi di Pegunungan Rantekarua pada 1900-an, Van Dijk menemukan pohon kopi berusia sekitar 200 tahun di Desa Sa'dan, Toraja Utara.

Ini artinya bahwa masyarakat Toraja sudah mengenal kopi sejak awal tahun 1600. Hal ini cukup masuk akal mengingat pedagang-pedagang Arab telah berinteraksi dengan pedagang nusantara jauh sebelumnya dan menjadi kebih intens pasca jatuhnya bandar Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 dan bandar Sunda Kelapa menyebabkan para pedagang Arab yang senantiasa berseteru dengan pedagang Eropa terkait perang Salib, mencari bandar niaga lain yang tidak dikuasai oleh orang Eropa. Dan sejarah membuktikan bahwa pilihan itu jatuh ke bandar Makassar. 

Bahkan ada yang menyebut jika kopi telah dipertukarkan oleh pedagang Arab dari Jawa dengan emas, porselen dan kain pada abad XIV hingga memungkinkan masyarakat lokal bisa menyerap kosakata qahwa untuk menyebut kopi. Walau demikian, ha ini masih membutuhkan kajian mendalam.
Harga kopi yang melambung di pasaran dunia menyebabkan persaingan kopi di Toraja menjadi panas. Para pedagang luar bersaing untuk mendapatkan komoditi itu dengan cara mendekati dan menjalin kerjasama dengan para pemimpin lokal. 

Sebut saja para pedagang Bone dan Luwu bekerjasama dengan Pong Maramba dari Toraja bagian utara, sementara Sidenreng, Wajo, Soppeng dan pedagang-pedagang Arab membangun afiliasi dengan Danduru dan Pong Tarongko.

Dengan demikian tercipta pula dua jalur perdagagan kopi sesuai asal kedatangan pedagang-pedagang tersebut. Bone dan Luwu membawa kopi melalui jalur timur melalui Sa’dan – Balusu - Sesean - Rantepao - Rantebua - Pelabuhan Bua di Palopo. Sementara pedagang Sidenreng, Wajo, Soppeng dan Arab melewati jalur Barat melalui Pangala – Dende - Piongan - Kurra - pasar Rantetayo – pelabuhan Pare-pare.

Tensi persaingan untuk mendapatkan kopi terus meningkat hingga berakibat pada pecahnya perang lokal di antara penguasa-penguasa adat yang ada di Toraja dibantu oleh sekutunya yang merupakan pedagang-pedagang luar tersebut. 

Perang itu dikenal sebagai Perang Kopi I dan berlangsung dari tahun 1887 dan berakhir tahun 1888.
Agak reda sesaat, lalu kemudian pada tahun 1889 pasukan kerajaan Bone dibantu oleh pasukan Gowa dan Mandar ..... (Bersambung lagi....)

23/02/2017

SEJARAH KOPI MANDAR (Sebuah Tulisan Awal Perkopian di Tanah Mandar) Oleh: Zulfihadi. Matakali, 23 Februari 2017.


Manusia mengenal beragam minuman dengan ciri khas dan khasiatnya masing-masing. Dari sekian banyak minuman itu, saya memilih untuk menuliskan cerita singkat tentang kopi.

Alasannya simpel, selain kopi adalah minuman rakyat yang mendunia, perjalanan sejarah kopi juga lebih menarik dengan banyak bumbu, mulai dari legenda, perang, perbudakan, agama maupun wanita. Alasan lainnya adalah karena tulisan tentang kopi masih sangat minim, jikapun ada buku tentang kopi, harganya masih selangit. Terkhusus tulisan tentang sejarah kopi Mandar, bisa dibilang belum ada.

Minuman kopi yang belakangan ini sedang tenar berasal dari tanaman kopi dengan cara mengolah buahnya yang berdaging manis.

Ada perbedaan tentang waktu penemuan kopi ini dibeberapa sumber. Dikutip dari buku Outlook Kopi terbitan Pusat Data dan Informasi Pertanian Sekjen Kementrian Pertanian tahun 2015 (ebook pdf) bahwa dalam buku the Coffee Book: Anatomy of an Industry from Crop to the Last Drop disebutkan jika kopi pertama kali ditemukan antara tahun 575-850 M. oleh suku Galla di Ethiopia yang memanfaatkan kopi sebagai sejenis makanan penambah energi “energy bar”.

Sementara itu, situs wikipedia menyebut bahwa sebuah legenda menyatakan bahwa kopi pertama kali ditemukan oleh seorang pria penggembala kambing dari suku Galla di pedalaman Ethiopia, Afrika sekitar tahun 1000 SM. Konsumsi kopi cukup lama terisolasi dan terbatas hanya oleh masyarakat Ethiopia. Nantilah pada abad V atau lebih minuman ini dikenal orang Arab.

Sekitar abad VIII M. seiring dengan perkembangan agama Islam, kopi juga menyebar dengan pesat. Kopi disebarkan melalui Mocha, pelabuhan ternama di Yaman pada masa itu.

Meski minuman kopi telah menyebar luas hingga ke Eropa, pembudidayaannya sangat terbatas hingga berabad-abad kemudian. Hal ini disebabkan oleh pedagang Arab hanya memperdagangkan biji kopi yang sudah di-infertil sehingga tidak memungkinkan untuk ditumbuhkan.

Semasa hidupnya, seorang muslim ahli kedokteran ternama bernama Ibnu Sina yang oleh orang Eropa dikenal sebgai Avicena meneliti zat kimia yang terkandung dalam kopi. Dalam catatannya, Ibnu Sina menyebut kata “bunn” dan mempunyai deskripsi sama persis dengan kopi pada masa sekarang.

Tahun 1600, untuk pertamakalinya biji kopi fertil dibawa pulang oleh seorang India bernama Baba Budan setelah melaksanakan ibadah haji di Mekah. Tahun 1616 hingga tahun 1696 merupakan golden age penyebaran tanaman kopi. Italia, Inggris, Amerika Utara, Prancis dan Sri Lanka serta Hindia Belanda (Indonesia) menjadi tujuan-tujuan awal penyebaran kopi.

Sebuah versi menyebutkan bahwa Indonesia pertama kali mengenal kopi pada tahun 1696 saat Gubernur Hindia Belanda mendapat kiriman kopi dari Gubernur Belanda di Malabar. Sayangnya kopi pertama ini tidak berhasil panen setelah terbawa banjir, hingga tahun 1699 Gubernur Hindia Belanda kembali mendapat kiriman kopi. Bibit kopi ini berhasil tumbuh dan panen pada tahun 1711 dan terus meningkat hingga mencapai volume ekspor 60 ton/tahun. VOC juga menguasai monopoli perdagangan kopi di luar Arab sejak tahun 1725-1780.

Bibit-bibit kopi dari Batavia itu kemudian dibawa ke seluruh nusantara termasuk Sulawesi. Secara kebetulan pada waktu itu suasana perang Makassar sudah mereda (tidak benar-benar aman sebab selalu saja ada pertempuran yang pecah di banyak penjuru Sulawesi) dengan kemenangan kerajaan Bone yang bersekutu dengan VOC.

Dari kemenangan itu VOC kemudian memanfaatkan kerjasamanya dengan kerajaan Bone untuk menyebarkan tanaman kopi hingga kepedalaman Tanah Toraja.

Tapi versi ini menyisakan sebuah pertanyaan, jika VOC yang menyebarkan tanaman ini ke Toraja tentu masyarakat Toraja lebih mengenal minuman ini dalam bahasa Belanda yakni “koffi”. Nyatanya, orang Toraja dahulu, bahkan hingga sekarang sebagiannya justru menyebut minuman ini dengan “kaa” ada juga yang menyebutnya “qahwa”. Sebuah terminologi Arab untuk menyebut kopi. Ini mengindikasikan bahwa minuman ini sudah dikenal oleh masyarakat secara meluas sebelum VOC membawanya untuk dibudidayakan secara luas.

Sebuah versi berbeda kemudian datang dari seorang penulis Eropa, bernama...(bersambung...)

Diolah kembali dari :
- Outlook Kopi terbitan Pusat Data dan Informasi Pertanian Sekjen Kementrian Pertanian tahun 2015 (ebook pdf)
- http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160508160635-269-129200/toraja-dan-emas-hitam-bernama-kopi/
- https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_kopi
- https://www.facebook.com/657151224390172/photos/a.657719207666707.1073741828.657151224390172/657719191000042/?type=1&theater
- https://anaktator.blogspot.com/dokumen-perang-kopi-di-toraja/

21/02/2017

EKSPEDISI KUNYI

Matakali, 18 Februari 2017, berawal dari postingan facebook tentang sebuah mesjid tua di dusun Kunyi, kelurahan Anre Api. Saya dan Yusri, seorang kawan yang berprofesi sebagai jurnalis ingin menjajaki seberapa tua kira-kira mesjid tersebut. Namun kesibukan sebagai penyelenggara pemilihan gubernur Sulawesi Barat periode 2017-2022 tidak memberi kesempatan untuk segera menindak lanjuti temuan tersebut. Olehnya itu, barulah pada hari Sabtu tanggal 18 Februari 2017 menjadi waktu perjanjian kami untuk bertemu dan bersama-sama menuju ke lokasi. Mujahidin Musa yang juga rencananya ikut berekspedisi, batal karena sesuatu hal teknis, maka perjalanan itu kami lakukan berdua saja

Sinar mentari cukup panas memanggang mengantar perjalanan kami menyusuri jalan poros Polewali-Mamasa yang relatif bagus. Namun hal itu tak berlangsung lama sebab hawa sejuk pedesaan segera menyambut kami begitu memasuki wilayah kelurahan Anre Api yang jaraknya memang tidak begitu jauh dari kota Polewali. Jalanan yang meski agak sedikit menanjak namun cukup mulus dan tidak menyulitkan si Sushi (Suzuki Smash Hitam.....hehehe) tua yang kukendarai untuk melewatinya. Jalan poros yang diapit oleh bukit berhutan di sisi kanan dan sungai Lantora di sisi kirinya menyajikan kesejukan dan kedamaian.

Tidak berapa lama kemudian kami sampai di rumah kepala dusun Kunyi. Kami mendapatinya sedang memperbaiki pagar pekarangan, jadilah kami berbincang di depan rumah beliau yang berada persis di tepian sungai dengan banyak bebatuan. Dalam fikirku, pasti asyik jika di sungai ini ada wisata olah raga arung jeramnya. Tepat di seberang sungai depan rumah pak kepala dusun itulah, mesjid yang diduga berusia paling tidak 3 atau 4 abad itu berada. Namun ternyata struktur dan bangunan mesjid tidaklah setua dugaan saya. Meskipun arsitekturnya masih menyisakan gaya lokal dengan atap bersusun, namun bahan yang digunakan menunjukkan jika bangunan itu belumlah mencapai usia seabad. Menurutnya, mesjid tersebut pada awalnya dibangun oleh kakek dari imam terakhir mesjid yang diberi nama “Mesjid Alauddin”  dan telah meninggal sekitar tahun 1988. Dari informasi itulah saya mencoba menebak dengan perhitungan generasi bahwa mesjid tersebut dibangun sekitar awal 1900. Dan dugaan itu kemudian dikuatkan dengan cerita pak dusun bahwa bangunan itu telah dipugar pada tahun 70-an dan tidak menyisakan struktur asli. Mengetahui kenyataan, kami berdua tak berlama-lama lagi berada di lokasi dan bermaksud pulang ke rumah masing-masing.

Di tengah perjalanan, Yusri memberitahu bahwa di belakang PUSTU (Puskesmas Pembantu) Anre Api ada juga bekas bangunan yang menurutnya sudah tua. Sisa bangunan itu sempat ia lihat ketika meliput kebakaran hutan pada bulan Oktober tahun 2015 lalu. Ia meminta pendapat saya, apakah saya mau melihatnya atau tidak. Dan tanpa pikir panjang saya meng-ia-kannya. Jadilah kami melewati jalan setapak di samping rumah penduduk menuju kaki bukit. Berjarak sekitar 50 meter dari rumah penduduk kami memarkir kendaraan, sementara di depan kami nampak bangunan-bangunan mirip pilar tersembunyi oleh semak-semak dan rerumputan liar.

Pada mulanya saya menyangka bahwa bangunan yang berada di titik koordinat -3.387986, 119.355877 itu adalah bekas pintu gerbang, sebab awalnya hanya dua yang nampak oleh saya. Nantilah beberapa saat baru Yusri menunjukkan bahwa “pilar-pilar” tersebut rupanya berjejer, termasuk dua yang sudah tumbang. Segera saya turun ke bagian tengah yang memang agak rendah, meneliti pilar-pilar itu satu persatu. Mengamati barisan pilar yang makin ketepi makin pendek sementara bagian atasnya masih sama tinggi, dan juga salah satu sisi lokasi tidak terdapat barisan pilar. Saya berasumsi bahwa bagian dinding timur serta sebagian bangunan lainnya itu telah tertutup oleh longsoran tanah perbukitan yang ada di sampingnya.

Pilar yang berbentuk segi empat itu pada bagian ujung atasnya berukuran 60 cm.x50 cm. dan makin ke bawah makin besar. Jumlah keseluruhan pilar adalah 25 dengan jarak antar pilar adalah 250 cm. 5 pilar di antaranya berada di sisi selatan, 5 di utara dan 15 di sisi barat yang merupakan bagian memanjang dari struktur bangunan. Pilar-pilar itu dihubungkan dengan sebuah dinding batu dengan ketebalan 30 cm. dan sebagiannya sudah hancur. Pilar yang saya ukur dari sisi luar yang berada di sebelah utara dan berdiri tepat di tepi sungai kecil (selokan air) mempunyai ketinggian 280 cm. sementara yang paling pendek di sebelah selatan setinggi 150 cm. dari permukaan tanah. Dari situ saya berasumsi jika dinding bangunan itu dulunya berketinggian 3 meter, cukup tinggi untuk disebut benteng. Bisa juga arsenal atau gudang senjata bahkan bisa pula keduanya. Konon di samping struktur itu pernah pula ditemukan beberapa pucuk senjata api ketika masyarakat melakukan penggalian untuk sumur umum.

Di bagian dalam, nampak sebuah barisan batu yang direkatkan yang jika benar tersambung hingga ke bawah tanah, bisa jadi merupakan sebuah dinding yang membentuk sebuah ruangan dalam, mungkin kamar?.

Mengukur tinggi dinding dari permukaan tanah yang masih nampak

(Photo: Yusri)

Yang membuat saya tidak habis pikir kemudian adalah, kenapa struktur bangunan itu dibuat dari batu karang?. Sementara di daerah tersebut ketersediaan batu kali yang sangat bagus untuk bangunan cukup melimpah dan mudah didapati. Pertanyaan itu terus berputar di dalam kepala saya hingga tulisan ini saya buat tanpa sedikitpun kemungkinan jawaban saya dapati. Dan rasa penasaran itu pula yang mengantarkan saya hingga pulang dan menyelesaikan ekspedisi Kunyi bagian pertama ini bersama sebuah harapan bahwa semoga gubernur Sulawesi Barat yang baru bisa memperhatikan keberadaan bangunan tua ini dan bangunan-bangunan tua yang lain hingga Mandar tak kehilangan sejarahnya kelak.
Salah satu pilar, dibuat dari konstruksi batu karang.
(Photo: Yusri)
Ilustrasi sederhana denah situs

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...